Pembaca

01 November 2015

Ke Pantai Slopeng

Kadang, adanya 1 undangan ke suatu tempat bisa saya pergunakan untuk 2-3 kepentingan sekaligus. Syaratnya tentu adanya waktu senggang dan waktu lowong.  Saya sering mengalimi dan menjalani hal semacam ini. Ibarat pepatah, “sekali medal dua-tiga tempat terlampaui”.

Suatu waktu, saya dapat undangan menghadiri acara yang diselenggarakan oleh lembaga teater UNSURI, Surabaya. Entah mengapa mereka memilih lokasi kegiatannya di pantai Slopeng. Mungkin karena pantai ini, belakangan, relatig sepi dan jarang dikunjungi pelancong. Ya,  Pantai Slopeng yang berada di pesisir utara Sumenep ini erkenal karena gunung pasirnya.

Pantai Slopeng, lama-kelamaan, kalah pamor dengan pantai Lombang yang memiliki verietas unik cemara udang. Belakangan lagi, muncul nama tujuan wisata baru, pantai Badur yang memiliki hamparan pasir putih nan bersih serta sungai kecil yang berair jernih. Mereka yang mandi di laut bisa langsung berbilas di sungai kecil. Belakangan lagi, ada nama lain: Pulau Gili Iyang dengan oksigen terbaik di dunia dan Gili Labak yang apik buat snorkeling. Namun hanya pantai Slopeng-lah yang punya gunung pasir.

Setelah entah beberapa tahun lamanya, akhinya, 25 Oktober 2015 yang lalu, saya berkesepatan sambang pantai Slopeng. Saya mengajak anak-anak dan kemenakan. Sementara saya berlaga dengan rekan-rekan teater Unsuri, anak-anak bermain pasir dan berlarian di bibir pantai. Dengan begitu, saya dapat melaksaakan tugas pada saat anak-anak juga berlibur dengan bebas.

Selama kurang lebih dua jam, acara selesai. Anak-anak pun berkemas. Kami pulang, namun lebih dulu mampir di lapangan Ambunten, arah barat dari Pantai Slopeng. Di pojok lapangan itu, setelah sebelumnya saya mencari tahu kepada penduduk setempat, terdapat penjual pentol ikan. Kami beli beberapa bungkus. Sebagian dimakan di mobil, sebagiannya dibawa pulang.

Maghrib berkumandang saat baru saja kami lepas dari Ambnunten.Akhirnya, kami mampir di tempat Qudsi, Padatar Rubaru, numpang shalat Maghrib. Eh, ternyata tuan rumah masih membonusi kami dengan minuman. Setelah menyeruput, kami pamit pulang, melintasi perbukitan Basoka, Rajun, Campaka, Sa’im, Perigi, dan akhirnya sampai di rumah setelah Isya.


 

09 Oktober 2015

Persiapan Pergi Jauh


Jika mobil baru biasanya menjalani servis rutin ke bengkel resmi, Colt dan mobil-mobil tua yang lain punya kecenderungan berbeda: servisnya “berkala”, yakni “kala” sudah mogok atau hampir mogok. Mengapa ini bisa terjadi? Karena pada umumnya, jarak tempuh Colt itu tidak jauh-jauh amat dalam kesehariannya. Mungkin saja ia dibawa pergi menempuh perjalanan jauh, namun itupun hanya pada saat tertentu saja.

Berdasarkan pengalaman saya selama beberapa kali melakukan perjalanan jarak jauh dengan Colt T-120 (pergi-pulang 800-an kilometer hingga di atas 1000 km), saya berkesimpulan bahwa item/barang berikut ini sangat vital dan perlu dipersiapkan sebelum melakukan perjalanan sebagai antisipasi mogok di tengah jalan. Tentunya, item-item di bawah ini di luar perlengkapan wajib, seperti dongkrak, kunci roda, kunci 10-17 (pas dan ring), dll:

1.    kabel berserabut bagus (yang panjang): antisipasi kabel korslet dan lain sebagainatau  sebaga(u
2.    gunting/alat pemotong
3.    senter atau alat penerangan lainnya, antisipasi mogok malam
4.    ban kipas/dinamo ampere
5.    karet master rem
6.    filter bensin (jika filternya bukan filter bensin bawaan)
7.    pompa bensin cadangan (jika Anda menggunakan pompa bensin elektrik)

Suku cadang lain, seperti busi atau platina dll, tidak dicantumkan di dalam “daftar barang bawaan” ini karena umumnya sebelum berangkat, sopir akan mengecek atau merasakan seberapa sehat item tersebut sebab ia tidak rusak mendadak melainkan bisa diperkirakan saja. Tentu, ada beberapa item lain yang juga disarankan untuk dibawa namun jelas tidak bisa dipasang di sini karena kalau nanti terlalu banyak, Colt Anda bakal seperti toko onderdil berjalan.

30 Juli 2015

Bergembira Naik Colt T120


Hari Senin, 27 Juli 2015 kemarin, saya diminta anak-anak dan beberapa orang keponakan agar diantar ke Rombiya, sebuah desa yang berjarak 4 kilometer dari tempat saya tinggal. Tujuannya adalah mandi di sebuah taman/sumber. Mereka menyebut mataair itu sebagai Taman Rombiya Indah (TRI) dengan maksud agar mirip dengan TSI (Taman Sumekar Indah) yang memang merupakan pemandian untuk umum dan berbayar.

Begitu saya menyanggupi, mereka sontak berteriak ‘hore…’ nyaris bersamaan. Itulah tanda sorak bergembira. Sebetulnya, saya ogah dan males karena badan kurang sehat, lagi pula, saat itu, saya sedang menerima tamu. Situasi menjadi tidak kondusif karena salah satu di antara mereka malah merengenek-merengek minta segera berangkat justru di hadapan tamu itu. Saya jadi pekewuh dan serbasalah. Karena kebetulan urusan dengan si tamu memang sudah beres, maka si tamu paham dan mengerti, segera undur diri. Kami pun bersiap berangkat.

Kiranya, membuat anak-anak gembira itu murah sekali biayanya. Seraya mengingat pesan bahwa merupakan pahala yang besar apabila kita dapat membahagiakan anak-anak, saya teringat kisah Aqro’ bin Habis yang dirasa kurang kasih-sayang kepada anak-anaknya (mohon izin saya sebut sebuah hadis: dalam kitab Riyadus Shalihin, bab “Ta’dhîm Hurumāt al-Muslimîn wa Bayān Huqūqihim wa as-Syafaqah ‘Alaihim wa Rahmatihim”, hadis ke-4, dikisahkan bahwa Nabi saw mengecup Syd. Hasan bin Ali RA. Ketika itu, ada Aqro’ bin Habis di dekatnya. Aqro’ berkata, “Saya punya 10 anak dan tak seorang pun dari mereka yang pernah saya cium.” Kemudian, Nabi menatap Aqro’ lalu bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyayangi, ia akan tidak disayangi.”; H.R. Abu Hurairah, Muttafaq Alaih). Sambil mengingat-ingat hadis inilah saya pun sembari berniat pergi mengantarkan anak-anak pergi mandi, sore ini, dengan maksud hati memnggembirakan mereka dengan cara saya sendiri.




Sumber Rombiya merupakan sumber desa yang kecil, tapi cukup mengairi sawah-sawah dihilirnya meskipun dengan debit air secukupnya. Di Madura, pengairan umumnya memang berasal dari sumber atau mataair karena tidak banyak sungai di sana, bahkan menurut Dr. Hendro Sangkoyo, sungai di Madura itu hanya berupa rembesan dari batu-baru karst yang membujur dari barat ke timur di sisi utara dan selatan pulau Madura, sementara di tengah pulau, tidak ada mataair. Karena itu, Madura bagian tengah cenderung tandus dan lebih kering. Saat ini, ancaman serius kekurangan air di Madura tengah terjadi karena pembongkaran batu karst terjadi secara besar-besaran untuk kepentingan pembangunan.

Saat menunggu anak-anak mandi, saya duduk di wakaf, mushalla kecil yang biasanya dibangun di dekat sungai atau mataair. Dari percakapan beberapa orang warga yang kebetulan ada di sana, saya menyimak bahwa kepala desa setempat tidak memberi izin pengeboran sumur oleh seorang warga sebab dikahwatirkan akan mengurangi debit air sumber. Kita tahu, sumur bor cenderung hanya dimanfaatklan oleh pribadi sedangkan sendang atau mata air digunakan oleh banyak orang. Sampai saat ini, masyarakat Madura, terutama di daerah saya (Sumenep), masih terbiasa mandi dan mencuci di sumber. Ada pula yang mandi di rumah tapi mencuci tetap di sumber. 

Dengan lokasi berbelok yang sempit, saya sempat cemas karena terlanjur masuk ke areal sumber dan tidak bisa berbelok/maju-munjur. Saya membayangkan, nanti, saya harus berjalan mundur untuk mencapai jalan raya, padahal jalannya menanjak dan berbatu-batu. Karena cara ini saya anggap tidak efektif dan berbahaya, saya pun nekat memutar mobil di bawah saja. Untung, radius berbelok (turning radius [?]) Colt bisa sangat ‘nekuk’ (mungkin mencapai hingga 45 derajat), maka dalam keadaan sempit pun, saya berhasil mengubah haluan Colt. Akan tetapi, itu saya lakukan dengan sangat hati-hati dengan cara membuka pintu-kiri-depan sambil sesekali menengok ke belakang karena antara tanah dan sawah berbatas gelagah yang tidak dapat dipantau oleh kaca spion. Sekali kepeleset, mobil akan terguling ke bawah.

Menjelang maghrib, kami puang. Setelah mandi, masing-masing anak saya belikan camilan. Mereka makin senang karena sudah mandi, makan camilan, dan kini pulang. Anda punya pengalaman bergembira seperti ini? Mari berbagi pengalaman. 

24 Juli 2015

Lebaran 1436 H


Lebaran Idul Fitri 1436 Hijriyah jatuh pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2015. Semalam sebelumnya, entah setelah beberapa bulan lamanya, Colt dicuci dan dibersihkan agar juga merasakan kebahagian lebaran. Masa cuma si empunya saja yang bersih-bersih?


Hingga lebaran ke-7, Colt terus saya pakai, nyaris tiap hari. Saya sangat senang pada lebaran kali ini karena ada uang untuk membeli bensin dan ada waktu untuk bersilaturrahmi.





05 Juni 2015

Membiasakan Mengontrol Panel


Beberapa kasus terjadi mogok berat karena mesin kepanasan atau kehabisan oli sudah pernah saya dengar, bahkan langsung dari sumber pertama. Sekali waktu pernah saya alami bareng sepupu dalam situasi ‘nyaris’, saat saya tak sengaja melihat kontrol temperatur mesin Kijang diesel-nya yang hampir menyentuh ‘zona merah’. Beruntung kala itu langsung saya tepuk bahunya dan segera parkir: selang bawah (lower hose) radiator ada yang rembes. Kasus-kasus itu memang dialami oleh mobil selain Colt, namun saya kira penting untuk dipertimbangkan sebagai sikap hati-hati. Istilah sadisnya: mobil yang kehabisan air itu kebangkrutan. Mobil kehabisan oli itu kehancuran.

Kata kunci dari semua kasus ini, jika disatukan dalam satu kata saja, adalah ‘teledor’. Bagi sopir yang akan mengemudi kendaraan yang bukan pegangannya setiap hari, mestinya ia tanya ini-itu dulu kepada si empunya atau kepada sopir aslinya. Bagi sopir sendiri, jika ia sudah tahu ‘watak’ mobilnya, bisa saja dia langsung mancal untuk jarak pendek tetapi tetap wajib cek (terutama) air dan oli untuk perjalanan jauh.

Dari kasus yang saya himpun, keteledoran itu biasanya bermula dari sebab tidak biasa sesekali memperhatikan panel penunjuk tempteratur dan lampu oli. Memperhatikan panel itu sungguh penting, tidak harus menteleng atau mendelik, tetapi sesekali saja, seperti ketika kita melirik jaruk penunjuk bahan bakar jika melakukan perjalanan jarak jauh. Bahkan, andaipun penunjuk itu sudah mati dan rusak, kita bisa masih ‘mengontrol dengan perasaan’ meskipun cara ini sungguh berbahaya. Untuk temperatur Colt, dapat dikontrol dari suhu panas mesin di daerah betis pengemudi, ya, kira-kira sendirilah (terkecuali jika Colt Anda sudah dilapisi peredam panas yang super). Untuk oli sebetulnya juga bisa diperkirakan dari bunyi mesin. Jika Colt Anda mendadak mengaum seperti Panther, maka berhenti dan mulailah curiga.

Mari, biasakan cek mesin ketika hendak bepergian, terutama untuk jarak jauh, juga pengontrolan kaki-kaki, kabel, dll, secara berkala. Biasakan sesekali melirik panel pada saat menjalankan mesin. Ngontrol pada saat mogok dan rusak itu sungguh tidak enak. Iya, kan?




18 Mei 2015

Kontrol Air dan Oli


Beberapa bulan terakhir ini, saya mendapatkan kasus mesin ‘mulet’, yakni bercampurnya air (radiator) dengan oli. Penyebabnya, kemungkinan mesin terlalu panas sehingga pak silinder bocor dan air pun merembes. Mesin terlalu panas, umumnya, disebabkan oleh kekurangan air radiator. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Dari kasus yang saya dengar, penyebabnya adalah kelalaian pengemudi disebakan oleh tidak adanya perhatian terhadap panel/penanda panas mesin. Memang, mereka yang mengaku baru saja mengalami kejadian tersebut bukanlah pengguna Colt, melainkan kendaraan yang lain, namun ini penting diperhatikan sebab kasus tersebut dapat terjadi pada kendaraan apa pun. Ia perlu diketahui bagi kita semua agar lebih berhati-hati.

Penanda panas dan penanda isi tangki bensin, control strum/charge (CHG) ataupun oli (OIL) itu dibuat bukan untuk hiasan, melainkan untuk kelengkapan dan keamanan. Semua itu dipasang untuk diperhatikan. Artinya, pada saat kita melakukan perjalanan, sesekali ada baiknya kita memperhatikan itu, mengamati jika perlu (seperti kontrol temperatur mesin yang pergerakannya sangat lambat, tidak seperti lampu kontrol ‘charge’ yang dapat dipantau oleh mati/tidaknya lampu)

Pernah pula saya temukan kasus seorang pengemudi yang membawa kendaraan mobil bermesin diesel yang pada akhiryna mogok karena tidak memperhatikan lampu kontrol oli. Sudah tahu lampu olinya menyala dan setelah itu bunyi mesin menjadi aneh (kasar; sebab kekurangan oli) tetap saja mobil tersebut dibuat jalan. Storing juga pada akhirnya.

Barangkali ini hanya hal sepele, tapi perlu sesekali kita lihat demi menjaga situtasi yang tidak diinginkan.

Bagaimana dengan Colt yang notabene sudah tua dan terkadang kontrol-kontrol itu sudah tidak menyala? Pernah suatu saat saya bertanya kepada salah seorang bengkel tua. “Pak, andaikan kontrol panas mesin Colt itu mati, adakah cara lain menentukan apakah mesin itu kepanasan atau normal?” Jawabannya gokil dan enteng: “Jika panas mesin terasa hingga betis dan pantat Anda ikut-ikutan terasa panas, nah, baru mesin Anda tidak normal.”

27 Maret 2015

Silaturrahmi dalam Rangka Silaturrahmi: 97 Kilometer = Rp 0,-


“Sudah, Kak, Sampeyan berangkat saja. Saya sama adik.”
“Adikmu di mana?”
“Masih di Pondok Bata-Bata, nanti akan ke sini untuk menjemput saya.”

Saya berangkat berdua, namun bukan dengan istri, tapi dengan keponakan. Hari itu kami mau pergi ke rumah saudara ‘3 popo’ (sesaudara kakek) yang belum pernah saya kunjungi sama sekali sebelum ini, di Ambunten, pesisir utara Kabupaten Sumenep. Kebetulan, di hari Selasa (17 Maret 2015) tak ada kegiatan. Penentuan hari itu untuk perjalanan saya putuskan beberapa hari sebelumnya.

Colt bergerak pelan. Suspensi terasa begitu empuk sebab pujian Affan, keponakan saya yang duduk menyebelah di kursi depan. Saya meneguhkan pujiannya dengan menjelaskan bahwa mobil ini baru saja ganti karet bodi.

“Pantesan lebih empuk dari Pajero yang pernah saya naiki.”
Bagi saya, pujian Affan itu tidak penting. Yang utama adalah bahwa wajahnya sumringah naik Colt meskipun udara kabinnya jelas panas karena tanpa pendingin. Nikmati suhu yang panas tapi asli daripada dingin tapi palsu, Nak!



Titik pertama yang dituju adalah rumah Kak Wasik di Daramista (transit pertama). ‘Pantum’ (jarum penunjuk) bensin ada di garis bawah. Ini ditaksir cukup untuk membawa mobil hingga ke kota. Mobil saya jalankan pelan saja, 50-60 km/jam. Kami tiba di rumah Wasik menjelang pukul 10.00. Dia dan istrinya masih ada di kandang sapi belakang  ketika saya panggil-panggil salam. Kami lalu dipersilakan duduk, disediakan teh dan gorengan.Lama juga ternyata kami bertukar basa-basi sebab baru pukul 11.00 kami dapat izin pulang setelah dilayani mi goreng telor.

“Kok jadi merepotkan begini?” keluh saya sebagai bumbu bicara.
“Kebetulan ada. Kalau nggak ada, nggak bakal kami suguhkan,” balas dia berdiplomasi.

Saya membeli tahu 3 papan (nama satuan yang dapat dibagi menjadi 54 atau 64 kerat untuk dijual eceran) yang kemudian dimasukkan ke dalam 3 bak yang sudah saya sediakan. Tiga bak ini saya siapkan untuk oleh-oleh. Saya jadi rikuh karena Wasik tak mau jika saya tukar tahunya dengan uang yang sudah saya siapkan.

Kami pun berangkat kembali. Udara panas di luar merembes ke dalam. Lagu-lagu dari Wadi Asshafi dan Asma’ Munawwar-lah yang berusaha mendinginkannya. Saya merasa ‘tumben’ dengan perjalanan kali ini, tidak mengalami goncangan batin sebagaimana biasanya. Tak ada gangguan serius di jalan berupa pengguna lalin yang sembarangan, memotong jalur, dan berkendara serampangan. Hanya ada satu pengecer minuman yang berhenti tanpa sein. Hanya itu gangguannya, juga beberapa hambatan lalu lintas berupa perhentian di tengah jalan karena ada amal masjid (Saya berdoa semoga masjid yang mereka bangun kelak menjadi masjid yang megah makmum dan jamaahnya, bukan masjid yang megah tapi dalam shalat 5 waktunya hanya terisi 2-3 orang saja).

Kami tiba di kediaman K. Mut’am menjelang duhur. Jauh hari sebelumnya saya sudah kencan dengan Haris Santoso, salah seorang guru SMAN 1 Ambunten, untuk pergi ke sana bersama-sama. Begitu saya tiba di luar pagar sekolahnya yang bersisian dengan jalan, saya panggil dia dari TOA mobil yang ada di balik bumper. Seorang lelaki lebih tua tampak tersenyum setelah mendengar ada mobil tua yang bisa bicara, bahkan bisa panggil-panggil salam.

Silaturrahmi itu kini benar-benar terjadi. K. Mut’am bertutur tentang kehidupan, pengalaman, mondok, cari ilmu, mendidik anak, dan banyak hal tentang hidup. Saya, Affan, Haris, mendengarkannya dengan saksama. Kisah-kisah bagaimana ia memilih jalan sebagai musisi gambus, pengalaman memberikan pelatihan elektronik dasar untuk anak-anak desa, bahkan hingga kehidupan religius, semua itu ditukarceritakan dengan saya dan dua orang lain. Kami asyik dalam wicara hingga tak terasa waktu sudah lewat pukul 14.00.

Perbincangan begitu seru dan tak terpisah jeda kecuali saat disajikannya ‘hidangan khas desa yang mewah’; sayur marunggai, tongkol, dan sekian banyak lauk yang lain. Itulah suguhan ‘khas desa’ yang melimpah ruah karena banyak sekali jenisnya. Mengapa bisa begini? Sebagian orang desa masih banyak yang percaya, tamu itu tidak boleh disembarangkan karena ia membawa rezekinya sendiri yang dititipkan Tuhan melalui dapur tuan rumahnya jauh hari sebelum dia datang.

* * *

Tujuan berikutnya adalah K. Suhail, adik K. Mut’am, namun sebelum pergi ke sana, saya melaju ke SPBU dulu untuk isi bensin sebab perut sopir dan perut penumpang sudah terisi duluan, maka tangki Colt juga harus diisi agar tidak cemburu. Setelah isi bensin 100 ribu, dari stasiun pengisian bahan bakar umum itu mobil saya arahkan ke Masjid Tingkat, Masjid Annur, Ambunten, sebab kami belum shalat Duhur. Agak buru-buru, mobil lebih cepat dipacu.

Sehabis shalat, saya mengintip rumah Amir yang berada persis di seberang masjid. Pintunya tertutup. Andai ada orang duduk di luar, barangkali saya mampir di situ sebentar. Tapi, biarlah, toh akhir Pebruari lalu saya sudah main ke situ.  “Lain kali saja,” begitu batin saya. Maka, kami pun melanjutkan perjalanan ke Kampung Pandan, tempat K. Suhail tinggal, tak jauh dari masjid yang terletak di Ambunten Tengah itu.

Menjelang adzan ashar kami tiba di sana, disambut dengan kopi gelas besar. Dalam hati, saya langsung membuat perkiraan, “Pertemuan ini bakal lama kalau tanda berakhirnya pertemuan adalah ketika kopi habis dan tinggal ampasnya.”

Seperti tadi, K. Suhail pun menuturkan kisah-kisah hidup dan peri kehidupan, termasuk bagaimana ia terlibat dalam dunia seni musik, khususnya gambus; bukan sekadar hobi, bukan karena profesionalisme, melainkan lebih dari itu. Menurutnya, pilihan ini adalah bentuk dan cara berkomunikasi. Tak hanya seputar musik, kami juga menyimak kisah ‘pergolakan’ batinnya atas sikap politik, sejarah, budaya, dan banyak hal yang asasi dalam hidup, menyangkut sikap dan sudut pandang. Jika tadi K. Mut’am rasan-rasan soal rendahnya penghargaan pemerintah (atau bahkan masyarakat) terhadap seniman dan budayawan, K. Suhail menjelaskan tentang pernak-pernik tradisi yang membentuk peradaban Islam hingga menjadi unik dan diterima di berbagai lapisan masyarakat. Wawasan yang luas membuat beliau mampu berdiskusi tentang apa pun, termasuk perihal tayub dan pakem-pakemnya yang berubah, saronen, kejung, burdah, ba’-gar-bis, hingga tradisi ‘sintung’ yang eksotik dan kini di ambang punah.

Sebagaimana K. Mut’am, K. Suhail juga masyhur sebagai mutrib (musisi dan vokalis sekaligus). Jika tampil untuk pentas, beliau tidak mau asal-asalan. Salah satu buktinya adalah bahwa untuk ‘string section’ beliau memainkan 5 orang atau lebih pemain biola, suatu hal yang jarang ditemukan pada kelompok gambus mutakhir tanah air yang umumnya memasrahkan bunyi string tersebut pada keyboard saja.

***


Setelah disugui ikan bakar, kami pamit. Bersalaman, sesudah itu kami pulang dalam keadaan kenyang lahir batin. Tak ada pelajaran yang lebih berharga daripada kisah-kisah teladan, dalam apa pun bentuknya, baik itu tentang konser, tentang tayub, tentang politik, asalkan semuanya bermuara pada keimanan. Itu kesimpulan yang saya

Hari sudah sore. Matahari turun. Haris masih membuntuti kami dengan sepeda motor. Kata Haris, tadi sebelum berangkat, saya diminta bertandang ke rumah Faqih Ali, kenalan saya yang kebetulan juga temannya, sesama guru di SMA Ambunten. Faqih tinggal di Tambak Agung. Jika tadi kami ke Ambunten lewat Keles, maka sekarang kami pulang lewat Rubaru. Haris mengawal perjalanan kami ke sana.

Sebetulnya, bertandang ke rumah Faqih tidak terjadwal sebelumnya, dan karena itu saya tidak bawa oleh-oleh. Ini terjadi gara-gara komentar tak sengaja yang saya tulis pada status Facebook-nya beberapa hari yang lalu, pemberitahuan bahwa saya akan ke Ambunten pada hari Selasa: ‘komentar berakibat tandang’.
Sebelum tiba di Sungai Tambak Agung, kami belok kiri, masuk beberapa puluh meter. Colt diparkir di dekat kediaman Kiai Fadli. Rumah Faqih ada di belakang kediaman kiai yang merupakan wakil talqin tariqah Qadiriyah Naqsyabandiah tersebut.

Disambut bapak mertuanya yang sepuh, Bapak Muhammad Nur Sayuthi, kopi sudah tersedia setelah kami shalat ashar berjamaah di sebuah mushalla. Tempat itu konon dibangun di atas petilasan Empu Supo, seorang ahli keris—yang konon menurut si empunya cerita—merupakan pesuruh Sunan Kalijaga. Orang Tambak Agung meyakini kalau sebagian mereka adalah keturunan empu ini.

“Ini adalah ‘Pa-(gerbusan)’ Empu Supo,” kata Faqih seraya menunjuk sebuah batang kayu besar seukuran dekapan tangan anak kecil yang telah dibolongi bagian tengahnya. Alat tersebut adalah ‘seropong’ besar yang berfungsi sebagai penyembur angin, semacam pompa, untuk menggelorakan api buat menempa besi. Menurut Arief ‘Ayik’ Wibisono, seorang teman di Pamekasan, Empu Supo merupakan empu dari era Majapahit akhir. Dia mengabdi pada Sunan Ampel, pencipta keris Sengkelat yang bahan asalnya dibawa oleh sang Sunan. Keris tersebut akhirnya diberikan kepada Prabu Brawijaya, di mana pada akhirnya sang empu mengabdi di sana. Kata dia, petilasan Empu Supo itu banyak, salah satunya di Tambak Agung.

“Mohon jangan lebih dari kopi. Kami sudah kenyang,” pesan saya kepada Faqih.

Faqih tersenyum. Memang, di banyak tempat—jika bukan semuanya—di Madura, tuan rumah belum merasa sah jika belum menyuguhi tamunya dengan makanan (baca: nasi). Benar ternyata, baru seseruputan kopi, tiba-tiba Faqih membawa nasi, lauk, air, dan perlengkapan makan lainnya.

“Bagaimana ini Faqih, kok tidak sesuai perjanjian? Tadi ‘kan saya sudah bilang kalau kehadiran kami jangan bikin repot kayak gini...” Ini suara saya.
“Wah, kami sangat kenyang,” Affan menimpali.
“Ibu ingin menghormat tamu katanya,” jawab dia.

Nah, jika itu alasannya, kami tak bisa mengelak. Apa pun yang terjadi, kami makan lagi. Pagi sampai sore ini, perut saya sudah 5 kali kemasukan; nasi di rumah (08.30), mi di K.Wasik (10.30), nasi di K. Mut'am (13.15), ikan bakar di K.Suhail (16.00), dan sekarang nasi Faqih (17.20). Tak masalah, telan saja pelan-pelan.

Setelah berjamaah maghrib, kami izin bertolak, pulang menuju Rubaru untuk menjemput istri dan anak. Pak Suyuti bahkan ngotot ngamplopi kami. Saya berkelit seperti melepas pamor dalam beladiri. Pak Sayuti lebih sakti, ia menggunakan jurus bahwa amplop itu sebagai sedekah (yang juga ada dasar kepercayaan sebagai tolak bala) dan saya tak bisa menangkisnya lagi.

Saya pulang dengan perasaan sensasi 80-an, yaitu masa di mana orang-orang tidak sesibuk sekarang, leluasa bertandang ke rumah famili dan teman sehingga silaturrahmi benar-benar bermakna silarurahmi, bukan silaturrahmi dalam rangka yang lain; dalam rangka pinjem duit, dalam rangka tim sukses mencari dukungan, dan dalam-rangka dalam rangka lainnya.

Dalam perjalanan pulang, saya teringat hadits dari Sahabat Anas r.a.yang menyebutkan bahwa Rasulullah berpesan, “Siapa ingin dilapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, maka hendaknya bersilaturrahmi” (HR. Bukhori-Muslim; Riyadus Shalihin, bab Birrul Walidain wa Silatul Arham, hadits no.8). Kami tiba di rumah Khatir setelah berpisah dengan Haris di halaman. Dia pulang duluan karena kami berdua masih perlu duduk-duduk dulu walaupun sebentar.

Di Bunbarat (Rubaru), Khatir masih sempat menawari kami makan malam sebelum dia saya berikan penjelasan seputar suguhan yang sudah kami makan sejak pagi menjelang siang tadi. Semua sudut dan rongga-rongga perut sudah penuh. Dia lalu maklum dan hanya menyediakan kopi saja sebelum akhirnya kami pulang selepas adzan isya.

Masih dengan kecepatan yang sama seperti tadi ketika berangkat, Colt berjalan dengan tenang karena semua penumpang sudah kenyang. Bensin masih di atas strip terbawah. Jalan tidak seramai tadi. Apalagi malam, bahkan sejak berangkat, saya tak membunyikan klakson sama sekali karena tak ingin orang mendengar kebisingan untuk sesuatu yang memang tidak benar-benar perlu mereka dengarkan. ‘Minta perhatian orang lain’ sebagaimana tugasnya dijalankan oleh klakson jika itu siang hari dapat diperankan oleh kombinasi lampu dekat dan lampu jauh secara bergantian untuk keadaan malam hari. Toh, dengan berjalan pelan, mobil masih mampu dikendalikan tanpa harus minta perhatian orang lain. Kita sendiri yang mestinya lebih hati-hati, itu pendapat saya. Pendapat Anda tentu tidak harus sama sebab juga bergantung dengan medan dan tabiat pengguna jalan di mana Anda berada. Di malam hari begini, dengan lampu Halogen 45 w-55 w untuk lampu dekat dan 90 w-130 w untuk lampu jauh kiranya sudah cukup menerangi jalan, lebih dari cukup bahkan. Karena itu, saya hanya menggunakan lampu jauh (lampu atas) sebatas 2-3 detik saja, khawatir lensa kristal pemantulnya terbakar. Tak ada rasa takut daya tekor sebab aki sudah dipersenjatai 80 amper bekas tukar tambah dengan aki milik Innova diesel.

Setiba di rumah, kepada Affan saya bilang, “Kita sudah berapa kali makan, bahkan oleh-oleh dan bensinnya pun kita tak mengeluarkan uang. Puji syukur kepada Tuhan. Tadi, waktu berangkat, uang saya 10.000. Kini tersisa 5 ribu karena 5 ribunya saya masukkan kotak amal. Rezeki yang nyata sudah terbukti; 97 kilometer, makan 3 kali, oleh-oleh, bertemu dengan banyak orang, kita tak keluarkan duit sama sekali. Itu yang nyata, sedang yang tak tampak kita buktikan di akhirat nanti...”

Sambil memasukkan Colt ke garasi, terlintas sesuatu di dalam pikiran: Nyatanya, rezeki yang dianugerahkan Tuhan untuk orang yang pergi bersilaturrahmi itu bukanlah sekadar rezeki material dan iming-iming janji panjang umur. Sesungguhnya, yang kerap lupa kita syukuri adalah adanya kesempatan itu sendiri, yaitu kesempatan bersilaturrahmi; sebuah rezeki yang bahkan orang sekaya apa pun jika tak memilikinya tidak akan pernah mampu melaksanakannya.




09 Maret 2015

Dupa dan Colt


Aroma dupa dalam colt? Siapa takut.

Dibiarkan selama hampir dua bulan, bau apek mobil terasa tidak nyaman. Ada bau debu dan entah bau apalagi, bau ngengat mungkin. Dulu saya pakai pewangi, sekarang tidak lagi. Saya pilih bau asli daripada wangi namun palsu dan kimiawi.

Oh, ya, kadang kalau colt dipakai bersama istri untuk beli ikan di pasar, seringkali airnya tumpah dan bau amisnya sungguh menyengat. Untuk bau yang semacam ini, kita tak usah cemas. Cukup ambil sedikit bubuk kopi, taburkan, dan insya Allah bau amis itu akan hilang. Namun, untuk situasi seperti yang saya gambarkan, maka cara yang paling baik adalah dengan membakar dupa. Tutup semua kaca, bakar dupa di dalam selama beberapa saat. Wanginya akan bertahan selama beberapa hari karena aromanya menyerap ke pori-pori beludru jok dan plafonnya.

05 Maret 2015

Kangen Colt: Antara Jual Buku dan Aki Baru


“Sampe kangen…”

Itulah kira-kira ungkapan yang saya rasakan sama colt. Ya, betul, kangen rasanya naik colt ketika colt saya perpal sejak akhir bulan Desember 2014 lalu hingga 22 Pebruari 2015 karena tidak ada akinya. Aki yang lama, bekas tukar tambah, sudah soak dan tidak dapat digunakan lagi. Maklum, usianya sudah 3,5 tahun.

Karena ingin beli aki yang baru, saya pun menjual buku catatan perjalanan saya naik colt; sebuah buku yang berjudul “Colt Pariwisata” kepada beberapa orang penggemar colt di Grup Penggemar Colt di Facebook. Tak disangka, buku yang hanya saya cetak 20 eksemplar itu laku semua, hamdalah. Saya pun bersiap untuk mengalihkan dana penjualan buku itu untuk membeli aki baru. Akan tetapi, begitu uang sudah dipegang, banyak keperluan yang datang. Akibatnya, pengalihan dana punya terpecah; tidak melulu untuk aki yang semula direncanakan.

Singkat cerita, saya pergi ke tukang tukar aki. Saya tukar aki saya dengan aki bekas Innova diesel, GS 80 D26L, tentu dengan menambah sejumlah uang rupiah. Karena patok plus (+) berbeda dengan aki sebelumnya, maka harus dibuatkan sambungan kabel yang baru dan dilindungi dengan selang agar aman dari korsleting (lihat gambar).

Begitulah kisah colt saya yang lama perpal setelah lama tanpa aki.


08 Januari 2015

Pompa Bensin: Membran atau Elektrik


Sampai saat ini, saya masih belum menemukan penyelesaian masalah yang mengganggu pompa bensin Colt saya, yakni tidak dapat menyemprotkan bensin ke karburator apabila mesin dalam keadaan idle dan panas. Kasusnya seperti ini: setiap mobil berjalan jauh (kira=kira 20 km), lalu berhenti (mematikan mesin, sebentar), dan ketika mesin dinyalakan lagi, maka pompa bensin tidak dapat menyemprotkan bensin ke karburator (kecuali ketika mesin nyala langsung digas tinggi).

Untuk mengatasi masalah ini, saya sudah mengganti membrannya, katupnya, bahkan terakhir mengganti dengan pompa yang berbeda,  tapi penyakit ini ‘sesekali muncul’. Semua selang sudah dibersihkan. Filter bensin sudah dicek. Tangki bensin sudah diturunkan dan dibersihkan. Sampai-sampai, saya mulai bosan dan hilang akal. Maka, untuk beberapa lamanya, saya bawa serep botol berisi bensin. Tujuannya, ketika masalah seperti itu terjadi, saya akan buka kap karburator (tutup filter) dan menuangkan sedikit bensin, sebab cara ini akan memantik mesin untuk menyala kembali sehingga dapat saya langsung tancap gas dan bensin akan berjalan normal kembali.

Saya berkesimpulan sementara, bahwa masalah ada pada (dalam) mesin, barangkali noken as, dan bukan pada pompa. Dugaan saya, pelatuk pompa membran tidak nyangkut ke dalam mesin ketika mesin dalam keadaan panas. Nah, untuk sementara, saya menggunakan pompa elektrik yang saya pasang, nempel ke tempat aki. Dengan menggunakan pompa elektrik ini, masalah distribusi bensin sudah beres, tapi hakikat dari masalah belum terpecahkan. Saya tetap akan mencari sumber masalah itu sambil lalu saya pakai pompa elektrik ini.


Saya punya keinginan untuk senantiasa menggunakan perkakas dan onderdil bawaan colt, meskipun tidak semua itu dapat dipertahankan karena faktor usia. Termasuk pompa bensin, saya masih tetap mengutamakan pompa manual karena jika mengandalkan pompa elektrik, sekali mati di tengah jalan dan jauh dari toko, maka tidak ada cara diderek atau dicocor bensin langsung dari tabung cadangan (seperti jeriken, dll). Kalau menggunakan membran atau pompa manual, biasanya masalah datang lambat laun, tidak serta-merta. Saya masih akan cari masalah pompa bensin saya. Kalaupun toh nanti masalah akan ditemukan, pompa ini akan tetap saya pasang untuk jaga-jaga.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...