Pembaca

16 Mei 2016

Mengukur Konsumsi BBM dengan Penyetelan Spuyer Colt dari Luar


Tadi sore, saya berkesempatan lagi mengukur konsumsi BBM Colt dengan sepresisi mungkin. Operjalanan dilakukan pergi-pulang hingga akhirnya saya temukan hasil jarak tempuh 11,3 kilometer (versi wikimapia beda sedikit dengan versi odometer). Sebelum berangkat, selang bensin dari filter saya copot dan digantikan selang besin yang langsung saya cocorkan langsung ke galon bekas kemasan oli literan.

Untuk memastikan kapasitas satu liter persis, saya beli 2 botol bensin eceran, lalu saya tuangkan ke dalam galon bekas wadah oli literan itu hingga batas garis paling atas (1 liter). Saya nyalakan mesin dan dibiarkan dalam keadaan idle sehingga bensin tersedot beberapa mililiter. Setelah itu, saya tambahkan lagi bensin agar kembali berada pada batas garis atas, yakni 1 liter persis. Setelah siap, mulailah saya berangkat.

Sebelumnya, lama sekali saya melalukan “penyetelan spuyer dari luar”. Ini inti dari posting ini. Anda dapat membaca dan melihat foto-foto di blog saya. Silakan cari dengan kata kunci "mengatur spuyer dari luar"). Saya ulir baut jarum yang menyumbat spuyer jalan hingga nyaris mentok (karena saya menggunakan spuyer besar: ukuran 162). Ketika mesin dinyalakan, normal saja kedengarannya. Namun, saat persenleling masuk dan kopling dilepas, mesin mati. Saya yakin, ini pertanda kekurangan bensin. Saya buka sedikit, dicoba lagi, mati lagi. Uji coba ini berlangsung hingga beberapa kali hingga akhirnya saya menemukan komposisi yang pas. Memang, ada sedikit brebet kalau diinjak spontan, namun karena saya bisa mengatur pedal gas dengan alus, semua itu bisa diatasi dan mobil berjalan normal. Setelah dirasa siap, barulah ujicoba siap dilaksanakan.

Sebelum kali ini, saya sudah pernah mencoba hal serupa pada tanggal 08 Desember 2014 silam dan hasilnya 1 liter cukup 12 kilometer. Kali ini, dengan kondisi jalan normal dan datar, beban 1 sopir dua penumpang, kecepatan 50-60 km / jam, konsumsi bensin untuk jarak 11,3 kilometer itu tak sampai menghabiskan 1 liter (masih tersisa beberapa mili liter seperti dalam gambar). Kalau dibawa ngebut, sepengalaman saya, dengan konsumsi seperti itu, kecepatan mentok 80 km/jam, tidak bisa lebih dari itu.

Silakan kalau mau mencoba.

13 Mei 2016

Perjalanan Colt: dari Kematian ke Kelahiran

.
Colt saya ini hanya dibawa pergi ke kondangan, takziyah, silaturrahmi. Ya, hanya itu saja kayaknya pergerakan roda-rodanya. Pernah, sih, beberapa kali dipinjam famili lain, tapi saya yakin Colt tidak dibawa ke tempat wisata atau berbelanja ke mal. Pernah juga menyiksa paman karena membran yang tidak bekerja dengan baik padahal dalam suasana liburan panjang, dan dalam perjalanan sangat jauh. Kasihan saya kalau ingat kisah itu, saih itu.

Saat pertama beli dari paman (yang satunya lagi), nenek bilang agar pergerakan roda pertama mobil harus ke tempat yang senang-menyenangkan, sebut misal pergi silaturrahmi atau ke mantenan. Saya pun menurutinya. Mobil ini diakad pada malam 16 dzulhijjah 1429 dengan harga 17,5 juta, tapi dibawa pindah garasi pada tanggal 18-nya, bertepatan dengan Rabu, 17 Desember 2008. Perintah pindah garasi ini ditunjuk langsung oleh si paman. Kata beliau, tanggal 18 merupakan hari keren. Sebagaimana seorang cowok nembak cewek pada momen tertentu, pindah mobil pun pilih-pilih waktu.

Cerita hari ini begitu juga

Hari ini saya pergi takziyah ke rumah seseorang di Poreh, Lenteng. Ya, takziyah atau pergi melayat adalah bagian dari aktivitas saya, begitu juga tilik bayi. Pagi ini, apa daya, jalan ke lokasi ternyata tidak bisa dijangkau dengan mobil, padahal saya sedang mengantar ibu saya yang sudah mulai sulit untuk berjalan kaki agak jauh. Tidak apa-apa, lalui saja. 

Perjalanan kami melewati barisan rumpun bambu, asri sekali. Kami hendak menyeberang jembatan bambu tapi ibu tidak berani, gamang. Akhirnya, kami terus maju, mencari jembatan beton. Kami harus lewat di sana karena alasan itu meskipun rute jadi memutar, lebih jauh sedikit.

Tuan rumah menyuguhi teh dan campor, sebuah kuliner khas Lenteng-Poreh yang berupa soto daging dengan campuran kacang goreng yang dilarutkan bersama kuah. Isi utamanya adalah ketupat. Jadi, jelaslah kalau campor ini mengenyangkan.

Setelah takziyah ke mendiang Rumma, kami pulang dan menuju Lenteng. Di sana, kami takziyah lagi ke rumah Jufri. Kakeknya, Enik, sudah wafat 3 jumat yang lalu. Saya baru berkesempatan di hari ini. Kalau ditanya, pastilah kami akan berbasa-basi, sibuk dan entah alasan lain. Sebelum disuguhi kopi, kami sudah berpesan dulu agar tidak disuguhi makanan berat lagi, sejenis campor atau lainnya. “Kami baru saja makan di Poreh,” begitu kata saya. Begitulah, ada satu kebiasaan di masyarakat Madura tertentu: kalau tamu tidak segera ngomong, tuan rumah akan menyuguhkan makanan lagi.

Hari itu kami agak terburu-buru. Pukul 10.30 kami sudah meninggalkan rumah Jufri, melewati jalan yang sungguh sangat sempit dan saya tidak bisa membayangkan kalau saja terjadi papasan dengan mobil lain. Jika itu terjadi, pastilah salah satu mobil harus mundur sejauh-jauhnya untuk mencari tempat memutar atau menyisi. Jalan berbatasan langsung dengan tegalan.

Pukul 11.10, saya tiba di rumah dan bersiap pergi ke Jumatan. Sorenya, saya kembali pergi, tilik bayi ke rumah Muallifah yang entah sudah berapa waktu melahirkan. Sehari ini, Colt saya sudah menyambangi orang mati dan orang yang baru lahir ke muka bumi.


Begitulah adat kami, sibuk ke sana ke mari untuk kematian dan kelahiran atau sesuatu yang berada di antaranya: pernikahan. Ya, Allah. Engkau adalah Mahapengampun. Maka, ampuni hamba bila lalai sebab kami, hamba-Mu, adalah makhluk Mahasibuk.

12 Mei 2016

Curhat Seorang Sopir Colt


Diperkirakan, terhitung sejak akhir 2008 hingga sekarang (Mei 2016), saya telah menempuh sekitar 80.000 kilometer sebagai sopir Colt T120 atau hampir seratus ribuan sebagai sopir secara umum. Angka tersebut tentu akan lebih tinggi jika dihitung mulai saya legal legal sebagai sopir, yakni pada tahun 1997, sejak mula-mula mengantongi SIM-A. Bagi seorang sopir bis malam trayek Pulo Gadung-Sumenep, angka seratus ribu hanya butuh sekitar 4 bulan untuk dicapai.

Selama mengemudi, saya tidak pernah melakukan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan keluar duit untuk tilang. Kalaupun pernah terjadi pelanggaran, maka itu terjadi pada saat saya menjadi penumpang atau ketika saya mengemudi namun kesalahan berasal dari penumpang (seperti tidak pakai sabuk keselamatan, dll). Dalam hal mengemudi, saya kira saya sudah sangat berhati-hati. Saya kira, lho.

Belakangan ini, saya mulai bosan mengemudi. Terkadang, saya ingin bepergian dan ada sopir yang mengemudikan kendaraan sedangkan saya duduk di tengah atau di sisi kiri. Sayangnya, saya merasa belum mencapai level untuk menjadi seperti itu. salah satu alasannya adalah karena mobilnya adalah Colt T120 yang tidak sembarang orang mau atau mampu dan atau mau-dan-mampu mengemudikannya. Mobil lawas itu perlu perlakuan khusus dan pemahaman mendalam: rem tidak boleh diinjak mendadak, nariknya harus pelan-relan, dan banyak aturan ini-itu lainnya. Akan tetapi, saya masih ragu, apakah rasa bosan itu muncul karena yang saya kemudikan hanyalah Colt T120 atau karena semakin banyaknya lalu lintas di jalan raya yang kian serampangan dalam berkendara? Rasanya, setiap kali pergi, saya selalu sumpek melihat fenomena masyarakat dalam berlalu lintas di jalan raya.

Jika harus bepergian, biasanya saya akan memilih angkutan umum selama itu memungkinkan. Seperti diajukan di atas, semakain tua, saya ini bukannya semakin bijak, tetapi semakin tidak sabaran kalau harus menonton kesemrawutan pikiran orang-orang yang diejawantahkan dalam kesemrawutan mereka dalam membawa dan menjalankan tubuh dan mesin di jalan raya: orang-orang yang menyerobot tanpa rasa bersalah, orang-orang yang tidak bisa menahan diri di lampu merah; orang-orang yang terburu-buru hingga tak bisa sabar meskipun sebentar saat ada orang menyebarang atau memotong jalur, orang-orang yang dalam mengalah pun ia harus dalam keadaan terpaksa. Sesungguhnya, kecelakaan lalu lintas itu tidak semata-mata karena adanya pelanggaran, melainkan juga karena faktor-faktor seperti ini pula.

Potret tradisi, kebudayaan, bahkan mentalitas sebuah bangsa itu dapat dilihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan berkomunikasi di jalan raya. Potret jalan raya adalah representasi watak masyarakat. Saya, kok, berkeyakinan kalau orang-orang yang bisa berlaku beres di jalan akan juga beres dalam dalam sisi kehidupan lainnya. Mengapa? Sebab, jika di tempat tempat lain orang bisa bermuka dua, di jalanan tidak. Orang-orang pasti “jujur” di jalananan, menampilkan tampang dan watak aslinya. Jika di jalan mereka berperilaku baik, maka dengan demikian, di tempat lain, bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi sekali pun, besar kemungkinan mereka juga akan berlaku baik dan lebih berhati-hati.


Maka dari itu, jika saya menjadi presiden di sebuah negara yang elemen sosial, politik, bahkan spiritualnya sudah nggak karu-karuan, yang pertama kali akan saya bereskan adalah perilaku tertib dan penghargaan kepada orang lain di jalan raya. Setelah itu, barulah saya akan membenahi persoalan bahasa.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...