Pembaca

23 Februari 2010

Naik Mobil Kehujanan


Aku berangkat dari dari Guluk-Guluk, rumahku, sendirian menuju Sumber Anyar (Pamekasan) untuk menjemput penumpang, istri dan anakku juga.


Setelah shalat Isya dan usai berkemas, akhirnya rombongan berangkat, tepat pukul 20.27 (malam Jumat, tanggal 18 Pebruari 2010). Gas dibejek, jos ke barat, menuju Surabaya. Kami tidak perlu mikir unutk isi bensin lagi karena sebelumnya tanki telah di-full tank di SPBU Larangan Tokol dengan suplemen oktan booster pemberian saudara Mumung.


Sampai di pintu Jembatan Suramadu, kulihat jam menunjukkan pukul 22.05: rekor yang tidak terlalu buruk: satu jam setengah lebih dikit untuk jarak 145-an kilometer! Maklum, jalanan sepi dan kecepatan stabil dengan kisaran 80-90 km/jam. Di ruas jalan Patemon, Titos sempat memperdayai DAMRI. Aku tekan klakson angin—karena klakson angin Kitahara ini merupakan senjata andalanku—sebagai tanda “salam persahabatan”. Tapi, DAMRI tidak membalas sapaku. Apa tersinggung, ya, karena didahului mobil tua? Entahlah, dalam hati aku membatin, “Wong sama-sama mesin tua, kok…”



Masuk kota Surabaya yang sepi: Kenjeran – Kapasan – Pahlawan, Pasar Turi dan tol menuju Gempol. Kecepatan mobil masih stabil.


Tiba-tiba, sekitar jam 11 lewat, terdengar letusan kecil yang mengernyitkan kening: Dosss! Klepek-klepek… Ban kiri belakang jebol di depan Pasar Porong. Lunglailah diriku. Para penumpang turun dengan lesu. Dengan cekatan, kami bekerja mengganti ban. Baru saja ngengkol roda, hujan mengguyur begitu derasnya. Aku kehujanan. Apa lacur, kepalang basah, sanmisan hujan-hujanan. Baru saja mau pasang ban cadangan, tiba-tiba lampu padam. Gelaplah sekitar, lengkaplah sudah “penderitaan” ini.


Beberapa puluh menit kemudian, pekerjaan selesai!


Kami kembali ke dalam mobil, siap berangkat. Ya, basah kuyup di dalam mobil. Itulah kisah naik mobil kehujanan. Kami baru ganti pakaian di sebuah masjid dekat kota Pasuruan. Setelah itu, rombongan berhenti sejenak di Grati untuk menambal ban serep .


Sepanjang perjalanan dari Porong ke Panarukan, hujan mengguyur tak henti-henti. Dua kali aku sempat limbung sampai turun dari aspal. Maklum, ketika ada genangan air, marka jalan betul-betul tidak kelihatan. Malam yang begitu gelap atau sinar lampu colt T120-ku yang tidak terang? Kubayangkan para pendahulu negeri ini menerima siksaan rodi di era kolonial, membangun jalanan Anyer-Panarukan sepanjang seribuan kilometer. Masya Allah. Tapi, tetap “Alhamdulillah”, masuk Subuh kami telah tiba di Panarukan.


Esoknya, Sabtu 20 Pebruari 2010


Setelah semalam menghadiri acara walimah di PP. Sumber Bunga Sletreng, kami pulang kembali ke Madura. Perjalanan pulang ini juga tidak menyisakan banyak kisah, kecuali rasa kantuk berat menjelang berangkat setelah seharian berputar-putar untuk silaturrahmi (Asembagus, Arjasa, Jati Sari [jalan pintas ke Cerme/Bondowoso], Poka’an, Panji Kidul). Setelah itu, kami bergerak ke Panarukan (lagi) untuk menjemput rombongan yang sebelumnya telah lebih dulu ke sana.


Beruntung, di Panarukan, ada kesempatan buat tidur. Eh, bukan tidur, tapi tertidur (kira-kira setengah jam). Maka, diputuskan, jam 22.30, kami pulang. Perjalanan ini terbilang lancar, karena meskipun waktu itu malam Minggu, namun jalanan tidak begitu ramai. Tiba di Probolinggo, kami berhenti untuk membeli buah tangan, lalu istirahat 45 menitan sejenak di Masjid Sabilul Muttaqin, Tongas: sekalian istirahat, sekalian shalat sunnat.


Dari sana, sebelum berangkat kembali, terdengar kabar bahwa rombongan Man Zai kecelakaan. Mobil Kijang pinjamannya tertabrak sepeda motor yang selip dan nabrak bagian bokong LGX-nya. Sementara rombongan Carry-nya Kak Yasir, justru tersesat saat masuk kota Surabaya karena ada pengalihan jalur dari tol. Man Mahfudh, salah satu anggota colt T-120, menyarankanku agar memperlambat laju kendaran dengan slogan klasik: “biar lambat asal tidak seperti dua mobil di depan...” katanya. Aku mengiyakan, manut. Di samping karena 11 kepala di dalam mobil ini (7 dewasa, 2 anak-anak, dan 1 bayi) telah menyita torsi tenaga mobil tua Titos du Polo ini, juga karena beratnya “penumpang yang tidak tidak terhitung”, yakni barang bawaan hampir separuh dari bobot penumpang secara keseluruhan membuat mobil ini tampak overload yang ditunjukkan dengan kepala yang mendongak.


Hampir Subuh keluar dari tol Suramadu: Titos du Polo sempat mendahului Mazda Vantrend pada kecepatan standar. Tapi, entah mengapa si pemilik VanTrend tampak emosi dan ditunjukkan dengan mendahuluiku dengan kecepatan lebih tinggi. Apakah dia tersinggung karena ternyata mobilnya disalip mobil si tua bungkuk? Ah, "alasan kekanak-kanakan yang ditunjukkan oleh bukan anak-anak”. Apa daya, aku terima saja.


Di jalur ke timur Burneh yang notabene jalannya relatif bergelombang, si VanTrend harus mengalah. Jalannya kuambil alih. Sopirnya mungkin merasa keras dengan tumpakannya, sementara suspensi Titos du Polo ini belum berpengaruh pada kenikmatan penumpang, tetap terlelap di bangku belakang dalam kecepatan 90 km/ jam (senyum-senyum dulu :-).


Hampir pukul 5 pagi kami tiba di Blega (kadang kami terpleset menyebutnya “Belgia” dan Burneh jadi “Brunei”). Setelah Subuh-an dan beli buah di pasar, perjalanan dilanjutkan ke timur, pulang. Kami mampir di Sumber Anyar untuk menurunkan ppenumpang, terus ke Guluk-Guluk dan tiba dalam keadaan selamat di rumah sekitar jam 9-nan. Kulihat, speedometer menunjukan jarak tempuh: 884 kilometer.



Titos du Polo: biar tua tetap setia..




03 Februari 2010

Ban


Salah satu cara modifikasi kendaraan yang paling sederhana/mudah adalah dengan mengubah velg dan ban. Tapi, cara ini tentu tidak serta-merta membuat Titos du Polo jadi lebih enak dalam segala hal. Kenikmatannya mungkin hanya terletak pada mata, bukan pada suspensi dan pantat kita.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...