Pembaca

04 November 2023

Takziyah ke Wongsorejo


KAMIS, 2 NOVEMBER 2023 

subuhan di Tanjung, Paiton
 Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya tidak mempersiapkan apa pun kecuali karena ada uang buat membeli pertalite. Cek ban dan rem masih oke, sekarang tinggal cari sopir pendamping saja. Dan setelah Cak Badi—atas saran Anam—menyatakan siap, keputusan pun diambil: malam Jumat, berangkat!




Pukul 20.30 persis, saya barangkat dari rumah dan mampir di rumah bibi di Pakamaban, tempat di situ pula saya janjian dengan Cak Badi. Walhasil, kami mancal 21.00 lewat sedikit dari sana, beragarak ke barat.

“Katanya ke sana itu 419 km,” kata Cak Badi.
“Kok kamu tahu?”
“Saya dikasih tahu Cak Anam” (yang kebetulan berangkat pagi tadi ke Galekan, Wongsorejo)
“Mayan jauh itu.” Saya menghela napas. 

Alhamdulillah, kami tidak terkendala kemacetan sebab perbaikan Jembatan Klampis. Yang biasanya macet mengular, malam itu tidak terjadi, bahkan hanya tersendat 3-5 mobil saja. Sebab itu, kami perhitungkan, perjalanan bakalan terlalu cepat tiba di tujuan: akan sampai di Nurul Jadid sebelum subuh, padahal saya membawa bekal untuk anak di pondok tersebut dan tentu saja saya baru bisa masuk setelah shalat subuh. Sebab itu, saya ajak Cak Badi lewat tengah kota Surabaya saja, itung-itung nyantai, menikmati panorama kota dan lampu-lampu serta tamannya, juga mengulur waktu, dan menghemat etoll pula.

Dari peretmpatan Jalan Kenjeran (Masjid Al Islah), rute yang biasa adalah kami belok kanan menuju GT Dupak, atau ke kiri, masuk Jalan Soekarno-Hatta dan masuk lewat Tol Tambak Sumur, kali ini, kami memilih untuk melaju secara lurus saja hingga ketemu perempatan besar setelah RS Husada Utama, belok kanan (ke Jalan Dr. Moestopo), tetap di sisi kanan (lewat jembatan; karena kalau lewat yang kiri itu ke Gubeng) sampai mentok lagi (karena ada sungai dan Museum Kapal Selam), lalu belok kiri, mentok lagi dan belok kanan ke jalan Pemuda, lalu belok kiri menuju Darmo, A. Yani, dan masuk Bundaran Waru. Inilah rute terpendek menuju KM 745 atau Simpang Susun Jambangan Waru, akses ke Malang, Probolinggo, atau ke Mojokerto dan Solo.


“Terus tol atau jalan biasa"

“Biasa saja!”
“Baik, turun Gempol!” kata saya.


Kami masuk tol dari KM 745 hanya sampai Gempol saja. Setelah itu, kami turun lewat jalan arteri, jalan Nasional sampai Tongas. Maklum, malam-malam begitu nyaris gak ada bedanya kami lewat di jalan tol dan lewat arteri yang kecepatan rata-rata mobil hanyalah 70-80 km / jam, kecepatan yang bisa dan biasa dilajukan di jalan tol maupun jalan arteri. 


Mengingat masalah jarak, kami yang berangkat dari Sumenep (Madura), ketika sudah melewati Suramadu (atau penyeberangan Kamal-Tanjung Perak tempo dulu) merasa seolah sudah sampai di Jawa, padahal tidak. Contoh, jika saya dari Guluk-Guluk hendak ke PP Nurul Jadid, Paiton, maka jarak tengahnya adalah di Pasar Loak (atau di Ujung/Tanjung Perak jika lewat Kamal). Jika tujuannya adalah PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, maka titik tengahnya adalah di SPBU 54.671.03, Cangkrin, Beji, Pasuruan. Itu baru saya sadari setelah saya ukur menggunakan peta digital dan odometer. 


Perjalanan sedikit tersendat di Bangil. Baru setelah itu, kami masuk Tol Tiongas karena gerbang tol inilah yang paling dekat dari jalan utama. Dan dari sana, kami masuk tol sampai GT Gending yang baru saja dibuka lagi setelah sempat ditutup karena kecelakaan lalu lintas waktu Hari Raya Idulfitri lalu. 



Kami subuhan di masjid Baitis Salam, di Tanjung, dekat akses jalan masuk ke Nurul Jadid. Aturan-aturan di masjid ini menerapkan aturan ala-ala militeristik, pake polisi shof segala, yaitu petugas yang menertibakan shaf jamaah dan biasanya takbir paling akhir di rakaat pertama. Ih, ada saja ide orang.


Setelah masuk ke pondok Nurul Jadid, saya bisa menjemput putri saya di pondok dan dia (serta saudara sepersusuannya) ngotor mau ikut ke Banyuwangi untuk turut serta takziyah. Proses izin selesai dan cus, kami lanjut, jalan lagi. Saat itulah terasa, bahwa Colt ini terasa sesak setelah ada 9 kepala di dalam mobil. Sepertinya saya harus punya Pregio atau L300.


Kami sarapan nasi pecel di Besuki. Bibi saya mau mentraktri, tapi saya menolak. Dia memaksa, saya ngotot bilang tidak. Akhirnya, saya pun membayar, hanya 85.000. Setelah itu, kami jalan lagi. Dan di kota Situbondo, saat saya yang mengemudi, tiba-tiba ada sepeda motor yang menyejajari kami.
“Keh Faizi?” tanya dia saat posisi kami sudah sejajar: dia di atas sepeda motor, saya di mobil.
“Iya.”


Langsung saya menepi. Kami bersalaman dan sebentar saja, kami berpisah setelah dia nitip duit, menggantikan uang nasi pecel yang saya beli barusan. Ya, Allah, belum salat duha saja sudah dibeginikan hamba ini. Terima kasih, ya, Allah. 


***

Kami mengikat janji dengan Paman Baidawi yang datang dari Jember. Rencananya, kami mau takziyah bersama, masuk ke lokasi bersama. Dibuatlah janjian di ‘rest area’ (dikasih tanda petik karena tidak resmi, hanya tumpukan warung dan lahan parkir di bahu jalan) Alas Baluran. Bertepatan di kordinat yang dijanjikan, begitu saya bersiah karena tampak Paman Baidawi menggubit di depan, nah, dari arah depan, sebuah Innova juga datang dalam waktu bersamaan, sein kanan, menepi ke kiri, sejajar dengan kami. Eh, ternyata yang datang Anam. Dia baru datang takziyah dan saat itu mau pulang. Kami tidak janjian dengan Anam tapi dia titen saja sama kendaraan saya dan sebab itu dia berhenti di sana, di tempat yang sama.  
Tiba di PP As-Syafaah, Galekan, Wongsorejo, Banyuwangi, jam menunjuk pukul 10.00. Tak terduga, di sana ternyata sudah ada Mbak Ateng dan Bi Mahmudah, yang rupanya menggunakan mobil yang tadi menyalip kami di dekat Paiton dan sudah saya curigai sebelumnya.  


Sore kami pulang. Tidak ada catatan dalam perjalanan pulang ini karena pasti sudah seperti biasanya. kami berhenti di pasar Blega untuk beli buah sebagai oleh-oleh. 

beli buah di Blega




Hanya ada satu momen menegangkan di Pademawu, yaitu di daerah Sumedangan, titik timur daya kota Pamekasan. Saat itu jam 3 pagi, setelah saya ngantar bibi di Jarin, ada sepeda motor yang ngebut dan oleng lalu nyaris menabrak saya. Rem paku, mendadak, dan semua penumpang bangun, terkejut lalu bertanya, ‘ada apa?’. Saya bilang, ‘mungkin ada anak mabok.’


Ternyata, kecurigaan saya terjawab setelah kami melewati Tambung dan kembali masuk  ke jalan Nasional 21, ruas Pamekasan-Sumenep di daerah Somber Nyamplong. Ada tiga orang ada duduk berjongkok dengan tangan di belakang leher. Beberapa orang polisi tampak mengepung mereka. Saya menduga, mereka baru saja main balap liar. Dan mungkin saja, satu di antara mereka itulah yang tadi nyaris menabrak saya, saat melaju kencang dari arah depan, tiba-tiba serong kanan, menjurus ke arah mobil saya. Untunglah, saya tiba di rumah dalam keadaan selamat, beberapa menit setelah azan subuh.

29 Oktober 2023

Kopdar Colt T120 Triwulan Korwil Jatim di Bangkalan

Acara kopdar triwulan Colt Jawa Timur diletakkan di Madura. Penyelenggaranya adalah MCT 120 & BMC. Saya diundang hadir oleh Mas Sugeng (Mas Erwien mengingatkannya lagi tadi malam). Acaranya adalah hari ini, 29 Oktober 2023, yang sayangnya, kegiatan saya di hari Ahad ini  ada empat, berjauhan pula tempatnya: walimah Maulidia & Wardani, Rizal dan Rofi di Payudan dan Nangger (Guluk-Guluk), acara seminar  IAA di Hotel Elmi (Surabaya), dan kopdar triwulan di Warung Pote (Poter, Bangkalan). Dan semua acara itu terjadwal pukul 08.00 WIB.


Selesai menghadiri dua acara pertama, saya pulang duluan, tidak bareng ibu dan saudara yang juga hadir. Saya sudah mewanti-wanti dengan cara membawa sepeda motor agar bisa segera berangkat ke Bangkalan. Pukul 09.52 saya baru bisa keluar dari pekarangan rumah dan menghampiri Anam dan Cak Badi di Pakamban. Habis itu, kami cus ke barat.

Di jalanan yang lumayan padat, kami melaju santai, biasa saja, tidak ngoyo, karena sudah yakin tidak bakal nututi acara, lebih-lebih ada aral perbaikan Jembatan Klampis. Kemacetan di sana minimal 30 menit, atau satu jam kalau apes, bahkan bisa lebih.


Benar ternyata, kami kena macet 30 menitan lebih. Rasanya, matahari berada di ketinggian sepenggalah saja di atas kepala, sejenis pengantar imajinasi untuk membayangkan suhu di Padang Mahsyar, kelak. Ngeri sekali dampak perubahan iklim ini, Kawan. Tigapuluh menit itu tergolong lumayan lama ketimbang satu jam, yakan?

Di Galis, saya berpapasan dengan Kuryadi dan tak jauh di belakangnya ada Ainur Rofiqi. Kuryadi kasih aba-aba lampu proji-nya, Ainur pakai isyarat klakson.

"Wah!" saya berseru, "ini pertanda bahwa banyak kawan yang sudah meninggalkan lokasi, termasuk Pak Benta dan Mas Fadli."
"Apa sudah selesai?" tanya Anam yang berperan sebagai pengemudi."Sepertinya sudah." Saya menduga-duga.  "Tidak apa-apa, lanjut kita."

Akhirnya, kami tiba di sana pada saat orang tidak sedikit. Kami bertemu dengan kawan-kawan panitia dari Bangkalan, makan, basa-basi. tidak perlu berlama-lama di sana karena urusan sudah selesai, paling hanya 25 menit saja kami di Warung Pote. Setelah itu, kami pamit pulang. 

Kami melaksanakan shalat asar dan duhur di Masjid Baiturrahman, Dumajah, supaya pulang ke timur sudah lepas dari tanggungan kewajiban paling prinsip ini. Masjid ini tak berada jauh di timur Warung Pote. Malam Sabtu kemarin, 27 Oktober 2023, saya juga mampir shalat di sana.


Saya membawakan pulang titipan Khatir, berupa 5 kursi lipat buatan mebel Sunan Kalijaga Ngawi dan juga batu-batu Merapi yang dibawa oleh Pak Benta untuk saya letakkan di halaman rumah. Semua itu masih terangkut di dalam kabin dan tanpa perlu menaikkannya ke rak atas. Atas pertimbangan ini pula, rasanya melanjutkan perjalanan ke Surabaya demi setor muka kepada kawan-kawan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang berkongres dan berseminar di Hotel Elmi hari ini sudah tidak memungkinkan lagi.


Saat pulang, di jembatan Jrengik, kami kena macet lagi, pake acara dua tahap pula, duh. Antrian dari timur alamaaaak panjangnya. Ekor antrian sampai di pertigaan Torjun arah Pangarengan, sekitar 3 kilometer. Saya merenung, jika bukan karena alasan silaturahmi dan menyambut baik undangan mereka, maka perjalanan sejauh 118 km x 2, berjibaku dengan suhu udara yang teriknya masya Allah, serta kemacetan panjang di Jembatan Klampis Jrengik akan terasa percuma saja.

03 September 2023

Dikira Dekat, Ternyata Jauh

Hari ini saya pergi ke rumah Kiai Badri. Saya datang untuk menghadiri undangan beliau, menyambut calon besan yang datangnya dari omben, sampang. Adapun acaranya adalah acara pertunangan putranya, Mahas, dengan putra Kiai Fathor, Nuril.

Saya berangkat dari rumah selepas shalat duhur. Perjalanan molor karena jalan penuh sesak. Sulit sekali menjalankan lebih dari 50 km / jam. Entah kenapa kok lalu lintas sangat ramai tadi siang. Akhirnya, berangkat dari dusun saya Sabajarin (Guluk-Guluk, Sumenep, saya tiba di Jarin (Larangan Tokol, Pamekasan) pukul 13.25. jarak 37 km ditempuh nyaris satu jam setengah. Oh, lelah.

Selepas acara, pukul 16.00, saya pulang, tapi ada paman dan bibi serta mertua yang menumpang. Lanjutlah saya ke Giring, kecamatan Manding, dan tiba pukul 18.00 di sana. Setelah shalat maghrib, saya langsung putar balik, pulang, karena ada acara undangan tahlil atas kewafatan H. Rofiq, teman kecil saya yang wafat 100 hari yang lalu.

Bersyukur karena ternyata saya masih bisa nututi acara meskipun sebetulnya sudah pesimis. Tak terasa, tubuh kok terasa lelah. Iseng-iseng saya hitung, ternyata jarak tempuh saya dari siang sampai isya ke dua tempat hingga tiba kembali di rumah adalah 132 kilometer. Setelah saya hitung  dengan jarak lurus, eh, ternyata sama dengan perjalanan dari rumah saya ke pintu jembatan Suramadu, pantas saja cepek. Wira-wiri jarak dekat tak terasa jauh, tapi tetap terasa capek.




02 Agustus 2023

Ke Jember, Situbondo, Probolinggo Dibayar Tunai



Rencana dua bulan yang lalu, dari Jogja langsung ke Jember yang gagal, akhirnya dapat dibayar tunai sebulan setelahnya: 26 Juli 2023 

Saya berangkat pukul 21.30, malam Kamis itu, setelah mengatur ulang rencana perjalanan karena perubahan mendadak. Pasalnya, tiga anak yang sedianya mau ikutan ke Jember, kok, mendadak mengundurkan diri dan memilih masuk sekolah saja. Dua anak terakhir ikut-ikutan yang tertua. Maka, anggota rombongan pun berubah, yaitu saya, istri, anak termungil, dan seorang santri. Adapun pembantu pengemudi—yang notabene nanti bakal dominan—adalah Cak Badi.

Cak Badi ini baru kedua kalinya bareng saya. dia menggantikan Anam yang agaknya mau undur diri setelah menikah. Saya memang pilih-pilih untuk diajak tandem menggunakan Colt karena meskipun bisa mengemudi, tapi tidak semuanya punya passion untuk menjalakan Colt T120 ini. Cak Badi adalah satu di antara yang sedikit itu karena dia memang punya Colt di rumahnya.

Cak Badi bergabung dari Pakamban, dari lokasi yang dekat dengan rumahnya. Konon, pengalaman kali ini, yaitu perjalanan ke Jember, Situbondo, dan Paiton, adalah pengalaman pertamanya sejak 10 tahun terakhir. Sejauh ini, rute-rute mengemudinya rute barat, seperti ke Kediri atau Salatiga, tidak seperti pada umumnya orang Pakamban yang aksesnya cenderung ke Probolinggo-Jember mengingat banyak sekali orang Pakamban yang merantau ke area Tapal Kuda, khususunya Kraksaan dan Paiton. 

“Biar saya dulu yang nyetir,” kata saya kepada Badi, sembari tetap duduk di belakang kemudi, “sampai batas ngantuk!” 
Ketika mencapai Jrengik, saya mulai mengantuk dan saya serahkan stir kepadanya dan saya pun tidur lelap. Saya bangun persis ketika mobil masuk ke ruas Jalan Kedungcowek, selepas Jembatan Suramadu.
“Wah, dari tadi, saya enggak bangun sama sekali, ya?" tanya saya pada Cak Badi, mengonfirmasi.
"Sepertinya enggak."

Saya cek jam digital di ponsel saat kami melewati gerbang tol Dupak III, ruas tol yang dibangun paling lama, yaitu koneksi Ujung Perak-Gempol (kalau tidak salah sudah terhubung sejak tahun 1986). Sehabis menggesek kartu, saya melirik jam: pukul 01.00 percis. Dengan kata lain, sudah 3,5 jam perjalanan kami dari rumah.

Dengan berjalan santai di bawah kendali Cak Badi, Dupak III – Kejapanan, sejauh 45,3 km, ditempuh 34 menit. Lalu, dari Kejapanan ke GT Probolinggo Timur, dengan bentang jarak tol 153 km, perjalanan ditempuh kurang lebih 65 menit. Kami tiba di Leces pada pukul 02.38. Tapi, seperti dikhawatirkan, Leces ternyata macet, meskipun tipis-tipis. Untuk melewati kota kecil itu, kami buang waktu sekitar setengah jam lamanya. Kemacetan kali ini disebabkan oleh perbaikan jalan, bukan kemacetan penyerobotan yang biasanya terjadi manakali ada banyak truk pasir yang melintas dan lelet saat tanjakan. 

Sampai Jatiroto, jalanan masih lancar. Rencana semula mampir di Masjid An-Nur yang lampu-lampunya meriah pun digagalkan dan kami memilih Masjid Asasut Taqwa yang terletak tak jauh di sebelah timurnya (saya penasaran, kedua masjid yang sama-sama besar ini hanya berjarak 318 meter kalau ditarik lurus berdasarkan perhitungan satelit Wikimapia). Akan tetapi, karena azan subuh masih belum berkumandang dan hanya ada satu orang takmir yang tampak bersih-bersih di dalamnya, kami lanjutkan perjalanan ke timur. Akhirnya, kami pun parkir di halaman Masjid Al-Baiturrohman, Pecoro, subuhan di sana.
Perjalanan dilanjutkan ke Ajung, menuju rumah Paman Baidawi. Ancer-ancer dikasih tahu: “jalan dulu sampai perermpatan besar Mangli, lalu belok kanan ke arah Jenggawah.” Benar! Setelah 5,5 km, ada masjid eksotis yang letaknya tepat di jalan raya, di samping sungai pula, yaitu Masjid Baitul Ijabah Klompangan. Sudah sampai situ? Belum, dari masjid tersebut, kami ambil kanan, masuk ke jalan kecil, ke arah barat sejauh 2,3 km, menyusuri sungai yang tampak sangat rapi dan sepertinya buatan Belanda, seperti dam-dam di daerah Lumajang pada umumnya. Nah, setelah ‘ketemu’ Masjid Darussalam , maka itu tandanya lokasi tujuan tidak jauh lagi, hanya 300-an meter di selatannya, 300 meter tepatnya ke titik kordinat MI Khairiyatul Amin, titik tujuan kami di Jember. 

Dari pukul 6 sampai pukul 4 sore kami di sana. Paman Baidawi merupakan paman dari istri saya. Hari itu, kami beranjangsana. Mereka mengajak saya ke Puslit Kopi dan Kakao yang terletak tak begitu jauh dari rumah beliau. Kami naik kereta kayu, mengelilingi perkebunan kopi dan cokelat, melewati hutan karet dan tentu saja sembari membeli buah tangan untuk dibawa pulang ke Madura. 

*** 

Sore hari, setelah upacara pamitan dan foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Hari itu, Kamis, 27 Juli 2023 itu (atau 9 Muharram 1445 H), saya targetkan singgah ke empat tempat. Sementara hari sudah sore dan baru satu tempat yang berhasil disambangi. Kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi bibi saya, Zainah, di Dukuh Mencek, yang rumahnya bersebelahan dengan Masjid Hasanul Islam

Menjelang azan maghrib, saat sudah tarhim, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Situbondo: kunjungan takziyah ke Paman Masrur (Malung) yang wafat Selasa, 18 Juli lalu. Rencana semula, kami mau takziyah pada hari ketujuh, yaitu Senin, 24 Juli. Entah kenapa, halangan datang silih berganti sehingga saya gagal berangkat. Beruntung, akhirnya takziyah terlaksana meskipun mundur 3 hari dari rencana semula. Kami pun disambut putra almarhum dan juga istrinya, di Dawuhan, di rumah duka, yang lokasinya terletak di belakang toko Griya My Moon Store, 1 km persis utaranya lampu merah Alun-Alun Kota Situbondo. Ancer-ancernya adalah; 1000 meter dari lampu merah Alun-Alun Kota Situbonda, ke arah utara, Jalan Sucipto, lalu masuk ke kiri, melewati jembatan kecil, masuk ke gang sempit di antara dua gedung nan tinggi. Nah, di situ kita akan tiba di lokasi.
Dari kota Situbondo, kami lanjut ke Klatakan, ke rumah Ummah. Namun, sebelum itu, kami singgah sejenak di Panarukan, ke rumah Malik, ipar Man Malung. Di sana, saya nyekar di makamnya beliau (Man Malung) untuk membacakan tahlil khususon almarhum dan seluruh isi maqbarah. Oh, iya, Ummah ini istri Kak Arif (ipar Man Malung juga) yang kebetulan juga dia sepupu dua kali dengan Kak Arif dan sepupu persis dengan mendiang istri saya, Nyai Makkiyah. 

Kami tiba di sana hampir pukul 22.00. Ealah, saya masih rujakan mangga sebelum tidur demi memenuhi keinginan istri yang sejak tadi cari rujak manis tapi gak dapat-dapat. Hamdalah, empat titik dapat disinggahi semua dalam satu hari. 

JUMAT, 28 JULI 2023 

Pagi sekali, pukul 06.30, kami bergerak ke arah barat, menuju PP Nurul Jadid. Paiton adalah tujuan akhir saya, yaitu untuk menghadiri rapat wali santri karena putri kami, Fatimah, menjadi santri baru di pondok pesantren tersebut, di wilayah kepengasuhan Al-Mawaddah, asuhan Nyai Hamidah Abdul Wafie (pengarang Shalawat Nahdliyyah yang terkenal itu).

Hampir sehari penuh saya ada di Nurul Jadid, mengikuti acara pengelana tatib dan arahan pengasuh (KH Zuhri Zaini) sampai pukul 11.30, lalu shalat jumat, bercengkerama dengan putri saya, lalu ikut sesi kedua, yaitu parenting yang diampu oleh Ning Raudhlatul Aniq hingga selesai. Sebetulnya, materi inti berakhir pada 15.03, tapi sesi ini-itunya membuat acara benar-benar rampung menjelang pukul 16.00. 
Habis itu, saya antar anak ke pondoknya dan saya ajak dia takziyah ke Kiai Hefni Mahfudh yang ketika itu, secara kebetulan, putranya (Lora Roiq; pengganti beliau) sedang bepergian, sementara Nyai Nur sedang ada acara pesantren sehingga kami pun gagal bertamu. Demikianlah takdir bekerja, padahal rencana kali ini adalah kedua kalinya. Sebelumnya, pada hari raya Iduladha, saya juga hendak takziyah, padahal sudah tinggal beberapa langkah lagi ke Asrama Zaid bin Tsabit di wailayah kepengasuhan beliau itu, tapi rencana gagal karena saya balik arah sebab satu dan lain hal. 

“Sudah, ya! Ayah pulang saja.”
“Baik,” kata anak saya. 
“Nanti, kapan-kapan, dijenguk lagi. Jangan terlalu sering dijenguk. 

Anak kembali ke pondok, saya ke arah mobil yang diparkir di rumah Ustad Mannan yang lokasinya persis di pojokan Pos II, pintu gerbang akses ke PP Nurul Jadid sektor selatan. Di rumah Ustad Mannan—yang merupakan khadim Kiai Malthuf dan Nyai Hamidah Wafie di awal-awal beliau merintis pondokan santri di tahun 90-an—inilah saya berjumpa dengan Syaiful Khair yang notabene teman sepondok, dulu, dan saat itu sedang mengemudikan mobil rombongan dari Madura untuk tujuan yang sama. 

Menjelang azan maghrib, kami pulang. Jalanan ramai sekali, seperti biasanya, tapi tidak seramai tadi siang yang konon macet karena adanya kedatangan rombongan jemaah haji (tentu saja, yang bikin macet bukan yang datang dari haji, melainkan kirab atau pawainya). Kabarnya, bahkan bis-bis yang sedang menjalankan rute ke arah timur sempat tidak angkut penumpang karena dipastikan terjadi kemacetan besar di sekitar Pantai Bentar. 

Dalam pada itu, Om Washil bersama kami. beliau ikut kami dari Paiton, nyusul dari Situbondo. Beliau duduk di depan dan saya duduk di tengah. Kami mampir di RM Bu Sasmito untuk mengisi bahan bakar penumpangnya dan di SPBU Curah Sawo Gending untuk bahan bakar minyak mobilnya.  

Perjalanan berlangsung khidmat tanpa kendala.  Kami masuk tol Grati, akses jalan tol favorit kalau dari arah timur karena gerbang tol itulah yang paling dekat dengan arteri. Di Sidoarjo, kami keluar, mampir dulu—seperti sudah biasa, tak afdal rasanya kalau tidak mampir—di Warung Bakso Cak To atau Jungkir Balik yang letaknya tepat di sebelah barat Stadion Delta. Sayangnya, Mbak Lia dan Cak To sedang tidak di tempat karena Cak To sakit (semoga Allah memberikan kesembuhan untuknya). Hanya sepeminuman, eh, sepemakanan bakso, kami putar balik dan lanjut ke Madura.

Dari Sidoarjo ke Madura, mobil tidak singgah-singgah lagi. Bung Om Washil turun di Warung Asela karena sepeda motornya dititip di sana, kemudian kami lanjut ke Sumenep. Dari itu, saya menggantikan posisi pengemudi hingga tuntas perjalanan di rumah menjelang pukul 02.00, berakhir di angka 4777/1 (saat pergi 3932/3) yang artinya perjalanan kami, kali ini, adalah 844, 8 kilometer. 



01 Agustus 2023

Semalam di Jogja

Catatan Perjalanan ke Jogja, 22-23 Mei 2023


Perjalanan ke Jogja kali ini terbilang buru-buru. pasalnya, meskipun perjalanan telah lama dirancang, tapi digagalkan dua hari menjelang hari H. Yang menjadi sebabnya adalah; anak saya mendadak demam dan ibunya keberatan kalau ikutan berangkat. Maka, saya putuskan untuk ngebis saja. Akan tetapi, menjelang malam keberangkatan, si ibu mengambil keputusan untuk ikut karena suhu tubuh putranya mendingan. 

“Besok pagi tidak apa-apa kalau mau berangkat,” katanya.

Terburu-buru membuat saya lupa ngecek merata (pengecekan inti sudah), dan ternyata knalpotnya agaknya sedikit bocor sehingga kalau lepas gas, terdengar letupan. Begitu juga, Cak Badi—yang akan menyetir, menggantikan Cak Anam yang biasa bareng saya dan sekarang uzur karena persiapan menikah—harus dihubungi mendadak. Untung saja bisa. Selamatlah rencana perjalanan ini dari kegagalan.

Pagi itu, Kamis, pukul 09.30, kami bertolak dari rumah, jos langsung menuju masjid Baiturrohman di Dumajah, pukul 12.40 Pada beberapa kali trip, titik ini memang sengaja dibuat persinggahan saya, persinggahan pertama ketika berangkat. Pasalnya, letaknya yang dekat dengan akses Suramadu dan secara waktu telah mencapai perjalanan 2,5 atau 3 jam dari rumah dalam kecepatan 70-80 km jam. Jadi, secara teori mengemudi, posisi ini memang tepat untuk dibuat tempat rehat. 

Sedianya, sesuai rencana awal, andaikan kami bisa berangkat bakda subuh persis, maka rencananya adalah mampir ke Masjid Raya Syeikh Zayed di Surakarta alias Solo dengan perkiraan shalat jamak duhur-ashar di sana. Akan tetapi, berangkat bakda subuh persis memang cenderung tidak persis, bahkan cenderung sampai matahari terbit (sebab itu, banyak dari keluarga besar saya yang suka menjadwalkan keberangkatan beberapa menit sebelum azan subuh dalam keadaan sudah punya wudu). Penjadwalan seperti ini ternyata lebih efektif untuk menghindari molor. Dan kali ini, berangkat bakda subuh tidak mungkin karena persiapan kami belum selesai. Perjalanan dimulai pukul 10.00.  

Perjalanan di terik siang membuat hati kacau di Surabaya. Macet jalanan minta ampun, entah kenapa sebabnya. Pendingin kabin hasil rangkaian sendiri tidak mampu menenteramkan tubuh, hanya sekadar mampu membuat tidak keringatan. Ya, maklum, banyak kebocoran di sela-sela pintu dan membuat suhu udara luar (yang mungkin bisa mencapai 35-376 derajat celcius masuk ke dalam) dan juga faktor evaporator AC yang tunggal, hanya di depan, sementara untuk sampai ke kursi belakang saya menggunakan kipas angin yang dipasang di plafon tengah.

Sebelum masuk tol Dupak, saya melipir di masjid Nurul Yaqien (pukul 14.10) yang jaraknya hanya berapa puluh meter ke akses pintu masuk. Si bontot mau pipis. Harus diakui, bahwa keberadaan masjid-masjid di tepi jalan itu, salah satunya, adalah untuk orang singgah buat air kecil karena kalau menunggu SPBU belum tentu rimbanya, apalagi di jalan tol. Yang juga harus diakui juga adalah; ada pula yang benar-benar hanya singgah untuk pipis, jangankan sampai shalat tahiyatal masjid, ngasih uang ke kotaknya saja tidak. 

Karena keberangkatan berubah, maka jadwal lain-lain juga berubah. Perjalanan sepenuhnya lewat tol sampai Colomadu (Kartasura), padahal sebelumnya dirancang keluar-masuk: masuk Warugungun, keluar Bandar; masuk Caruban, keluar Sragen, lalu lewat arteri, lewat kota Solo, ke Masjid Zayed). Di tol, kami hanya singgah satu kali di tempat istirahat di Saradan, Madiun (jika tidak salah 627). Sebagai hiburannya, saya bawa rombongan yang untuk pertama kalinya ke Jogja itu—kecuali dua anak saya yang lain—ke masjid Al-Aqsha, Klaten. Pukul 19.50, kami bertolak menuju Jogja, ke Kafe Main-Main untuk makan malam dan tiba pukul 20.45.

Dipandu oleh GPS oleh Mas Mukhlas, kakak sepupu Zulfa (istri saya), Colt ini kembali menapaki jalan 
Lingkar selatan (ringroad) setelah terakhir Agustus tahun lalu, 2022, saat menghadiri kopdar ICJ di Pantai Cemara.  Sepertinya, Colt ini sudah akrab dengan aspal Jogja sehingga tidak perlu ragu-ragu, bahkan andai tanpa GPS, seakan ia sudah dapat mengendus jejak dan tapaknya di jalan-jalan kota Jogja. 

Setelah masuk lewat Jalan Imogiri Timur, belok kanan di Perempatan Jejeran, kami pun tiba di rumah Kak Mukhlas yang beruntung bisa menempati kediaman Mbah Juned (karena istri beliau merupakan cucunya) yang letaknya berada di belakang masjid  At-Taawun, Kanggotan, Plered, Bantul. 

Pagi Jumat, acara kami adalah silaturahmi, tidak lebih. Istri maunya istri adalah diantar ke Malioboro, tapi ternyata gagal karena si kecil rewel. Maka, setelah jumatan di Masjid At Ta’awun  yang terletak persis di timur rumah Mas Mukhlas ini, saya pun berangkat ke lokasi acara tanpa rombongan karena kerewelan tersebut masih berlanjut. Tak apalah, ia harus diterima sebagai takdir karena kita sudah ikhtiar.

Dalam perjalanan ke desa Pulesari di Sleman, kami menyusuri jalan terdekat menurut GPS. Saya tidak tahu menahu jalan itu karena ia adalah pertama kalinya. Akan tetapi, sebelum mencapai lokasi yang ditargetkan pukul 16.00, saya manfaatkan waktu untuk singgah-singgah lebih dulu, antara lain ke Pak Benta di Gamping yang baru buka kedai angkringan SGS dan lapangan futsal, di belakang rumahnya. Habis itu, persinggahan kedua adalah pool PO Putra Remaja, menjumpai Mas Hanif yang janji ngasih suvenir (kami terhubungan kembali dengannya saat saya dalam perjalanan naik bis ini dari Jambi tujuan Solo, awal bulan Mei lalu). 

Saya menghadiri undangan anak-akan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang mengadakan Kemah Literasi Nasional. acaranya ditempatkan di balai desa Pulesari, Sleman. Sesi sore itu, saya datang bersama Puthut E.A. Kami ngobrol bergantian: saya dulu, baru dia. Tapi, saya tidak langsung pulang sehabis acara, malainkan menunggu Mas Puthut sampai rampung bicara. Eh, gak tahunya, tiba-tiba ada Gus Syukron Maksum datang. Maka, pulang pun gagal, jadilah kami ngobrol sampai menjelang isya. 

“Ayo mampir ke rumah saya dulu,” kata Gus Syukron menawarkan kami mampir ke rumah mertuanya, mengingat dia dari Jambi—yang tempo hari pondok pesantrennya (PP Jari Nabi) itu—baru saya kunjungi. 
“Makasih, tidak mungkin rasanya, Gus, karena saya harus pulang malam ini.”

Turun dari Pulesari, saya mencari jalan akses ke Jalan Magelang yang paling dekat. Meskipun dengan begitu jaraknya sedikit memutar, tapi jalannya lebih terang dan lebih bagus. Maka, saya tidur di jok tengah, sementara Anta—yang ikut kami sejak dari Plered—duduk di depan bersama Cak Badi sang pengemudi. Tertidur lelap karena kelelahan, saya terbangun setelah mobil sudah parkir di halaman rumah Mas Mukhlas. Saya pulas sepanjang 40 km. Jarak segitu adalah jarak total ring-road Jogja yang pernah saya hitung melalui odometer Honda Aastrea Prima di tahun—jika tidak salah—2002 yang silam. 

“Loh, kok sudah mau pulang?” tanya Mas Mukhlas. 
“Serius mau pulang?” Mbak Aini menambahkan. 
“Iya, kami ini masih mau lanjut ke Karangharjo untuk acara besok malam. Besok siangnya masih rencana mampir di Ajung, di Paman Baidawi.” 

Diiringi suasana hari, kami meninggalkan Kanggotan malam itu, menuju Jember. Masih ada 530 kilometer di depan yang harus kami tuntaskan untuk titik persinggahan berikutnya. Tapi, kami singgah sebentar di Kafe Main-Main sekadar untuk ngisi termos dengan kopi, baru lanjut lagi pada pukul 10.00. Kami bertemu dengan Pak Edi dan Imam Rofiie, tapi tidak ada Kang Din yang sedianya mau jumpa saya pula di sana.  
 
Sementara itu, si kecil nangis terus. Suasana menjadi kacau balau saat istri saya berkata.
“Sepertinya saya tidak sanggup kalau harus ke Jember.”
“Ya, tidak apa-apa, kita putar haluan.”
“Terus, bagaimana dengan janjian orang Jember?”
“Pikir saja nanti di perjalanan, toh kita masih punya kesempatan waktu. Siapa tahu Aqil—anak kami yang bontot—jadi mendingan dan kita lanjut.”
“Iya, amin, semoga saja.”

Mobil bergerak dan Cak Badi tetap mengemudi hingga SPBU Kertonatan, Kartasura. Kini, giliran saya yang mengemudi. Masuk GT Colomadu pukul 23.44 dan sengaja saya bawa berlari konstan antara 85-90 km / jam hingga masuk GT Warugunung pada pukul 03.13. Dengan kecepatan rata-rata begitu, yang tentu saja terbilang lambat untuk mobil MPV yang berjalan di jalan tol, jarak 253 kilometer ternyata bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 29 menit tanpa rehat sama sekali. 

Mobil terus bergerak tanpa henti hingga akhirnya  saya ngisi BBM lagi di SPBU Tangkel bukan karena habis, melainkan sekadar untuk kalibrasi konsumsi BBM. Hasilnya adalah 1 liter untuk 12,7 km. Data ini masih saya ragukan (karena terlalu irit) mengingat mobil terbilang bermuatan berat karena membawa 6 orang dan barang berjibun serta RPM selalu tinggi. Entah tadi ngisinya kurang penuh atau bagaimana, saya tidak mencermatinya lagi. Yang pasti, jarak dari Kertonatan ke Tangkel itu 294 kilometer, sedangkan pertalite yang dihabiskan adalah 232.000. Suatu saat, kalibrasi harus dilakukan berkali-kali untuk mendpatkan angka yang lebih pasti.  

Kami tiba di Masjid Baiturrohman, Dumajah, masjid yang kami singgahi pertama saat berangkat, untuk shalat subuh. Mobil dan anggota rombongan terus pulang ke timur, sedangkan saya kembali ke barat, naik bis untuk melanjutkan perjalanan ke Jember. 











01 Juni 2023

Difoto Fotografer

Foto mobil, khususnya, Colt, jelas saya punya banyak. Saya sering memotret mobil saya ini di mana pun tempat, terutama di tempat-tempat yang istimewa. Yang termasuk istimewa adalah tempat yang jauh dari rumah saya mengingat Colt tua biasanya tidak bisa pergi jauh.

Akan tetapi, foto-foto ini dijepret di halaman rumah sendiri. Ini menjadi penting dan istimewa bukan karena letaknya, melainkan karena fotografernya. Jadi, foto-foto ini diposting karena pertimbangan fotografernya: Andi Erik









25 Mei 2023

Bukan Kopdar, Colt Mania Hanya Datang untuk Bergembira




Tiba-tiba, ketika saya sudah mendekat ke rumah, dari dalam mobil yang kami tumpangi, saya melihat ada sekitar sepuluh atau belasan Colt berbaris. Tentu saja saya kaget karena saya tidak sedang di rumah ketika itu, melainkan di rumah istri. Rupanya, mereka datang dari Cikupa, Banten, dari Jogja, Ngawi, Malang, dan Bangkalan, menyambut saya datang dari rumah mertua.

* * *

Pada hari Sabtu, akhir bulan (29) Syawal 1444 atau bertepatan dengan 20 Mei 2023, kami meneyelenggarakan “selamatan pernikahan sangat kecil-kecilan” untuk akad pernikahan saya dengan Zulfa. Ini adalah pernikahan yang kedua (yang pertama dengan almarhumah Nyai Makkiyah binti Ashim yang wafat pada 10 Agustus 2021). Karena kedua, juga karena terbatas dana dan tenaga, maka dirancanglah sekecil mungkin acaranya.

Seluruh rangkaian acara ini nyaris serba-mendadak dan banyak kebetulannya. Tanggal 11 Mei, yang sedianya merupakan hari lamaran, mendadak berubah jadi hari pernikahan. Di tempat lain, ini mungkin tak wajar, tapi di Madura bisa terjadi, tapi memang jarang (dan akad saya adalah bagian dari yang jarang itu). Ya, mendadak nikah ceritanya. Maka, sedianya, akad nikah yang baru akan dirembukkan jadi tak perlu dirembukkan lagi karena pada hari itu bahkan lengkap dihadiri pak penghulu.

“Masa orang tidak niat akad kok bawa jas?”

Itulah pertanyaan salah seorang ketika tahu seliweran foto kami di media sosial. Ya, itu dia. Sebetulnya, saya sudah punya firasat demikian, firasat saja atas pertimbangan tanggal dan bulan berdasarkan kalender lunar. Saya jawab, “Itu namanya kita bawa persiapan. Emang kalau kamu punya SIM, padahal kamu bakal melewati jalan yang kemungkinan ada operasi lalu lintasnya, kamu bakal tinggal itu SIM di rumah dan baru pamit mau balik ke rumah jika di jalan kepergok petugas?”
Begitulah alasan saya, entah masuk akal atau tidak, biarkan saja.

Ada selah waktu, antara hari akad nikah ke acara selamatan yang akan dilangsungkan di rumah saya. Acara selamatan sangat kecil ini rupanya sudah terendus oleh Pak Bambang dan beliau ngajak banyak orang untuk datang ke acara itu, di rumah saya. Saya bilang, tak perlu karena selamatan di rumah hanya mengundang saudara dari ibu dan saudara dari ayah serta saudara dari istri serta beberapa kerabat dekat yang lain, itupun dengan seleksi ketat sehingga jumlahnya hanya sekitar 60 orang saja.

Tapi, ternyata, niat mereka tak dapat dibendung, bahkan meskipun saya bilang kalau berkatnya tidak cukup, nasinya tidak cukup, tetap saja mereka datang, mungkin sekitar 13 mobil.
Sebelumnya bahkan saya juga bilang kalau acara di tempat kami tanpa kuade, tanpa dangdutan, tanpa terop, jadi ngapaian datang? Pak Bambang nekat, pokoknya dan pokoknya datang.

Jadi, begitulah kejadiannya.

Dan, datanglah mereka ke tempat saya tanpa kehadiran saya. Untung saja ada Anam yang menyambut, dan kebetulan juga kenal dengan Pak Bambang dan beberapa kawan lain (karena pernah bermalam di rumah beliau di Cikupa saat tur Walisongo bersama saya) yang mengurus ini dan itunya.

Dengan demikian, ini menjadi jawaban atas pertanyaan kawan-kawan ‘Apakah ada kopdar Colt di rumah saya?’. Tidak ada apapun kopdar. Pak Bambang hanya datang untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya saya. Masalahnya, Pak Bambang ini terus ngajak temannya yang lain, dan temannya ngajak temannya lagi sehingga jadi begini akhirnya.

25 Februari 2023

Melewati Rute-Rute Baru di Madura


Kamis (23) dan Sabtu (25) di Februari ini (2023) merupakan hari penting dalam kisah perjalanan saya, perjalanan naik Colt T120 khususnya. Ia adalah momen pertama bagi saya melewati ‘trek baru’, yaitu trek yang relatif sudah sejak dari dulu ditargetkan tapi baru kesampaian. Tidak pernah ada kepentingan berarti untuk melintasinya hingga ia terjadi pada hari-hari ini.


Hari Kamis lalu, bersama Paman Naqib dan bibinda Fadilah, saya bisa melewati tersebut, namun dengan sedikit memutar. Perjalanan dimulai dari rumah menuju UIM, Bettet, lewat Pakong (biasanya lewat Prenduan). Dari UIM, setelah menjemput kemenakan beliau, kami lalu balik, naik ke utara, ke Angsanah, ke Bata-Bata, terus ke barat menuju Palengaan. Titik kordinatnya adalah PP Nurus Salam 1, di Banyupelle (adapun pondok pusatnya berada di Saba Tambak, tak jauh dari situ).


Setelah duduk, ngobrol, dan makan, kami pun pamit. Silaturahmi selesai. Arah pulangnya, mobil saya bawa ke selatan, melewati Pasar Aeng Nyonok. Eh, ternyata, jalan di daerah yang relatif sepi tersebut tembus ke Makam Batuampar. Kami pun turun, terus ke selatan, nembus ke Penaguan.

Nah, di Penaguan ini saya terhenyak, kaget, melihat pemandangan sawah selebar mata memandang. Hamparan padi menguning, siap dipanen, mirip kebun gandum, seperti yang pernah saya lewat dalam perjalanan berkereta api dari Berlin ke Leipzig beberapa tahun lalu. Luas begitu luas seolah ujung mata memandang adalah horison.


Di tengah perjalanan, tampak satu pondok pesantren di tengah pedataran itu: Al-Haramain. Sungguh sempurna secara posisi pondok ini, indah dari kejauhan. Lalu, seketika itu pula, muncul lintasan pikiran. Satu hal yang berkelebat adalah perasaan cemas, bahwa pada satu saat nanti, barangkali, tanah-tanah ini akan beralih fungsi, menjadi perumahan misalnya, atau menjadi pabrik misalnya. Lalu, saya berfantasi, berkuranglah lahan padi dan dengan demikian berkurang pula stok bahan makanan masyarakat. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menyelesaikan alih fungsi lahan produktif seperti ini ke “lahan mati”. Hanya ada satu pertanyaan di dalam kepala: Apakah kita lebih butuh kemajuan dan menyukai krisis pangan? Entahlah.


Dari Panaguan, kami pulang, namun mampir dulu di rumah Uyay, si kemenakan tadi, di Taroan. Total jarak tempuh dari pagi sampai siang ini adalah114 kilometer. Tak terasa, jauh juga rupanya, hampir setara dengan jarak dari rumah ke Tangkel (akses jalan Suramadu yang jaraknya adalah 119 kilometer).


***

Hari ini, SABTU, 25 Februari 2023, tak terlalu diduga, saya kembali melakukan perjalanan ke barat. Kali ini, rutenya lebih menantang, lewat jalur tengah Madura, jalur yang saya cita-citakan sejak puluhan tahun yang lalu dan baru berhasil dilewati hari ini.


Sebelum berangkat, saya mengutarakan niat dengan suara keras: niat silaturahmi, dalam rangka silaturahmi, semoga ia dicatat sebagai amal karena seperti itulah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Orang lain punya mobil baru, saya tidak; orang lain punya omset melimpah, saya tidak; orang lain punya gebetan baru, saya tidak; orang lain bikin start-up dan meraih bitcoin, saya tidak; orang lain maju, saya tidak.


Lantas, saya berpikir, saya harus punya sesuatu yang orang lain tidak punya. Apa itu? Punya kesempatan silaturahmu dan mereka tidak. Hanya itulah semangat yang membuat saya berangkat ke Robatal, ke rumah Abdur Rasyid yang kini tinggal di PP Nurul Jadid, Garduwak, Lepelle, Robatal.


Saya berangkat pagi sekali, pukul 07.30. Mobil berjalan ke arah barat dan isi pertalite di SPBU Pakong, di Bandungan. Hingga di Pagantenan, rute hari ini sama persis dengan rute Kamis yang lalu. Bedanya, dalam pada itu, saya lewat ‘jalur baru’, yaitu jalan pintas dari Pegantenan ke Palengaan, melewati Rombuh, yang dapat memangkas jarak menjadi 6,5 km saja dari 14,5 km andaikan saya menempuh jalan kolektor biasa, lewat Palduding STAI Al-Khairat. Hanya saja, rute Preng Taleh yang saya tempuh ini sangat sempit, satu mobil saja, berkelok-kelok dan curam, mana lagi tadi sempat papasan sama truk medium yang membuat saya harus mundur untuk mengalah karena posisi saya yang jalan menurun sementara truknya sedang menanjak.


Sembari menunaikan perbuatan terpuji ini (ceilee), saya mengingat peristiwa di SPBU tadi: sebuah Avanza menyerobot antrian hanya karena saya kurang sigap memutar kemudi untuk berpindah haluan. Sekalian ironis, ironis saja sekalian!


Rute Palengaan ke barat sangat bagus jalannya, lebar dan rata. Baru beberapa meter setelah belok kanan di pertigaan Nagasari untuk mengarah ke Karang Penang, off road pun dimulai. Kami berpapasan dengan truk-truk pengankut bahan baku genteng atau mobil bak terbuka yang berlurub debu. Kontur jalan yang buruk membuat jalan beraspal nyaris tak berbentuk.


Karena saya tidak berbekal GPS dan hanya modal melihat peta lipat Pulau Madura, tadi sebelum berangkat, akhirnya, di pertigaan Glidikan, saya salah arah. Mestinya, saya belok kanan menuju Pasar Karang Penang, tapi instink membawa saya ke kiri, ke Blu’uran, Tlambah. Saya salah arah.


“Ini sih bukan Tlambah, tapi talambhas...” kata saya dalam hati.


Perjalanan ke PP Nurul Jadid, Garduwak, desa Lepelle, akhirnya memakan waktu 2,5 jam. Tiba sana, saya disambut oleh Abdur Rasyid yang ternyata sudah menyiapkan permadani, buah-buahan, dan pelantang suara pula.


“Ini untuk apa?”

“Mohon Panjenengan ngomong tentang sastra atau kepenulisan.”

“Waduh, saya kan cuman mau silaturahmi saja...”

“Iya, emang dan sayang-sayang kalau tidak disertai dengan acara ngobrol.”

“Baiklah.”


Saya pun didapuk tuan rumah untuk ngomong. Karena tidak ada tema, maka bicaranya pun suka-suka, manasuka, sekenanya. Saya bercerita dan memberikan motivasi untuk mereka supaya gemar menulis, mencatat, dan membaca. Tak pelak juga, obrolan berpindah pada visi hidup, keugaharian, limbah makanan, sampah plastik, sampai madah lagu dan shalawat. Jadilah obralan kami melantur ke sana kemari, tapi saya tenang saja karena—berdasarkan raut mukanya—orang-orang itu menikmati, sebagaimana kami menikmati suguhan opor ayam, dan ikan-ikan terbaik di laut.


“Ini silaturahmi memang top banget,” kata saya, nyeletuk, “udah dapat pahala, dapat makan enak pula.”


Setelah shalat duhur berjamaah, saya pamit pulang. Rencana ke Miho tertunda karena dia sibuk dengan gabahnya. Skenario Allah tak dapat ditebak, padahal ke dialah tujuan saya berikutnya, eh, mobil malah menggelinding ke arah Blu’uran hingga kami nembus Pasar Omben, melewati ratusan meter jalan bercor yang membuatnya mirip Trans-Jawa.


Di situ, dekat Pasar Omben, saya singgah ke rumah seseorang yang secara persis saya tidak kenal, tapi dia mengaku pernah sekali bertemu dengan saya di PP Muqri, di rumah Kiai Zainurrahman. Dialah Faisal, asal Pasaman, Sumbar. Dia bahagia sekali rupanya karena di hari itu, dia memang punya rencana ke Guluk-Guluk, untuk main ke saya, eh, kok malah calon tuan rumahnya itu (yaitu saya sendiri) yang justru yang menjadi tamunya. Rumahnya besar sekali, mirip futsal lah.


“Sudah, ya, sudah cukup sebagai pertemuan pertama.”

“Baik, terima kasih atas kunjungannnya, Ra,” kata dia.

“Soalnya, saya harus ngisi pengajian nanti pukul 16.00, di rumah.”

“Baik, baik. Semoga ada kesempatan bertemu lagi.”


Akhirnya, kami pun pulang dan benar, kami tiba di rumah pukul 15.50. hamdalah, saya diberi kesempatan untuk ngaji Risaltul Muawanah sesuai dengan waktu yang dipertimbangkan. Hari ini saya benar-benar bahagia. Silaturahmi itu memang tidak main-main rupanya. Pantesan, silaturahmi itu termasuk satu dari beberapa pesan yang diperintahkan rasul kepada Heraklious saat memperkenalkan Islam. Dan pada pertemauan tadi, saya merasa telah melakukan ibadah 60 tahun karena telah membuat hati Faisal gembira: dia ngajak mampir, saya mampir benenran.


Total jarak 140 kilometer selesai dilalar hari ini.







Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...