Saya
akhirnya berangkat pukul 22.00 kurang sedikit. Banyak perubahan
rencana mendadak di perjalanan kali ini. Di antaranya adalah
penumpang dan ‘pe
ngikut’. Takdir menentukan kami berangkat
bertiga saja. Yang positif ikut malah menggagalkan, yang mau diajak
mendadak tidak bisa. Yang ingin ikut malah terlupa.
"Tangki
bensin masih di bawah strip tengah, masih aman bahkan hingga
Bangkalan," tebak saya kepada Warid yang menemani saya malam
itu, Ahad, 22 Desember 2019. Namun, karena demi jaga aman, kami ada
rencana isi BBM di Blega. Belum sampai kami ke lokasi, malah disuguhi
pemandangan mengerikan, pemandangan yang sejatinya disebut-sebut di
dalam doa perjalanan agar kita semua terhindar: Ada tabrakan berantai
rupanya. Satu pikap Grandmax sudah ada di atas truk derek; sebuah
mikrobus ELF tampak posisi serong kiri, menghadap sawah. Yang lain
saya tidak lihat secara pasti, tapi korban agaknya masih ada lagi.
Jadi,
begini: Dari tadi, tepatnya dari Pamekasan, seusai menaikkan dua
kardus titipan ke Situbondo di Larangan Tokol, saya tidur, tak tahan
melawan kantuk karena sorenya saya mencuci pakaian banyak sekali.
Saya terbangun di sebuah jalan lurus, lepas Lomaer, oleh bunyi
klakson panjang dari mobil sendiri. "Ada apa?" tanya saya
pada si pengemudi yang saya tahu sangat hemat dalam membunyikan
tuter.
"Barusan
ada Avanza parkir, lalu naik ke aspal dan putar balik seenaknya.
Jarak kami sangat dekat."
"Oh,
saya kira apa." "Yang bikin saya mangkel karena saya
langsung ingat kejadian yang menimpa (Warid menyebut nama seseorang,
tetangganya). Dia menabrak sepeda motor yang mecungul mendadak dari
tepi, langsung motong jalan. Si tertabrak malah tidak apa-apa, hanya
sepeda motornya yang rusak."
"Tetangga
kamu yang nabrak itu, bagaimana?"
"Dia
wafat, pendarahan dari hidung, luka dalam. Malam ini adalah hari
tahlilan yang keempat."
Sedih
setiap kali kita mendengar berita seperti ini, tapi kenapa ia selalu
terjadi. Ada kebiasaan orang berdalih: “sudah takdirnya begitu”.
Saya kira, masih banyak orang yang tidak tahu bedanya “takdir
sesudah berusaha atau ikhtiar” dan “apa pun yang terjadi tanpa
berusaha”. Jadi, orang semacam ini Sunni tapi cara pandangnya
‘jabari’: pasrah pada suratan tapi tanpa usaha apa pun, seperti
tanpa usaha menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain di jalan.
Tanpa usaha, maka takdir itu adalah takdir KW.
Nah,
baru saja kami mengalami kejutan barusan, tak jauh dari situ,
kecelakaan beruntun terjadi. Makanya, kita mesti memahami psikologi
sopir. Betapa mahalnya konsentrsi dan daya tahan tubuh. Mengemudi
bukanlah urusan kaleng-kaleng, bukan pekerjaan main-main. Sekali
bikin kesalahan, taruhannya nyawa: jika bukan nyawaaanyaa sendiri,
ya, nyawa orang lain; kalau tidak bikin celaka, ya,
sekurang-kurangnnya ujicoba kecelakaan.
Di
SPBU Penyepen, selepas Gunung Gigir, kami ngisi bensin, 190.000,
nyaris meluap. Begitu mau distarter, eh, malah mogok.
"Ayo
dorong," kata saya yang langsung ambil inisiatif pegang kemudi.
Sekali ayun, karena jalan keluar SPBU memang agak menurun, mobil
langsung nyala. Alhamdulilah, mobil Colt ini tak jadi bikin malu di
tempat umum.
Sambil
jalan, saya bercerita kepada si Warid (yang kini duduk di sisi kiri)
bahwa pada hari Kamis yang lalu, Colt ini mengalami kasus pada dinamo
starter. Makanya, sepagi tadi, sebelum berangkat, saya minta bantuan
orang untuk ngantar mobil ke bengkel. Salah satunya agar ban kipas
dinamo ampere dikencangkan dan kabel dinamo starter dikontrol.
Laporan yang saya terima; semunya baik-baik saja. Kok bisa starter
tidak kuat? Saya menduga, montir tidak memeriksa ujung kabel plus
(+), tidak benar-benar dikontrol, mungkin hanya dilihat sekilas. Saya
yakin, masalah ada di situ.
Saya
terus nyetir Colt, masuk Surabaya, lewat tol dan turun di Gempol.
Situasi jalan yang sepi bikin kami pilih jalan arteri. Dengan
kecepatan 70-80, ternyata cukup satu jam saja dari Gempol ke
Probolinggo. Maklum, jalan sepi dan kecepatan stabil. Biasanya, di
siang hari, jarak 90-an km itu harus ditempuh 2 jam. Pernah saya naik
Patas dari Probolinggo. Jarak tempuh dari Terminal Bayuangga ke
Terminal Purabaya di Surabaya persis satu jam jika semuanya ditempuh
lewat jalan tol.
Pukul
03.30, saya pindah posisi ke tengah, beberapa puluh meter menjelang
tikungan Pantai Bentar, di Dringu, timurnya kota Probolinggo. Saya
tidur-tidur ayam dan bangun saat kami masuk Jabung. Subuh kami pilih
Masjid Raudatut Tohirin (koreksi jika salah), di Sukodadi, Paiton,
persis ketika jamaah masjid baru turun shalat. Rencana semula,
subuhannya di masjid Tanjung, timur jalan akses ke PP Nurul Jadid.
Namun, karena ia sedang dikerubungi banyak penggemar (ada sekitar 4
bis yang parkir), maka kami lanjut saja.
Setelah
menikmati ketan urap di warung dekat masjid (ketan urap berbumbu
kedelai ini penganan kesukaan saya yang wajib dibeli ketika saya
pergi ke Asembagus, Paiton, atau Cukir dan yang sedaerah dengan
Jombang), semua naik ke mobil dan alamaaak! Dinamo starter kumat
lagi. Saya makin curiga ke dinamo starter yang bermasalah karena
nyala lampu tetap terang, artinya tak ada masalah pada sistem kinerja
suplai dinamo ampere ke aki. ‘Pasti hanya masalah sepele,’ kata
saya dalam hati, ‘entah kabel tidak kencang atau lainnya’.
Alhamdulillah,
pagi kami diawali dengan olah jasmani: Warid yang mendorong, saya di
belakang kemudi. Belum nyala, tidak mengapa, coba lagi. Ujian
Nasional memang dihapus oleh pak menteri, tapi ujian di perjalanan
tetap ada sebab ia merupakan dari perjalanan itu sendiri. Tapi, ujian
sejati di pagi itu bukanlah karena kami mogok, bukan pula ketika saya
menyadari bahwa salah satu klep tidak berfungsi di putaran rendah dan
itu saya temukan hanya beberapa jam sebelum berangkat. Ujian
perjalanan itu adalah ketika kami tak mampu mendorong mobil dan ada
seseorang yang hanya diam saja, hanya menyaksikan kejadian ini
seperti orang yang sedang nonton televisi, bukan di dunia nyata,
berlangsung di hadapannya. Itulah ujian kemanusiaan yang
sebenar-benarnya.
Saya
pikir, kok bisa ada orang begitu cuek seperti ini? Semoga saya tak
salah menilai, dia adalah orang yang ditugaskan untuk menguji mental
dan rasa curiga. Sebaiknya saya berbaik sangka saja. Untunglah,
datang seorang lelaki lelaki tegap yang bantu mendorong dan hiduplah
Colt kami untuk Indonesia Raya!
Saat
asyik-asyiknya menikmati pemandangan pagi hari mendekati PLTU Paiton,
tiba-tiba ada sedan berwarna kuning dodol jagung menyalip. Kaca kiri
dibuka dan dia dada-dada. Oh, ternyata Sabiq. Hampir 300-an km
meninggalkan rumah, ternyata masih ada orang yang mengenali mobil
ini: mengesankan!
Pukul
07.10, kami tiba di kota Asembagus. Di hadapan ada mobil pikap yang
lajunya kayak orang menari poco-poco. Sepertinya, sopir ini sedang
mabuk darat atau mabuk kantuk. Begitu ia kami salip karena menyalakan
sein kiri, waduh, tampak sekilas, kelopak mata si sopir nyaris tak
kuat menyangga, ngantuk sekali rupanya. Pesan saya: Lawanlah
kezaliman dengan cara apa pun yang kamu bisa, tapi kalau mengantuk,
janganlah, menyerahlah sajalah, istirahat dan tidurlah.
Kami
bertemu paman dan saudara-saudara di Widuri, utara PG Asembagoes,
akses jalan ke Banongan, lokasi tempat latihan tempur TNI. Di sana
kami istirahat dan menunaikan tujuan yang utama: silaturahmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar