Pembaca

30 Desember 2021

Ngerem di Klaten, Berhentinya di Jogja


Berat sekali bepergian ke suatu tempat untuk menghadiri suatu acara yang tidak begitu ada acaranya, padahal di rumah sendiri akan berlangsung suatu acara. Itulah yang saya alami. Saya diundang hadir main ke rumah Pak Bambang di Klaten, sementara di rumah, saudara sepupu dua kali hendak menikah.



Karena saya tidak bisa membagi diri menjadi dua, maka saya harus memilih salah satunya. Saya hadir ke Klaten karena undangan datang sudah lebih tiga bulan lamanya, terus, yang di rumah, saudara-saudara yang lain diperkirakan akan hadir semua. Dengan begitu, unsur keterwakilan saya kira sudah tepat. Itu keputusan saya. Cus.

Perjalanan malam itu, saya berangkat tengah malam lewat Pantura Madura mengingat kemacetan di Blega belum juga dapat diprediksi dengan benar. Saya bersama Khatir dan Makmun. Khatir nyopir sampai dekat Suramadu karena dia sudah tangar sebab sudah tidur lebih dulu, sedangkan saya tidur di mobil.

“Kita lewat tengah kota saja, ya.”
“Iya,” kata Khatir, ketika saya masuk duluan dan duduk di belakang kemudi, menggantikannya. “Sebetulnya, lewat di Jalan Soekarno-Hatta pun juga gak apa-apa.”
“Sudah, lewat tengah saja, lewat Jalan Raya Dharmo, A. Yani, tembus Sidoarjo.”

Kepadatan lalu lintas baru mulai terasa saat kami melintasi Sidoarjo, sementara di Surabaya tadi, jalan masih relatif sepi, tidak seperti di Jakarta yang tengah malam pun tetap ramai sekali (sebagaimana kami lintas dua bulan sebelum ini).

Ketika saya baru saja parkir di bahu jalan, di bawah pohon sono, kira-kira 150 meter di selatan pertigaan Kejapanan untuk nunggu Agus yang kabarnya mau ikut dan saat itu—menurut laporannya—dia sedang sedang naik angkutan umum dan sudah dekat dengan lokasi, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil-manggil saya.

(rekaman video diambil oleh Puger Nurengga Midya dari seberang jalan)


“Mbaaaah….”

Di seberang jalan, ada mobil towing ke arah selatan, ke arah Pandaan. Eh, Mas Puger rupanya. Saya nyeberang, nyalami ayahnya dan dia.

“Kenapa di situ?”
“Saya mau ke Klaten, tapi mau ke Kepung dulu, Kediri.”
“Oh, iya. Mau ke rumah Pak Bambang, ya?”
“Iya.”
“Saya kira mogok, he, he…”
“Enggak, kok, cuman lagi nunggu penumpang yang mau ikut.”
“Baik, saya lanjut saja, ya!”
“Iya.”

Kami pun berpisah. Agus datang, dan mobil distarter, dan mogok beneran. Waduh, cilaka benar. Towing tadi rupanya merupakan isyarat yang datang duluan, sejenis kaweruh sak duruning winarah.

“Kenapa?” tanya Khatir.
“Saya tidak tahu.”
“Terus bagaimana?”
“Terus, ya, didorong, dong… masak mau diperbaiki di sini, buang waktu saja.”

Didorong dan jrebb...bret...bret…. Jreeeeng, mesin menyala dan langsung menyusuri jalan Mojosari, ke Mojokerto, ke Mojoagung, lalu belok kiri, nembus jalan kolektor sejauh 30-an kilometer hingga akhirnya saya tiba di pasar Kepung, pare, Kediri. Di sana, saya mau nyambangi kawan Shoim.



“Secara kalkulasi ekonomi, perjalanan 30 kilometer limpas dari jalur utama itu adalah kerugian jika hanya akan ditukar dengan secarangkir kopi. Tapi, jika tujuannya adalah demi membahagikan teman yang mengharapkan suatu kunjungan, maka harganya tidak bisa lagi dapat di-kurs dengan rupiah, jauh melebihinya...” kata saya dan disusul dengan tawa kecil para penumpang.

Saya ingat, jika melintasi Mojoagung, biasanya saya menghubungi Koh Hari atau Haris. Tapi, hari itu, Koh Hari bepergian dan Haris sudah pergi selamanya. Betapa berharganya seorang teman. Hanya itu yang saya batinkan.

Tiba di Kepung, saya disuguhi kopi arabica oleh Shoim. Belum habis secangkir, disuguhinya lagi: robusta, entah dari Kediri atau dari Wonosalam, Jombang, saya tidak ngurus. Dia hanya bilang, “Ini kopi lokal.” Akan tetapi, di tengah obrolan, saat saya sudah pamit mau pergi, tiba-tiba datang seorang lelaki yang diperkenalkan Shoim dengan nama Kiai Nuhin. Ladalah, ternyata iparnya Kang Ahmad Jauhari alias Heri dari Panceng Gresik. 


Oleh beliau, diajaklah saya ke kediamannya, saya tolak tapi beliau menunjukkan ekspresi luar biasa mengharap. Saya tak berdaya, meluangkan waktu kira-kira 40 menit untuk bicara di depan santri-santri lembaga pendidikan Al-Hikmah, Kepung, Pare, Kediri. Seperti biasanya, tak lebih dari materi belajar dan semangat belajar sampai mati. Sepertinya, hanya itu yang saya tahu dan hanya itu yang penting disampaikan di saat itu.



Meninggalkan Pare, saya lewat Purwoasri, tidak balik ke Jombang meskipun tadi ada panggilan dari Pak Sularso dan Pak Wahib. Waktu terbatas adalah alasannya. Dalam pada itu, ada dua tempat yang sangat ingin saya singgahi tapi ternyata tidak berjodoh: yang pertama adalah ndalem Kiai Baidlowi di Pare dan ndalem Gus Furqon di Purwoasri. Keduanya harus—sementara—dilupakan karena saya harus segera tiba di Klaten secepatnya.

Braan – Caruban ditempuh lewat arteri. Jalanan tidak begitu ramai. Selap-selip kendaraan lewat kiri dimainkan di ruas Kertosono – Nganjuk karena jalannya lebar dan lurus. Hutan Saradan pun menyajikan pemandangan seperti dulu, teduh. Beberapa warung makan besar sudah tutup. “Ini pasti dampak Tol TransJawa,” kata saya. “Nasibnya sama dengan beberapa warung makan besar di area Kanci hingga Brebes, mungkin juga di daerah lainnya.”


Saat masuk tol, kemudi diganti Makmun sampai Solo. Saya tidur, lalu menggantikan dia dari Kartasura, menuju masjid Al-Aqsha, Klaten, untuk shalat. Tapi, lagi-lagi tergoda Jogja, dari masjid itu bukannya ke rumah Pak Bambang sebagai tujuan utama perjalanan, saya malah belokkan mobil ke kanan, ke Jogja karena ternyata Pak Bambangnya juga belum tiba di rumah dan masih di Gamping.

Kami bertemu dengan Pak Bambang dan Mas Reza (sementara rombongan yang lain di luar saja) malah di kafe Main-Main, saat kami dijamu Imam Rofiie dan Pak Edi sembari ambil cetakan buku yang sudah dipesan beberapa waktu yang lalu. Barulah, setelah hampir 21.30, kami meninggalkan Jogja menuju Klaten, tapi sebelumnya masih tersandera oleh Hanafi di kedai kopinya, Mato, di Seturan, sehingga waktu tiba di rumah Pak Bambang adalah pukul 00.30 karena pakai acara tersesat segala di tengah jalan di semak-semak karena sinyal GPS hilang mendadak.

AHAD PAGI: ACARA TANPA ACARA
 

Paginya, Ahad, 26 Desember 2021, kami kumpul-kumpul di rumah Pak Bambang, bersama teman-teman dari Tangerang dan Serang dan Bogor. Satu demi satu, kawan-kawan dari Klaten dan Solo dan Jogja berdatangan. Saya tidak tahu, ini acara apa. Sepertinya, ia merupakan acara tanpa susunan acara. Saya datang ke sana hanya karena undangan Pak Bambang sebagai tuan rumah. Datang untuk apa? Entah, datang untuk, ya, sekadar datang saja.



Acaranya berlangsung di bawah pohon sawo dan druian yang rindang. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal sambil makan cemilan khas desa, mulai dari gorng pisan, kacang rebus, ketela rebus, hinga jadah. Minuman ada the dan kopi. Acara guyub rukun dengan suasana Jawa tempoe doeloe.



Mbah Cepuk, Mas Wiro, Mas Rosyad, ada juga Mas Hertanto, Mas Benta, Pak Joko, dan banyak yang lain, sudah pulang duluan, satu per satu. Uniknya, setiap mobil yang hendak pulang, dicegat dulu, diajak foto bersama, baru boleh dilepas pergi. Begitulah, ‘perpisahan’ itu jadi menyenangkan sekali. Selain teman-teman tuan rumah yang datang dari Serang dan Banten, tampaknya kamilah yang jadi rombongan yang pulang terakhir kali, pada pukul 15.30.

Perjalanan pulang dengan cara masuk dari pintu tol Boyolali (bukan dari Colomadu atau masuk kota Solo lebih dulu dan baru masuk Tol Karanganyar) dipilih karena pertimbangan menghindari kepadatan arus lalin yang diperkirakan mengular di sepanjang Klaten sampai Kartasura, tapi ternyata perkiraan kami keliru. Justru arah Jatinom ke Boyolali-lah yang sangat padat sehingga mobil berjalan tersendat. Ada banyak truk pasir dan mobil-mobil kecil yang merayap, main serobot pula. Yang suka nyalip satu mobil lalu ngerem mendadak juga banyak. Waduh, enggak di Madura, enggak di mana-mana, kelakukan manusia macam ini kalau memang sudah begitu bawaannya, ya, tetap begitu saja tak pilih tempat, tak pilih waktu.

Sepanjang jalan tol, dari Boyolali sampai Mantingan, hujan rinai turun membuat suasana semakin syahdu. Saya menyalakan lagu pelan saja, dipadukan dengan semburan AC yang dingin, membuat Colt ini jadi terasa sangat mewah. Tentu saja, jarum penunjuk bensin berasa lebih cepat melorotnya. Saya dan Makmun di depan, tidak tidur, sebab saya yang nyopir dan Makmun menemani, sedangkan Khatir dan Agus sudah begaya macam pejabat saja, tidur berleha-leha di kursi tengah. Mereka bahkan baru bangun setelah menjelang Walikukan, beberapa menit sebelum kami tiba di Widodaren, Ngawi, rumahnya Mas Fadli dan Mas Alwi.

Tujuan saya ke sana adalah ambil meja lipat yang saya pesan beberapa waktu yang lalu. Kok pesan meja sampai Ngawi, sih? Apa di Madura tidak ada meubel? Pesan meubelair di Widodaren adalah salah satu cara agar saya dapat dua kali:

ada alasan main ke sana. Dan ini adalah kunjungan saya yang ketiga kalinya. Pertemuan dipungkasi dengan sate dan gulai yang sangat lezat, yang kalau dijelaskan di sini khawatir pembaca akan ngeces dan pengen juga menikmatinya.

“Gantian, tinggal kamu yang belum nyetir,” kata saya kepada Agus,
“Siap!”
“Iya, siap, tapi ndak boleh sambil nyopir, sambil mainan handphone, lho!”
“Ha, ha, ha…”

Kami shalat maghrib isya di Masjid At-Takwa, Walikukun, lalu masuk arteri, melewati hutan pohon jati sampai Ngawi, barulah saya ijab-kabul kemudi dengan Agus. Gilian dia yang berugas dan Khatir menemani. Saya ngantuk dan mau tidur, di kursi tengah. Maka, dengan demikian, semua orang yang ada di mobil ini adalah penumpang sekaligus sopir semua, beda kasus dengan bulan Oktober lalu saat saya ke Jogja, mengajak tiga orang yang ketiga-ketiganya memasrahkan stir hanya only khususon kepada saya. Waduh!

Sekitar pukul 00.15, kami sudah tiba di kafe-nya Agus, AKUI, yang berlokasi di sebelah selatan pos saptam perumahan Taman Dayu, Pandaan, padahal tadi pukul 21.00 kurang dikit, kami masih shalat isya di Walikukun dan baru masuk tol hampir satu jam sesudahnya (karena jalan gerimis) melalui Gerbang Tol Ngawi. Mengingat ini, kita harus bersyukur akan adanya jalan tol. Tidak mungkin jarak sejauh 260-an kilometer bisa ditempuh sesingkat itu, apalagi dengan ‘motuba’ seperti Colt T120 ini. Tetapi, jika dipikir lebih jauh, tidak senyaman dan seenak itulah kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Tumbalnya juga banyak: Kita telah kehilangan sensasi emosional di jalan; warung-warung yang tutup di ruas arteri, perubahan psikologi sosial, alienasi, dan masih banyak sekali dampak perubahannya.

Anda jual, kami beli. Semua punya konsekuensi.

Mestinya, kami sudah masuk Surabaya, tapi ini malah mau ngopi di Pandaan. Tengah malam, tentu saja kafe tutup, tapi pelayan masih ada karena si empunya yang datang. Maka, kami pun ngopi tidak jelas, tidak jelas apa maunya: ngopi menjelang pukul 1 pagi, di bawah langit, dengan pemandangan alam yang pastinya indah sekali andai itu terjadi di pagi atau sore hari, sebab lokasi kafe ini yang bersehadapan dengan ada Gunung Penanggungan ke barat dan hamparan sawah jika kita melihat ke timur. Tapi, ini gelap? Sama saja dengan melihat wallpaper di laptop yang mati.

“Kita harus ulangi pada waktu yang berbeda,” kata saya pada mereka.

Akhirnya, kami pulang pukul setengah dua setelah ditahan-tahan lebih dulu sama si Agus. Saya ambil kendali kemudia dan memutuskan lewat jalur arteri saja, Jalan Nasional 21 Madura. Jika waktu berangkat lewat pesisir utara karena takut kena macet, kali ini nekat, lewat jalur selatan, lewat pusat kemacetan karena pengecoran jalan: Blega. Dasarnya bukan ngawur, tapi firasat dan terawangan yang kuat bahwa arus lalu lintas bakal lancar. Maka, ketika mobil sudah masuk Kedungcowek, persiapan melintasi Suramadu, kami berdoa, berkirim Alfatihah untuk nenek moyang, untuk semua orang yang pernah membuat dan merintis jalan di Madura, dengan harapan perjalanan jadi lancar tanpa gangguan dan kemogokan, eh, kemacetan juga ding.

Benar dan alhamdulilah. Kejadiannya mirip film-film laga khas Hollywood. Di Blega, saat kami baru tiba di ujung antrian panjang, iring-iringan mobil-mobil dari lawan arah (dari timur) sudah selesai melintas dan kini giliran kami yang lewat. Walhasil, mobil saya pun katut, bahkan menjadi mobil terakhir yang boleh melintas sebab setelah itu akses dari arah barat/Surabaya ditutup kembali. Hamdalahaaah. Benar-benar seperti film laga jadinya.

Melihat kelakuan orang-orang, saya tah habis pikir. Antrian segitu saja, menyerobotnya masih gila-gilaan, padahal kan sudah jelas dapat jatah jalan, toh. Heran benar sama manusia macam ini. Apakah jenis spesies yang punya otak tapi tidak berpikir? Semacam ada prosesor tapi tidak ada operating system-nya? Atau sejenis PC Under-DOS yang ada di antara Intel Core? Entah, tak paham. Yakin, mereka bukan tidak tahu akan bahaya. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu atau tidak tahu diri.

Di antara adegan-adegan berbahaya itu, antara lain, nyalip satu truk dan langsung ngerem mendadak di depannya, membuat truk yang bermuatan berat tersebut harus ngerem mendadak pula, yang tentunya jelas tidak mungkin akan menghentikan laju mendadak pula, dan itu sangat berbahaya. Kecelakaan-kecelakaan penyerudukan banyak terjadi dan bermula dari aksi model nyalip seperti ini. Semua diukur pakai ukuran sendiri, tidak tahu tonase, tidak paham jarak aman, tidak ngeri, eh, tidak ngerti.  


Pak sopir truk bermuatan berat itu pasti emosi, tapi mereka tak berdaya. Makanya, saya yakin, sopir-sopir truk berat pastilah manusia terpilih yang ada pada ranking atas di bidang kesabaran dan ketabahan. Saya membayangkan, seakan-akan truk-truk dan mobil-mobil besar tapi lugu itu turut berdoa: Ya Allah, kami memohon keadilan-Mu. Semoga mereka yang memperoleh kesempatan lebih cepat sampai daripada kami ke tujuannya, tapi dengan cara menyerobot itu segera diberi hidayah dan kami mendapat gantinya, seperti kebahagiaan yang mestinya jatah mereka, berilah kepada kami yang telah dianiyaya; rezeki yang hendak mereka dapat, pindahkanlah ke tangan kami
yang telah terzalimi.

Tapi, itu cuman imajinasi, entah seperti apa  yang bakal dan sesungguhnya terjadi. Dan apakah doa seperti ini layak? Tidak pantas bagi manusia mendoakan buruk bagi sesamanya. Tapi, yang saya bayangkan ini truk dan muatannya yang berdoa, bukan manusianya; mobilnya, bukan sopir dan penumpangnya. Apakah imajinasi ini rasional dan masuk a-colt? Entahlah.

Setelah subuhan di Jrengik, saya tetap menuntaskan tugas persopiran sampai kota Pamekasan lalu memasrahkan stir kepada Makmun karena jam sudah menunjukan pukul 06.00, yaktu waktunya saya mengajar secara daring, menggunakan ponsel, disambungkan dengan audio di rumah. Begitulah, bepergian sebisa mungkin tidak sampai menghapus tugas untuk mengajar. Tempat boleh terpisah, tapi ilmu harus tetap dipersatukan. Jarak dan tempat bukanlah masalah.


Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...