Kami
meninggalkan rumah paman pada pukul 14.00 lewat beberapa menit. Saya
si bensin di SPBU 54.683.11. SPBU ini mungkin milik pondok (atau
setidaknya milik keluarga pengasuh pondok pesantren Salafiyah
Syafiiyah Sukorejo) jika ditilik dari 'aura'-nya. Menarik, ada
‘hiburan’ di siang hari: dua orang bertengkar dalam antrian,
mereka rebutan. Untungnya, yang bertengkar hanyalah sopir CRV vs
Granmax, bukan sopir Alphard yang tadi ikut antri mau isi premium
tapi tak jadi (mungkin sopirnya keburu tersadar kalau mesin 2500cc
[apalagi kalau versi 3500 cc] berbahan bakar bensin itu agak anomali
kalau mimik premium. Enggak di SPBU, enggak di pertigaan jalan, orang
bertengkar bisa saja selalu terjadi.
Tiba
di Gelakan, kami takziyah ke paman Muhammad Naji, sepupu ayah saya.
Terakhir saya mengunjungi tempat ini pada 8 syawal tahun ini, 12 Juni
2019. Waktu itu beliau memang sudah sakit. Tidak disangka, hari ini
saya mengunjungi beliau dalam wujud yang lain, hanya bertemu arwah
dan kuburnya.
Perjalanan
berlanjut ke arah selatan, menuju Wongsorejo. Ini adalah trip pertama
saya naik Colt ke Bali. Kami masuk area Pelabuhan Ketapang pada pukul
18.00, maghrib, sudah gelap, tapi cahaya lampu yang begitu banyak
sangat gemerlap. Untungnya, ketika saya telepon, Kak Taqwim tidak
sedang dinas di KMP Pratitha IV, dan ada di rumah. Rencana awal, saya
memang tidak mau mampir, hanya kebetulan keinginan itu muncul
sekonyong-konyong.
Alhamdulillah,
akhirnya kami bisa mampir ke rumah beliau dengan latar belakang
masalah-nya adalah kesenjangan pemahaman dan silaturahmi yang menjadi
salah satu pemicu kesenjangan dan kerenggangan sosial. Adapun rumusan
masalahnya adalah silaturahmi dan problematikanya. Sedangkan tujuan
penelitian adalah; seberapa besar tantangan makan gulai kepala
kambing bagi penaikan trigeselda dan lemak jenuh di dalam tubuh. Kak
Taqwim memaksa kami bermalam. Saya minta maaf karena sudah terlanjur
janjian dengan Man Faqih untuk nginap di Pemuteran.
Akhirnya,
kami nyeberang selat bali dan kaget alang kepalang karena ternyata
tiketnya harus pakai emoney alias uang-tak-kasat-mata, harus diisi
pula di depan pintu masuk karena saldo saya tinggal 155.000 sementara
tarip penyeberangan adalah 159.000 (kurang 4400 rupiah). Sungguh, ini
termasuk di luar persiapan mental saya karena setahu saya di
penyeberangan Ujung – Kamal hanya sekitar 35.000-an saja, padahal
lebar selatnya relatif sama. Meskipun penyeberangan
Ketapang-Gilimanuk tidak menghitung jumlah penumpang, tapi selisih
harganya berasa sekali menggetarkan dompet.
Rencananya,
saya mau nanya begini sama petugas: 'Apa tidak ada potongan harga
bagi pengguna mobil tua?', tapi pertanyaan tersebut gagal saya
lontarkan setelah membayangkan si petugas akan menjawab; 'justru
mestinya Anda harus bayar lebih untuk jaminan beli jamu bagi ABK,
manatahu mobil Anda tidak bisa distarter di atas kapal dan kami harus
mendorongnya!'.
Kami
tiba di kediaman Ahmadul Faqih, di dusun Sumberwangi, desa Pemuteran,
kecamatan Gerokgak (baca: gero’ga’) sekitar pukul 22.00 WITA.
Awalnya, kami merencanakan tiba isya, tapi begini kenyataannya.
Tertahan di rumah Kak Taqwim di Ketapang dan tertahan saat hendak
sandar di Gilimanuk adalah penyebabnya. Kami ngobrol dulu, masih
disuguhi makan juga padahal saya sampaikan bahwa kami masih kenyang
namun tuan rumah tak mau tahu. Hidangan makan keluar juga.
Nyaris
tak percaya, tapi ternyata Colt T 120 ini sampai juga di tempat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar