Pembaca

29 Desember 2009

Gigi Nanas

Pinion atau gigi nanas di dalam gardan, jika aus, akan menghasilkan suara desing tinggi yang tidak merdu, dan gak mutu. Beda dengan bising lengking gitar Steve Vai atau tarikan vokal Midnight Crimson Glory yang enak didengarkan. Nah, kalau yang ini, bikin reputasi kendaraan melorot. Suaranya lebih jelek dari suara himar (Zebra).

Banyak colt yang punya keluhan “penyakit” macam ini, dan begitu juga dengan milik saya ini. Anehnya, penyakit ini bukan disebabkan oleh terlalu seringnya kendaraan memuat beban berjibun (overload), melainkan terkadang justru hanya karena olinya diganti. Apa memang tidak perlu ganti oli? Saya kira, ini jawaban yang seharusnya berbunyi begini: lupa kelamaan tidak mengganti oli, gardannya kaget ketika dipasang oli yang baru, tentu karena kekentalan yang jauh berbeda. Pengalaman seseorang, saat oli gardannya diganti/ditap, gerigi ini langsung bersiul kencang. Ia bingung. Lalu, coba-coba oli bekas itu dikembalikannya lagi. Dan, bukan sulap, hilang pula bunyi berisik itu.


Memang, bunyi berisik tidak berpengaruh penting, mungkin, bagi kerja mesin. Tapi, sekurang-kurangnya ia mengurangi gaya saat menyetir (hmm….). Lalu, adakah cara menghilangkannya? Ganti gear pinion atau gigi nanas ini. Biasanya, pinion dijual sepaket dengan crown wheel-nya. Harganya berkisar 1 jutaan. Terlalu mahal? Kalau mau murah, gampang! Cukup rogoh kocek seribu perak untuk beli kapas. Sumbat kuping kita dengannya. Beres.



(CATATAN: mohon koreksi, Para Pembaca, jika ada istilah yang saya gunakan secara salah alias ngawur)

12 Desember 2009

Coba-Coba

Hari ini aku mencoba mengganti spuyer dan injektor pada ruang karburasi Colt T-120. Beberapa perpak juga diganti, juga empat busi sekalian.


Setel, setel, setel, dan hasilnya cukup memuaskan. Alhamdulillah.


Oh, ya, soal busi: yang kupakai selama ini memang busi bekas, pemberian om-ku, sisa nyopot dari sidekick. Masih bagus, tapi coba kuganti karena hanya ingin coba-coba saja. Kali ini kuganti milik Ford Escape. Sama-sama bekas, tetapi kualitas rasanya masih prima.


Saat di-start dan langsung injak pedal gas, gaharnya langsung terasa. Namun saat dibawa jalan, kok tidak pengaruh pada suspensi, ya? He..he..

24 November 2009

Undangan ke Bato Guluk


Perjalanan ke Bato Gulu' (Bato= Batu, Gulu'= Menggelinding). Bato Gulu' artinya The Rolling Stones, Mick!

Hari kamis yang lalu, 19 Nopember 2009, kami menghadiri acara walimah Saudara Rabitul Umam di Bato Gulu’, Rubaru. Sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan kalau medan ke rumah dia itu begitu terjalnya. Kami bertiga naik colt T-120. Aku duduk di belakang kemudi, sedangkan istri dan bibiku duduk di bangku tengah.
Sebelum berangkat, aku mengisi bensin 4 botol saja di kios bensin eceran (4 botol kurang lebih 3 liter lebih sedikit). Setelah acara selesai, ternyata rombongan pamanku yang diangkut dengan Toyota Hiace tahun 1983 mengalami masalah. Kopling mobilnya los/dol. Akhirnya, Titos du Polo-ku yang jadi pahalwan. Kulihat, ada sembilan orang di dalam mobil.
Dalam perjalanan pulang, aku tidak menyetel tape karena suara shalawat dan doa-doa yang lain telah terdengar dari dalam kabin oleh para penumpang. Mereka, terutama bibiku, sangat khawatir mengingat jalan pulang yang berat: terjal, curam, muatan berjibun, serta ancaman bensin yang minim (karena tak ada kios bensin di tengah perbukitan).
Dan akhrinya, meskipun dengan susah payah, melewati tanjakan dengan gigi satu dan harus injak rem kuat-kuta saat menurun, kami pulang dan tiba di rumah dengan selamat.
Alhamdulillah.
Kau tampak tua dan gagah, meskipun lelah, Titos!

22 November 2009

Bincang-Bincang dengan Haji Fathor


“Ini, Pak, setirannya tidak enak. Saat saya mengemudi, rasanya kok kayak di-jus, ya? Bergoyang-goyang gitu,” keluhku mendayu-dayu, membujuk Haji Fathor, si bengkel tua dari Tlanakan.

“Mungkin tierodnya, Ra.” Tafsirnya sambil mengernyitkan kening dengan mata tertuju ke roda kiri.”

“Silakan diperiksa saja, Pak. Saya tinggal pergi dulu, ya.”


Selang dua hari, setelah ditinggal pergi ke Surabaya, saya datang lagi. Saya menjumpai mobilku sudah dalam keadaan bersih. Kelihatannya baru saja dicuci dan diparkir di garasinya.

“Bagaimana, Pak?”

“Sudah enak, Ra. Lari 90 tidak goyang.”

“Wah, sip. Bagus itu!”

“Berapa, Pak?”

“Sudah lah, tidak usah. Tidak ada suku cadang yang diganti, kok.”

“Ah, jagna begitu, Pak. Sampeyan mengeluarkan tenaga dan pikiran juga, kan?”

“Seikhlasnya,” kata bapak itu akhirnya dengan air muka yang polos, sepolos ”interface” Colt Titos miliknya yang langsiran 1971.


Saat mau pulang, Haji Fathor berpesan.

“Tapi, kalau bisa, bannya diganti, ya. Ada kawat bajanya nya yang putus.”

“Bisa diakali, Pak?”

“Tidak bisa, Ra. Harus diakali ke toko, dan beli yang baru. Lagian, bannya ada yang batikan juga itu, Ra..”

“Maksudnya?”, tanyaku tidak paham.

“Ya, ban sudah tipis, tapi masih dibatik agar bergerigi kembali, vulkanisir pakai pisau.”


Kami tersenyum bersama-sama.

09 November 2009

Velg Sebabnya-kah?


Naik colt kesayanganku ini, kena stop polisi lagi. Ini operasi tertib lalu-lintas, khusus sepeda motor, tapi kok mobilku dicegat, ya? Padahal, aku bersama keluarga dan bahkan, pakai peci haji. Kena cegat pula!

Polisi muda itu memeriksa surat-surat dan SIM-ku dengan ramah. Kesimpulannya? Lengkap. Surat kreditnya saja yang tidak ada.


Setelah meninggalkannya, aku menggerutu di dalam hati. Kok, harus dicegat? Distop kan bisa menghabiskan waktu 3 menitan, kalau berdebat mungkin jadi 10 menit, dan kalau kena tilang, bisa 15 menitan atau lebih. Jika mau pergi kondangan, pasti sudah kebagian cuci piringnya.


Bikin pertanyaan sendiri, kujawab sendiri: Dugaanku, pak polisi itu mempertimbangkan, lalu mencegat mobilku karena dia melihat velg standar dengan wheeldop kusam dan flinstone sekali. Coba kalau kuganti dengan velg 17”-an dengan ban tipis ukuran 55, mungkin pak polisi itu akan serta-merta haqqul yaqin bahwa colt yang kubawa ini “bukan colt biasa” (maksdunya: biasa buat ngompreng).


Aku sempat berpikir untuk menukar velg-ku dengan velg ukuran 18” seperti gambar di bawah ini, tapi aku tidak yakin karena:

  1. sukar saat berputar
  2. berat saat membayar
  3. emang yang punya velg 18”-an mau, apa?

30 Oktober 2009

Busi Escape buat Titos


Seorang kawan menghadiahiku empat busi bekas, tapi masih lumayan anyar: busi ini milik Ford Escape. Maunya ujicoba dipasang ke colt-ku. MAna tahu akselerasinya jadi terdongkrak. Tapi, ternyata kekecilan. Akhirnya, gak jadi.

Tapi, jangan khawatir, busi yang kupasang akhirnya tetaplah busi bekas. Sekali lagi, jangan khawatir, tetap busi bekas, kok. Bedanya, yang ini, busi pemberian Om-ku yang dipasangkan itu, diwariskan dari Suzuki Escudo.

04 Oktober 2009

Edisi Modifikasi

Ini gambar aslinya.... dan ini "Titos Modif" hasil rekayasa Ahmad Hassan:

rasa nano-nano

rasa es krim
rasa cabai
rasa pisang
rasa capucino
=========================================
dan ini yang paling cocok buat medan di sekitar rumahku:

rasa TATRA T815-7

10 September 2009

Beyond Speed


Pada kecepatan 80 kilometer per jam, akan terdengar bunyi alarm Titos du Polo dari balik dashboard-nya.


Saatnya konsentrasi dilipatgandakan.


Hati-hati.


Tapi, entah jika kejadiannya seperti ini?

Tidak ada sisa konsentrasi untuk telinga, semuanya tercurah untuk bentang ruas jalan di depan, pada aspal, pada kecepatan, pada nafsu untuk mendahului:

05 September 2009

Mobiliawi, Titosiawi


Pernah merasakan mogok?


Banyak orang merasakan pengalaman tidak mengenakkan ini. Kecuali Anda punya mobil baru, mungkin sulit mengalami kejadian serupa, namun bukan berarti tidak mungkin. Mesin baru sih bisa saja tidak pernah mogok hingga beberapa ribu kilometer perjalanan, tetapi soal ban? Apakah tidak mungkin pecah? Jadi, jika Anda berjumpa mobil mogok? Mari ta’awanu, begitulah, bahu-membahu.


Suatu saat, saya pernah bawa Mitsubishi L300 dengan 5 ban yang masih baru. Karena salah parkir dekat tumpukan material, ban kiri depan kempes tertusuk paku. Waduh, sial benar. Padahal saya tidak sedang bawa dongkrak dan kunci roda karena merasa itu tak perlu mengingat kondisi ban yang anyar. Nah, bagaiaman jika terlanjur seperti itu? Capek, bukan? Beruntunglah, pertolongan segera datang.


Nah, baru saja, seorang kawan melaporkan kalau Panther-nya mogok. Akinya bermasalah. Akhirnya, ia butuh otot-otot segar buat mendorongnya. Dalam hati saya membatin, Mogok dan dorong-mendorong itu “mobiliawi”. Wajar. Emangnya, cuma Titos yang bisa mogok? Semua juga bisa demikian :-)


“Kalau tak ingin pakai acara dorong-mendorong, ya, jangan beli mobil, tapi belilah genset!”


22 Agustus 2009

Colt Rasa Bis


-->


“Colt T 120 itu bawaannya lembut, enak, dan bersahaja.”
—dikutip dari bibir seseorang yang turun dari Mercy

Kalau Suzuki Carry? Irit, sih, tapi sempit dan bawaannya kayak naik perahu di jalan tidak beraspal. Toyota Alphard? Boros, tidak hemat BBM, biaya dan harga mahal; Grand Livina? Waduh, yang ini irit, lembut, tapi sempitnya itu seperti merasa tersiksa. Rasanya, enakkan naik colt yang dibodi kayak ini. Lega banget. Pajak cuma 300-an ribu. Bensin 1:11, dan bahkan bisa tidur dan main ping-pong di dalam..





Keterangan:
ATAS: Dedy Jaya menjadi Faizi Jaya; BAWAH: AKAS ASRI dengan tampang colt T-120-ku
rekayasa gambar oleh Ahmad Hassan


14 Agustus 2009

Legenda Hidup


“Per seker patah saja masih mau jalan…”


Entah benar, entah hanya ungkapan hiperbolis, tetapi demikian ungkapan Haji Saiful Bahri, juragan alat-alat bangunan dari Kwanyar, Bangkalan, mengungakapkan kekagumannya pada Mitsubishi Colt T 120 yang baru dibelinya.


* * *


Saat saya bertandang ke rumahnya tadi siang (Jumat, 14 Agustus 2009) sehabis sowan ke Sunan Cendana, saya melihat karnaval colt T 120 di depan pasar Kwanyar.

Semula, saya kira ini parade barang rongsokan yang siap diloakkan mengingat kondisinya yang kebanayakan begitu parah. Asumsi ini, antara lain, terbangun oleh kenyataan bahwa ada bebrapa colt yang:

1. Debu di kaca depannya betul-betul masya Allah. Jangankan tersentuh air, dilap, atau bahkan dikebut pakai kemucing saja sepertinya tidak.

2, Bahkan, ada yang ompong (tidak pakai bumper)

3. Ada pula yang picek (lampu utamanya tidak lengkap).


Tetapi mana kala saya lihat dengan mata kepala sendiri kalau mobil ini sedang ngelen (mengangkut banyak penumpang), saya jadi percaya.

Nah, yang di bawah ini, menurut amatan saya, merupakan colt yang paling artistik di parade itu: penuh karat dan berbau titanus.

Tatapi, ini bukan mobil dodong. STNKB tetap diperpanjang. Ini buktinya:


Pemilik mobil ini sepertinya sangat taat peraturan lalu lintas dan sadar pajak.


Soal interior, wah, saya kok tidak sempat melihatnya, ya. Tetapi, saya merasa cukup memahaminya dengan imajiansi saja. Ya, karena saya pernah melihat colt serupa milik Salim dari Larangan Tokol, Pamekasan. Seperti ini kira-kira dashboard dan speedometernya…



Sekali lagi, ini bukan barang rongsokan.

Dua ton pun masih berani dilawan!

21 Juli 2009

Busi


Saya dibikin bingung oleh Si Titos. Hari-hari belakangan ini, jika berjalan kurang lebih 15 menit dengan track menanjak-menurun, tiba-tiba knalpot meletup-letup tidak bisa stationer, mesin pincang. Ketukan mesin yang seharusnya datar dan menggumam ketika stationer/lepas gas, kini kelihatan staccato-nya dan lebih menyerupai bunyi double pedal-nya Scott Travis dalam lagu Metal Meltdown.

Pertama yang jadi korban tuduhanku adalah bensin eceran: saya bongkar filter bensin, tetap saja; bongkar karburator, tetap saja; ganti platina, tetap saja; dan ternyata, setelah busi dibuka…

Weleh-weleh…
Keramik pada busi ke-1 ternyata patah.
Kenna’ Sampeyan!
Ya, diganti lah….

(Sampai saat ini, Titos kembali ke
track semula. Di track menanjak, kemarin kucoba tarikannya: setelah sempat memperdayai L300 (saudara se ayah Mitsubishi lain ibu chassis), Titos mengasapi Suzuki Carry diujung RPM pada persneling ke-3 sebelum oper ke gigi terakhir)
Puas, Deh…

Catatan: itu baru pakai busi bekas, coba nanti kalau sudah pakai busi baru, akan lain lagi ceritanya. Grand Livina atau Innova mungkin bakal jadi korban selanjutnya…. [Grand Livina dan Innova-nya sedang parkir, he..he..)

Jika tidak disanjung sendiri, siapa yang akan menyanjung mobil tua jelek begini?!

23 Juni 2009

300-E lawan T-120



Tiga hari yang silam, saya diajak Ini ITU Pangapora dan Tuan Bilgetz dari Mikrusup
melaksanakan laga tandang ke Partelon. Kami bertiga menunggang Mercedes Benz 300-E. Dibawah buaian pendingin udara yang lembut dan suasana kabin berperadam tinggi, aura wibawa mobil lawas ini masih terasa. Kabin pun nyaris serasa kuburan, senyap. Deru mesin berkapasitas dua kali lipat lebih besar daripada mesin Colt T-120 itu tidak terdengar. Hanya aum sepasang muffler berkesan bazzoka, pada saat rotary per minute-nya meninggi, sesekali menyelinap di rongga telinga.

Duduk di kokpit, saudara Ini ITU (bacanya: idhuuu...) Pangapora dengan Tuan Bilgetz sebagai navigatornya. Saya, seorang diri, duduk di jok belakang sambil membayangkan menjadi seorang pejabat eselon II yang hendak mengunjungi istri mudanya. Jalan kelas III-A yang sering dilintasi truk-truk bermuatan overload ini terasa lintasan pacu bandara: rata, datar, tanpa tonjolan, tanpa gelombang.

Alhamdulillah, setelah turun dari mobil buatan Jerman ini, saya dapat mengubah persepsi yang selama ini selalu saya sombongkan:
Ternyata, ada tumpa’-an yang lebih nyaman daripada Colt T-120…

(itu dia kesimpulannya)

16 Juni 2009

RI-1

Meskipun ada dua mobil diparkir di depan rumahku, kalau saya mau bepergian, ya, saya bawa kendaraan perangku, si “RI-1”, sebagai kendaraan dinas non-plat merah. Kendaraan lainnya, “RI-120”, adalah kendaran ke-seratusduapuluh (bukan 1200 cc, lho). Jadinya, ia jarang digunakan karena pada interval itu, ada banyak kendaraan lain yang menunggu “giliran” pantatku. Walaupun, bukan itu alasannya:

melainkan,,,, karena “RI-120” itu bukan milikku :-)



18 Mei 2009

Tilang Berhadiah

Setiap kali melihat anak muda berperilaku serampangan di jalan raya, atau berjalan biasa tetapi tidak menggunakan lampu di malam hari, atau tiba-tiba berbelok tanpa didahului lampu sein, berhenti mendadak tanpa lampu rem, atau, intinya, ugal-ugalan di jalanan raya, ingin rasanya saya menjadi pak polisi. Lalu, saya akan memberi tindakan dan penyadaran mereka semua itu. Ini adalah keinginan bawah sadar. Saya baru sadar sekarang dan tahu alasannya, mengapa sejak kecil dulu saya suka menonton filem serial di TVRI, Chip’s, Hunter, sampa filem kartun Police Academy.

Namun, sejak pukul 09:15 (14 Mei 2009) keinginan itu pupus sudah. Peristiwa ini bermula ketika si Titos yang saya kemudikan dengan penumpang 4 orang, diberhentikan oleh sebuah operasi lalu lintas di Jalan Panglegur, Pamekasan, seberang jalan RSUD. Seorang petugas menyetopnya, menanyakan surat-surat, dan seterusnya. Kira-kira, percakapan itu begini modelnya.

“Surat-surat?” pintanya.

Saya memberinya SIM dan STNKB.

“Taksi, ya?”

Saya menautkan alis, “Bukan, Pak. Ini plat hitam. Pribadi.”

Saya hendak turun tetapi petugas itu menyentak sabuk keselamatan, dan copot karena memang tidak terpasang. Maklum, saya membukanya karena saya hendak turun dari mobil sebelum petugas tersebut menghampiri.

“Nah, ini! Anda tidak memasang sabuk keselamatan! Mari ikut saya.”

Petugas itu melangkah, menjauh, membawa SIM dan STNKB saya lalu menyerahkannya kepada petugas yang lain. Saya memaklumi perwira polisi tersebut untuk menuduh saya berlaku demikian karena dia tentu mengambil pandangan umum, bahwa rata-rata pengemudi di sini masih tidak terbiasa menggunakan sabuk keselamatan. Akan tetapi, tentu saya tidak terima jika dibilang saya tidak menggunakan sabuk keselamatan karena dalam kenyataannya saya memakainya dan baru melepas beberapa detik sebelum dia mendatangi saya.

“Lho, saya kan mau turun dari mobil, Pak, tentu sabuk ini harus dilepas dulu agar saya bisa keluar.”

“Alaaah! Alasan. Pintar-pintarnya Anda bikin alasan. Sopir-sopir di sini suka begitu.”

“Wah, tidak begitu. Saya jujur, Pak.”

Maka, kami pun adu mulut. Saya menahan diri untuk terus berbicara pelan, namun petugas berinisial DH itu tetap temperamental (saya masih sopan dalam menulis untuk tidak menyebutnya “membentak-bentak”).

“Malu sama peci haji Anda!” Perwira itu melihat muka saya. Ya, kebetulan, saya menggunakan peci haji ketika itu, bukan peci hitam nasional sebagaimana biasanya saya pakai setiap hari. “Alasan Anda itu biasa, modus operandi sopir-sopir di sini,” tambahnya.

Barulah, kala itu saya benar-benar tidak dapat menahan rasa marah.

“Pak, kalau soal tilang jangan bawa-bawa peci, Pak!”

Wajah saya, mungkin jika Anda melihatnya, akan bersemu merah. Saya terus mengikuti pak perwira yang terus menghindar ketika saya desak dan saya tanya, mengapa dia menuduh saya tidak menggunakan sabuk keselamatan padahal saya melepasnya justru karena hendak turun dari mobil, untuk menghormatinya?

Sejujurnya, membicarakan safety belt (sabuk keselamatan) sebagai salah satu bentuk upaya keselamatan berkendara sungguh ambigu. Sabuk keselamatan yang “dipasang sendiri” di mobil-mobil tua, atau mobil baru sekali pun tetapi bukan built- in dari pabrikan, seperti pada Suzuki Carry atau Mitsubishi L300, lebih bersifat simbolis, tak ada gunanya. Fungsi sabuk keselamatan adalah menahan badan secara otomatis dari benturan dengan stir atau dashboard jika terjadi hentakan/tabrakan. Tapi sabuk-sabuk keselamatan yang dipasang sendiri, seperti pada Colt T-120 ini, pada umumnya tidak memiliki fungsi seperti itu karena sabuk keselamatan tersebut tidak berpegas. Sebetulnya ini kenyataan yang lucu, tapi nyata dan menegangkan.

“Anda itu harus minta maaf!” Tiba-tiba suaranya meninggi.

Agar tidak membuat urusan jadi panjang walaupun saya bisa menjelaskan alasan yang masuk akal, saya mengalah, tetapi saya katakan “sorry” kalau harus berdamai dengan membayar uang.

“Saya minta maaf, Pak. Saya mengaku salah.”

Petugas tersebut tidak mempedulikan saya. Wajahnya tetap berasa masam. Namun, pada akhirnya, saya membuat-buat anggapan sendiri, bahwa dengan tidak ditanggapi kembali, berarti permintaan maaf saya telah dikabulkan meskipun dengan berat hati.

Saya menghampiri petugas lain yang sedang berdiri di depan sebuah sedan berwarna putih-bitu dan bertuliskan “patroli” itu. Bersamanya, berdiri sepasang pria-wanita yang kelihatannya punya masalah dengan SIM.

“Mana STNK saya?” Saya meminta.

“Bagaiamana kata Bapak?”

“Sudah beres,” pungkas saya sekenanya.

Maka, petugas itu memilih satu STNK di antara surat-surat “siap ditilang” yang menumpuk, berjejer di atas kap mobil sedan patroli itu.

“Ini. Hati-hati di jalan!”

* * *

Hari itu, STNK saya tidak jadi ditahan. Saya pergi dengan wajah sumringah namun tetap membawa perasaan dongkol karena tuduhan tak bertanggung jawab dan penyebutan songkok yang dihubung-hubungkan dengan ketidakdisiplinan tadi. Hukum formal memang selalu diambil berdasarkan pengalaman kebanyakan. Saya paham soal ini. Namun, mengapa petugas tadi marah-marah tanpa alasan kepada saya? Ini yang saya cari jawabannya.

Memang benar, ternyata bukan saya saja yang merasa tidak terima diperlakukan seperti itu di muka umum, bahkan istri saya dan beberapa penumpang perempuan lain yang duduk di kursi belakang dan menyaksikan cekcok itu secara langsung juga merasa dilecehkan. Ya, kami semua tidak rela diperlakukan begitu oleh perwira polisi tersebut.

Saya mengajak mereka buru-buru pergi karena khawatir akan terjadi cek-cok dan adu tensi tinggi lagi. Dengan gaya suami siaga yang bijak, saya bilang, “Mungkin si bapak petugas itu sedang dirundung masalah dengan istrinya sebelum pergi bertugas. Akibatnya, ya, emosinya tumpah di jalanan..”

Masuk gigi 1, lepas kopling, tancap gas, dan kami melaju. Titos menderu…

Saya tiba di tujuan dalam keadaan pikiran masih cpaek, namun juga bersyukur karena daftar tilang saya masih nihil. Akan tetapi, begitu saya merogoh saku baju, kedapatan uang 20.000. Saya hitung ulang semua uang: lengkap, kap, kap! Lalu, milik siapakah uang 20.000 yang tak jelas itu? Saya menduga, uang-bernasib-malang ini milik pelalu-lintas lain yang melanggar yang tidak mau ditilang dan mereka memilih nyogok, berdamai dengan uang duapuluh ribu.

Astaghfirullah. Siapakah tuan pemilik uang syubhat ini?

Saya membatin, “Apakah milik muda-mudi tak berhelem, ya? Ataukah punya sopir colt pick up yang muatannya berjibun itu-kah? Entahlah, yang pasti, saat saya ambil SIM/STNKB dari meja kap sedan mobil polisi itu memang tergeletak bersama SIM/STNKB kendaraan-kendaraan lain yang kebetulan juga terkena pasal pelanggaran.

Waduh…

Saya serahkan uang itu kepada seseorang sambil berkata, “Terserah mau dibagaimanakan,” kataku sambil menyerahkan uang itu. “Tapi, jangan sampai perutmu, perut istrimu, dan perut anak-anakmu, kemasukan makanan dari uang yang tak jelas nasabnya ini.”

“Kalau masuk ke telinga?” tawarnya.

“Maksudnya?” Saya balik bertanya.

“Dibelikan pulsa, misalnya, buat nelepon?

Semakin pusing kepala saya mendengarnya.


Catatan Tersisa:

1. Image Colt T-120 adalah omprengan. Jadi, mobil plat hitam pun dikira ngompreng.

2. Barangkali, saya juga disepelekan karena perwira itu melihat SIM-ku yang “masih A” dan saya dianggap baru belajar mengemudi (meskipun sudah 3 kali bikin SIM A). Menyesal saya tak ambil SIM B-2 saja biar dikira sopir bis/tronton.

3. Bukan hanya kanker yang berbahaya, cara pandang bahwa pengemudi lebih rendah derajatnya daripada aparat polisi itu juga tak kalah berbahaya.

4. Lain kali, kalau mau ke kota aku bawa Grandis atau Mazda RX-ku saja, ah, meskipun DURNO! :)

03 Mei 2009

Berkhayal: Reli Paris-Dakar



Setelah kalah-menang dalam beberapa etape sebelumnya, pada etape terakhir reli gila Paris-Dakar ini aku dan Titos berhasil menyentuh finish pertama. Beruntung, Titos mendapat kesempatan kupacu cepat tancap melesat hingga tak tersisa lagi apa itu pedal gas untuk dilibas!


Akibat mengemudi dengan Titos dengan cara membabi buta, korban-korban pun berjatuhan:


Pertama, TATRA

Kedua, LIAZ, dan yang teLaaakhir

V...O...L...V...O... !!!



Bahkan, sebelumnya, saudara sekandung lain ayah lain ibu pun, Mitsubishi Pajero, sang penakluk Paris-Dakar bertahun-tahun, harus juga didahului.


Kawan-kawan, dalam kesempatan ini saya minta maaf.

Waktu itu aku buru-buru bukan karena ingin menyalip kalian semua,

tapi karena kebeles pipit, dan ingin segera tiba di kamar kecil di kota Dakar.



18 April 2009

Jangan Isi Penuh Tangki Bensin Mobil Anda!



Beberapa hari yang lalu, terjadi pencurian mobil. Ini peristiwa langka di Madura. Saya selalu mendengar pencurian mobil di tempat-tempat lain, misalnya di dalam filem, tetapi hanya sekali mendengar hal itu terjadi di Madura.

Kronologinya, saudara saya yang kehilangan itu, pulang dari bepergian dan kecapekan lalu teridur pada kira-kria jam 02 malam. Jam 02:30, mobil dibawa pergi orang tak dikenal dari garasi, serta beberapa ponsel dan handycam.

Kini, ponsel dan yang lain raib, kecuali mobil yang didapat. Mobil ditemukan mogok di jalan pelosok kira-kira pada jarak tempuh 50 KM dari TKP. Dugaan sementara, mobil kehabisan bensin.

Hikmah yang dapat diambil dari kisah ini adalah: jangan terlalu penuh isi bensin! Makanya, saya sudah menerapkan hal ini jauh hari sejak sebelum kejadian. Tangki bensin cukup terisi 5-10 liter saja. hihihi

12 April 2009

Cerita Hari Ini Bersama Titos


Tadi siang, saya mencoba memacu si Titos ini di jalanan Prenduan-Pamekasan. Bukan kejar setoran, cuma karena sedikit gemas pada bunyi mesin Isuzu Elf 2,8 (yang kalao sedang diblayer kayak nantang gulat) yang melenggang bergoyang-goyang membokongiku.



Microbus (kata orang setempat, “bis mini”), ini tampaknya berpenumpang lumayan. Sedangkan Titos-ku berpenunmpang 4 orang. Kukejar terus ia sampe lewat Talang Siring, pas di track lurus. Rupanya, ada Kijang LGX yang juga didahuluinya. Kini, jarak kami telah terhalang seratusan meter, ya, gara-gara si Kijang ini. Kupacu dan gak kena juga.


Aku kasihan pada bunyi mesin, aku kasihan pada bunyi gardan, aku kasihan pada bunyi sirine buzzer yang bercicit-cicit di balik speedometer. Suaranya mirip sepatu anak-anak yang terinjak kaki orang dewasa, karena kecepatan sudah di atas 80 KM /jam. Kutambah lagi menuju 100 Km / jam sambil pura-pura lupa kalau remku bukanlah Brembo: Gak kenak juga..


Sampai di TKP, kumatikan mesin.


Singkat cerita, saat mau pulang, pas distater, tak mau jalan tuh mesin. Toleh kanan, toleh kiri, cari orang: minta bantuan. Tak ada. Aku kehabisan akal, sementara peluh telah membasahi kening, leher, dan punggungku. Wah, celaka! Setelah kucek, tak ada bensin sama sekali di karburator. Rupanya, saat dipacu, antara pasokan bensin ke karburator dan konsumsi bensin ke mesin tidaklah seimbang. Harusnya, kata kawanku kemudian, biarkan mesin dalam keadaan stasioner/idle selama beberapa saat agar bensin kembali siap teguk di karburator. Untunglah ada orang berbaik hati menyedekahkan kira-kira 40 mL bensin sepeda motornya dan langsung pula kutuang ke dalam karburator bernasib malang itu…


Start, dan greeeng… greng…greng…..


Itulah pengalamanku hari ini bersama Si Titos…

Cup, ah, buatmu, kawan setia tukang antarku!!


28 Maret 2009

Menunggu Juragan...






Menunggu itu ternyata emang capek!


Apalagi kayak aku, sopir mobil carteran. Entah kemana tuh orang, pergi kok lama banget. Tapi, ya, emang begini nasip jadi sopir mobil carteran. Kemana saja tuan mau pergi, kita harus turuti. Kalau tuan ngobrol asik lupa daratan, lupa pula toh sopirnya nunggu kecapekan.


Ngaso dulu ah…

kalau tidur di Alphard atau Camry, kok sulit, ya.. tapi kalau di Titos, ah, lelap sekali...



Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...