Pembaca

07 Februari 2020

Malang di Pasuruan

 Tak terhitung kali saya sampai ke kota Malang. Yang pertama adalah akhir 90-an. Colt saya ini juga pernah ke Malang, entah dua atau tiga kali. Namun, jika hitungannya adalah perjalanan ke Malang naik Colt, maka ini adalah yang pertama dan kedua, sekaligus bernasib sama-sama malangnya.

Yang pertama terjadi pada 17 Januari 2020. Saya menghadiri haul Gus Dur yang diselenggarakan oleh Gusdurian Surabaya. Acaranya di Balai Pemuda. Kala itu, magrib, kami mencapai Jalan Kenjeran. Mobil sudah bermasalah:  temperatur naik. Mobil saya memang baru skur klep dan agaknya kotoran-kotorannya masuk ke ruang radiator. Sebelum radiator dibersihkan, eh, sudah dibawa ke Malang. Begitu ceritanya.

Singkat cerita, kami tetap bawa paksa Colt itu ke Sukorejo, rumah Agus, di Pasuruan arah Malang. Dengan ketar-ketir dan suhu mesin panas, akhirnya kami tiba dan bermalam di rumah mertua Agus itu. Paginya, eh, rem gantian yang kumat. Roda masih bisa direm, tapi naga-naganya bikin saya cemas. Daripada bikin malu, atau masuk bengkel dan terlalu lama menunggu, akhirnya saya telpon Mas Wida, minta tolong towing alias gendong, sekaligus ingin tahu rasanya gimana jika Colt naik truk gendong.

Sampai di Bengkel Libom, di Pakis, ternyata rem tidak masalah, hanya kotor saja. Ya sudah, benar sesuai janji: sekadar icip-icip truk gendong saja. Di bengkel itu, sekalian kami perbaiki radiatornya juga.
 Kejadian yang kedua adalah 3 Pebruari 2020, jeda waktu setengah bulan saja dengan sebelumnya. Saat itu, saya menghadiri acara diskusi buku saya, “Merusak Bumi dari Meja Makan”, di Kafe Pustaka, Universitas Negeri Malang, bersama Prof Djoko Saryono. Acara di malam Rabu itu berakhir pada pukul 22.00 lewat karena masih pakai acara pasca-acara, yakni ngobrol dengan para peserta di luar forum


Waktu itu, siangnya, saya ganti ban kipas atau sabuk berkala atau timing belt, sabuk ban yang melingkari kipas radiator, pompa air, dan dinamo amper. Ban diganti yang bagus tapi rupanya mas bengkel terlalu kencang saat menautkan. Sungguh apes, ban kipas putus di tengah jalan, di tengah tol, di tengah malam. Kejadiannya di KM 60/600, pukul 23.15.

 Lebih sial lagi, saat saya periksa bagasi belakang, ban kipas cadangan tak ada, padahal selama 9 tahun lamanya saya simpan selalu cadangan ban kipas itu di sana. Apesnya kok enggak ketulungan. Saya tidak ingat, entah kapan saya mengambil bak kipas cadangan itu, kalau tak salah dua bulan yang lalu. Kala itu, saya bersih-bersih bagasi.  Ban kipas sempat dikeluakan tapi lupa tidak dmasukkan lagi, apes bertubi tubi.

Akhrinya, saya panggil mobil derek milik Jasamarga. Tarif mobil derek, selagi di dalam tol, adalah awabiaya alias gratis. Tapi, sopirnya—setidaknya di kala itu—pakai bahasa isyarat agar dikasih tips. Kami memahaminya begitu. Dia memang tidak minta, tapi bahasa tubuhnya yang berbicara. Baik, kita paham semiotik, kita memang berbahasa dengan tanda-tanda, kita kasih saja, seadanya.

Akhirnya, kami keleleran, masih untuk di lokasi Masjid At Taqwa, komplek Jasamarga, pintu tol Pandaan Taman Dayu. Saya tidur di dalam mobil. Anggota yang lain tidur di emparan musala yang superdingin, tak berani tidur di dalam karena terlarang dan memang ada plakat dilarang. 

Pagi hari Rabu, datang balabantuan dari seorang kawan, Gus Fuad Junaidi. Kawan baik ini bawa kawannya, yang kawannya itu bawa gelang ban kipas banyak sekali. Pemasangan ban digarap hanya 18 menit saja, beres semua. Kami pun pulang. Tawa mengembang.

Sebagai nama, Malang itu adalah kota. Sebagai nasib kami, Malang ada di Pasuruan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...