Pembaca

04 November 2023

Takziyah ke Wongsorejo


KAMIS, 2 NOVEMBER 2023 

subuhan di Tanjung, Paiton
 Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya tidak mempersiapkan apa pun kecuali karena ada uang buat membeli pertalite. Cek ban dan rem masih oke, sekarang tinggal cari sopir pendamping saja. Dan setelah Cak Badi—atas saran Anam—menyatakan siap, keputusan pun diambil: malam Jumat, berangkat!




Pukul 20.30 persis, saya barangkat dari rumah dan mampir di rumah bibi di Pakamaban, tempat di situ pula saya janjian dengan Cak Badi. Walhasil, kami mancal 21.00 lewat sedikit dari sana, beragarak ke barat.

“Katanya ke sana itu 419 km,” kata Cak Badi.
“Kok kamu tahu?”
“Saya dikasih tahu Cak Anam” (yang kebetulan berangkat pagi tadi ke Galekan, Wongsorejo)
“Mayan jauh itu.” Saya menghela napas. 

Alhamdulillah, kami tidak terkendala kemacetan sebab perbaikan Jembatan Klampis. Yang biasanya macet mengular, malam itu tidak terjadi, bahkan hanya tersendat 3-5 mobil saja. Sebab itu, kami perhitungkan, perjalanan bakalan terlalu cepat tiba di tujuan: akan sampai di Nurul Jadid sebelum subuh, padahal saya membawa bekal untuk anak di pondok tersebut dan tentu saja saya baru bisa masuk setelah shalat subuh. Sebab itu, saya ajak Cak Badi lewat tengah kota Surabaya saja, itung-itung nyantai, menikmati panorama kota dan lampu-lampu serta tamannya, juga mengulur waktu, dan menghemat etoll pula.

Dari peretmpatan Jalan Kenjeran (Masjid Al Islah), rute yang biasa adalah kami belok kanan menuju GT Dupak, atau ke kiri, masuk Jalan Soekarno-Hatta dan masuk lewat Tol Tambak Sumur, kali ini, kami memilih untuk melaju secara lurus saja hingga ketemu perempatan besar setelah RS Husada Utama, belok kanan (ke Jalan Dr. Moestopo), tetap di sisi kanan (lewat jembatan; karena kalau lewat yang kiri itu ke Gubeng) sampai mentok lagi (karena ada sungai dan Museum Kapal Selam), lalu belok kiri, mentok lagi dan belok kanan ke jalan Pemuda, lalu belok kiri menuju Darmo, A. Yani, dan masuk Bundaran Waru. Inilah rute terpendek menuju KM 745 atau Simpang Susun Jambangan Waru, akses ke Malang, Probolinggo, atau ke Mojokerto dan Solo.


“Terus tol atau jalan biasa"

“Biasa saja!”
“Baik, turun Gempol!” kata saya.


Kami masuk tol dari KM 745 hanya sampai Gempol saja. Setelah itu, kami turun lewat jalan arteri, jalan Nasional sampai Tongas. Maklum, malam-malam begitu nyaris gak ada bedanya kami lewat di jalan tol dan lewat arteri yang kecepatan rata-rata mobil hanyalah 70-80 km / jam, kecepatan yang bisa dan biasa dilajukan di jalan tol maupun jalan arteri. 


Mengingat masalah jarak, kami yang berangkat dari Sumenep (Madura), ketika sudah melewati Suramadu (atau penyeberangan Kamal-Tanjung Perak tempo dulu) merasa seolah sudah sampai di Jawa, padahal tidak. Contoh, jika saya dari Guluk-Guluk hendak ke PP Nurul Jadid, Paiton, maka jarak tengahnya adalah di Pasar Loak (atau di Ujung/Tanjung Perak jika lewat Kamal). Jika tujuannya adalah PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, maka titik tengahnya adalah di SPBU 54.671.03, Cangkrin, Beji, Pasuruan. Itu baru saya sadari setelah saya ukur menggunakan peta digital dan odometer. 


Perjalanan sedikit tersendat di Bangil. Baru setelah itu, kami masuk Tol Tiongas karena gerbang tol inilah yang paling dekat dari jalan utama. Dan dari sana, kami masuk tol sampai GT Gending yang baru saja dibuka lagi setelah sempat ditutup karena kecelakaan lalu lintas waktu Hari Raya Idulfitri lalu. 



Kami subuhan di masjid Baitis Salam, di Tanjung, dekat akses jalan masuk ke Nurul Jadid. Aturan-aturan di masjid ini menerapkan aturan ala-ala militeristik, pake polisi shof segala, yaitu petugas yang menertibakan shaf jamaah dan biasanya takbir paling akhir di rakaat pertama. Ih, ada saja ide orang.


Setelah masuk ke pondok Nurul Jadid, saya bisa menjemput putri saya di pondok dan dia (serta saudara sepersusuannya) ngotor mau ikut ke Banyuwangi untuk turut serta takziyah. Proses izin selesai dan cus, kami lanjut, jalan lagi. Saat itulah terasa, bahwa Colt ini terasa sesak setelah ada 9 kepala di dalam mobil. Sepertinya saya harus punya Pregio atau L300.


Kami sarapan nasi pecel di Besuki. Bibi saya mau mentraktri, tapi saya menolak. Dia memaksa, saya ngotot bilang tidak. Akhirnya, saya pun membayar, hanya 85.000. Setelah itu, kami jalan lagi. Dan di kota Situbondo, saat saya yang mengemudi, tiba-tiba ada sepeda motor yang menyejajari kami.
“Keh Faizi?” tanya dia saat posisi kami sudah sejajar: dia di atas sepeda motor, saya di mobil.
“Iya.”


Langsung saya menepi. Kami bersalaman dan sebentar saja, kami berpisah setelah dia nitip duit, menggantikan uang nasi pecel yang saya beli barusan. Ya, Allah, belum salat duha saja sudah dibeginikan hamba ini. Terima kasih, ya, Allah. 


***

Kami mengikat janji dengan Paman Baidawi yang datang dari Jember. Rencananya, kami mau takziyah bersama, masuk ke lokasi bersama. Dibuatlah janjian di ‘rest area’ (dikasih tanda petik karena tidak resmi, hanya tumpukan warung dan lahan parkir di bahu jalan) Alas Baluran. Bertepatan di kordinat yang dijanjikan, begitu saya bersiah karena tampak Paman Baidawi menggubit di depan, nah, dari arah depan, sebuah Innova juga datang dalam waktu bersamaan, sein kanan, menepi ke kiri, sejajar dengan kami. Eh, ternyata yang datang Anam. Dia baru datang takziyah dan saat itu mau pulang. Kami tidak janjian dengan Anam tapi dia titen saja sama kendaraan saya dan sebab itu dia berhenti di sana, di tempat yang sama.  
Tiba di PP As-Syafaah, Galekan, Wongsorejo, Banyuwangi, jam menunjuk pukul 10.00. Tak terduga, di sana ternyata sudah ada Mbak Ateng dan Bi Mahmudah, yang rupanya menggunakan mobil yang tadi menyalip kami di dekat Paiton dan sudah saya curigai sebelumnya.  


Sore kami pulang. Tidak ada catatan dalam perjalanan pulang ini karena pasti sudah seperti biasanya. kami berhenti di pasar Blega untuk beli buah sebagai oleh-oleh. 

beli buah di Blega




Hanya ada satu momen menegangkan di Pademawu, yaitu di daerah Sumedangan, titik timur daya kota Pamekasan. Saat itu jam 3 pagi, setelah saya ngantar bibi di Jarin, ada sepeda motor yang ngebut dan oleng lalu nyaris menabrak saya. Rem paku, mendadak, dan semua penumpang bangun, terkejut lalu bertanya, ‘ada apa?’. Saya bilang, ‘mungkin ada anak mabok.’


Ternyata, kecurigaan saya terjawab setelah kami melewati Tambung dan kembali masuk  ke jalan Nasional 21, ruas Pamekasan-Sumenep di daerah Somber Nyamplong. Ada tiga orang ada duduk berjongkok dengan tangan di belakang leher. Beberapa orang polisi tampak mengepung mereka. Saya menduga, mereka baru saja main balap liar. Dan mungkin saja, satu di antara mereka itulah yang tadi nyaris menabrak saya, saat melaju kencang dari arah depan, tiba-tiba serong kanan, menjurus ke arah mobil saya. Untunglah, saya tiba di rumah dalam keadaan selamat, beberapa menit setelah azan subuh.

29 Oktober 2023

Kopdar Colt T120 Triwulan Korwil Jatim di Bangkalan

Acara kopdar triwulan Colt Jawa Timur diletakkan di Madura. Penyelenggaranya adalah MCT 120 & BMC. Saya diundang hadir oleh Mas Sugeng (Mas Erwien mengingatkannya lagi tadi malam). Acaranya adalah hari ini, 29 Oktober 2023, yang sayangnya, kegiatan saya di hari Ahad ini  ada empat, berjauhan pula tempatnya: walimah Maulidia & Wardani, Rizal dan Rofi di Payudan dan Nangger (Guluk-Guluk), acara seminar  IAA di Hotel Elmi (Surabaya), dan kopdar triwulan di Warung Pote (Poter, Bangkalan). Dan semua acara itu terjadwal pukul 08.00 WIB.


Selesai menghadiri dua acara pertama, saya pulang duluan, tidak bareng ibu dan saudara yang juga hadir. Saya sudah mewanti-wanti dengan cara membawa sepeda motor agar bisa segera berangkat ke Bangkalan. Pukul 09.52 saya baru bisa keluar dari pekarangan rumah dan menghampiri Anam dan Cak Badi di Pakamban. Habis itu, kami cus ke barat.

Di jalanan yang lumayan padat, kami melaju santai, biasa saja, tidak ngoyo, karena sudah yakin tidak bakal nututi acara, lebih-lebih ada aral perbaikan Jembatan Klampis. Kemacetan di sana minimal 30 menit, atau satu jam kalau apes, bahkan bisa lebih.


Benar ternyata, kami kena macet 30 menitan lebih. Rasanya, matahari berada di ketinggian sepenggalah saja di atas kepala, sejenis pengantar imajinasi untuk membayangkan suhu di Padang Mahsyar, kelak. Ngeri sekali dampak perubahan iklim ini, Kawan. Tigapuluh menit itu tergolong lumayan lama ketimbang satu jam, yakan?

Di Galis, saya berpapasan dengan Kuryadi dan tak jauh di belakangnya ada Ainur Rofiqi. Kuryadi kasih aba-aba lampu proji-nya, Ainur pakai isyarat klakson.

"Wah!" saya berseru, "ini pertanda bahwa banyak kawan yang sudah meninggalkan lokasi, termasuk Pak Benta dan Mas Fadli."
"Apa sudah selesai?" tanya Anam yang berperan sebagai pengemudi."Sepertinya sudah." Saya menduga-duga.  "Tidak apa-apa, lanjut kita."

Akhirnya, kami tiba di sana pada saat orang tidak sedikit. Kami bertemu dengan kawan-kawan panitia dari Bangkalan, makan, basa-basi. tidak perlu berlama-lama di sana karena urusan sudah selesai, paling hanya 25 menit saja kami di Warung Pote. Setelah itu, kami pamit pulang. 

Kami melaksanakan shalat asar dan duhur di Masjid Baiturrahman, Dumajah, supaya pulang ke timur sudah lepas dari tanggungan kewajiban paling prinsip ini. Masjid ini tak berada jauh di timur Warung Pote. Malam Sabtu kemarin, 27 Oktober 2023, saya juga mampir shalat di sana.


Saya membawakan pulang titipan Khatir, berupa 5 kursi lipat buatan mebel Sunan Kalijaga Ngawi dan juga batu-batu Merapi yang dibawa oleh Pak Benta untuk saya letakkan di halaman rumah. Semua itu masih terangkut di dalam kabin dan tanpa perlu menaikkannya ke rak atas. Atas pertimbangan ini pula, rasanya melanjutkan perjalanan ke Surabaya demi setor muka kepada kawan-kawan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang berkongres dan berseminar di Hotel Elmi hari ini sudah tidak memungkinkan lagi.


Saat pulang, di jembatan Jrengik, kami kena macet lagi, pake acara dua tahap pula, duh. Antrian dari timur alamaaaak panjangnya. Ekor antrian sampai di pertigaan Torjun arah Pangarengan, sekitar 3 kilometer. Saya merenung, jika bukan karena alasan silaturahmi dan menyambut baik undangan mereka, maka perjalanan sejauh 118 km x 2, berjibaku dengan suhu udara yang teriknya masya Allah, serta kemacetan panjang di Jembatan Klampis Jrengik akan terasa percuma saja.

03 September 2023

Dikira Dekat, Ternyata Jauh

Hari ini saya pergi ke rumah Kiai Badri. Saya datang untuk menghadiri undangan beliau, menyambut calon besan yang datangnya dari omben, sampang. Adapun acaranya adalah acara pertunangan putranya, Mahas, dengan putra Kiai Fathor, Nuril.

Saya berangkat dari rumah selepas shalat duhur. Perjalanan molor karena jalan penuh sesak. Sulit sekali menjalankan lebih dari 50 km / jam. Entah kenapa kok lalu lintas sangat ramai tadi siang. Akhirnya, berangkat dari dusun saya Sabajarin (Guluk-Guluk, Sumenep, saya tiba di Jarin (Larangan Tokol, Pamekasan) pukul 13.25. jarak 37 km ditempuh nyaris satu jam setengah. Oh, lelah.

Selepas acara, pukul 16.00, saya pulang, tapi ada paman dan bibi serta mertua yang menumpang. Lanjutlah saya ke Giring, kecamatan Manding, dan tiba pukul 18.00 di sana. Setelah shalat maghrib, saya langsung putar balik, pulang, karena ada acara undangan tahlil atas kewafatan H. Rofiq, teman kecil saya yang wafat 100 hari yang lalu.

Bersyukur karena ternyata saya masih bisa nututi acara meskipun sebetulnya sudah pesimis. Tak terasa, tubuh kok terasa lelah. Iseng-iseng saya hitung, ternyata jarak tempuh saya dari siang sampai isya ke dua tempat hingga tiba kembali di rumah adalah 132 kilometer. Setelah saya hitung  dengan jarak lurus, eh, ternyata sama dengan perjalanan dari rumah saya ke pintu jembatan Suramadu, pantas saja cepek. Wira-wiri jarak dekat tak terasa jauh, tapi tetap terasa capek.




Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...