Pembaca

28 Desember 2019

Perjalanan ke Bali (Etape IV: Seririt - Sumenep)


Setelah sepagian saya mengecek roda, oli, dan air radiator dan semua dipastikan semua beres, pukul 09.30 kami bertolak di Sririt. Pada roda depan tampak ada lelehan gemuk (stemplet). Mungkin karena stempletnya pakai yang murahan dan gampang meleleh kalau panas. Maklum, berjalan turun sejauh 40-an kilometer dari Bedugul itu jelas bikin roda panas sekali.
Setelah isi premium 150.000 di SPBU setempat, kami langsung jos ke barat. Muatan bertambah berat karena bawa oleh-oleh. Duren dari tuan rumah, anggur dari Om Faqih, dan juga ada beberapa makanan. Jalan yang panjang dan lurus, tidak ada gelombang, diselingi pemandangan yang menarik, satu jam perjalanan tak terasa. Tiba-tiba kami sudah sampai di SPBU 54.811.12, stasiun pengisian bahan bakar yang dekat ke rumah Man Faqih di Pemuteran.

Dari SPBU itu, Gilimanuk tinggal 29 km lagi. Dan kira-kira ¾ dari jarak itu adalah Taman Nasional Bali Barat. Kalau lewat di sana, pastikan ban tidak kurang angin, tidak kekurangan bensin, karena setelah SPBU itu, setahu saya, tak ada SPBU lagi dan tukang tambal ban. Jarak segitu bisa ditempuh dalam waktu 30 menitan lebih sedikit, karena jalan sangat bagus dan tak ada perkampungan penduduk.

Meskipun hari ini adalah Natal, 25 Desember 2019, penyeberangan dari arah Bali maupun Ketapang normal saja. Sayangnya, saya kebagian naik feri Dharma Kencana III. Feri ini besar. Jalannya lemot, beda dengan yang kemarin malam kami ikuti (lupa namanya). Akan tetapi, meskipun menyeberangnya satu jam lebih, tapi kami dapat bonus selisih waktu satu jam, antara WITA ke WIB, berkebalikan dengan saat nyeberang ke Bali yang 'tercuri' waktu satu jam. Namun, ternyata, meskipun kami dapat untung satu jam, waktu kapal kapal mau sandar, eh, jembatannya macet, tidak bisa dibuka. Mobil-mobil sudah menyalakan mesin. Ada sebuah truk FUSO Fighter yang asapnya bergulung. Lantai kapal pun bau solar.

Dicoba-coba tetap tak bisa, akhirnya kapal mundur, putar haluan, dan masuk ke dermaga 3 (tadinya mau sandar di dermaga 2) dengan cara mundur. Jadinya. semua kendaraan akhirnya putar balik di dalam kapal untuk bisa keluar dari geladak belakang. Adapun truk tidak bisa, ia harus jalan mundur.

Dari Ketapang, kami sein kanan, ke arah utara. Loka pertama yang kita bakal jumpa adalah Bangsring, Bengkak, terus Alasbuluh. Nah, tepat di balai desa nama terakhir ini kami belok kanan, masuk ke jalan kelas III c, menuju PP Nurul Abror Al-Robbaniyyin. Kami sowan ke KH Fadlurrahman Zaini (biasa disebut Kiai Fadol). Saya merasa berasalah karena sowan tidak tepat waktu, yaitu lepas shalat duhur. Kiai sedang istiharat, tapi dibangunkan oleh nyai karena dengar kabar ada tamu dari Madura, padahal saya hanya singgah dan mampir saja. Astaga.

Kiai Fadol adalah putra daripada Kiai Zaini Mun’im, pendiri PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Beliau pindah ke Alasbuluh dan mendirikan pondok pesantren di sana. Istri beliau adalah Nyai Hasbiyah, sesaudara dengan Kiai Abdul Hamid bin Mahfud, pengasuh PP Bata-Bata (Miftahul Ulum) saat ini. Anda kalau sowan kepada beliau akan auto-tenteram, melihat betapa tawaduknya beliau itu.

Dari Alasbuluh, ganti saya yang bawa. Ada kejadian menarik saat saya masuk Galekan. Habis jembatan, agak menikung, ada Panther warna emas membunyikan klakson di seberang jalan. Posisinya sedang parkir. Saya melambatkan laju mobil lalu menepi di depan sebuah toko. Saya menoleh ke belakang: Panther putar balik, kembali, menuju ke arah kami. Eladalah, ternyata Moefti Nadzir. Ya Allah, ayahnya wafat tempo hari dan saya belum takziyah. Ketemunya malah di pinggir jalan.
“Dari mana?” tanyanya.
“Barusan dari Kiai Fadol.”
“Mari mampir,” ajaknya.
Terima kasih, saya memang ingin, tapi kali ini sangat mendesak. Mohon maaf. Semoga masih ada waktu, lain kali,” Saya berkelit. Lalu, saya tanya, mengapa dia bisa melihat saya dan mobil saya, padahal jarak dari rumah saya ke tempat kami bertemu ini jauh sekali, 420-an kilometer.

"Tidak pangling, ada Colt pakai stiker PARIWISATA, ha, ha, ha," katanya. Ternyata, pasang stiker itu ada manfaat yang lain, meskipun tujuan saya yang pertama malah tidak tercapai, yaitu agar mobil saya tidak dicegat orang karena dianggap angkutan pedesaan, dan ternyata masih sering dicegat juga di jalan.

Kami tiba menjelang asar di Sukorejo. Kami takziyah ke kediaman Nyai Isya'iyah binti As’ad bin Syamsul Arifin (biasa dipanggil Nyai Isya’ atau Nyai Sa’. Suami beliau, Kiai Muzakki Ridwan, wafat beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya, masih ada beberapa orang yang harus ditakziyahi, di antaranya adalah Pamanda Abdul Karim di Panarukan, dll. Namun, apa daya, waktu tak cukup adalah alasan. Saya hanya berdoa di dalam hati, semoga doa yang saya panjatkan dapat cukup mewakili meskipun suatu saat saya bisa datang ke sana, entah kapan, di suatu hari nanti.

Di Sukorejo, tanpa sengaja, kami bertemu dengan banyak orang. Di antaranya dengan Junaedi Salat, Ali Romzi, dan bu dosen Nurainiyah. Karena saya duduk di tepi jalan, banyak juga santri yang rupanya kenal dengan saya, ada yang malah tahu kalau ada saya karena ada mobil Colt T Pariwisata parkir di dekat komplek Nurul Qoni’. Saya melihat mereka dari jauh, ngobrol dengan Warid yang ada di mobil, dan saya melihat mereka dari kejauhan.

Kami pulang dari Sukorejo pukul 17.05. Mampir dulu di SPBU, mimik premium lagi, 100 ribu saja. Di tangki masih ada banyak, cuma untuk jaga-jaga saja. Habis itu, kami lanjut ke kediaman Pamanda Syibawaih untuk shalat maghrib dan ambil bantal dan tertinggal. Selepas itu, kami lanjut ke rumah Pamanda Zaini, di PP Is’aful Mubtadiin, desa Lamongan, Kec. Arjasa, Kab. Situbondo. Sempat istrihat sebentar di sana, ngecas ponsel, ngecas kamera, dan ngecas perut, dan ngecas tulang belakang sebab dari tadi pagi duduk terus dan tidak telentang sama sekali.

Pukul 21.00, kami bertolak. Warid kembali mengemudi. Dia memang insomnia di jalan, jadi saya sama sekali tidak khawatir akan ngantuk. Belum sekali pun saya lihat dia menguap ketika menyetir mobil, beda dengan saya. Jalanan tidak begitu ramai, tapi tidak sepi pula. Makanya, pukul 21.15, kami sudah masuk Besuki meskipun laju kendaraan wajar-wajar saja, 60-70 km/jam.

Namun, lancarnya perjalanan dari timur ternyata dibayar lunas dua kali: menjelang kota dan sesudah kota Probolinggo, dengan durasi antrian yang relatif sama lamanya, yakni 30 menitan. Antri pertama adalah di lampu merah Randu Pangger, lampu merah ujung timur kota. Antrian terjadi karena ada perbaikan yang berdampak pada arus lalu lintas dan jalan, dari dua jalur ke satu jalur, menggunakan sistem buka-tutup. Antrian yang kedua adalah antri kopi saat kami rehat di Warung Kencur, dekat Bayeman, kira-kira 2 kilometer dari Ketapang, lampu merah paling barat kota Probolinggo. Walhasil, kami sampai Randu Pangger pukul 23.25, masuk kota, ngopi—dan hanya ngopi saja—dan baru keluar dari pelataran parkir warung itu pukul 01.00: satu jam setengah untuk lewat kota dan ngopi. Lama benar, kan?

Untunglah, kekalutan karena lamanya menunggu pesanan yang menyebabkan selera ngopi menjadi hilang dapat bandingan permenungan: seorang bapak tua dengan beberapa anak (mungkin cucu) yang habis kena tabrak di Gratis. Belakangnya ringsek, kaca pecah. Kata dia, mobilnya habis kena seruduk truk di Grati. Di samping mengenainya, truk juga nabrak empat sepeda motor. Bapaknya tampak mencari orang untuk curhat, maka saya mendengarkan curhatnya. Supaya juga bisa menghiburnya, saya juga berbagi cerita, bahwa belum lama ini, mobil saya juga kena seruduk truk. Bedanya, truk yang nabrak mobil si bapak itu kosongan, sedangkan yang nabrak mobil saya bermuatan melebihi kapasitas. Tapi, kecurigaan penyebabnya sama: hilangnya konsentrasi di saat mengemudi yang salah satunya disebabkan adalah menelpon. 

Pukul 02.10, kami mencapai Bangil dan sepuluh menit berikutnya sudah masuk Bundaran Gempol. Kalau dari arah timur (Probolinggo; Bangil), anggaplah kita masuk dari angka “6”, maka untuk langsung naik ke tol tujuan Sidoarjo atau Surabaya, kita harus mengitari ¾ bundaran lebih dulu karena pintu aksesnya ada di angka “3”, sedangkan untuk ke Gempol cukup setengah lingkaran saja, yaitu di angka “12”. Bagi pelalu lintas yang baru pertama kali lewat di situ, papan petunjuk tersebut—menurut saya—agaknya kurang lengkap karena papan petunjuk di akses angka “12” hanya terpampang tulisan “Gempol” (dengan penunjuk kiri) “Porong” (dengan penunjuk jalur kanan), padahal papan penunjuk yang bertuliskan “Surabaya” ada di akses masuk angka “3”. Semoga enggak bingung. He, he, he.
Kami lanjut menuju Suramadu lewat jalan yang biasa, yang terdekat, yakni Pasar Turi, Tugu Pahlawan, Jalan Kenjeran. Kami masuk Suramadu dan terdengar shalawat mualik ketika isi premium 100.000 di SPBU Suramadu. 53.691.10. saya hitung, waktu shalat subuh masih sangat leluasa andai kami shalat di Blega. Maka, mobil pun dipacu ke arah timur, berkejaran dengan matahari terbit. Hingga akhirnya, 50 menit kemudian, 04.40, kami sudah parkir di halaman masjid Al Falah, sebelah barat lapangan Blega.

Tiba-tiba, mobil tidak bisa distarter. Waduh, kumat lagi ini. Saya tidak mau ambil pusing ngolong di bawah mesin karena saya sudah tinggal satu kalai trip lagi sudah sampai di rumah dan tidak perlu berhenti lagi di tengah jalan. Saya pikir, nanti saya dicek kalau sampai di rumah kemungkinan-kemungkinan penyebabnya: ban kipas dinamo amper yang kendor, soket dinamonya yang longgar; atau kul-nya yang aus. Adapun kemungkinan paling kecil lainnya adalah; kabel plus (+) ke dinamo starter yang kurang kenceng. Hanya ada empat kemungkinan itu dalam taksiran saya, tapi tak satu pun masalah yang saya periksa di lokasi mengingat hanya tinggal satu kali perjalanan: dari Blega mesin tidak perlu dimatikan lagi.

Memang, kami sempat berhenti di Camplong untuk beli nasi kobal (nasi bungkus yang terdiri dari nasi, srundeng kelapa, tahu, sekerat cakalan goreng, dan sambal cabai). Nasi kobal memang banyak ditemukan di area Sampang. Harganya ada di kisaran Rp 5000 – 10.000, bergantung banyaknya nasi. Langsung saya makan nasi itu saat itu pula karena perut agak lapar sementara Warid yang menjalankan mobil. Hamdalah, tidak kurang suatu apa, kami tiba dengan selamat di rumah pada saat anak-anak baru saja berangkat ke madrasah.
___________________________
Guluk-Guluk - Ketapang: 460 km
Gilimanuk - Seririt - Bedugul: 106 km
data ini berdasarkan Googlemaps karena odometer Colt sedang bermasalah
Biaya premium kira-kira: 700.000
Penyeberangan: 159.000 x 2 (300.000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...