Pembaca

24 Juni 2024

Takziah dan Silaturahmi: Lumajang, Jember, Situbondo

JUMAT, 21 JUNI 2024

Perjalanan selalu dihitung dari alasan roda bergerak. Jika niatnya adalah untuk maksiat, jangankan pahala, bahkan rukhsah safar pun tak boleh. Begitu juga sebaliknya, kita akan dapat pahala dan manfaat jika dari awal sudah dibetulkan niat.

Berangkat pukul 15.34 di hari Jumat, perjalanan kami benar-benar terasa melambat karena butuh waktu 30 menit hanya untuk sampe ke Batujaran, rute yang biasanya 15 menit saja dari rumah. Tapi, hal itu saya maklumi mengingat sopir yang saya ajak kali ini adalah baru pertama kali membawa Colt ini. Jadi, kata saya, wajarlah dia berlaku begitu, mungkin sedang ‘berkenalan’ dengan mobil tua.

Akan tetapi, perjalanan ternyata tetap begitu-begitu saja hingga Tanah Merah. Jalan benar-benar sangat ramai. Entah karena masih tersisa aroma lebaran atau entah karena mau libur Sabtu-Ahad. Maklum, hari itu adalah tanggal 14 Dzulhijjah yang artinya baru empat hari lebaran Iduladha berlalu. Pukul 19.15 kami masih di Tanah Merah, padahal hitungan normalnya, hanya butuh 3 jam dari rumah ke akses Suramadu dengan kecepatan kisaran 70 km/jam.

Supaya tidak perlu memandu arah jalan bagi sopir yang baru atau sangat jarang melintasi kota Surabaya, biasanya, jika datang dari arah Madura, saya mengarahkannya lewat MERR, lewat Jalan Soekarno-Hatta. Meskipun jarak melewati rute ini lebih jauh sekitar 4 kilometer ketimbang lewat Tugu Pahlawan, saya tetap memilihnya karena pertimbangan mudah: belok kiri di perempatan Jalan Kenjeran; belok kanan di lampu merah pertama, sudah deh, sudah sampe pintu tol Tambak Sumur.
 
Dengan rute seperti itu dan kecepatan seperti itu, kami mencapai desa Sembon Lor, Jatiroto, Lumajang, sekitar pukul 23.00. Kusnan menyambut kami dengan bakso, padahal saya bilang sebelumnya agar tidak perlu disiapkan apa pun kecuali bantal karena saya sangat capek dan memang sudah makan bekal yang dibawa.

SABTU, 22 JUNI 2024

“Aduh, Nan. Kok sebanyak ini?” kata saya padanya melihat ikan dan makanan yang tersaji, besok paginya.
“Ini hasil tangkapan saya tadi malam.”
“Masa iya?”
“Iya, saya tiap hari nangkap ikan di sungai.”

Kusnan dan keluarganya beruntung tinggal di situ, dekat sungai besar yang ikannya masih banyak. Airnya muncrat sendiri dari perut bumi, tanpa perlu menggunakan mesin untuk mengeluarkannya. Tanah di sekeliling subur sekali. Inilah keindahan surgawi itu.

Pagi itu di Jatiroto, saya sudah menyelesaikan empat rumah tangga untuk disambangi. Ada yang didasari takziyah, ada yang sekadar silaturahmi. Pukul 9, saya pamit, bergerak ke selatan, menuju ke Krai. Saya takziyah ke pamanda Kiai Sambah Baqis Muhtadi di PP Bustanul Ulum. Di sana, saya disambut putranya, Ubet dan Faruk, dan juga Paman Naufal dan Paman Abdul Adhim.

Sempat tidur karena mengantuk, tiga jam lamanya di sana, kami pun bergerak ke timur, menuju Rambipuji. Jalanan di sisi selatan (tapi bukan Jalur Lintas Selatan, ya), yaitu ruas Lumajang-Jember via Yosowilangun memang relatif lebih kecil daripada jalan Nasional di Lumajang – Tanggul – Jember. Pantas saja kalau jalannya berasa lebih ramai meskipun volume kendaraannya tidak sebanyak di jalan nasional.

Tiba-tiba, di Rawatamtu, terdengar bunyi ledakan: Dhuwaaas! (sengaja memang ditulis begitu, bukan ‘dhar’ atau ‘dhuwar’ karena yang terdengar di telinga saya memang begitu). Dikira ban, ternyata selang bawah radiator—yang masuk ke waterpump—yang lepas. Ditunggulah beberapa jenak supaya suhu radiator tidak terlalu panas ketika saya tuangi air. Caranya, saya tuang sedikit demi sedikit agar mesin/radiator tidak rusak diakibatkan oleh perubahan suhu permukaan yang sontak berubah, dari panas ke dingin. Dengan cara bertahap, radiator dan mesin aman.

Meskipun hanya 40 menitan, tapi gangguan seperti ini jelas memangkas waktu tempuh. Makanya, rencana saya yang semula mampir dulu ke bibinda di Dukuhmencek, harus ditunda ke besok. Sore itu, kami lanjut ke Karangharjo agar acara malam harinya saya sudah siap, tidak terlalu capek. Kami tiba di sana pukul 17.00 kurang sedikit. Itupun terbilang singkat karena kami dipandu lewat Seputih, lewat perkebunan, bukan lewat Sempolan.  

Bebeda dengan dua titik persinggahan sebelumnya, acara saya ke Karangharjo berbeda. Malam hari, saya bermalam di PP Al Falah, Karangharjo, Silo, Jember. Bersama kiai-kiai setempat, saya menghadiri acara malam tutup tahun pelajaran alias Imtihan Al Falah. Panitia mendapuk saya berbicara tentang posisi anak muda dalam fase perubahan mentalitasnya, serta  acaman trans-nasional yang akhirakhir ini begitu getol masuk ke Nusantara. Saya hanya mengantarkan ke permasalahan saja, karena Kiai Hodri Ariev-lah yang pakar di bidang ini. Makanya, beliualah yang saya persilakan berbicara panjang lebar.

AHAD, 23 JUNI 2024

Setelah terlanjur pamit pulang kira-kira pukul 9 pagi, sementara oleh-oleh sekarung sudah masuk ke bagasi, termasuk pisang dan kopi, eh, gak jadi. Gangguan datang tiba-tiba. Kunci kontak bermasalah. Awalnya, terputusnya arus diperkirakan berhulu di soket ke relay, ternyata memang soket relaynya yang bermasalah dan juga kunci kontaknya. 


Gara-gara ini, ada tambahan waktu sayajam hingga azan duhur berkumandang hingga akhirnya kami bisa pulang. Semua itu tak luput bantuan Pak Fauzi, seorang montir yang rumahnya dekat pondok, yang mengaku pernah melihat Colt Pariwisata milik saya ini di YouTube. Wah, tidak disangka! Kata saya. Saat dia bekerja, saya bisa meneruskan leyeh-leyeh dengan tuan rumah, enak sekali.


Dari Karangharjo, mobil bergerak kembali ke kota Jember, ke Dukuhmencek, nyambangi bibi kami di sana, bertemu sepupu (putranya), dan juga shalat duhur-asar di masjidnya, Masjid Hasanul Islam. Meskipun sebentar, tapi semua tugas terlaksana. Tepat pukul 13.30, kami pamit pulang, lanjutkan perjalanan ke Besuki via Arak-Arak Bondowoso. Hamdalah, perjalanan pulang lancar jaya.

Tujaun kami adalah Pondok Pesantren Al Ishlah. Lokasinya ke utara alun-alun Besuki, tidak begitu jauh. Ke situ, kami takziyah ke Fahrurrozy. Dia adalah saudara sepupu tiga kali saya yang jarang sekali bertemu setelah kami sama-sama lepas dari pondok.

Mampir di PP Nurul Jadid untuk nyambangi anak wedok yang ditagetkan sebentar, dari maghrib ternyata saya baru bisa pulang pukul 21.00 Akhirnya, kami pulang lewat Gerbang Tol Gending, padahal semula direncanakan lewat arteri saja. Pertimbangannya adalah kejar waktu tayang karena Senin pagi kami sudah harus sampai di rumah, istrihat sebentar sebelum kembali mengajar.

Dalam perjalanan pulang, kami masih singgah di Bakso Cak To, yang lokasinya kumpul dengan kafe Jungkir Balik, tepat perisi di sebelah barat Gelora Delta Sidoarjo. Benar-benar sebatas makan bakso, kami lanjutkan perjalanan pulang ke Madura lewat Pasar Turi, Kapasan, Kenjeran, Suramadu.

Hamdalah, kami tiba di rumah menjelang subuh. Perjalanan melelahkan ini tercatat menempuh 875 kilometer. Jika bensin 1:10, berarti tinggal hitung kasar saja angkanya, pasti mirip-mirip dengan itu. Jika lebih irit lagi, dan iritnya pasti tak seberapa, berarti sekitar 800 ribuan.

Momen mengesankan bawa Colt itu adalah adanya sapaan orang-orang yang masih mengenali mobil saya, antara lain Faruk yang melaporkan papasan di Jember dan Puger yang menyatakan melihat Colt saya melintas di depan Utama Raya, Banyuglugur. Nah, jika saja saya naik Avanza putih, mana mungkin mereka tahu kalau saya ada di dalamnya? Itulah salah satu keunggulan naik Colt yang warna dan stikernya tidak pernah berubah selama 16 tahun lamanya. 

29 April 2024

Kopdar Triwulan di Blitar


Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini hanya ‘rasanya’ saja, bukan nyatanya karena ternyata ‘hanya’ 683 kilometer lengkap dengan bonus-bonusnya. Mengapa jarak kepala enam (ke Blitar) terasa lebih jauh dari jarak kepala 8 (seperti ke Situbondo atau Banyuwangi)? Saya duga itu disebabkan oleh karena saya lebih sering ke Situbondo dan Banyuwangi ketimbang ke arah Blitar.

Perjalanan kali ini terasa ngawur karena membawa Colt yang ngendap selama 5 bulan. Pantas saja, baru saja berangkat, di SPBU Pakamban, jarak 9 kilometer dari rumah, masalah langsung menghadang. Kampas rem copot. Saya menyadarinya setelah isi BBM, meraba velg depan yang panas.  Saya membatin, ‘Coba andai saja masalahnya muncul tadi di pertigaan Prenduan, kan tinggal masukkan ke Pegadaiaan yang notabene lokasinya ada tepat di sana!’.

Setelah dibuka oleh pak bengkel yang rumahnya dekat TKP melalui bantuan Anam, ketahuanlah kalau kampas rem depan lepas. “Ini cuma butuh 9000,” kata dia. “Eman-eman kalau harus diganti karena kampasnya masih tebal.”. Saya ngotot untuk membeli di toko, tapi pak bengkel nakut-nakuti saya dengan harga selangit dan lagi pula hari sudah sore, bisa saja saya tiba di toko dalam keadaan sudah tutup. Bismillah nekat!

“Aman, kok!” kata Khatir menguatkan. “Saya pernah mengalaminya juga, dibawa ke Jember tidak apa-apa!” imbuhnya. Maka, nekat pun berubah pada tekad. Ayo, berangkat!

Setelah digosok permukaan besinya  hingga terbebas karat dan minyak rem, lalu diolesi Lem G (atau disebut lem China), maka dipasanglah itu kampas. Joslah, saya gas ke barat, berangkat pukul 16.00. Tentu saja, karena ini pengalaman pertama melakukan cara seperti itu, masih tersisa rasa was-was, menggantung di antara gas dan rem. Hamdalah, sampai di Pakisaji, Malang, jam menunjukkan pukul 22.10. hamdalah, tidak ada masalah apa-apa.

Perjalanan dari Pakamban hanya 4 jam 20 menit berdasarkan taksiran Google Maps. Nyatanya, perjalanan saya adalah 6 jam dengan ketersendatan arus lalu lintas hampir di semua ruas jalan, termasuk di Tanah Merah – Tangkel dan Jalan Soekarno – Hatta, yang saya istilahkan sebagai jalan terpanjang di Indonesia (tapi ternyata masih banyak yang lebih panjang dari itu) karena membentang sejauh 11 kilometer dengan 11 lampu lalu lintas.

Dengan memanfaatkan jalan tol Surabaya – Malang (masuk dari GT Tambak Sumur dengan harapan dapat menghindari kemacetan di area Gerbang Tol Dupak dan sesudahnya, tapi ternyata kemacetan justru ada di Rungkut), saya tiba di rumah Ririd pukul 22.10. Yang terbayang setelah itu hanyalah telentang dan makan. Eh, ternyata, bekal yang saya bawa dari Madura tidak termakan karena mereka telah menyiapkan makanan untuk kami: saya dan Khatir (sebab Anta yang tadi ikut juga malah turun di ujung jalan akses Gerbang Tol Pakis).

Besok paginya, setelah sarapan, saya berangkat pukul 07.40, atau bahkan lebih. Saya menelepon Mas Wida.

‘Mas, Sampeyan ada di mana?’ sembari merencanakan untuk berencana berangkat bersama dari Kepanjen, tapi ternyata…
‘Saya sudah di lokasi.’
‘Waduh’
‘Gimana? Jenengan di mana?’
‘Saya baru berangkat dari Pakisaji. Kalau dari Kepanjen ke Karangsono (Blitar), berapa lama?’
‘Dua jam-an lah’

Kaget lagi, sebab saya lupa kalau “persandingan batas” antara kabupaten Malang-Blitar itu hanya kamuflase saja. Aslinya, ya, jauh sekali meskipun kabupatennya berdempetan, mirip-mirip Sampang dan Bangkalan yang ternyata sangat jauh (sekitar berjarak 62 km; sedangkan jarak dari alun-alun Malang dan alun-alun Blitar itu ada 73 km) padahal keduanya tetanggaan.

Singkat cerita, kami harus menikmati perjalanan yang memang indah supaya dapat melupakan keterlambatan. Betul, ruas jalan Malang-Blitar masih rimbun dan tidak sepadat arus lalu lintas Malang-Pandaan-Surabaya. Jalannya berkelak-kelok selepas Sumber Pucung, setelah area Bendungan Sutami, Karangkates.  Saya tiba di lokasi pada pukul 10.30.

ACARA DI LOKASI

Acara Kopdar Triwulan adalah kegiatan komunitas Colt yang biasa diselenggarakan setiap 3 bulan. Saya sendiri tidak aktif bergabung dengan komunitas karena di Sumenep tidak ada komunitasnya. Tapi, dalam kesempatanya, saya selalu dapat rezeki untuk bisa hadir, terutama rezeki waktu dan kesiapan meskipun lebih sering tidak berbarengan dengan rezeki pertalite. Maka, rezeki bahan bakar harus mengalah karena waktu dan kesempatan itu jauh lebih mahal daripada uang.

Di lokasi, saya bertemu dengan banyak kawan yang sebelumnya sudah sering berjumpa, seperti..., wah, enggak perlu saya disebutkah, ah, sudah sering saya sebut di postingan-positngan lama di blog ini. Yang istimewa, hari ini saya bertemu dengan Mas Teguh (yang sebelumnya bertemu di tempat istirahat, di Tol Trans-Jawa). Pasalnya, dia mengaku seorang pembaca blog ini dan sudah mengkuti postingan saya sejak 2010 yang lalu. Cerita punya cerita, beliau ini pernah punya Colt dan sekarang dialihtangankan ke Mas Nari, salah seorang anggota klub Colt Blitar “Seneng Nedho”.

Acara yang berlokasi di Bumdes Karangsono Blitar itu dihadiri oleh si maskot, yaitu Colt Double Cabin milik Pak Broto yang dikemudikan oleh Pak Marhan dan tanpa kahadiran si empunya: tak hadir orangnya, hadirlah Colt-nya. Pak Bambang Fidelis juga hadir sebagai Colt Mania terjauh, dari Cikupa, Tangerang (Banten). Mereka berkumpul bersama rekan-rekan dari area Jember, Ngapak, Kediri, Malang, dan tentu saja Madura paling timur, yaitu Colt Pariwisata, milik saya (sayangnya, saya tidak melihat penampakan Colt Kwanyar dan Bangkalan yang 3 bulan lalu baru saja menyelenggarakan kegiatan serupa, atau saya yang silap? Entahlah!).

Dalam perjalanan pulang, saya numpang shalat di rumah Mas Teguh yang letak rumahnya cuman sepelempanran batu ketapel dari lokasi, lalu singgah ke Lodaya—tempat Mas Malkan Junaidi—yang jaraknya juga tidak jauh-jauh amat, Sutojayan, persis di selatannya



Masjid Baitul Mubarok. Dan di Kepanjen, saya dicegat lagi oleh Mas Yoyok, singgah sepeminuman kopi di emperan rumahnya yang berhadap-hadapan langsung dengan jalan raya.

Singgah di Mas Teguh hingga perjalanan ke rumah Mas Yoyok memakan waktu pukul 13.30 hingga 18.30. Dalam waktu 5 jam tersebut saya bisa menyambangi 3 orang. Maka, pantas sajalah kalau surga jadi iming-iming bagi orang yang rajin silaturahmi karena pergi ke rumah seseorang dengan niat silaturahmi an sich itu sangat berat di antara himpitan tugas yang semakin sarat. Yang sedikit ringan itu adalah silaturahmi yang didorong oleh semangat sembari mau pinjam uang atau kependingan basic human needs yang lain.

Dari Kepanjen, saya menyusul Pak Bambang di Pakisaji, di bengkel Abah Sis. Tujuannya adalah mengantarkan titipan velg yang lupa saya turunkan dari mobil ketika tadi bertemu di Blitar. Beliau ada di Pakis untuk servis karburatornya yang banjir ketika idle dan menyebabkan mesin tidak stasioner. Saya pesan kepada beliau.

“Kalau cuman pincang ketika idle, kan itu itu hanya akan terjadi beberapa kalii, Pak, paling di Gerbang Tol Pakis, di Gerbang Tol Kejapanan, di Gerbang Tol Krapyak, dan di Gerbang Tol Cikupa. Selebihnya, Jenengan pasti membalapnya, tho?”

Pak Bambang cuman ketawa, karena fokusnya bukan ke omongan saya meskipun beliau menatap, tapi tetap ke karburatornya. Yakin, deh, begitu, ha-ha-ha.

Dari situ, saya lanjut ke Rumah Legenda di Lowokwaru, sebuah kedai milik Pak Fatar. Mas Pras yang menyampaikan pesan Pak Fatar ke saya melalui WhatsApp-nya. Saya pun terima undangan ke situ  setelah menawarkan Khatir, teman perjalanan saya kali ini, apakah iya atau tidak, sebab saya khawatir dia kepayahan dan siapa tahu pula besok (hari ini) punya janjian. Karena dia oke, maka kita gas: oke gas! Colt saya ini pun dipancal oleh Mas Pras.

Pukul 22.00 kurang 15 menit, kami pulang. Saya yang bawa Colt sampai ke Gerbang Tol Lawang (karena di Karanglo saya salah masuk terowongan sehingga kebablasan untuk masuk dari pintu tol di situ). Di Gerbang Tol Lawang, mata saya sudah terasa sagat sepet dan pahit, saya serahkan pemindahan kekoeasaan dalam hal mengemoedi d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja kepada Khatir lalu saya pindah ke belakang.

Mungkin saking capeknya, saya tidak tahu apa saja yang terjadi. Saya baru tahu dari Khatir setelah saya buka mata di Galis, Bangkalan. Dia bilang kalau tadi mampir di Tempat Istirahat Sidoarjo untuk beli minuman, juga isi pertalite tambahan di SPBU Suramadu, juga bertemu dengan salah satu anggota Colt Bangkalan.

“Khatir, ayo saya ganti!”
“Biar nanti saja kalau sudah mau shalat.”

Akhirnya, kami shalat di Panyiburan, di masjid perbatasan Bangkalan-Sampang, Masjid Al-Ihsan  yang dikenal dengan Ama Jeriye karena ada tulisan seperti itu di kotak amalnya yang bukan lagi segede gaban, tapi segera peti mayat, masjid yang menjadi kenangan bagi saya dengan Colt, karena di masjid itulah saya pertama kali bawa Colt jarak jauh dengan Paman Farhan di tahun 2005 lalu singgah dan rehat di sana.

Dari masjid situ, kami tukar posisi: saya di belakang kemudi, Khatir di belakang saya, rehat. Karena jalan yang lengang, hanya dengan kecepatan rata-rata 60-70 km jam, jarak 81 km, jarak yang sama dari Graha Permata di Pakisjajar ke Karangsono Blitar, dapat ditempuh hanya dalam 1 jam 30 menit saja.

04 November 2023

Takziyah ke Wongsorejo


KAMIS, 2 NOVEMBER 2023 

subuhan di Tanjung, Paiton
 Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya tidak mempersiapkan apa pun kecuali karena ada uang buat membeli pertalite. Cek ban dan rem masih oke, sekarang tinggal cari sopir pendamping saja. Dan setelah Cak Badi—atas saran Anam—menyatakan siap, keputusan pun diambil: malam Jumat, berangkat!




Pukul 20.30 persis, saya barangkat dari rumah dan mampir di rumah bibi di Pakamaban, tempat di situ pula saya janjian dengan Cak Badi. Walhasil, kami mancal 21.00 lewat sedikit dari sana, beragarak ke barat.

“Katanya ke sana itu 419 km,” kata Cak Badi.
“Kok kamu tahu?”
“Saya dikasih tahu Cak Anam” (yang kebetulan berangkat pagi tadi ke Galekan, Wongsorejo)
“Mayan jauh itu.” Saya menghela napas. 

Alhamdulillah, kami tidak terkendala kemacetan sebab perbaikan Jembatan Klampis. Yang biasanya macet mengular, malam itu tidak terjadi, bahkan hanya tersendat 3-5 mobil saja. Sebab itu, kami perhitungkan, perjalanan bakalan terlalu cepat tiba di tujuan: akan sampai di Nurul Jadid sebelum subuh, padahal saya membawa bekal untuk anak di pondok tersebut dan tentu saja saya baru bisa masuk setelah shalat subuh. Sebab itu, saya ajak Cak Badi lewat tengah kota Surabaya saja, itung-itung nyantai, menikmati panorama kota dan lampu-lampu serta tamannya, juga mengulur waktu, dan menghemat etoll pula.

Dari peretmpatan Jalan Kenjeran (Masjid Al Islah), rute yang biasa adalah kami belok kanan menuju GT Dupak, atau ke kiri, masuk Jalan Soekarno-Hatta dan masuk lewat Tol Tambak Sumur, kali ini, kami memilih untuk melaju secara lurus saja hingga ketemu perempatan besar setelah RS Husada Utama, belok kanan (ke Jalan Dr. Moestopo), tetap di sisi kanan (lewat jembatan; karena kalau lewat yang kiri itu ke Gubeng) sampai mentok lagi (karena ada sungai dan Museum Kapal Selam), lalu belok kiri, mentok lagi dan belok kanan ke jalan Pemuda, lalu belok kiri menuju Darmo, A. Yani, dan masuk Bundaran Waru. Inilah rute terpendek menuju KM 745 atau Simpang Susun Jambangan Waru, akses ke Malang, Probolinggo, atau ke Mojokerto dan Solo.


“Terus tol atau jalan biasa"

“Biasa saja!”
“Baik, turun Gempol!” kata saya.


Kami masuk tol dari KM 745 hanya sampai Gempol saja. Setelah itu, kami turun lewat jalan arteri, jalan Nasional sampai Tongas. Maklum, malam-malam begitu nyaris gak ada bedanya kami lewat di jalan tol dan lewat arteri yang kecepatan rata-rata mobil hanyalah 70-80 km / jam, kecepatan yang bisa dan biasa dilajukan di jalan tol maupun jalan arteri. 


Mengingat masalah jarak, kami yang berangkat dari Sumenep (Madura), ketika sudah melewati Suramadu (atau penyeberangan Kamal-Tanjung Perak tempo dulu) merasa seolah sudah sampai di Jawa, padahal tidak. Contoh, jika saya dari Guluk-Guluk hendak ke PP Nurul Jadid, Paiton, maka jarak tengahnya adalah di Pasar Loak (atau di Ujung/Tanjung Perak jika lewat Kamal). Jika tujuannya adalah PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, maka titik tengahnya adalah di SPBU 54.671.03, Cangkrin, Beji, Pasuruan. Itu baru saya sadari setelah saya ukur menggunakan peta digital dan odometer. 


Perjalanan sedikit tersendat di Bangil. Baru setelah itu, kami masuk Tol Tiongas karena gerbang tol inilah yang paling dekat dari jalan utama. Dan dari sana, kami masuk tol sampai GT Gending yang baru saja dibuka lagi setelah sempat ditutup karena kecelakaan lalu lintas waktu Hari Raya Idulfitri lalu. 



Kami subuhan di masjid Baitis Salam, di Tanjung, dekat akses jalan masuk ke Nurul Jadid. Aturan-aturan di masjid ini menerapkan aturan ala-ala militeristik, pake polisi shof segala, yaitu petugas yang menertibakan shaf jamaah dan biasanya takbir paling akhir di rakaat pertama. Ih, ada saja ide orang.


Setelah masuk ke pondok Nurul Jadid, saya bisa menjemput putri saya di pondok dan dia (serta saudara sepersusuannya) ngotor mau ikut ke Banyuwangi untuk turut serta takziyah. Proses izin selesai dan cus, kami lanjut, jalan lagi. Saat itulah terasa, bahwa Colt ini terasa sesak setelah ada 9 kepala di dalam mobil. Sepertinya saya harus punya Pregio atau L300.


Kami sarapan nasi pecel di Besuki. Bibi saya mau mentraktri, tapi saya menolak. Dia memaksa, saya ngotot bilang tidak. Akhirnya, saya pun membayar, hanya 85.000. Setelah itu, kami jalan lagi. Dan di kota Situbondo, saat saya yang mengemudi, tiba-tiba ada sepeda motor yang menyejajari kami.
“Keh Faizi?” tanya dia saat posisi kami sudah sejajar: dia di atas sepeda motor, saya di mobil.
“Iya.”


Langsung saya menepi. Kami bersalaman dan sebentar saja, kami berpisah setelah dia nitip duit, menggantikan uang nasi pecel yang saya beli barusan. Ya, Allah, belum salat duha saja sudah dibeginikan hamba ini. Terima kasih, ya, Allah. 


***

Kami mengikat janji dengan Paman Baidawi yang datang dari Jember. Rencananya, kami mau takziyah bersama, masuk ke lokasi bersama. Dibuatlah janjian di ‘rest area’ (dikasih tanda petik karena tidak resmi, hanya tumpukan warung dan lahan parkir di bahu jalan) Alas Baluran. Bertepatan di kordinat yang dijanjikan, begitu saya bersiah karena tampak Paman Baidawi menggubit di depan, nah, dari arah depan, sebuah Innova juga datang dalam waktu bersamaan, sein kanan, menepi ke kiri, sejajar dengan kami. Eh, ternyata yang datang Anam. Dia baru datang takziyah dan saat itu mau pulang. Kami tidak janjian dengan Anam tapi dia titen saja sama kendaraan saya dan sebab itu dia berhenti di sana, di tempat yang sama.  
Tiba di PP As-Syafaah, Galekan, Wongsorejo, Banyuwangi, jam menunjuk pukul 10.00. Tak terduga, di sana ternyata sudah ada Mbak Ateng dan Bi Mahmudah, yang rupanya menggunakan mobil yang tadi menyalip kami di dekat Paiton dan sudah saya curigai sebelumnya.  


Sore kami pulang. Tidak ada catatan dalam perjalanan pulang ini karena pasti sudah seperti biasanya. kami berhenti di pasar Blega untuk beli buah sebagai oleh-oleh. 

beli buah di Blega




Hanya ada satu momen menegangkan di Pademawu, yaitu di daerah Sumedangan, titik timur daya kota Pamekasan. Saat itu jam 3 pagi, setelah saya ngantar bibi di Jarin, ada sepeda motor yang ngebut dan oleng lalu nyaris menabrak saya. Rem paku, mendadak, dan semua penumpang bangun, terkejut lalu bertanya, ‘ada apa?’. Saya bilang, ‘mungkin ada anak mabok.’


Ternyata, kecurigaan saya terjawab setelah kami melewati Tambung dan kembali masuk  ke jalan Nasional 21, ruas Pamekasan-Sumenep di daerah Somber Nyamplong. Ada tiga orang ada duduk berjongkok dengan tangan di belakang leher. Beberapa orang polisi tampak mengepung mereka. Saya menduga, mereka baru saja main balap liar. Dan mungkin saja, satu di antara mereka itulah yang tadi nyaris menabrak saya, saat melaju kencang dari arah depan, tiba-tiba serong kanan, menjurus ke arah mobil saya. Untunglah, saya tiba di rumah dalam keadaan selamat, beberapa menit setelah azan subuh.

Takziah dan Silaturahmi: Lumajang, Jember, Situbondo

JUMAT, 21 JUNI 2024 Perjalanan selalu dihitung dari alasan roda bergerak. Jika niatnya adalah untuk maksiat, jangankan pahala, bahkan rukhsa...