Pembaca

28 Desember 2019

Perjalanan ke Bali (Etape I: Guluk-Guluk - Asembagus)


Saya akhirnya berangkat pukul 22.00 kurang sedikit. Banyak perubahan rencana mendadak di perjalanan kali ini. Di antaranya adalah penumpang dan ‘pe
ngikut’. Takdir menentukan kami berangkat bertiga saja. Yang positif ikut malah menggagalkan, yang mau diajak mendadak tidak bisa. Yang ingin ikut malah terlupa.


"Tangki bensin masih di bawah strip tengah, masih aman bahkan hingga Bangkalan," tebak saya kepada Warid yang menemani saya malam itu, Ahad, 22 Desember 2019. Namun, karena demi jaga aman, kami ada rencana isi BBM di Blega. Belum sampai kami ke lokasi, malah disuguhi pemandangan mengerikan, pemandangan yang sejatinya disebut-sebut di dalam doa perjalanan agar kita semua terhindar: Ada tabrakan berantai rupanya. Satu pikap Grandmax sudah ada di atas truk derek; sebuah mikrobus ELF tampak posisi serong kiri, menghadap sawah. Yang lain saya tidak lihat secara pasti, tapi korban agaknya masih ada lagi.

Jadi, begini: Dari tadi, tepatnya dari Pamekasan, seusai menaikkan dua kardus titipan ke Situbondo di Larangan Tokol, saya tidur, tak tahan melawan kantuk karena sorenya saya mencuci pakaian banyak sekali. Saya terbangun di sebuah jalan lurus, lepas Lomaer, oleh bunyi klakson panjang dari mobil sendiri. "Ada apa?" tanya saya pada si pengemudi yang saya tahu sangat hemat dalam membunyikan tuter.
"Barusan ada Avanza parkir, lalu naik ke aspal dan putar balik seenaknya. Jarak kami sangat dekat."
"Oh, saya kira apa." "Yang bikin saya mangkel karena saya langsung ingat kejadian yang menimpa (Warid menyebut nama seseorang, tetangganya). Dia menabrak sepeda motor yang mecungul mendadak dari tepi, langsung motong jalan. Si tertabrak malah tidak apa-apa, hanya sepeda motornya yang rusak."
"Tetangga kamu yang nabrak itu, bagaimana?"
"Dia wafat, pendarahan dari hidung, luka dalam. Malam ini adalah hari tahlilan yang keempat."

Sedih setiap kali kita mendengar berita seperti ini, tapi kenapa ia selalu terjadi. Ada kebiasaan orang berdalih: “sudah takdirnya begitu”. Saya kira, masih banyak orang yang tidak tahu bedanya “takdir sesudah berusaha atau ikhtiar” dan “apa pun yang terjadi tanpa berusaha”. Jadi, orang semacam ini Sunni tapi cara pandangnya ‘jabari’: pasrah pada suratan tapi tanpa usaha apa pun, seperti tanpa usaha menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain di jalan. Tanpa usaha, maka takdir itu adalah takdir KW.

Nah, baru saja kami mengalami kejutan barusan, tak jauh dari situ, kecelakaan beruntun terjadi. Makanya, kita mesti memahami psikologi sopir. Betapa mahalnya konsentrsi dan daya tahan tubuh. Mengemudi bukanlah urusan kaleng-kaleng, bukan pekerjaan main-main. Sekali bikin kesalahan, taruhannya nyawa: jika bukan nyawaaanyaa sendiri, ya, nyawa orang lain; kalau tidak bikin celaka, ya, sekurang-kurangnnya ujicoba kecelakaan.

Di SPBU Penyepen, selepas Gunung Gigir, kami ngisi bensin, 190.000, nyaris meluap. Begitu mau distarter, eh, malah mogok.
"Ayo dorong," kata saya yang langsung ambil inisiatif pegang kemudi. Sekali ayun, karena jalan keluar SPBU memang agak menurun, mobil langsung nyala. Alhamdulilah, mobil Colt ini tak jadi bikin malu di tempat umum.

Sambil jalan, saya bercerita kepada si Warid (yang kini duduk di sisi kiri) bahwa pada hari Kamis yang lalu, Colt ini mengalami kasus pada dinamo starter. Makanya, sepagi tadi, sebelum berangkat, saya minta bantuan orang untuk ngantar mobil ke bengkel. Salah satunya agar ban kipas dinamo ampere dikencangkan dan kabel dinamo starter dikontrol. Laporan yang saya terima; semunya baik-baik saja. Kok bisa starter tidak kuat? Saya menduga, montir tidak memeriksa ujung kabel plus (+), tidak benar-benar dikontrol, mungkin hanya dilihat sekilas. Saya yakin, masalah ada di situ.

Saya terus nyetir Colt, masuk Surabaya, lewat tol dan turun di Gempol. Situasi jalan yang sepi bikin kami pilih jalan arteri. Dengan kecepatan 70-80, ternyata cukup satu jam saja dari Gempol ke Probolinggo. Maklum, jalan sepi dan kecepatan stabil. Biasanya, di siang hari, jarak 90-an km itu harus ditempuh 2 jam. Pernah saya naik Patas dari Probolinggo. Jarak tempuh dari Terminal Bayuangga ke Terminal Purabaya di Surabaya persis satu jam jika semuanya ditempuh lewat jalan tol.

Pukul 03.30, saya pindah posisi ke tengah, beberapa puluh meter menjelang tikungan Pantai Bentar, di Dringu, timurnya kota Probolinggo. Saya tidur-tidur ayam dan bangun saat kami masuk Jabung. Subuh kami pilih Masjid Raudatut Tohirin (koreksi jika salah), di Sukodadi, Paiton, persis ketika jamaah masjid baru turun shalat. Rencana semula, subuhannya di masjid Tanjung, timur jalan akses ke PP Nurul Jadid. Namun, karena ia sedang dikerubungi banyak penggemar (ada sekitar 4 bis yang parkir), maka kami lanjut saja.

Setelah menikmati ketan urap di warung dekat masjid (ketan urap berbumbu kedelai ini penganan kesukaan saya yang wajib dibeli ketika saya pergi ke Asembagus, Paiton, atau Cukir dan yang sedaerah dengan Jombang), semua naik ke mobil dan alamaaak! Dinamo starter kumat lagi. Saya makin curiga ke dinamo starter yang bermasalah karena nyala lampu tetap terang, artinya tak ada masalah pada sistem kinerja suplai dinamo ampere ke aki. ‘Pasti hanya masalah sepele,’ kata saya dalam hati, ‘entah kabel tidak kencang atau lainnya’.

Alhamdulillah, pagi kami diawali dengan olah jasmani: Warid yang mendorong, saya di belakang kemudi. Belum nyala, tidak mengapa, coba lagi. Ujian Nasional memang dihapus oleh pak menteri, tapi ujian di perjalanan tetap ada sebab ia merupakan dari perjalanan itu sendiri. Tapi, ujian sejati di pagi itu bukanlah karena kami mogok, bukan pula ketika saya menyadari bahwa salah satu klep tidak berfungsi di putaran rendah dan itu saya temukan hanya beberapa jam sebelum berangkat. Ujian perjalanan itu adalah ketika kami tak mampu mendorong mobil dan ada seseorang yang hanya diam saja, hanya menyaksikan kejadian ini seperti orang yang sedang nonton televisi, bukan di dunia nyata, berlangsung di hadapannya. Itulah ujian kemanusiaan yang sebenar-benarnya.

Saya pikir, kok bisa ada orang begitu cuek seperti ini? Semoga saya tak salah menilai, dia adalah orang yang ditugaskan untuk menguji mental dan rasa curiga. Sebaiknya saya berbaik sangka saja. Untunglah, datang seorang lelaki lelaki tegap yang bantu mendorong dan hiduplah Colt kami untuk Indonesia Raya!

Saat asyik-asyiknya menikmati pemandangan pagi hari mendekati PLTU Paiton, tiba-tiba ada sedan berwarna kuning dodol jagung menyalip. Kaca kiri dibuka dan dia dada-dada. Oh, ternyata Sabiq. Hampir 300-an km meninggalkan rumah, ternyata masih ada orang yang mengenali mobil ini: mengesankan!

Pukul 07.10, kami tiba di kota Asembagus. Di hadapan ada mobil pikap yang lajunya kayak orang menari poco-poco. Sepertinya, sopir ini sedang mabuk darat atau mabuk kantuk. Begitu ia kami salip karena menyalakan sein kiri, waduh, tampak sekilas, kelopak mata si sopir nyaris tak kuat menyangga, ngantuk sekali rupanya. Pesan saya: Lawanlah kezaliman dengan cara apa pun yang kamu bisa, tapi kalau mengantuk, janganlah, menyerahlah sajalah, istirahat dan tidurlah.

Kami bertemu paman dan saudara-saudara di Widuri, utara PG Asembagoes, akses jalan ke Banongan, lokasi tempat latihan tempur TNI. Di sana kami istirahat dan menunaikan tujuan yang utama: silaturahmi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...