Pembaca

17 Februari 2017

Klep dan Push Rod



Beberapa hari yang lalu, Colt saya tiba-tiba kehilangan daya. Di tanjakan terjal, Colt nyaris tak mampu naik. Ketika mesin idle, suaranya seperti helikopter. Saya curiga, ini busi saatnya dingati.

Maka, esok harinya, saya beli busi sebungkus, isi empat. Setelah dipasang, ternyata reaksi tetap saja. Busi dicopot dan mesin tetap hidup. Waduh, apalagi ini? Saya bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.

Kata paman, mungkin klep harus diratakan lagi. Benar, ternyata klep sudah perlu diratakan lagi dan secara kebetulan push rod-nya sudah ceking tanda sangat lama bekerja. Saya jadi tahu sekarang, mengapa dalam waktu yang lalu, fiber yang memagari push rod itu seringkali retak. Rupanya, ini dia masalahnya. Push rod bergerak terlalu melebar sehingga kena ke fibernya.

Maka, setelah diganti push rod yang harga ecerannya Rp 20.000 per batang (butuh 8 batang kalau mau diganti semua), Colt kembali bertenaga, kembali berjaya.


Catatan: merek OSK lebih bagus, lebih keras dan lebih berat. Harga 130.000 isi 4 batang.

10 Februari 2017

Berkah TOA dan Stereotip Inferior


Sungguh sudah cukup banyak manfaat yang saya rasakan berkat memakai speaker TOA di Colt saya ini. Saya menyapa orang-orang  dengan sapaan mesra, tidak kaku seperti bunyi klakson. Sapaan "sakalangkong" (terima kasih dalam Bahasa Indonesia) tentu jauh lebih mesra daripada sapaan "tin... tin..." sambil buka kaca dan melambaikan tangan terhadap kawan atau juru parkir.

Terakhir ini, seorang juru parkir sebuah toko perkulakan di kota sering menyapa  saya dengan sangat akrab, lebih akrab daripada kepada pelanggan yang lain. Saya memperhatikannya begitu. sungguh, saya tidak baper dan tidak pula ge-er. Juru parkir itu memang sering saya sapa  kalau saya mau parkir, misalnya dengan sapaan "Bagaimana, Pak, cukup mepet bumper saya? Masih jauh?" dan sapaan lainnya. Awalnya, dia kaget, lalu tertawa.

"Cocok!" kata dia. "Bagus kalau ada TOA-nya."

Begitu pula, ketika saya akan meninggalkan areal parkir, saya menyapa lagi. "Tore, Pak. Sakalangkong, enggi! (mari, Pak. Terima kasih, ya).

Sayangnya, hanya dengan satu orang juru parkir saja yang saya kenal akrab di toko yang tergolong baru itu. Dia sudah sangat paham dengan Colt yang ada stiker besar "Pariwisata" di kaca depannya ini. Dia sangat ramah kalau mengawal mundur atau mempersilakan maju. Bahkan saya kadang pekewuh, ingin ngasih 'apa-apa' ke dia, tapi khawatir itu akan jadi dampak tidak baik terhadap juru parkir yang lain dan suasana kekeluargaan di antara mereka.

Akan tetapi, dua hari lalu, saya bertanya kepada satpam di toko perkulakan itu. Nasib yang saya terima rupanya berbeda. Satpam ini rupanya masih mengidap sindrom stereotip warisan era lama.

"Pak, gang yang tembus ke rumah sakit paru-paru itu yang ini atau yang sana?" tanya saya kepada dia sembari menunjuk arah yang saya tuju.
"Yang sebelah sana, Pak! Ada keluarga yang sakit?"
"Oh, enggak, cuma mau ke arah utara, 'kan lewatnya depan rumah sakit paru-paru, tho..."
"Kok lewat dalam? Apa ada operasi lalu lintas di depan sana?"

Nah, kan! Lagi-lagi stereotip inferior itu bekerja, kena. Kalau mobil model tua kayak ini apa memang punya bakat untuk tidak diperpanjang, mati surat-suratnya, dan sopirnya tidak punya SIM begitu, Pak?"

"Ya, endaklah. Kalau memang jalan di gang itu lebih dekat, ngapain juga saya harus memutar lewat barat?



Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...