Pembaca

18 Februari 2020

Kecanduan Bali: Kembali Lagi (Pergi)


Mau Berangkat 

Perjalanan ke Bali kali kedua ini cukup panjang. Total jarak tempuh berdasarkan odometer adalah 1.126 km. Bali bukanlah target utama, melainkan hanya ‘efek samping’, beda dengan perjalanan akhir tahun lalu yang memang dirancang ke Bali sejak berangkat dari rumah.

Tujuan terpenting pada safari Colt kali ini tak ada yang “ter” dan “paling” karena semua tujuan adalah “ter” dan “paling”, semuanya penting. Kata kunci perjalanan sudah selengkap menu warung makan kehidupan: ada takziyah, ziarah, rihlah ilmiah, dan silaturahmi. Perjalanan sudah dipersiapkan setengah bulan sebelumnya, mulai dari pengecekan rem, radiator, kabel-kabel. Yang selalu dicek tapi selalu tidak siap hanyalah isi dompet.
Masjid Raudlatul Muttaqin, Sumberasih 

Tanggal 8 Pebruari 2020, malam Ahad, kami berangkat. Bertolak pukul 22.30 dengan formasi 2-2-2 (saya dan Ca’dong di depan sebagai pengemudi; ipar sepupu perempuan dan anak kedua di tengah; istri dan anak ketiga di belakang). Ruang tersisa di dalam kabin disesaki oleh barang, mulai dari bantal, selimut, galon, oleh-oleh, dan entah apa lagi. Saya pegang kemudi sampai Jrengik, sampai di SPBU. Setelah isi premium 150.000, Ca’dong menggantikan sampai Masjid Raudatul Muttaqin di Sumberasih (dulu dikira Tongas), beberapa menit menjelang Subuh. Kami lewat Jalan A. Yani sampai ke Porong. Semua trek lewat jalan arteri. Dalam perjalanan ini, tidak semeter pun kami melintasi jalan berbayar itu. 

Rumah Tijani 
Pagi hari Ahad kami melipir dulu ke rumah Tijani, di Semampir, Kraksaan, sebelum menuju lokasi tujuan pertama, yaitu PP Badridduja, untuk takziyah kepada almarhum Kiai Muzayyan Badri. Tijani tidak peduli pada wanti-wanti saya (saat saya telpon tadi di perjalanan) agar tidak menyuguhkan apa pun selain minuman. Ternyata, kami malah disuguhi nasi pecel. Belum shalat duha, pagi-pagi sudah kenyang.

Mandi dan ganti kostum di rumah suami Yasirah ini sebetulnya merupakan salah satu teknik “bermain-main di kotak penalti” alias mengulur waktu karena kami ingin masuk ke rumah duka bersama dua rombongan lain dari Madura yang berangkat tengah malam, dengan tujuan yang sama. Tapi, pada akhirnya, saya masuk duluan ke TKP, berlagak seperti Banser atau Paspampres, untuk sisir lokasi. Kami masuk pukul 8 dan tamu dari Madura datang 45 menit kemudian.

Ruang Tamu Kiai Mustofa Badri, PP Badridduja
Parkir di Pintu Masuk PP Nurul Jadid 
Disambut oleh Kiai Maltuf Siraj 
Singgah di Kediaman Kiai Hefni Razaq 
Setelah rukun-rukun bertamu dilaksanakan, seperti ngopi, makan, dan foto-foto, rombongan bergerak bersama menuju PP Nurul Jadid. Kami berziarah ke Kiai Maltuf Siraj. Ada pertemuan Bani Syarqawi kecil di sana mengingat seluruh yang hadir adalah himpunan dari nenek-moyang yang sama, antara generasi ketiga dan keempat, dari keturunan Kiai Muhammad As Syarqawi al-Kudusi. Kiai Maltuf adalah paman kami yang diambil menantu oleh Kiai Hasan Abdul Wafi. Satunya, ada Kiai Hefni Razaq, kakak kami yang diambil menantu oleh Kiai Zuhri. Kiai Zuhri adalah pengasuh sekarang yang notabene putra pendiri (Kiai Zaini Mun’iem), sedangkan Kiai Hasan adalah iparnya.

Setelah dirasa cukup, kami bubar. Rombongan dua mobil lanjut takziyah ke Tebuireng, saya terus ke timur, ke Situbondo. Kami berpisah di Tanjung.

Sebelum masuk ke lokasi haul di Panji Kidul, saya mengarahkan mobil ke rumah Nyai Ummah, istri Kiai Arif, di Klatakan. Ummah merupakan sepupu istri saya. Dalam sambungan telepon disampaikan bahwa kami mau numpang tergeletak dulu barang satu atau dua jam. Ngantuk dan capek sudah tidak dapat ditahan.

Setelah ngaso, bakda asar, kami melanjutkan perjalanan ke PP Manbaul Hikam, di Panji Kidul, Situbondo, untuk mengikuti Haul Kiai Ahmad Sufyan Miftahul Arifin yang notabene merupakan saudara daripada Kiai Hasan Abdul Wafi dan adik kandung daripada Kiai Zainullah, ayah daripada mertua perempuan saya. 

Batu Sebagai Alat Hitung
Kami bertemu dengan banyak orang di sana. Saya sudah duduk manis sejak sebelum pukul 17.00, membaca shalawat sebanyak-banyaknya. Setelah shalat maghrib berjamaah, barulah haul dilaksanakan. Malam itu, haul ke-9, kami mengikuti “Sarwah Shamadani”: pembacaan tahlil yang diawali dengan pembacaan Shalawat Nariyah dan Surat Al-Ikhlas sejumlah 3 juta kali (dibaca beramai-ramai, menggunakan alat penghitung kerikil sungai yang disediakan oleh panitia). Di tempat itu juga, saya bertemu dengan rombongan dari berbagai tempat, termasuk dengan Ahmadul Faqih Mahfudz dari Buleleng. Dan juga untuk yang pertama kali saya bertemu dengan Kiai Aydi Makmun, putra almarhum yang lama tinggal di Mekah dan baru saja pulang ke Indonesia, di ruangan khusus, bersama saudara-saudara beliau yang lain.
  
SENIN, esoknya, 10 Pebruari 2020, setelah sempat diputuskan gagal karena suatu hal, akhirnya dipastikan: kami kembali ke Bali. Setelah sarapan di kediaman Kiai Syibawaih Sulaiman, tempat kami nginap tadi malam, pagi itu kami berangkat, pukul 8.30 kira-kira. Keputusan ke Bali ini akhirnya diekskusi karena kawan si istri memaksa-maksa kami untuk menyambanginya, padahal jarak dari Asembagus ke Seririt itu, tujuan kami di Bali, sama dengan jarak dari Arjasa Situbondo ke Ketapang Banyuwangi x 2: jauh sekali.
Ketapang 

Kami menyeberang Selat Bali dengan KMP Reny II, masuk dek pukul 10.10 WIB. Kedua anak saya sangat senang karena janji untuk naik kapal feri tertunaikan sudah. Rencana kami mau ikut KPM Prathita IV yang dimuallimi Kak Taqwim atas permintaan beliau.

“Ayo ikut saya, biar bisa sambil ngobrol-ngobrol di atas akapal,” pintanya.
Salim Foto di Kapal 
“Aduh, maaf, Kak. Ini kami masih di Wongsorejo,” kata saya dalam telepon. “Saya juga terbatas waktu di Bali. Jadi, sayang juga kalau terbuang karena menunggu,” Saya minta maaf karena kapalnya baru sandar lagi nanti pukul 12.00 di Ketapang sementara barusan saya masuk pukul 10.00 di saat Kak Taqwim sudah ada di tengah selat menuju Gilimanuk.

Perjalanan ke Seririt, di sisi barat dan utara Pulau Bali itu, sangat asyik. Berbeda dengan perjalanan  Gilimanuk – Denpasar yang sibuk, jalur utara relatif sepi dan mulus. Jaraknya kurang lebih 70 km dari pelabuhan.

Setiba di lokasi, saya langsung tidur karena mengantuk. Sementara penumpang yang lain jalan-jalan dan datang menjelang meghrib. Katanya ke Lacosta dan Krishna. Dua kali ke Seririt, saya belum juga tahu kedua tempat itu apa. Dan begitu pula dengan hari esoknya, Selasa, 11 Pebruari, semua pergi ke Tanah Lot, saya pilih mendekam di rumah saja. Ngedit tulisan yang belum rampung—kalau diniatkan rekreasi—bisa juga ‘melepaskan’, mengurai kejemuan, tidak perlu jalan-jalan ke pantai atau ke tempat hiburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...