Pembaca

04 Desember 2018

Mengantar Pengantin


Ahad, 2 Desember 2018

Hari ini adalah hari penting bagi saya, terutama pengalaman saya memiliki Colt T120. Hari ini, Colt saya mengantar pengantin, mempelai pria yang kebetulan sepupu saya, menuju rumah mempelai putri. Rasanya, hari ini harus masuk catatan harian dalam blog ini.

Entah sudah berapa tahun saya tidak pernah melihat adanya pasangan pengantin yang naik Colt. Maka, kali ini adalah yang pertama dari sekian lama itu. Tentu saja, pengantin dan kedua orangtuanya sudah setuju jika mempelai pria tidak akan naik sedan—seperti kebiasaan masyarakat di sini. Kali ini, mempelai pria naik mobil penumpang, wagon, Colt T120.

Di tahun 1980-an, konon, adalah pemandangan biasa Colt jadi angkutan penumpang tetapi sekaligus juga untuk mengantar pengantin. Jika tidak ada Mercy atau Holden, maka biasanya mempelai naik Colt. Sudah lama saya membayangkan suasana 80-an itu terjadi lagi searang, di era milenial. Ternyata, pengalaman itu benar-benar terjadi, 38 tahun setelah mobil ini berkeliaran di muka bumi.

Pukul 07.21 kami baru keluar dari pekarangan. Saya agak ketar-ketir sebab biasanya perjalanan dari Guluk-Guluk ke Sampang itu memakan waktu satu jam setengah jika sendirian dan dengan kecepatan 60-70 km/jam. Sementara ini kami akan konvoi, pasti kami akan tiba telat di sana. Sesuai waktu yang disepakati, rombongan dari Sumenep diharap tiba di Sampang sebelum pukul 09 pagi karena acara/undangan yang terjadwal adalah pukul 09.00.

Saya diuntungkan karena bensin isi seperempat sehingga saya langsung menuju sampang (kira-kira 65 km) tanpa harus berhenti lagi. Berasa heran saja karena mobil-mobil Innova, Kijang, CRV, pada mengawal kami di belakang. Saya memacu mobil dengan kecepatan rata-rata 75 km/jam (yang penting buzzer tidak sampai bunyi).

Selamat, akhirnya saya sampai di Tanglok, dekat masjid Du’ Latteng, menjelang kota Sampang, pada puku 9 kurang 10 menit, masih aman. Di situ, sebagian penumpang mobil ada yang pipis, ada yang merokok, sedangkan saya memasang bunga besar di gril karena bunga dan hiasan lainnya sudah dipasang sebelum berangkat, tadi, sewaktu masih di rumah. Dari sana, kami dikawal oleh empat orang bersepeda motor, menuju lokasi.

Ini adalah pengalaman pertama naik mobil yang diiringi oleh banyak mobil yang lain, menjadi pusat perhatian, berasa jadi peragawan yang berjalan pelan di atas catwalk.


24 November 2018

Hari Maulid Pergi ke Jombang


Hari ini tanggal merah, perayaan Maulid Nabi Muhammad, bertepatan dengan hari Selasa, 20 November 2018. Dan kali ini, hari ini, adalah perjalanan jauh pertama Colt saya setelah dicat. Perjalanan terjauh sebelumnya adalah ke Jogjakarta, awal tahun ini, saat Colt masih telanjang bodi. Perjalanan kali ini bertujuan Jombang, Rejoso Peterongan tepatnya.

Sempat dihantui rasa ragu sebelum berangkat, akhirnya saya pergi pula ke Jombang bawa Colt. Kami berangkat bakda shalat subuh. Hanya saya, Warid (sepupu dua kali) dan anak tertua yang pergi. Semua yang saya ajak pada berhalangan. Maklum, saya maklum saja. Ini tepat hari Maulid Nabi Muhammad. Jadi, mereka pada sibuk kondangan.

Masih sangat pagi ketika kami mencapai bengkel Mbah Fathor di Larangan Tokol, Tlanakan. Tentu saja tujuannya bukanlah memperbaiki, tetapi sekadar pamer. Maklum, saya nyebutnya “Mbah” bukan “mbah secara nasab dan silsilah”, melainkan karena dialah yang sering saya tanyai seputar Colt mengingat dia bengkel sekaligus pemilik Colt yang punya Colt sejak baru sampai hari ini. Beberapa waktu sebelumnya saya sempat cerita kalau Colt saya sudah kinclong sekarang.

Dia senang melihatnya secara langsung pagi ini. Hanya sekitar lima menit berselang, plus tadi berhenti saat isi premium 180.000 di Talang, kami berangkat lagi ke arah barat. Sempat pula kami mampir di Bandaran untuk beli nasi kobal, nasi bungkusan berlauk sambal, cakalan, dan sesobek telur dadar. Harganya  Rp 3000-5000 per bungkus.

Menjelang pukul 6, saya melipir sebentar di Camplong, ketemu Nuris Sholihin yang di Facebook ia sebut namanya dengan BIN (bukan intelijen, lho).  Singkat saja pertemuan itu, hanya serah terima majalah Ijtihad, majalahnya OMIM PP Sidogiri. Habis itu, saya berangkat lagi, sobek majalah, dan menemukan amplop berisi duit sebagai honor esai yang saya tulis di dalamnya, honor yang cukup untuk membayar bensin untuk perjalanan kami kali ini. Alhamdulillah.

“Kita mau lewat tol?” saya tawarkan pilihan kepada Warid.
“Terserah,” jawabnya pasrah.
“Tapi, baiknya kita isi e-toll dulu. Saya enggak tahu, ada berapa isi kartu ini, soalnya saya cuma pinjem.”

Ternyata, saya putuskan  lewat tengah kota saja, lewat Monumen Bambu Runcing, tembus Darmo, terus A. Yani. Ruas jalan di kota Pahlawan ini berasa Minggu meskipun hari ini adalah Selasa. Maklum, ada penanggalan merah. Saya mengingau, “Apa perlu aku pesan almanak yang angka-angkanya dicetak warna merah semua, ya, agar Surabaya jadi lancar jaya setiap hari seperti pagi ini?”

Saat melewati jembatan layang Wonokromo, saya bercerita—tentu untuk dua orang lain yang ada di dalam kabin mobil ini—bahwa jembatan ini adalah yang pertama di Jawa Timur. Sekurang-kurangnya, itu yang saya tahu.

“Dulu, saat awal-awal digunakan, kalau lewat di sini masih kena tarip Rp 300. Kalau tak keliru, ‘tol’ ini dibangun tahun 1983, disusul tol terpanjang kala itu, Perak-Gempol, 41 km, yang dibangun di tahun 1986. Jembatan layang ini, seperti juga di Trosobo, adalah demi mengurai kemacetan lalu lintas karena ada perlintasan rel kereta api di bawahnya.”

Akhirnya, karena waktu sudah jelang 08.30, dengan berat hati saya harus putuskan untuk lewat tol Surabaya-Jombang saja meskipun taripnya sangat mahal (jika tidak salah 60 ribu lebih). Demi menghemat waktu, akhirnya kami lakukan juga. Coba andai rencana yang semula terjadi, yakni berangkat pada malam harinya, tentu saja saya akan pilih lewat di “jalan reguler”, jalan yang ramai, yang di kanan-kirinya banyak orang, yang kanan-kirinya banyak toko, bukan hanya sawah dan sawah melulu, bukan hanya gudang dan pabrik melulu, sehingga naik mobil tapi berasa naik kereta api.

Oh, ya. Waktu perjalanan kami kali ini tidak dipangkas waktu makan karena kami makan nasi bungkus di atas kendaraan. Ini jelas lebih hemat waktu dan hemat biaya karena di samping yang dimakan itu nasi bungkusan yang harganya murah, juga tidak perlu parkir sampai setengah jam untuk makan di warung.  Mestinya, saya bawa sangu sendiri. Sayangnya, istri sedang sakit sehingga rencana mau ikut pun gagal, bahkan tak sempat menyiapkan bekal.

Kami memang biasa bawa bekal meskipun saat ini sudah banyak sekali warung makan bertebaran di sepanjang jalan, di Madura, beda dengan sepuluh tahun yang lalu yang masih terbilang jarang. Jangankan nasi, air minum pun kami bawa sendiri. Masa air minum saja harus beli di jalan? Begitu prinsipnya. Belum lagi sampah plastiknya. Mau dikemakan? Pada akhirnya dibuang juga, kan? Alasan hemat, keterjaminan kesucian makanan dan minuman,  bercampur pula dengan alasan penyelamatan lingkungan, klop sudah. Bahkan, kopi dan cangkir kecil serta nampan mininya pun saya bawa sendiri. Hanya kompor dan panci saja yang tidak bawa sendiri.

Menampaki ruas jalan tol, pagi itu, rasanya berat. Meskipun enak juga tidak dapat dipungkiri karerna saya sembari membayangkan kemacetan yang terjadi dari Krian sampai Mojokerto, begitu pula arus lalu lintas yang sengit dari Trowolan sampai Rejoso. Begitulah, apa-apa itu ada plus-minusnya selalu.

Agak gondok juga setelah saya tahu ujung pintu tol Jombang ini ada di Jalan Tembelang, jalur ke Ploso, ke Babat. Jadi, bagi yang mau ke arah Kertosono, ke Tambak Beras, ke Denanyar, sudah sangat pas, tapi bagi yang mau ke Rejoso, ini terlalu ke barat. Kami harus ke arah timur dulu dari pintu tol.

Saya langsung menuju Tebuireng. Beruntung, meskipun di situ macet karena hari libur dan pas maulid, tapi saya sangat senang karena nemu barang kesukaan, es tebu, langsung glek dua gelas. Saya sowan Gus Didik, pengasuh Madrasatul Quran, yang pada hari itu kebetulan ada di kediamannya, di halaman depannya bahkan. Beruntung sekali saya hari ini. Sesudahnya, barulah saya ngantar anak ke PP Terbuireng, sambil menjelaskan ini itunya, tokoh-tokoh yang ada di pesarean di sana.

Dari sana, pukul 11.00, saya ke Corogo, mampir ke rumah Haris, untuk tidur dan istirahat siang sebelum waktua acara tiba, pukul 14.00. dan hamdalah, saya bisa istirahat dengan durasi sekitar satu jam. Tubuh jadi bugar begitu bangun, apalagi makan.

Tepat pukul 14.00 saya baru berangkat, mestinya itu jam pelaksanaan acara. Saya tahu, acara pasti molor sedikit karena saya masih diarahkan ke Stasiun Peterongan oleh Gus Binhad, ngopi sejenak dengan Mas Andhi Setyo, lalu berangkat ke lokasi acara.

Acara diskusi literasi pesantren sekaligus beda buku kumpulan cerita pendek karya Zainuddin Sugendhal (Kucing Makan Koran) dan buku puisi Karra Abhel (Candu Setangkup Luka) berlangsung seru. Binhad Nurrohmat yang sedianya berposisi sebagai pembanding, karena terlanjur dikasih pelantang, malah berganti peran jadi moderator. Mas Andhi yang duduk di belakang ditunjuk maju ke depan olehnya, menemani Pak Nurdin.  Acara yang ditempatkan di lantai II Islamic Centre UNIPDU ini, juga sebagai ruang perpustakaan, berjalan secara gayeng selama dua jam setengah.

Yang mengejutkan adalah; di antara para peserta terdapat Zilvia, sepupu dua kali.
“Loh, Zil, kamu kok di sini?” tanya saya.
“Saya kuliah di sini, Kak.”
“Sejak kapan?”
“Sudah semester 5 sekarang.”
“Berarti kamu sudah dua tahun setengah ada di sini. Ealaaah, kirain, selama ini kamu di rumah saja,” dan saya pun tertawa, tidak membayangkan itu terjadi, kok bisa saya enggak tahu begitu.

Selesai acara, setelah cangkruk sebentar dengan IAA UNIPDU (acara bonus), saya bertandang ke wisma Alhambra, kediaman Ning Eyik dan Gus Binhad. Kami pamit pulang setelah isya dan langsung menuju ke rumah Haris, istirahat sejenak di sana, lalu melanjutkan perjalan pulang ke Madura setelah jam dinding menunjukkan pukul 21.05.

Warid yang pegang kemudia dalam perjalanan pulang dari Corogo (lokasinya selatan Samsat Jombang). Saya menemaninya duduk di depan, terkantuk-kantuk. Ngomong terus supaya dia tidak bosan.

Kami baru isi bensin lagi 110.000 di SPBU Galis, menjelang Gunung Gigir. Tiba-tiba, starter Colt tidak jalan, seperti kehabisan daya. Waduh, ada apa ini? Tampaknya ada masalah dengan strum. Seorang petugas SPBU lantas berjalan ke arah saya, mendekat, sambil berkata
“Loh, kok masih di sini? Kerasan, ya?”
Saya tahu, dia tidak butuh jawaban. Tapi, justru sayalah yang butuh kedua tangannya.
“Yolah, dorong dulu...”

Saya bawa mobil menggilinding, melaju, menembus malam, menuju Galis, Sampang, Pamekasan, dan tiba di rumah pukul 02.04. Perjalanan lima jam dari Jombang tanpa tol di malam hari nyaris sama dengan perjalanan siang lewat tol di siang hari, malah lebih singkat. Adapun biaya BBM tidak saya ukur, tapi uiritlah untuk ukuran Colt. Sejak pakai teknik Pengaturan Spuyer dari Luar, rata-rata konsumsi BBM itu menakjubkan, sekitar 1:12 – 1:13 /km. Tentu saja, akselerasi mobil tidak sedahsyat biasanya, rada nyendat-nyendat kalau gas diinjak sembarangan, harus kalem, sangat kalem. Untuk total jarak tempuh = 464 km kali ini, saya taksir BBM habis 36-37 literan.









03 Oktober 2018

Lampu Ekor Colt




Umumnya, lampu Colt buatan parbrik karoseri Internasional itu menggunakan lampu Mazda 808.

Mazda 808. Sumber "wowcarsale"

Dari saking  populernya lampu ini hingga seolah-olah ia dianggap sebagai “lampu asli Colt”, padahal kita tahu, Adi Putro adakalanya juga menerapkan lampu Mercy Tiger untuk produk karoserinya. Kata Mas Piko yang punya Colt dari baru (milik ayahnya), ketika dulu ayahnya mau pasang lampu Mercy, bengkel Adi Putro minta tambahan Rp 250.000. Jadi, waktu lahirnya saja sudah beda jauh harganya.

Ketika saya membaca masuk Colt ke bengkel cat, saya berniat untuk mengubah lambu belakang Colt saya yang asal ke yang lain. Alasannya adalah karena lampu saya sudah kusam ada beberapa retakannya, yang kedua ingin ganti selera. Karena lampu Colt saya menggunakan lampu Mercy Tiger, maka saya cari lampu yang paling mirip dengannya. Yang paling dekat adalah lampu Mercy Actros 2526 (biasanya truk tronton buat ngangkut rokok Gudang Garam).

Lampu Actros memiliki dimensi  52 cm panjangnya, lebar 11 cm (kalau tak salah). Dengan demikian, maka dudukan lampu pada bodi harus diubah, diperlebar sedikit. Tak apalah kata saya dalam hati. Namun, setelah saya konsultasikan ke bengkel, ternyata dia tidak setuju. Lampu truk itu persegi, sedangkan lampu sedan Mercy ujungnya semi melengkung. Kalau persegi tidak cocok untuk bodi Colt yang tidak berbentuk kotak, tidak seperti pick up, karena bodi Colt itu dinamis, agak melengkung/oval. Alasan lainnya adalah karena harga mikanya itu berkisar 1.600.000 sepasang, itu pun harus nunggu satu bulan karena barang masih mau dikirim dulu lewat kapal, dari China.

Keputusan pun diambil. Saya tetap pakai lampu Mercy Tiger tapi cari di toko suku cadang, cari yang  asli dan baru, karena sudah bosan saya cari di loakan tidak nemu-nemu kecuali dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan miliksaya, sama-sama tidak istimewa. Setelah dicek harga, oalaaah, gila! Rp 5.000.000. Lima juta buat beli mika? Cari kerjaan yang lain aja deh.

Akhirnya, saya pakai punya sedan yang lain saja. Entah Accord atau Corollah. Barangnya saya nemu di Jember. Harganya sangat murah, kurang dari seratus ribu. Maka, selesai sudahlah acaranya. Cuma, perlu diingat, ketika saya meminta bengkel agar tidak sampai salah memasang kover lampu tersebut, bengkel mengajukan alasan lagi. Kalau dipasang secara benar (yang kiri dipasang di kiri dan yang kanan dipasang  di kanan) “Memang benar tulisan Stanley dan angka-angkanya benar, tapi kalau dilihat bakal kurang pas karena lengkungan lampu sedan itu terbalik dengan lengkungan bodi Colt. Jadi, yang paling sip adalah dipasang terbalik.”

Begitulah ceritanya.


Mencari Harta Karun ke Ngalam



Memnag betul, tujuan utama kepergian saya ke Malang adalah untuk buku. Itu tema besarnya, yakni diskusi buku saya, Nyalasar, di arena bazar buku “Brawijaya Nyangking Buku” (FIB Universitas Brawijaya) dan di Kafe Pustaka di Universitas Negeri Malang. Kedua acara ini berdatum 1 Oktober 2018. Namun, ada sesuatu lain di balik cerita buku ini.

Sejak lama, saya memang ingin datang ke Kepanjen, ke Kedai Vespa tepatnya, kedai yang katanya  sering dibuat nyangkruk para penggemar kendaraan antik, terutama Vespa dan Colt T120. Kedai ini berada di seberang jalan Masjid Raya Kepanjen, Masjid Baiturrahman.  Jadi, kalau Anda cari tempat ini, tanpa GPS pun mudah ditemukan.

foto milik Pak Titho
Siang itu, saya diantar kawan Ali Gojek (yang untuk pertama kali saya kopdar di hari itu karena sebelumnya hanya berteman di media sosial). Heran dimulai darinya. Setelah turun dari sadelnya, dia sama sekali tidak mau dibayar. Dipaksa pun beliau tak mau. Saya tidak mengerti kok ada jenis tarif seperti ini, tarif geleng-geleng kepala. Waduh, ini kenikmatan bertubi-tubi setelah sebelum berangkat tadi dihajar pecel di rumah Bapak Sya’roni yang kediamannya arah timur daya Terminal Arjosari

Dalam perjalanan ke Kepanjen—yang jaraknya tidak saya ketahui sebelumnya kalau ternyata jauh sekali  [istilahnya “Malang tapi nyeberang laut”]—nyaris saja saya tertidur di atas sadel Supra 125-nya Mas Gojek karena tak tahan menahan kantuk. Maklum, dalam perjalanan ke Malang, saya tak dapat jarah kursi di bis AKAS karena penumpang membeludak. Begitu pula, perjalanan dari Surabaya ke Malang dengan PO Kalisari pun tak bisa tidur dengan pulas, dan hanya sekilas. Barangkali itu penyebabnya.

Setiba di kediaman Mas Wida, sungguh bahagia sekali dini karena pelindung bodi colt yang saya cari langsung didapat,  switch lampu kabin ada juga. Malah, Mas Wida ngasih saya flasher asli buatan Mitsubishi Jepun yang mungkin sudah tiada lagi di toko mana pun, bahkan termasuk di toko-toko suku cadang di sekitaran Tokyo dan Kyoto.  Yang lebih edan lagi, begitu saya mau bayar, Mas Wida juga tak mau. Kata dia, uang saya tidak laku di Malang. Heran, padahal, saya kan datang dari Madura dan Madura itu bagian dari Indonesia, kok bisa tidak laku? Lagi pula, yang saya serahkan itu kertas bernominal, uang sungguhan, bukan daun salam atau daun tembakau... heran deh

Singkat cerita, setelah mnenghabiskan soto, juga bertemu dengan Pak Titho dan Mas Yoyok dan menyelesaikan shalat duhur di musalla depan rumah Mas Wida, saya pun pamit pulang dengan keadaan sangat kenyang, baik secara lahir maupun batin. Terima kasih Mas Wida dan teman-teman Colt T120 (MRMC).

TAMBAHAN: sebetulnya, sepulang dari Kepanjen, saya langusng bergerak menuju ke Universitas Brawijaya bersama Mas Ali. Kejutan ternyata belum berakhir juga. Di UB, saya dikejutkan oleh seorang lelaki yang ternyata bernama Pak Yusuf R. Nah, Pak Yusuf ini adalah orang yang pertama kali—setidaknya yang saya tahu—memposting ceria seputar Colt T120 di blognya dan lantas menjadi trending, dikomentari ratusan orang. Itulah blog yang menjadi cikal-bakal lahirnya grup Colt di mailing list Yahoo! dan selanjutnya pindah ke Facebook.


10 Agustus 2018

Merenungkan Mobil di Areal Parkir Sambil Menebak-nebak Pemiliknya


Saya masuk ke areal parkir dengan percikan peluh di dahi, meleleh di leher. Siang hari memang bikin gerah kalau ada di luar tapi bikin lupa pulang kalau sudah masuk ke mal. Cuman, ingat, keringat ini adalah simbol kerja keras seorang lelaki akibat pontang-panting membanting stir, maju-mundur beberapa kali karena menyiasati lahan parkir. Penyebab lainnya adalah karena indikasi masalah yang diduga berasal dari platina sehingga membuat mobil berangguk-angguk seperti sedang menari.

Patner saya melenggang menuju ke pertokoan. Apakah saya perlu menggandeng tanggannya? Tidak! Karena tangan saya sudah terlanjur belepotan, digunakan untuk menyelusup ke bawah jok, merogoh sistem karburasi yang tidak bekerja dengan baik dan pengapian yang tidak sempurna. Maklum, Colt T itu mesinnya ada di bawah jok, beda dengan Kijang dan Kuda yang ada di depan, angkutan zaman sekarang yang bahan pangannya bukan rumput dan daun, tapi bensin dan solar.

Start mesin, nyala, tapi bretbet. Cilaka. Ada apa ini? Bikin masalah kok siang-siang dan di tempat yang jauh dari bengkel lagi! Rutuk saya kepada mesin, penuh murka. Cling! Saya dapat ide (sebab Ida sudah digandeng si Ali): Masalah jadi ruwet itu karena dipikir, tho? Makanya, saya lalu melupakannya, tidak memikirkannya, dan hilanglah semua masalah tadi.

Kini saya berteduh, duduk di bawah pohon ketapang yang daunnya dapat dihitung dengan jari. Pohon itulah satu-satunya tempat berteduh—di tempat itu—yang secara sukarela menggratiskan oksigen di siang hari. Ada juga tempat berteduh yang lain yang menggratiskan wifi, tetapi harus bayar 5000 hanya untuk secangkir kopi sesat, eh, saset.

Setelah ngaso, mulailah saya iseng, memperhatikan orang-orang yang pulang belanja sembari menebak mobil yang akan mereka naiki. Pekerjaan ini sebetulnya tidaklah lebih iseng daripada; 1 duduk di tepi jalan, menebak-nebak nomor ganjil atau  genap pada mobil yang akan nongol, dan; 2  memperhatikan dua orang yang sedang duduk di kejauhan, lalu menebak, manakah di antara mereka yang berdiri lebih awal. Kedua tebak-tebakan tadi berpotensi judi amat tinggi, beda dengan tebakan keisengan saya.

Saya cermati: ada yang kucel, ada yang klimis, ada yang menor, ada yang cuek. Karena posisi saya dekat dengan pintu keluar, maka jelas saya dapat melihat mereka semua yang kinyis itu masuk ke mobil apa, mereka yang pucat biasanya masuk ke mobil apa, begitu seterusnya. Dari sinilah kemudian muncul praduga-praduga tidak ada salahnya.

Semula, saya mengamati sebuah Innova Venturer berwarna putih, 2,4. ‘Wuiw, mewah sekali ini mobil, pasti!’ kata saya di dalam hati. Ia bersisian dengan “Carry” di sampingnya. Inikah penyebabnya? Adakah persepsi saya berubah andai Innova tersebut bersisian dengan—cukup ubah satu huruf saja supaya menjadi—“Camry”, misalnya?

Spontan, saya membuat perbandingan: Yang kanan pake AC sebagai pengatur suhu, yang kiri pake AC sebagai “Angin Cendela”; yang kanan muat tujuh orang tapi wagu kalau diisi segitu; yang kiri muat satu tim kesebelasan dan masih dimaklumi oleh orang kebanyakan. Persamaannya; yang kanan irit, yang kiri juga irit. Bandingkan lagi; masih lebih irit yang kanan, kan? Yang Innova? Iya, tapi dia itu boros saat dibeli, beda dengan yang kiri: irit saat dibeli, irit saat dipakai, irit saat bayar pajak, tapi boros pada grudak-gruduknya di jalan berlubang. Bedanya lagi: yang kanan power streering; yang kiri power sepiring.

Enggak bakal habis kalau mau membanding-bandingkan kendaraan itu, apalagi memang enggak sebanding. Secara logika, pembandingan ini pun sudah cacat bahkan sebelum diajukan. Lagi pula, ngapain dibanding-bandingkan?

Seorang lelaki gempal dan besar datang membawa dua plastik kresek besar warna merah, diikuti seorang ibu-ibu yang bawa keranjang belanja, pake troli. Sepertinya mereka habis kulakan. Bersama mereka, beberapa langkah di belakangnya, seorang lelaki resik berbaju hem dengan ujung lengan baju dilipat seperempat, putih bergaris, berjalan seiring dengan seorang nyonya yang tidak terlalu tua. Dan manakala tinggal sepuluh langkah ke tempat mobil diparkir, lelaki gempal mengeluarkan kunci kontak dan tidak ada respon apa pun dari mobil, sedangkan lelaki perlente itu mengeluarkan kunci kontak dan langsung direspon oleh kedipan lampu sein secara bersamaan pada lampu Innova. Sudah sepantasnya pemandangan ini, kata saya dalam hati.

Sejurus kemudian, saya melihat: seorang bapak 65-an tahun dan pasangan 50-an masuk ke pelataran parkir. Lagi-lagi saya menebak: berdasarkan tongkrongan si ibu yang masih seger dan manja, dan lebih tampak sebagai anak tertua atau anak menantu daripada istrinya, ia menjinjing tas bermerek. Tas itu mungkin dibelinya di Orchard, Singapore, meskipun dia tidak tahu, ia adalah hasil produk kriya dari sekelompok ibu-ibu rukun PKK di Tanggul Angin, Pasuruan. Pas, tebakan saya tak meleset. Mereka masuk ke All New Accord.

Apa-apa itu memang sudah ada pantas-pantasnya. Ada juga, sih, yang dianggap pantas atau tidak itu hanya karena kungkungan stereotip. Tapi, intinya, ya, begitu. Ibarat kata, jika ada anak usia 15-an tahun naik sedan bongsor buatan Honda yang biasanya ditumpaki bupati atau rektor tersebut, jangan salah jika si anak langsung dituduh pakai mobil dinas bapaknya yang plat nomornya bergincu merah namun diubah sementara ke hitam supaya bebas buat jalan-jalan.

Sekali lagi, apa-apa itu ada pantas-pantasnya, bukan semata benar dan salah. Yang beli Avanza dan Xenia itu biasanya model bapak-bapak tanggung dan atau remaja dewasa. Yang bawa Swift biasanya anak muda bercelana ¾ dan berkaus T-Shirt dengan rambut tersisir ke belakang, atau jabrik, yang boleh jadi mereka pengen Mini Cooper tapi dilampiaskannya ke lain merek hanya karena mirip bentuknya. Yang agak tuwir tapi ingin tampak mudah, eh, muda, dan suka modif-modif boleh jadi pilih Genio atau sekelasnya.

***

foto hanya pemanis; RM Duta, Ngawi 
Beberapa saat kemudian, muncul seorang pemuda tigapuluhan tahun. Kulitnya tidak terurus, menandakan dia pekerja keras. Tubuhnya yang kerempeng menandakan kurang gizi. Ini bukan kata dokter, tapi kata hati saya atas dasar asumsi yang dibangun oleh wawasan yang entah itu wadag atau berisi, lahir dari verwachtung horizon saya sendiri (saya mohon ampun atas kekejaman persepsi ini). “Orang ini pasti bawa VIAR yang warna merah itu,” batin saya. Eh, ternyata dia melenggang terus, melewati parkiran, lanjut ke jalan. Ekor mata saya mengikutinya dan saya pun terbelalak manakala melihat dia masuk ke kabin sebuah tronton, Volvo FL, truk yang rodanya selusin dengan serepnya itu. Ia menyalakan mesin, menghidupkan sein, dan menjalankannya.

Oh, ampun, ampun, ampun. Tebakan yang dari tadi benar jadi hancur oleh kesalahan yang satu ini. Betapa menipunya pandangan fisikal itu. Astaga, saya tersedak dibuatnya. Saya tak mau tebak-tebakan lagi. Tapi, sialnya, muncul lagi seorang sepuh, oh, tidak, lelaki tua 55-an secara tampang. Kehadirannya membangkitkan kembali rasa iseng saya. Maka, saya pun menduga usianya malah di atas 60-an tahun secara KTP. Garis-garis kerutan di dahi dan ujung mata dapat memancarkan kematangan dalam pengalaman. Ini pasti orang penting, pikir saya. Mulai dari petugas parkir sampai tukang sunggi serta beberapa awak pertokoan itu tampak menjura saat ia melintas, atau sekurang-kurangnya menampakkan senyuman. Yang diperlakukan begini, kan, biasanya kiai atau ustad. Lah, ini? Makin heran saya karena ternyata dia tidak masuk ke Innova, tidak pula ke Camry, tidak ke CRV, tapi malah ke L300 pikap bulukan.

“Hei, dia itu siapa? Kayak orang biasa tapi semua orang menghormatnya? Ustad kalian?”
Dua orang petugas kebersihan yang menjawab, tanpa menoleh. “Bukan, dia pak bos, pemilik pertokoan ini.”
“Lah, kok mobilnya cuma L300 pikap?”
“Apa urusan? Kamu ini kurator pengadilan atau hansip? Ngurus harta orang kok segitu jelimetnya.”

Dibilangin begitu, saya pilih menghindar. Sumbu pendek kayak itu janganlah dilawan. Saya lalu duduk kembali di bawah pohon sembari berpikir, mengapa pikiran-pikiran seperti ini bisa muncul dari pikiran saya? Mengapa saya ada di sini dan memperhatikan orang-orang? Mengapa saya berpikir begitu dan mengapa mesti berpikir begitu?

Lagi asyik-asyiknya terpekur, tiba-tiba ada tepukan di pundak kanan.
“Mas!”
Saya menoleh, ternyata Yanto, jukir kenalan yang sudah lama kerja di situ dan enggak naik-naik juga pangkatnya. “Sampeyan mau terus di sini sampe sore? Atau malah sampai malam?”
“Wah, kaget aku, Yan. Ya, ndaklah, kalau bisa jangan sampai lah...”
“Kok kalau bisa?”
“Kayaknya, aku gak bisa pulang. Mobilku mojok, eh, mogok. Platinanya soak.”
“Sudah kuduga!”

M. Faizi (admin)
---------------------
CATATAN: esai ini rencana dikirimkan ke Mojok.co, tapi tidak dimuat-muat, akhirnya saya posting saja di blog ini. Mutung
Esai berlatar fakta, kecuali bagian “Apa urusan? Kamu ini kurator pengadilan atau hansip?” dan seterusnya. Bagian terakhir ini murni imajinasi saya



19 Juni 2018

Berjudi dengan Kecelakaan


Selepas shalat isya, Senin, 18 Juni 2018 ( 5 Syawal 1439) saya pergi ke Preduan. Berikut laporannya.
Di Sumber Kembar, dua kilometer perjalanan dari pintu rumah, saya berpapasan dengan Suzuki Carry yang lampu kanannya mati. Tentu saja saya kaget karena dari jauh ia tampak seperti sepeda motor.

Berjalan kurang dari 500 meter, dekat tanjakan Druksin, mata saya kesilauan ditempai motor Scoopy yang lampu LED-nya putih berkilat-kilat seperti petir. Maksudnya apa dia menggunakan lampu seperti itu, saya tidak tahu karena tidak saya cegat untuk kemudian mewawancarai pemiliknya. Lebih tidak paham lagi, untuk apa lampu jenis itu dijual bebas sehingga semua orang bisa (bukan boleh) menggunakannya di jalan raya.

Di Brumbung, tikungan sebelum Rong Cangka, seperti pengendara sepeda motor berhenti di badan jalan, telepon-teleponan. Masih mending dia berhenti untuk melakukan tindakan itu, mending daripada dia menelpon sambil menyetir pakai tangan kanan saja. Tapi, sialnya, saya saya melewatinya dan pada saat yang sama berpapasan dengan sepeda motor lain dari arah depan, tiba-tiba, wuuusss! Sebuah sepeda motor menyalip saja, hanya sepersekian detik ketika sepeda motor yang datang dari arah depan itu berpapasan dengan saya, kaget beneran.

Di selatan SD Pangilen, sampingnya rumah Amse, sebuah sedan—kalau tidak salah Honda Maestro—ngotot masuk duluan untuk melewati mobil Hiace yang parkir makan jalan di sisi barat, dengan cara kasih lampu jauh yang dikedip-kedipan secara cepat, padahal jarak saya sudah sangat dekat. Ya,enggak apa-apa. Saya mengalah saja.

Di Kaju Ojan, saya nyaris menyenggol seseorang yang berdiri di tepi jalan, masih di atas aspal. Sepertinya, dia hendak mengomando lalu lintas karena di sekitar situ ada perayaan pernikahan. Cuma karena dia tidak menggunakan rompi pantul dan/atau menggunakan tongkat berlampu, jadinya saya tidak tahu. Kelabakan lagi saya dibuatnya.

Sampai di Nagan, saat hendak masuk ke tikungan Bangkoare, jalan saya terhadang oleh sepasang bapak ibu yang dengan asyiknya menutup jalan di depan. Tampaknya mereka tengah berdiskusi tentang peliknya pembiayaan rumah tangganya. Itu benar dan penting, tapi kenapa diskusinya kok di tengah jalan raya, ya?

Nah, dan saat saya hendak melewati jalan menurun di Onggaan, sebuah Isuzu Elf hendak mundur dari parkiran, tanpa pengawalan. Posisinya berada persisi di ujung tanjakan/turunan dan tikungan.
Saya mulai tidak kaget lagi karena terlalu banyaknya kekagetan-kekagetan yang saya alami barusan, selama kurang lebih sepuluh menit saja padahal.


Nah, sekarang, saya sudah tiba di Partelon Prenduan. Mobil Colt Titos sudah tiba di bibir jalan. Saya menyalakan lampu sein kanan, hendak belok ke barat.  Dari arah kiri sudah kosong, hanya ada beberapa sepeda motor tapi masih jauh.  Sementara di kanan, datang sebuah APV, berjalan pelan. Saya menunggu dia melintas. Setelah dekat, eh, ternyata belok kiri tanpa lampu sein, ke arah jalan di mana saya datang. Di atas kaca depan, ada stiker Jetbus HD. Jetbus kok ngedabrus?

Itulah laporan perjalanan saya sejauh 7,5 kilometer dalam durasi waktu kira-kira 17 menit. Ada delapan kali kejadian yang bikin saya kaget. Saya tidak bisa bayangkan kalau per 7 km, saya akan kaget. Saya berpikir, barangkali situasi seperti inilah yang membuat manusia-manusia kita suka naik pitam.

Dosa-dosa kepada Allah baru saja ditebus dengan puasa dan istigfar, dosa-dosa sosial seperti yang saya ceritakan barusan, kapan dan bagaimana cara berharap ampunan?



07 April 2018

Colturer Sumenep - Jogjakarta



Selepas tahlilian, malam Selasa 19 Peb 2018, roda-roda Colt T120 ini menggelinding dari halaman rumah, tepatnya di angka 21.10 WIB. Saya mampir ke SPBU Talang dan langsung ngisi pertamax hingga nyaris penuh (sesekalilah). Uang terbayar 270.000.


Tiga jam persis, kami melintasi Suramadu. Kecepatan mobil saya atur sedemikian rupa, antara 60-75 km/jam (soalnya kalau lari 80 jadi berisik oleh buzzer-nya). Ketiga saya ragu membawa colt ini ke Jogja tempo hari, melalui SMS, Mas Alwi berpesan, bahwa Colt yang biasa dipakai tiap hari lebih meyakinkan daripada Colt yang sehat tetapi jarang dipakai. Maksud dia, kalau jarang dipakai, kita tidak dapat mengira-ngira, komponen atau onderdil yang mana yang akan bermasalah, beda dengan jika menggunakannya secara harian. Untuk itulah, saya berusaha agar tidak ngoyo bawa mobil ini tapi tetap stabil.
 
Ketika sudah melewati pintu tol Dupak dan berjalan jauh mendekati keluar-Medaeng, saya tawarkan.
“Mau lewat Krian atau tol?”
“Coba tol baru, Sumo (Surabaya-Mojokerto) saja,” kata suara dari belakang. Maka, kami pun melintasi tol yang masih baru tersebut.
Rencana nyopir sampai Pamekasan ternyata kebablasan sampai ke Braan, Kertosono. Anggota Colturer (saya, Khatir, Warid, dan Fatih, ingin nyangkruk sejenak sembari melihat Sumber - Eka - Mira menunjukkan kekuasaannya di jalan raya. Tepat pukul 02.00 kami tiba di sana.

Sebetulnya, saya sudah mulai mengantuk, tapi melek mendadak gara-gara harus membayar tol Rp82.000 yang semula saya taksir cuman 30 ribuan saja atau lebih sedikit. Enggak menyangka, sisa e-Toll tidak cukup sehingga kami harus bayar pakai uang ‘beneran’, uang kertas, bukan uang digital. 
Setelah ngopi sekitar 40 menitan, kami lanjut lagi, melaju sampai Ngawi. Masjid Baitul Islam, sebuah masjid di tepi jalan, di Padas, dipilih untuk subuhan. Lokasinya berada di area di lintasan Karangjati, sebelum kota. Masih Warid yang bawa, menggantikan saya. Colt lantas diarahkan ke kiri, persis setelah sub-terminal Gendingan, ke arah Walikukun. Kami mau bertamu ke 'saudara baru': Alwi Tri Nugroho. Tujuan kami adalah Widodaren.

Sebetulnya, saya sudah mewanti-wanti calon tuan rumah agar tidak disiapkan sarapan sebab kami sudah melibas rawon di RM Duta sepagi ini. Adalah Sidqi yang menghadang kami untuk kemudian membawanya ke sana, ke rumah makan itu. Katanya, kami hendak dijamu (bukan diberi jamu untuk diminum, lho).

"Emang cuma patas EKA yang bisa mampir ke RM Duta? Kami pun bisa."

Pukul 07.10 kami sudah duduk manis sebagai tamu di rumah bapak Maksum Hadi Santoso (MHS), ayahanda Mas Alwi dan Mas Fadli. Semua sudah sangat mirip dengan rumah sendiri: makan, mandi, tiduran, dlsb. Yang membedakan hanyalah bahwa kami tak perlu cuci piring setelah sarapan.

“Rumah Sampeyan itu tepi jalan atau masih masuk lagi, Mas?” tanya saya sebelum berangkat.

“Masih masuk ke selatan, sekitar 6 kilometer, dari jalan utama. Tapi, kalau Anda mau mampir ke rumah, saya janji, dari Ngawi sampai Jogja, saya yang akan mengemudi.”
“Wah, menarik ini,” balas saya.

Seperti janjinya, Mas Alwi yang pegang kemudi kali ini. Pukul 11.15, kami bertolak. Perhentian pertama adalah masjid di Pilangsari, Masjid Ukhuwah Islamiyah namanya. Masjid ini sangat enak buat disinggahi sebab airnya melimpah, bersih pula, lengkap dengan kantinnya.










Kami berangkat lagi seusai shalat, lewat 'by-pass' Sroyo, langsung Kartosuro dan ngisi BBM 200 ribu lebih di SPBU milik PO Rosalia Indah. Belum habis, sih, tapi buat jaga-jaga saja supaya janganlah mobil dibiarkan jadi bahan tontonan orang karena tanpa cat dan tanpa dempul, karena lebih mirip tong kotak beroda empat, masih pula harus menanggung malu sebab disorong karena kehabisan bahan bakar (banyak sekali 'karena'-nya).

Setelah singgah lagi di warung "Soto Segeer Boyolali Hj Sugiyarti" di dekat terminal Kartasura, kami tutup acara singgah-singgah di perjalanan berangkat ini di rumah Ncus alias Darmawan Budi Suseno yang terletak di Sanggir, Paulan, Colomadu. Berbeda dengan sebelumnya, hidangan di rumah kawan gendut ini adalah bass dan gitar dan kopi lengkap dengan amplifiernya. 

Ini anaknya Dharmo
Satu jam kami di sana sebelum akhirnya memutuskan lanjut ke Jogja. Kami tak mampir-mampir lagi karena—terutama saya—harus istirahat sejenak sebab mau cuap-cuap setelah isya. Kami tiba di Kafe Basabasi, Sorowajan Baru, setelah sinar matahari mulai terhalang daun-daun di sisi barat, menuju surup, mendekati maghrib (ini videonya). 

ACARA DISKUSI BUKU

Sebetulnya, acara inti saya di Jogja itu adalah menghadiri diskusi buku yang ditempatkan di Kafe Basabasi, Sorowajan Baru. Bawa Colt bukanlah target karena sebetulnya saya terbiasa naik bis. Nah, karena saya bawa Colt, maka saya ngajak-ngajak, sekalian pergi-pergi dan mampir-mampir. Itulah dia. Ketika saya membawa Colt, maka saya harus melakukan sesuatu yang susah dilakukan andai saja saya naik bis. Ketika saya naik bis, maka saya harus bisa melakukan yang tidak bisa dilakukan ketika naik Colt. Impas, deh, kalau begitu namanya.

Sungguh menyenangkan dan tak terkira! Itulah kesan saya untuk acara ini, diskusi buku saya, "Beauty & the Bis". Saya tandem dengan Odhie (ex. sopir PO Sumber Selamat/Sugeng Rahayu yang makin keren anaknya karena dia juga masih tercatat sebagai mahasiswa S2 FKM UNAIR). Dipandu oleh Prima Sulistya, petinggi Mojok Dotco yang kocak, acara sangat gayeng. Dua jam rasanya singkat sekali. Dan sebab sesi foto dan sesi tanda tanganlah saya jadi tahu, betapa banyak rekan komunitas "bismania" yang hadir, dari Semarang, Solo, Wonosobo, dan Jakarta.

Ada beberapa kejutan di sana. salah satunya adalah penampakan Plentong, lelaki bertato di sekujur tubuh yang salah satu tatonya adalah gambar bis sedang parkir di lengan kanannya. Heroik sekali orang ini kalau soal bis-bisan. Banyak kejutan pokoknya, juga kehadiran orang-orang yang tidak terduga, termasuk Mas Noviyanto, warga Boyolali yang justru baru saja saya kenal kurang dari seminggu, di rumah saya, di Madura, eh, kini sudah ketemu lagi di Jogja. Satu-satunya hal yang membuat saya deg-degan adalah karena harus tampil menyanyi, bukan tampil tahlilan atau orasi. Deg-degan itu tidak enak, beda dengan degan apalagi kopyor.

FOTO-FOTO DARI ACARA DISKUSI BUKU























Malam itu kami tidur di markas IAA (Ikatan Alumni Annuqayah), di Perum Polri, Gowok. Tentu tidak ada dana untuk tidur di hotel. Sebetulnya, panitian menyediakan kamar di kafe, tapi tak satu pun anggota saya yang mau. Mereka mau ikut saya, ya, naik Colt-nya, ya, nginapnya. Hanya Mas Alwi yang ngingap di Gamping.

RABU pagi, 21 Pebruari, esoknya, saya sowan ke rumah Mas Benta di Gamping. Selaku 'elite' CJI (Colt Jogja Istimewa), saya datang ke sana semacam membawa amanah untuk titip jempol sebagaimana PNS harus titip 'finger-print' di kantornya. Sambutannya luar daripada biasa. Kenapa? Suguhannya adalah kopi dan cemilan plus kunci ring 17/14 untuk mengontrol kerenggangan templar: servis yang sebenar-benar servis; ya orangnya, ya, mesinnya. Ternyata, ada dua pelatuk yang renggang sehingga bunyi mesin agak kasar. Mas Benta merapatkannya, dibikin sama dengan enam pelatuk yang lainnya: 10/15. Walhasil, mobil jadi enak. Andaikan bunyi mesin itu sejenis makanan, rasanya pengen saya makan, deh. 





Sebelum balik ke kafe demi memenuhi janji kencan dengan beberapa kawan yang tak sempat hadir di acara tadi malam, kami main ke rumah Mbah Tomy Aditama. Saya minta diterapi 'zamathera' agar tulang belakang saya kembali tepat ke posisinya, agar jangan mesin saja yang diurus dan diperbaiki, orangnya juga.

Sesi terakhir di Jogja adalah bertemu dengan kawan-kawan lama di Kafe Basabasi: Fitri, Yadi dari Kalsel, Mas Prast, dan mas bro Edi Mulyono. Banyak juga yang lain. Ada kawan yang harus disambangi tapi tidak semuanya mampu disinggahi. Itulah keterbatasan. Mau dilawan? Enggak bisa.

Kami meninggalkan Jogja menjelang pukul 17.00, mampir sejenak di rumah mbak Abidah el Khalieqy di Sambilegi, di kediamannya yang masih sangat bernuansa 'ndeso' meskipun berjarak hanya sepelemparan batu ketapel ke RS Hermina dan Lottemart. Seusai duduk-duduk dan seterusnya, ngeteh Turki dan seterusnya, shalat dan seterusnya, kami pun pamit pulang. Mas Alwi kembali yang mancal, seperti janjinya.





Perjalanan rombongan Colturer ini lancar jaya. Saya pilih duduk di kursi belakang, tidur-tiduran, kadang tidur beneran. Soalnya, Colt ini nyaris dipenuhi dengan bantal. Kami memang niat untuk itu.

Mungkin supaya kami tidak sombong, akhirnya Colt harus menunjukkan tanda-tanda ke-fana-annya di Masaran, dekat kota Sragen. Mobil mati mendadak akibat melabrak genangan air yang tingginya mampu menyelinap ke dalam kokpit. Mungkin businya sempat basah, atau delco kena percikan, itu dugaannya. Tak lama (katanya cuma 5 menit saja; saya tidur waktu itu) dan mobil sudah bisa menyala lagi, kembali menunjukkan ke-keladi-annya meskipun TOA, eh, tua. Kami bergerak kembali menuju Ngawi.

Kami istirahat sejenak di kediaman Mas Alwi, pipis-pipis, nyantai-nyantai sekitar satu jam, barulah kami lanjutkan perjalanan lagi. Kapan makan? Tadi, di Kafe Basabasi sebelum berangkat dan baru lalu di Warung Mbah Asih, beberapa kilometer saja sesudah Gontor Putri II, Mantingan, sekitar Pasar Kedungmiri.


Baru dari Widodaren inilah, kendali kemudi dipegang oleh Khatir. Saya berharap dia tidak ngantuk karena saya nawaitu mau tidur saja. Kami bertolak pukul 12.40 dari rumah Mas Alwi. Hujan sepanjang malam membuat kami harus berjalan pelan saja, ngesot bagaikan keong. Lampu tak mampu melawan kegelapan. Sempat berhenti sejenak di Caruban, saya nyari toko yang ada relief Colt-nya, tapi tidak ketemu. Belakangan saya sadar, saya mencari di tempat yang salah. Hal ini mirip dengan orang yang mencari-cari 'kebenaran' di tempat 'kekeliruan', pantas saja enggak ketemu.


Sewaktu saya berjalan kaki, saat melewati SPBU samping RSUD Caruban, saya pergoki sebuah mobil “plat M”, bergambar kakbah: PPP Pamekasan. Seketika itu pula saya membayangkan ada Ustad Muhsin Salim di dalamnya. Saya kenal beliau, dulu, sebagai aktivis literasi, bukan sebagai politisi. Mobil itu berlalu meskipun saya sempat melongokkan kepala ke dekat kacanya. 

Di tengah perjalanan, saya sempat berkirim pesan kepada Mas Muhsin, “Apakah Anda sedang melakukan perjalanan ke area Jawa Tengah?”
Sungguh kaget saya. Ternyata dia tahu terhadap pertanyaan atau pernyataan yang akan diajukan sesudah ini. Dia tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan foto, ya, foto Colt kami ini yang dijepret dari belakang. Itu pertanda, selepas mereka isi bahan bakar di Ngawi, mungkin sejenak mereka berhenti sehingga berada di belakang kami.

Subuh hari Kamis, 22 Pebruari, kami niatkan bershalat di Corogo, Peterongan, Jombang. Adapun bonus daripada shalat ini, sudah dapat pahala silaturrahim, masih pula dapat kopi dan sarapan. Akhirnya, kami baru bertolak berbarengan dengan tuan rumah, Haris, yang berangkat 'nyambut gawe' ke KUA.

Demikianlah perjalanan Colturer kali ini. Setelah rencana mampir lagi di Lomaer dan Sumber Anyar gagal karena alasan teknis, kami sempat mampir ke bengkel H. Fathor di Larangan Tokol, numpang pipis dan berbasa-basi dengan cara tanya-tanya soal mesin, soal ini dan itu-nya. Hatta perjalanan kami lanjutkan pulang, Colturer nambah soto dulu di Pasar Keppo supaya perut tidak kepo.





DATA-DATA PERJALANAN:

Jarak tempuh: 973 km
Total lama perjalanan: 88 jam
Bahan bakar: 680.000 (sekitar 79 liter)

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...