Pembaca

25 Februari 2023

Melewati Rute-Rute Baru di Madura


Kamis (23) dan Sabtu (25) di Februari ini (2023) merupakan hari penting dalam kisah perjalanan saya, perjalanan naik Colt T120 khususnya. Ia adalah momen pertama bagi saya melewati ‘trek baru’, yaitu trek yang relatif sudah sejak dari dulu ditargetkan tapi baru kesampaian. Tidak pernah ada kepentingan berarti untuk melintasinya hingga ia terjadi pada hari-hari ini.


Hari Kamis lalu, bersama Paman Naqib dan bibinda Fadilah, saya bisa melewati tersebut, namun dengan sedikit memutar. Perjalanan dimulai dari rumah menuju UIM, Bettet, lewat Pakong (biasanya lewat Prenduan). Dari UIM, setelah menjemput kemenakan beliau, kami lalu balik, naik ke utara, ke Angsanah, ke Bata-Bata, terus ke barat menuju Palengaan. Titik kordinatnya adalah PP Nurus Salam 1, di Banyupelle (adapun pondok pusatnya berada di Saba Tambak, tak jauh dari situ).


Setelah duduk, ngobrol, dan makan, kami pun pamit. Silaturahmi selesai. Arah pulangnya, mobil saya bawa ke selatan, melewati Pasar Aeng Nyonok. Eh, ternyata, jalan di daerah yang relatif sepi tersebut tembus ke Makam Batuampar. Kami pun turun, terus ke selatan, nembus ke Penaguan.

Nah, di Penaguan ini saya terhenyak, kaget, melihat pemandangan sawah selebar mata memandang. Hamparan padi menguning, siap dipanen, mirip kebun gandum, seperti yang pernah saya lewat dalam perjalanan berkereta api dari Berlin ke Leipzig beberapa tahun lalu. Luas begitu luas seolah ujung mata memandang adalah horison.


Di tengah perjalanan, tampak satu pondok pesantren di tengah pedataran itu: Al-Haramain. Sungguh sempurna secara posisi pondok ini, indah dari kejauhan. Lalu, seketika itu pula, muncul lintasan pikiran. Satu hal yang berkelebat adalah perasaan cemas, bahwa pada satu saat nanti, barangkali, tanah-tanah ini akan beralih fungsi, menjadi perumahan misalnya, atau menjadi pabrik misalnya. Lalu, saya berfantasi, berkuranglah lahan padi dan dengan demikian berkurang pula stok bahan makanan masyarakat. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menyelesaikan alih fungsi lahan produktif seperti ini ke “lahan mati”. Hanya ada satu pertanyaan di dalam kepala: Apakah kita lebih butuh kemajuan dan menyukai krisis pangan? Entahlah.


Dari Panaguan, kami pulang, namun mampir dulu di rumah Uyay, si kemenakan tadi, di Taroan. Total jarak tempuh dari pagi sampai siang ini adalah114 kilometer. Tak terasa, jauh juga rupanya, hampir setara dengan jarak dari rumah ke Tangkel (akses jalan Suramadu yang jaraknya adalah 119 kilometer).


***

Hari ini, SABTU, 25 Februari 2023, tak terlalu diduga, saya kembali melakukan perjalanan ke barat. Kali ini, rutenya lebih menantang, lewat jalur tengah Madura, jalur yang saya cita-citakan sejak puluhan tahun yang lalu dan baru berhasil dilewati hari ini.


Sebelum berangkat, saya mengutarakan niat dengan suara keras: niat silaturahmi, dalam rangka silaturahmi, semoga ia dicatat sebagai amal karena seperti itulah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Orang lain punya mobil baru, saya tidak; orang lain punya omset melimpah, saya tidak; orang lain punya gebetan baru, saya tidak; orang lain bikin start-up dan meraih bitcoin, saya tidak; orang lain maju, saya tidak.


Lantas, saya berpikir, saya harus punya sesuatu yang orang lain tidak punya. Apa itu? Punya kesempatan silaturahmu dan mereka tidak. Hanya itulah semangat yang membuat saya berangkat ke Robatal, ke rumah Abdur Rasyid yang kini tinggal di PP Nurul Jadid, Garduwak, Lepelle, Robatal.


Saya berangkat pagi sekali, pukul 07.30. Mobil berjalan ke arah barat dan isi pertalite di SPBU Pakong, di Bandungan. Hingga di Pagantenan, rute hari ini sama persis dengan rute Kamis yang lalu. Bedanya, dalam pada itu, saya lewat ‘jalur baru’, yaitu jalan pintas dari Pegantenan ke Palengaan, melewati Rombuh, yang dapat memangkas jarak menjadi 6,5 km saja dari 14,5 km andaikan saya menempuh jalan kolektor biasa, lewat Palduding STAI Al-Khairat. Hanya saja, rute Preng Taleh yang saya tempuh ini sangat sempit, satu mobil saja, berkelok-kelok dan curam, mana lagi tadi sempat papasan sama truk medium yang membuat saya harus mundur untuk mengalah karena posisi saya yang jalan menurun sementara truknya sedang menanjak.


Sembari menunaikan perbuatan terpuji ini (ceilee), saya mengingat peristiwa di SPBU tadi: sebuah Avanza menyerobot antrian hanya karena saya kurang sigap memutar kemudi untuk berpindah haluan. Sekalian ironis, ironis saja sekalian!


Rute Palengaan ke barat sangat bagus jalannya, lebar dan rata. Baru beberapa meter setelah belok kanan di pertigaan Nagasari untuk mengarah ke Karang Penang, off road pun dimulai. Kami berpapasan dengan truk-truk pengankut bahan baku genteng atau mobil bak terbuka yang berlurub debu. Kontur jalan yang buruk membuat jalan beraspal nyaris tak berbentuk.


Karena saya tidak berbekal GPS dan hanya modal melihat peta lipat Pulau Madura, tadi sebelum berangkat, akhirnya, di pertigaan Glidikan, saya salah arah. Mestinya, saya belok kanan menuju Pasar Karang Penang, tapi instink membawa saya ke kiri, ke Blu’uran, Tlambah. Saya salah arah.


“Ini sih bukan Tlambah, tapi talambhas...” kata saya dalam hati.


Perjalanan ke PP Nurul Jadid, Garduwak, desa Lepelle, akhirnya memakan waktu 2,5 jam. Tiba sana, saya disambut oleh Abdur Rasyid yang ternyata sudah menyiapkan permadani, buah-buahan, dan pelantang suara pula.


“Ini untuk apa?”

“Mohon Panjenengan ngomong tentang sastra atau kepenulisan.”

“Waduh, saya kan cuman mau silaturahmi saja...”

“Iya, emang dan sayang-sayang kalau tidak disertai dengan acara ngobrol.”

“Baiklah.”


Saya pun didapuk tuan rumah untuk ngomong. Karena tidak ada tema, maka bicaranya pun suka-suka, manasuka, sekenanya. Saya bercerita dan memberikan motivasi untuk mereka supaya gemar menulis, mencatat, dan membaca. Tak pelak juga, obrolan berpindah pada visi hidup, keugaharian, limbah makanan, sampah plastik, sampai madah lagu dan shalawat. Jadilah obralan kami melantur ke sana kemari, tapi saya tenang saja karena—berdasarkan raut mukanya—orang-orang itu menikmati, sebagaimana kami menikmati suguhan opor ayam, dan ikan-ikan terbaik di laut.


“Ini silaturahmi memang top banget,” kata saya, nyeletuk, “udah dapat pahala, dapat makan enak pula.”


Setelah shalat duhur berjamaah, saya pamit pulang. Rencana ke Miho tertunda karena dia sibuk dengan gabahnya. Skenario Allah tak dapat ditebak, padahal ke dialah tujuan saya berikutnya, eh, mobil malah menggelinding ke arah Blu’uran hingga kami nembus Pasar Omben, melewati ratusan meter jalan bercor yang membuatnya mirip Trans-Jawa.


Di situ, dekat Pasar Omben, saya singgah ke rumah seseorang yang secara persis saya tidak kenal, tapi dia mengaku pernah sekali bertemu dengan saya di PP Muqri, di rumah Kiai Zainurrahman. Dialah Faisal, asal Pasaman, Sumbar. Dia bahagia sekali rupanya karena di hari itu, dia memang punya rencana ke Guluk-Guluk, untuk main ke saya, eh, kok malah calon tuan rumahnya itu (yaitu saya sendiri) yang justru yang menjadi tamunya. Rumahnya besar sekali, mirip futsal lah.


“Sudah, ya, sudah cukup sebagai pertemuan pertama.”

“Baik, terima kasih atas kunjungannnya, Ra,” kata dia.

“Soalnya, saya harus ngisi pengajian nanti pukul 16.00, di rumah.”

“Baik, baik. Semoga ada kesempatan bertemu lagi.”


Akhirnya, kami pun pulang dan benar, kami tiba di rumah pukul 15.50. hamdalah, saya diberi kesempatan untuk ngaji Risaltul Muawanah sesuai dengan waktu yang dipertimbangkan. Hari ini saya benar-benar bahagia. Silaturahmi itu memang tidak main-main rupanya. Pantesan, silaturahmi itu termasuk satu dari beberapa pesan yang diperintahkan rasul kepada Heraklious saat memperkenalkan Islam. Dan pada pertemauan tadi, saya merasa telah melakukan ibadah 60 tahun karena telah membuat hati Faisal gembira: dia ngajak mampir, saya mampir benenran.


Total jarak 140 kilometer selesai dilalar hari ini.







02 September 2022

COLT JOGJA ISTIMIWIR: Ke Jogja via Cemorosewu

PERGI


Sudah hampir 24 jam jalan ditempuh, tapi kami belum sampai juga di Jogja. Perjalanan dimulai tadi malam, kira-kira pukul 20.30. Pada jam sekitar itulah saya keluar dari halaman rumah, sendirian. Mengemudi sendiri, apalagi pergi sendirian, itu sungguh berat, lebih-lebih jika itu dilakukan setelah bertahun-tahun terbiasa pergi berdua.

Selama beberapa bulan, sejak kewafatan istri saya, bahkan saya tidak mau pergi membawa Colt ini. Saya selalu terbayang sosoknya manakala melihatnya melalui spion tengah, dia yang terbiasa duduk di sana, di kursi tengah. Malam itu, saya menguatkan diri, meyakinkan diri ini, bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar sendiri.

Saya memilih rute pantai utara Madura demi menjemput Khathir yang posisinya di Rubaru. Supaya tidak terlalu membuang jauh jarak dan kilometer, saya menentukan poin kencan: di rumah Qudsi yang posisinya sebelah barat rumah Khatir dan di utara rumah saya. Khatir datang ke situ sementara saya tidur lebih dulu sebelum dia datang.

Pukul 13.30, kami bertolak. Khatir langsung pegang kemudi karena menyatakan diri masih melek di saat saya telah terus-terusan menguap. Jalan pantura Madura, kalau malam, kayak jalan pribadi saja, atau seperti jalan tol yang sudah di-booking oleh presiden: kosong plong dan kami nyaris tidak berpapasan dengan kendaraan roda empat kecuali hanya dalam hitungan jari tangan saja.

Azan subuh belum berkumandang saat kami sudah lewat Arosbaya dan sudah mendekati Sebaneh, lima kilometer di utara kota Bangkalan. Lanjutlah kami ke Perumahan Nilam, ke rumah adik saya, perempuan, shalat di masjid perumahan. Kami istirahat di sana, sebentar.

Sebetulnya, jauh hari sebelum itu, saya janjian sama Erwien yang rencananya juga mau ke Jogja dengan tujuan yang sama: menghadiri undangan ultah CJI yang ke-7. Namanya aral tak tentu datang, namanya uzur tak dapat ditebak, Erwien gagal dan saya berangkat duluan, mendahului teman-teman Madura lain yang konon akan berangkat 24 jam sebelum acara.

Setelah makan di rumah adik itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bungurasih, menjemput Anam Ibnu Achmed yang datang dari Malang dan ingin bergabung dalam trip ke Jogja kali ini. Anam langsung mancal mobil dan dia mengarahkannya ke pintu tol Warugunung. Saya duduk di tengah, tidur dengan pulas.

Kami keluar di Kertosono lalu menyusuri Jalan Nasional menuju Nganjuk. Tujuannya adalah Loceret, ke rumah Zuk. Lokasinya tak begitu jauh dari pusat kota, hanya sekitar lima kilometer saja.  


Pelukis ini menghadiahi saya sebuah lukisan. Saya sangat terharu karena tanpa perlu dijelaskan, saya dapat meraba makna lukisan itu, tak perlu kurator untuk mengenal bagian detil pada lukisan itu. Sebab, intinya, ia adalah lukisan tentang seorang perempuan yang mengenakan mukena dengan sebuah kitab di atas meja: perempuan itu pasti Nyai Makkiyah dan kitabnyan pasti Dalailul Khairat.

Kami meninggilkan Loceret pada saat orang-orang mulai berangkat Jumatan. Rukhsah safar kami manfaatkan untuk menjamak duhur dan asar di Takeran, titik persinggahan kami berikutnya. Saya, untuk pertama kalinya, siang itu bertandang ke rumah Mochtar Han yang tinggi pintu depan rumahnya dua kali tinggi saya. Ngeri kaaali, bah! 



Lama sekali kami ngobrol di sana. Bahkan, beliau ngundang teman-temannya untuk bercanda gurau dengan saya, antara lain Gus Hilmi (dari Joresan), Pak Rudi, dan Mas Jarwo, seseorang polisi yang katanya sering piket di perbatasan kabupaten. Untung saja beliau tidak pernah kenal saya sebelum ini karena, misalnya, kenal sehabis pasang kertas tilang ke mobil saya yang ketahuan melanggar marka, umapanya, eh, umpamanya (niru logat Kiai Zainuddin MZ).

Sambutan Mas Hanafi ini luar biasa, sudah dibawain oleh-oleh dan mengisi penuh tanki bensin Colt saya yang memang selalu kehausan dan senantiasa merindukan SPBU, mereka mengantar kami hingga ke perbatasan Magetan – Karanganyar, di Cemorosewu.

Trek yang kami lewati siang itu memang menjadi incaran saya sejak dulu. Trek itu cukup menantang, meskipun tidak terlalu berat bagi Colt yang percepatannya masih standar (4 maju, 1 mundur). Jalannya menanjak dan penuh tikungan. Kami melewati Magetan, Sarangan, Cemorosewu, Karang Pandan, dan berakhir di Palur: pertigaan akses jalan raya dari Sragen dan Tawangmangu. Trek ini sangat menakjubkan, dipenuhi bukan hanya tanjakan dan turunan, tapi juga kafe dan kedai-kedai makanan. Sore saja kabutnya sudah minta ampun. Lampu 'daymaker' jadi tak begitu berguna di sini. Untung saja Colt saya masih punya senjata andalan: lampu jauh berwarna kuning.

Turun dari ketinggian 1800 mdpl, kampas rem mulai menguarkan aroma hangus. Untunglah Mas Hanafi masih ngajak singgah sejenak di kafe Lagonder. Di situlah mobil diistirahatkan dan pikiran saya ditenangkan. Hari ini benar-benar menyenangkan sekali. 

Saya duduk, menyapukan pandangan, takjub, bahagia. Meskipun tampak ada yang kurang, saya tetap harus bersyukur dan terus bertafakur: bahwa sebanyak apa pun terima kasih diucapkan, tak pernah cukup bahkan untuk sekadar membalas satu tarikan nafas saja; sedalam apa pun merenung, bahkan pikiran kita tak mampu mencapai pemahaman akan  keindahan ciptaan segala sarwa ini, termasuk bulu-bulu alis yang tumbuh rapi di atas dasar warna kulit seorang perempuan yang bersih sekali.

* * *

Pukul 20.05, kami mencapai Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang sering dikira Universitas Negeri Solo. Bu Siti Muslifah menjemput ke TKP karena, kata dia, ngirim "share location" ke saya itu percuma (karena saya tidak pakai WhatsApp), makanya harus dijemput dan dikawal menuju rumahnya. “Tidak pake WA tapi bikin repot orang!” Sepertinya beliau bilang begitu, menggerutu. Ataukah itu hanya suara sizofreniak? Ha, ha, ha. “Ya, memang, tugas saya itu merepotkan orang lain, Bu,” seru saya, tapi dalam hati (berseru di dalam hati itu kayak apa, ya?). “Tapi, cuman itu yang merepotkan, yang lain insya Allah banyak memudahkannya, semoga.”

Kami duduk dan ngobrol lama. Han Gagas datang belakangan karena sibuk dengan penutupan lomba Agustusan. Kami bicara masalah kos-kosan, biaya hidup dan segala penghuninya yang ada di sana. Perubahan banyak terjadi. Gaya hidup, biaya hidup, semuanya jauh berbeda ketimbang masa kami, dulu, masih menjadi mahasiswa. Itulah salah satu tema permbicaraan kami, bukan masalah-masalah pelik, apalagi masalah politik.

“Yang depan ini, sana, sananya lagi,” kata Bu Siti sembari menunuk-nunjuk lokasi asrama, “kos putri semua...”
“Saya ingin residensi di sini saja,” kata saya. Residensi di sini pasti lebih menarik daripada di Eropa, batin saya. Ha-ha-ha, kami lantas tertawa bersama-sama.

Sebetulnya, Mbah Darmawan Budi Suseno meminta saya bertandang ke rumahnya, di Kafe Matoa, Colomadu, tapi saya minta maaf karena hari sudah malam. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Jogja pukul 23.00 dalam keadaan mengantuk, tapi, eh, malah sudah ditungguin Edi Mulyono dan Binhad Nurrohmat di Kafe Lehaleha ... Untuk sementara, capeknya durasi 27 jam perjalanan, 554 kilometer, sejenak kami lupakan...

“Apa tidak capek?” tanya mereka.
“Capek, ya, jelas,” kata saya. “Namun untuk menguranginya, saya ciptakan kebahagiaan sebelum dan selama perjalanan. Bahagia akan membuat capek kita kalah, dan rasa itu jadi tak berdaya, gantian kita yang berjaya.”

SEHARIAN DI JOGJA

Seharian, Sabtu 27 Agustus, saya cuman duduk-duduk di Kafe Leha-Leha, menerima kawan-kawan yang datang silih berganti, udah kayak dokter saja. Sorenya baru diajak makan oleh Batul dan Mahrus dan diminta berkunjung ke rumahnya. Bakda Maghrib, barulah kami pergi ke Parangtritis.
Malam itu, bersama rombongan dari Banten, saya nginap di sana. Sementara yang lain banyak yang mengingap di Gamping, di rumah Pak Benta yang secara tempat parkir memang memungkinkan karena halamannya luas.

Ahad, 28 Agustus, barulah saya mengikuti acara Colt. Pak Bambang dapat hadiah kulkas tapi beliau tidak datang karena kurang sehat. Seorang ibu, saya lupa namanya, malah dapat doorprize sebuah mobil Colt Bagong. Beliau sangat bahagia dan terharu. Saya dapat jatah memberikan sambutan di tempat itu, pada sesi awal acara.

Sebetulnya, saya hanya berandai-andai… andaikan acara silaturahmi seperti ini dibuat lebih fokus pada perseduluran dan perbengkelan, rasanya juga tak akan kalah bermanfaat, semisal ada sesi berbagi pengalaman dan tips mengingat Colt itu adalah mobil tua yang walaupun perkasa namun kerja kesehariannya kayak kerja rodi saja. Dan yang jadi pertanyaan bagi saya, mengapa di acara-acara kopdar seperti ini selalu ada pentas dangdutnya?

Saya bukan anti-Dangdut, tapi jelas saya (secara pribadi) harus berkeberatan atas kegiatan yang mengundang syahwat. Apakah itu karena faktor pribadi saja? Tentu saja tidak!  Sebab, saya tidak menontonnya. Apa yang saya pilih adalah karena visi dan cara saya bersikap  yang semua itu saya ketahui dan saya pelajari dari nenek-moyang dan guru-guru saya. 





 











 

 

 

 

PULANG

“Kalau nanti kemaleman, nanti aku kesiangan nyampe di Jombang.”
“Emang kenapa?”
“Soalnya, habis dari Jombang, kami mau ke Surabaya dan diperkirakan tiba di sana pukul 9 pagi. Jam segitu, warung Ayam Gringging Lombok sudah buka. Aku mau ditraktir teman makan.”
“Ah, gampang, pasti nutut, Kok.”
“Loh, tapi mobilku kan tidak bisa ngebut terus-terusan di tol, beda cerita kalau aku bawa mobilmu itu...” Saya menunjuk sebuah mobil yang parkir tak jauh dari tempat saya duduk: Toyota Fortuner, GR
“Jangan itulah, soalnya anakku masih senang banget. Gimana, mau Venturer saja?”

Hati saya goyah. Pikiran bimbang, antara mengiyakan atau tidak. Hampir saja saya iyakan, tapi untung saya segera ingat, bahwa jika Colt saya ditinggal di Jogja, maka yang harus menanggung repotnya tetaplah saya karena tidak sembarang orang boleh mengemudikannya, lagi-lagi saya yang harus mengembalikan si Venturer untuk menjemput si Colturer.

“Oh, maaf, gak jadi. Biar aku pulang nanti saja, tetap naik Colt.”
“Ya, deh, tapi tunggu sebentar lagi.”

Setelah mengulur-ulur waktu, akhirnya kami diperkenankan untuk pergi meninggalkan Kafe Main-Main, menjelang waktu—mungkin—pukul duabelas malam dan kalaupun kurang, tak seberapa.

Malam itu, kami melewati jalan Solo yang mulai sepi. Yang membedakan, di Jawa, malam pun masih banyak sepeda motor, beda dengan di Madura. Jalan 70 km / jam pun sudah cukup kencang sebetulnya. Kecepatan segitu sangat saya sukai asal stabil, daripada lari sampai 90 atau 100 km / jam tapi sering ngerem dan/atau menghindari rintangan yang mengharuskan kita ngerem sampai mengkeret. Inilah salah satu alasan saya kenapa tidak membeli Venturer dan pilih Colturer saja, biar tidak ngebut dan terpaksa jalan pelan saja.

Anam—yang kala itu pegang kendali—sempat kebingungan di dekat terminal Tirtonadi. Rupanya ada perbaikan (atau pembuatan) jalan melingkar, dekat terminal. GPS menuntun ke arah yang tidak benar, entah karena stress atau karena sinyal yang lemot. Walhasil, setelah beberapa kali salah, kami tidak jadi lewat Taman Jurug yang tembus ke Palur sebagaimana dikehendaki, tapi lewat by pass yang mecungul tak jauh dari pintu tol Karanganyar.

Dan perjalanan lewat tol tak perlulah diceritakan karena sudah pasti begitu-begitu saja, lebih-lebih trip ke Jogja sudah saya jalani berkali-kali. Sebetulnya, saya agak ragu karena kami buat target masuk pagi ke Jombang, yakni demi melalap penganan nostalgia, yaitu ketan urap Merdeka. Tapi, untunglah, perjalanan lancar dan tanpa kendala.

Mobil parkir sejenak di Ngawi untuk pipis lalu saya yang ganti mengemudi. Adapun laju kendaraan saya bawa dengan kecepatan konstan 95 km / jam, sampai di Masjid Moeldoko, pintu keluar Kertosono. Jalan arteri kami susuri dengan kondisi jalan yang ternyata sudah tidak menarik lagi. Sepeda motor bagai laron mencari cahaya. Semua alat transportasi berroda dua ini berseliweran di tengah kegelapan, bikin kepala langsung puyeng rasanya.

Sungguh, saya jadi ingat Ben Sohib yang bilang, bahwa sepeda motor di Indonesia itu, mengingat rangkanya, cc-nya, dan kondisi jalannya, sangatlah tidak pantas dibawa ke jalan raya. “Itu cukup beredar di komplek-komplek saja. Itu cuman alat, bukan alat transportasi. Jaminan keamanan dan keselamatannya sangat-sangat tidak terpenuhi.” Begitu katanya, kurang-lebihnya. Saya mikir, agaknya dia banyak benarnya mengingat data yang menunjukkan bahwa hampir 70 persen kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa itu memang selalu melibatkan sepeda motor. Tapi itu konon, saya lupa datanya ambil di mana.

“Subuh-subuh begini orang pada mau ke mana, ya?” tanya saya pada Anam.
“Ya, pada mau ngantor, Kak.”
“Kok berangkatnya subuh?”
“Kantor mereka jauh. Wong waktu saya mau berangkat ke Surabaya itu, waktu saya nunggu bis di depan Taspen (Malang) itu kan habis subuh, sepeda motor udah sangat banyak. Orang Malang yang  kerja di Pandaan dan sekitarnya itu ya berangkat jam-jam segitu.”
“Ooo...”

Setelah shalat subuh di masjid dekat pondok, kami masuk pondok Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, dalam keadaan ketan urap sudah siap dihajar. Gus Binhad menyuguhkannya untuk kami, sedangkan pondok menyuguhi kami dengan pemandangan paling menyenangkan: lalu-lalang santri mau belajar. Dua kenikmatan ini berpadu di pagi hari.

Kami minta izin segera pergi karena ngejar jam tayang pukul 9 di Surabaya. Namun, dalam praktiknya, dalam perjalanan pulang lewat jalan Nasional/arteri, kami masih singgah ke makam sahabat kami, Haris, di Corogo. Dia meninggal setahun yang lalu, kira-kira sebulan sebelum istri saya. Tempat istirahatnya ditempatkan di pemakaman uumum, di sebelah utara kampung, yang posisinya berada tak jauh di belakang kantor Samsat Jombang (berhadap-hadapan dengan Pabrik Pei Hai).

Di Surabaya, kami singgah di Ayam Gringging Lombok yang ada di Waru. Waktunya sudah telat, sudah jam 10 soalnya. Dan mestinya, yang bayar ini adalah Doni Bemo, kawan saya yang pertama kali hendak mentraktor, eh, traktir saya.. Tapi karena hari itu dia berhalangan (namun berjanji akan menunaikan janji di lain kesempatan), akhirnya saya yang bayar karena liur terlanjur meleleh dan hasrat kuliner terlanjur meronta-ronta.

Perjalanan ke Madura, dari situ (setelah menurunkan Anam di pintu keluar Terminal Purabaya karena dia harus segera ke Malang), tinggal berdua saja: saya dan Khatir. Kami melewati kota Surabaya via Ngagel, tembus Kedungcowek, dan terus lanjut ke timur, pulang dan tiba di rumah dengan selamat.

Biasanya, setelah saya tulis catatan perjalanan, ada saja yang bertanya: habis berapa bensinnya?
 

Ah, sudahlah, jangan tanya-tanya. Dulu, jika saya melak



ukan kalkulasi, saya bikin perhitungan yang presisi, bukan cuman pakai ukuran tangki penuh ke tangki penuh selanjutnya lalu dibagi angka jarak tempuh. Biasanya, saya memakai perhitungan pakai jeriken demi pengukuran yang pasti, apakah Colt ini bisa berjalanan 1:11 atau 1:12,5 (data terbaik), atau malah 1:8.  Akan tetapi, cara macam itu nyaris tidak pernah saya lakukan lagi. Jalan saja, habis isi lagi; jalan lagi, tidak mogak bisa dibuat berjalanan normal, apalagi sudah terbukti bisa melibas tanjakan Sarangan di Magetan, Puncak di Bogor, dan Bedugul di Bali, itu sudah lebih dari cukup untuk bersyukur dan menyenangkan diri ini.

 

dapat posisi samping panggung, jejer doorprize


 

 

29 Mei 2022

Takziyah ke Demangan, Bangkalan


27 MEI 2022

 

Mengantar ibu dan bibi untuk takziyah ke Demangan (ponpes Syaikhona Cholil), Bangkalan, Jumat lalu, saya sempat merencanakan jumpa kawan Erwien, di Bangkalan. Jika ke Demangan saya mau turut berduka cita atas wafatnya Kiai Fakhrillah Aschal, maka bertemu Erwien adalah bersuka cita untuk kesempatannya hendak kopdar triwulan di Batu (karena biasanya selalu gagal kopdar; dan entahlah untuk yang kali ini, saya gak tahu). Dua ungkapan berbeda itu sama-sama mengandung ‘unsur’ Bangkalan.

Saya berangkat selepas shalat Jumat, tepatnya pukul 13.11. Dalam perjalanan 130 kilometer ke arah barat itu sudah sesuai perkiraan: tiga jam sampai Tangkel dan tambah entah berapa menit lagi (biasanya 30 menit) lagi ke lokasi karena sangat bergantung pada padatnya arus lalu lintas yang biasanya cenderung tersendat-sendat.

Kami melakukan shalat ashar di Blega. Setelah itu, kami berangkat lagi, langsung menuju Demangan. Seperti dugaan saya sebelumnya, Jumat sore itu pasti macet, tak hanya di Madura, tapi di manapun. Pasalnya, rata-rata para perantau itu pulang (kampung) sehabis kerja kantoran di dalam sepekan, terutama mereka yang ‘melaju’, yang kerja di ibu kota atau di kota besar tapi keluarga dan anak tetap tinggal di desa. Yang demikian itu sangatlah banyak di sekitar kita.

Ke Demangan, kami takziyah untuk kewafatan Kiai Fakhrillah Aschal, putra keempat dari Kiai Abdullah Schal. Kami diterima oleh Nyai Muthmainnah, putri pertama Kiai Abdullah, di kediamannya yang notabene memang berhadap-hadapan dengan rumah duka sebab sore itu Kiai Fakhruddin, pengasuh pengganti, sedang bepergian ke Sidogiri. Di ruang tamunya yang luas, kami dijamu makan bahkan juga dipersilakan shalat di sana.

Sebetulnya, kehadiran kami ini kurang pas kalau disebut takziyah secara definitif karena yang diutamakan adalah kunjungan pada tiga hari pertama kewafatan. Masyarakat (Madura) bahkan punya kebiasaan hingga hari ketujuh kewafatan. Selepas itu, mereka beraktivitas kembali seperti hari-hari biasa. Nah, berkunjung di luar hari itu dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mereka.

Akan tetapi, di samping karena tidak semua orang punya waktu senggang untuk takziyah dan di sisi lain mereka juga merasa terpanggil untuk tetap menyampaikan rasa duka ataupun—sebagian mungkin—sekadar ‘setor muka’, maka akan tetap selalu ada  satu-dua orang yang datang selepas hari ketujuh, bahkan terkadang tetap banyak jumlahnya. Dan kami ini adalah di antara golongan itu. idak apa-apalah jika kunjungan ini tidak disebut takziyah sesuai defini dan konvensi. Kita pakai istilah lain agar tetap punya ganjaran, yaitu kunjungan silaturahmi.

Di belakang kami, ada dua mobil lagi, dua Avanza. Yang pertama adalah rombongan Dik Khalid dan Ubaid. Mobil kedua adalah rombongan Pamanda Bahrussalam dan umminya. Avanza kedua bahkan baru datang menjelang kami pulang.

Datang menjelang maghrib, pulang menjelang isya, kami terus ke Nilam, depan Bangplaz, ke rumah adik saya yang mengelola SD Assalam. Di situlah saya menelepon Erwien dan ternyata gagal ketemuan karena Erwien sedang dalam perjalanan menuju rumah kawannya sementara saya sudah siap untuk pulang.

Sebentar saja di sana, akhirnya kami pulang pada pukul 20.30. Pergi-pulang, 260 kilometer, saya di belakang kemudi sementara adik saya di sisi kiri. Oh, iya. di Madura, jalan rayanya sangat sepi di malam hari. Belum tiga jam, kami sudah sampai rumah, padahal jarak tempuhnya sama, 130-an kilometer;  kecepatannya juga sama, antara 60-80 km/jam. Jadi, ruwetnya lalu lintas di jalan sangat mempengaruhi lancar-tidaknya perjalanan, bukan semata-kata faktor kecepatan.


Melewati Rute-Rute Baru di Madura

Kamis (23) dan Sabtu (25) di Februari ini (2023) merupakan hari penting dalam kisah perjalanan saya, perjalanan naik Colt T120 khususnya. Ia...