Pembaca

22 Desember 2020

Colt: Antara Ikatan Selera dan Persaudaraan

Berawal dari sebuah posting bertema suku cadang di blog ini, pertemanan saya dengan Pak Bambang akhirnya bisa direalisasikan di dunia nyata beberapa tahun sesudahnya. Kami janjian bertemu secara jasmaniah di sebuah perhelatan kendaraan-kendaraan tua di Jakarta, tahun 2019 yang lalu. Kala itu, saya bertemu dengan para sesepuh penggemar Colt, seperti Pak Bambang, Pak Iman, Pak Broto (termasuk Mas Angga meskipun muda tetap sesepuh karena dia termasuk perintas Colt di media sosial, sejak dari Yahoo!Groups sampai Facebook; meskipun akhir-akhir ini kurang aktif).

 

Dalam satu obrolan, entah lewat SMS, telepon, atau Messenger, Pak Bambang menyatakan diri ingin berkunjung ke tempat saya, di Madura. Saya bilang, jarak dari Cikupa, Tangerang (kediaman beliau) itu nyaris 1000 kilometer kurang satu kilo, atau malah lebih 1 kilometer, ke tempat saya. Intinya, perjalanan yang harus ditempuh sangat jauh dan karena itu mobil harus sehat. Tentu saja, saya sebut jauh karena kendaraan penempuhnya adalah mobil tua, bukan mobil anyar, yang mungkin tak masalah bagi bis-bis Jakarata yang ulang-alik ke Sumenep setiap hari itu.

 

Saya kira, rencana itu adalah rencana jangka sangat panjang, yang boleh jadi tidak terealisasi. Tapi, ternyata Pak Bambang menyatakan siap segera berangkat touring ke Madura dalam beberapa waktu ke depan. Pernyataan ini kira-kira disampaikan beliau setengah tahun yang lalu. Dalam komunikasi tingkat lanjut, Pak Bambang menyatakan akan ke Madura bareng kawannya, Pak Broto. Lalu, beliau pun mulai memastikan perkiraan tanggal, yakni Libur Natal dan Tahun Baru alias akhir tahun.

 

Percakapan selanjutnya mulai menjurus dan fokus. Kunjungan 3 mobil dari Banten itu diperkirakan tiba tanggal 27 Desember 2020. Lalu kira-kira satu minggu yang lalu, beliau mengubah jadwal, memajukan jadwal perjalanan, menjadi tanggal 21 Desember. Saya setujui saja, toh saya juga tak punya jadwal apa-apa di tanggal-tanggal itu. Dan ternyata, ketika hari H – 3. Dipastikan lagi bahwa rombongan ternyata ada banyak, bukan 3 mobil dari yang dikabarkan sebelumnya, melainkan menjadi 15 mobil dengan perkiraan 25-30 penumpang. Bandung bergabung; Malang dan Blitar bergabung juga. Probolinggo ada satu. Ngawi dan Jogja masih terlunta-lunta.

 

Kaget? Tentu saja. Saya tidak begitu siap menyambut mereka, terutama terkait akomodasi karena ini bukan acara kopdar atau jambore, ini kunjungan biasa. Dan tentu saja, saya tidak menyiapkan panitia. Saya hanya minta bantuan istri dan santri serta beberapa orang untuk menindak lanjuti penyambutan mereka.

 

foto oleh Eko Sumoautogarage
Apa yang diangakan memang terkadang harus disampaikan kepada orang lain. Ini adalah prinsip dan pengalaman saya. Bukan berarti hal itu hendak pamer atau malah berandai-andai, melainkan merupakan salah satu cara agar orang lain tahu dan ikut mendoakan.  Saya kira, dalam hal ini, saya dan beliau punya kesamaan.

Maka, kemarin lusa, hari Ahad pagi, 20 Desember, rombongan Tangerang (Pak Bambang dan Pak Broto dan Pak Iwan) berangkat pagi hari dari Cikupa. Siangnya, mereka ketemuan di Kertajati, untuk selanjutnya masuk ke tol Trans-Jawa dengan 2 rombongan dari Bandung Kang Ebod/Akbar dan Koko Obeh serta Kang Arie dari Tasik. Entah bagaimana cerita lanjutan perjalanan mereka, tentu saja saya tidak tahu karena saya hanya memantau dari ponsel, lewat SMS dan telepon. Intinya, mereka berangkat kesiangan menuju Surabaya yang semula direncanakan Senin pagi. Singkat cerita, mereka lantas bergabung dengan rombongan dari Malang, Blitar, dan Probolinggo yang sebelumnya bermalam di rumah Mas Eko Blues, di Surabaya (Pak Huri yang datang dari Probolinggo nginap di Blega).

 

Sore hari pukul 4, tanggal 21 Desember alias kemarin, mereka berangkat dari Bangkalan setelah kopdar tipis dengan Erwien dan entah siapa lagi. Mas Sugeng saja yang ikut dari Bangkalan. Sementara Subki yang dari Kwanyar malah tiba duluan di tempat saya, di Guluk-Guluk, pada saat mereka baru berangkat.

 

Hingga pada akhirnya....

 

Pada pukul 20.50, atau kira-kira segitu, mereka jumpa saya di Kaduara, tempat saya menunggu, di gapura perbatasan Sumenep-Pamekasan. Kami lalu melakukan konvoi menuju Guluk-Guluk. Tentu saja, iring-iringan ini tidak begitu mengganggu lalu lintas karena malam hari dan kami berjalan wakar, normal. Yang pasti, kami jelas mengganggu konsentrasi orang-orang yang ada di pinggir jalan karena kebanyakan mobil yang melintas adalah mobil tua tapi masih sangat mempesona.

 

Tadi malam (malam selasa), 21 Desember, mereka tiba di kediaman saya di Guluk-Guluk, langsung makan, sebagian mandi. Saya siapkan acara curhat dan bagi-bagi pengalaman, serta kesan-kesan. Acara dilaksanakan di perpustakaan sekolah karena tempatnya lumayan luas. Sungguh, acara yang singkat itu, dan mungkin kurang cocok waktunya karena terlalu malam, masih terasa gayeng. Hal itu saya saksikan dari tanda-tanda alam: tidak ada satu pun peserta yang menguap, tidak ada yang ngantuk.

 

Hal yang sangat di luar dugaan saya adalah cinderamata dari mereka. Saya tidak menyangka sama sekali kalau pigura foto yang mereka serahkan itu adalah sebuah sandal karena biasanya pigura berisi foto atau lukisan. Sungguh kejutan yang sangat berarti karena sandal yang dibingkai itu adalah sandal lawas, selop Lily. Dan ia merupakan sandal kesukaan saya. 

foto oleh Eko Sumoautogarage

 

Tadi pagi, esok harinya, mereka meninggalkan tempat saya pada pukul 10.00. Mereka meninggalkan kesan yang mendalam. Dan begitu juga, saya berharap, apa yang saya persiapkan dan saya sambutkan untuk mereka dapat meninggalkan kesan mendalam. Sebab, semua yang kita lakukan saat ini, besok hari, segera akan menjadi kenangan. Adapun kisah-kisah baik manusia memang jarang dibaca ketika mereka masih hdiup, melainkan justru setelah mereka tiada.

 

Terima kasih, kawan-kawan.
Simak video kedatangan dan kepulangan!





10 Desember 2020

Darjo Lagi, Darjo Laaagi

Ahad, 6 Desember 2020
___________________

“Saya ikut, bisa?” tanya Agus
“Bisa, muat, kok.”
“Kalau bawa ayam dan kurung?” tanya dia lagi.

Saya tidak menjawab hingga dia mengirimkan foto kurung ayam tersebut di kotak pesan, dan saya iyakan. Tapi, astaganaga, ternyata kurung ayam itu sangat besar, di luar ekspektasi. Saya kira kurung ayam yang bisa diangkat dengan tangan sebelah, ternyata sangat besar. Salah tadi, waktu kirim foto tidak disertakan benda pembanding. 

Daripada membuat kecewa, saya angkut saja kurung ayam itu di atas mobil. Untungnya, mobil saya ada rak atapnya.  

Perjalanan ke Sidoarjo kali ini rasanya memang harus naik Colt. Meskipun ide awalnya mau sewa Elf, tapi akhirnya rencana itu gagal karena salah seorang panitianya berharap agar saya bawa Colt.

“Boleh saya parkir nanti di dekat panggung, sebagai bagian dari properti panggung?”, tanya saya sema beliau, Selasa lalu, pamit lebih dulu.

“Oh, tentu, biar Colt Anda tampil bersama Anda karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari proses kreatif Anda!” Kalimat yang diucapkan Mas Ribut Wijoto memang tidak persis seperti yang saya tulis, tapi kira-kira tidak jauh-jauh amat melencengnya. 

Saya pergi ke Sidoarjo dalam rangkat pentas. Saya bawa rombongan untuk teatrikalisasi puisi, puisi dialog, dan musikalisasi puisi, serta saya sendiri untuk orasi.  Tentu, tidak muat kalau sebelas orang naik Colt semua. Maka, saya bawa satu mobil angkutan lagi, Suzuki CAMRY, eh, Carry. Bersebelas kami berangkat ke Sidoarjo di hari Ahad pagi. 

Hujan mengguyur menjelang kami lewati perbatasan Pamekasan-Sampang. Dan gerimis jatuh terus-menerus, sesekali deras. Di satu sisi, saya agak cemas karena perjalanan di tengah hujan itu sangat berisiko: rem, pandangan mata, pemantauan pergerakan lalu lintas, dll. Tapi, ada keunggulan di sisi lain: bagi mobil non-AC seperti mobil kami, ini menguntungkan karena udara kabin tidak terlalu pengap. 

Kami shalat duhur-asar di Dumajah, di masjid Baiturrohman. Masjid ini—untuk saat ini—agaknya merupakan masjid yang paling ramai disinggahi di jalur selatan Madura. Ia dijadikan favorit perhentian rombongan. Letaknya kira-kira 6 km dari pertigaan Tangkel, pertigaan akses Suramadu arah Sumenep. 

Kami tiba di masjid itu pada 11.30, shalat jamak taqdim, makan siang juga di situ (karena kami memang bawa bekal dari rumah). Bawa bekal ini adalah kebiasan orang dulu yang saya hidupkan kembali demi menghemat biaya perjalanan dan demi menjamin kehalalan makanan. Agak ribet, sih, tapi sekarang saya sudah biasa. 
Rombongan dua mobil berjalan beriringan. Saya yang di posisi depan memandu mobil belakang yang disopiri oleh yang pertama kali masuk kota Surabaya di siang hari. Keberaan handy talky sangat membantu kami. 

Kami masuk Kenjeran. Di Perempatan Kaliondo—yang kalau kanan ke Sidotopo—kita ambil kiri, ke Jalan Kapasari, lalu belok kanan lagi ke Kalianyar, terus Jagalan, terus melintasi Tembaan, selatan Tugu Pahlawan, ke Pasar Turi, dan tembus di tol. Ini bukan rute biasa yang saya lewati. Rute ini saya tempuh hanya demi menunjukkan kepada pengemudi satunya, yang saya ajak untuk mengangkut santri-santri yang akan pentas teatrikalisasi puisi, karena rute ini merupakan rute paling mudah dari Suramadu untuk mengakses jalan tol. 

Hujan yang terus mengguyur bikin kabin yang mestinya panas karena siang, berganti pengap karena semua kaca tetap harus ditutup rapat. 

Tiba di Sidoarjo, jam menunjuk pukul 14.30, hampir asar. Hamdalah, Lia Zen mengizinkan kami untuk sekadar leyeh-leyeh di lantai tiga kafe Jungkir Balik-nya, sekaligus mandi bagi mereka yang berani mandi dalam keadaan suhu alam diguyur hujan seharian. Dia bahkan menawari kami makan, tapi kami berterima kasih karena memang baru habis makan, baru dua jam yang lalu. 

Pentas Pertunjukan Puisi 

Malam itu, Malam Senin, 6 Desember 2020, saya didapuk untuk tampil dalam agenda “Jatim Art Forum” (JAF), sebuah program kerja Dewan Kesenian Jawa Timur. Rangkaian acara JAF ini berlangsung di beberapa tempat: teater di Gresik, musik di Malang, dan sastra di Sidoarjo (sebelumnya direncakan di Situbondo, tapi digagalkan karena tuan rumah tidak siap terkait suhu politik di sana yang kurang kondusif karena jelang pilkada). Sepertinya masih ada agenda lainnya, tapi saya tidak tahu. 

Acara malam itu sepenuhnya ‘milik saya’. Artinya, panitia menyerahkan sepenuhnya rangkaian acara untuk saya kelola. Panitia hanya meminta Dewan Kesenian Sidoarjo (Dakesda) untuk menyambut dan menyiapkan tempat. Dakesda sendiri tampil dengan Techno Poem atau Puisi Elektronik. Ribut Wijoto dan Rafif membacakan puisi; Amelia membaca narasi; dan Sony memainkan musik latarnya, house mix, musik jedag-jedug yang mengiringi pembacaan puisi. 

Setelah mereka, saya tampil. Saya orasi dan membacakan beberapa puisi. Terus, setelah itu, tiga orang santri membacakan dialog puisi yang berisi percakapan benda-benda dapur, secara dialogis. Alur dituturkan oleh seorang  narator. Konsep pertunjukan ketiga adalah musikalisasi puisi. Agus Salim Faradilla yang membawakan tiga puisi karya saya: dua bertema kopi, satu lagi bertema meditasi. Puncakanya, lima orang santri eks Sanggar Kotemang MA 1 Annuqayah yang mementaskan teatrikalisasi puisi, mengangkat tema kehidupan santri dengan judul Lirik Santri. 

Sehabis pentas, saya bertemu dengan Alek Subairi dan Mashuri. Kami juga bertemu dengan Kholil, santri Prajjan yang dulu sempat kenalan di pondok Nazhatut Thullab, yang datang bela-belain nyepeda motor dari Kenjeran Surabaya sejauh 40-an kilometer ke Sidoarjo demi menonton acara pertunjukan ini. Saya juga bertemu dengan Mas Zamroni dan Mbak Ida, dua penggiat Kampoeng Sinaoe di Buduran yang sangat tekun. 

Malam itu, meskipun pentas yang semula direncanakan outdoor atau di luar ruangan oleh saya dan Pak Nasar harus dipindah ke dalam ruang, tetap membuat kami puas dan senang. Saya bahagia. Orang-orang yang saya ajak juga begitu, tapi tidak dapat menyembunyikan rasa lapar. 

Pertunjukan ini, terutama yang terakhir, mendapatkan apresiasi yang bagus. Salah satu buktinya, menurut saya, diekspresikan oleh Bu Iffa Tsuraya dengan cara mengajak kami memungkasi pasca-acara dengan makan rawon Al-Abror, rawon yang konon sudah berdiri sejak 1945. Kami makan lahap, maklum, lapar sehabis pentas. 

Kami pulang menjelang pukul 11 malam. Di jok depan, saya tidur dan tidak ingat apa-apa lagi. Cak Dong yang mengemudi. Mobil satunya hanya mengikuti, nempel terus. Entah bagaimana ceritanya saya baru terbangun setelah Cak Dong ngisi bahan bakar di lepas Jalan Suramadu, di Labang, sudah di Madura. Soalnya, ketika berangkat, saya yang memandu jalan menggunakan radio handy talky, tapi waktu pulang saya tidur sama sekali. 

Kami shalat jamak ta’khir di masjid yang sama saat kami shalat jamak taqdim, di Dumajah. Tak lama istirahat, habis shalat, kami lanjut ke timur. Saya sempat mengemudi dari situ hingga ke Jrengik. Tapi, saya tepikan kendaraan dekat SPBU Jrengik karena mata benar-benar tidak mampu melawan kantuk. Sementara cahaya lampu utama juga tidak mampu menerabas malam yang gelap serta guyuran hujan yang terus turun dari langit, sepanjang jalan, sepanjang malam. 

Kami tiba di rumah kira-kira 30 menit menjelang azan subuh. Setelah bongkar muatan, kami shalat subuh berjamaah. Apakah yang terjadi sesudahnya? Anda pasti tahu, tak perlu diceritakan. 

03 Desember 2020

Laras-Imbang di Bengkel Kenangan

Saya dulu sering ikut ayah saya ke bengkel ini, Surya Indah Mobil. Letaknya di kota Pamekasan. Biasanya, ke tempat ini, ayah saya membawa Colt T120 pikapnya untuk menyetel roda-rodanya, untuk melaraskankan roda depan dan mengimbangkan keempat rodanya. Orang menyebutnya laras-imbang atau spooring-balancing.

Hari ini, saya pergi lagi ke tempat ini. Lima hari yang lalu, saya baru mengganti keempat roda Colt saya, dari ban semi radial Bridgestone Techno R13, 165-80 ke ban standar Gajah Tunggal 5.50 – 13. Maka dari itu, saya membawanya ke tempat ini untuk menyetelnya kembali supaya seimbang dan setimbang.

Kata orang, ban standar lebih empuk, tapi rasanya biasa saja. Entah karena merek atau entah karena tak termakan sugesti atau entah karena apa, saya kurang tahu secara pasti karena ini “baru soal rasa”. Yang jelas, dengan ban standar, putaran kemudi yang semula harus menggunakan “power sepiring” kini berasa “power steering”, lebih ringan pengendaliannya saat memutar ban di saat parkir. Saya akan mencobanya dulu beberapa hari ke depan.

Saya memang sudah datang beberapa kali ke tempat ini dengan Colt saya. Tempat ini masih sama seperti dulu, hanya gudangnya yang dinaikknya. Lantainya lebih tinggi, begitu pula dengan atapnya. Entah dengan tarif, saya lupa. Pastinya naiknya tidak seberapa.

Kemarin, Rabu, 2 Desember 2020, saya masuk dan hanya ada satu mobil sedan yang sedang diperbaiki kaki-kakinya. Ada lagi satu Mobilio yang sedang dipasang kaca film. Selebihnya, petugas tidak ada satu pun yang bekerja. Maka, mobil saya pun digarapnya dalam waktu singkat, mungkin 40 menit saja. Ongkos mengimbang (Rp25.000 per roda (sebetulnya cukup roda depan saja; saya mengukur kemepat roda sekalian) dan ongkos melaras (spooring) Rp150.000.

Sebetulnya, masih banyak tempat untuk laras-imbang, tapi kenapa saya pergi ke bengkel ini? Hanya karena satu: tempat bengkel ayah saya dulu, dan ini salah satu cara untuk mengenang beliau, mengikuti kebiasan beliau yang menurut saya baik. Itu saja.


Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...