Pembaca

28 Desember 2019

Perjalanan ke Bali (Etape II: Asembagus - Gerokgak)


Kami meninggalkan rumah paman pada pukul 14.00 lewat beberapa menit. Saya si bensin di SPBU 54.683.11. SPBU ini mungkin milik pondok (atau setidaknya milik keluarga pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo) jika ditilik dari 'aura'-nya. Menarik, ada ‘hiburan’ di siang hari: dua orang bertengkar dalam antrian, mereka rebutan. Untungnya, yang bertengkar hanyalah sopir CRV vs Granmax, bukan sopir Alphard yang tadi ikut antri mau isi premium tapi tak jadi (mungkin sopirnya keburu tersadar kalau mesin 2500cc [apalagi kalau versi 3500 cc] berbahan bakar bensin itu agak anomali kalau mimik premium. Enggak di SPBU, enggak di pertigaan jalan, orang bertengkar bisa saja selalu terjadi.

Tiba di Gelakan, kami takziyah ke paman Muhammad Naji, sepupu ayah saya. Terakhir saya mengunjungi tempat ini pada 8 syawal tahun ini, 12 Juni 2019. Waktu itu beliau memang sudah sakit. Tidak disangka, hari ini saya mengunjungi beliau dalam wujud yang lain, hanya bertemu arwah dan kuburnya.

Perjalanan berlanjut ke arah selatan, menuju Wongsorejo. Ini adalah trip pertama saya naik Colt ke Bali. Kami masuk area Pelabuhan Ketapang pada pukul 18.00, maghrib, sudah gelap, tapi cahaya lampu yang begitu banyak sangat gemerlap. Untungnya, ketika saya telepon, Kak Taqwim tidak sedang dinas di KMP Pratitha IV, dan ada di rumah. Rencana awal, saya memang tidak mau mampir, hanya kebetulan keinginan itu muncul sekonyong-konyong.

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mampir ke rumah beliau dengan latar belakang masalah-nya adalah kesenjangan pemahaman dan silaturahmi yang menjadi salah satu pemicu kesenjangan dan kerenggangan sosial. Adapun rumusan masalahnya adalah silaturahmi dan problematikanya. Sedangkan tujuan penelitian adalah; seberapa besar tantangan makan gulai kepala kambing bagi penaikan trigeselda dan lemak jenuh di dalam tubuh. Kak Taqwim memaksa kami bermalam. Saya minta maaf karena sudah terlanjur janjian dengan Man Faqih untuk nginap di Pemuteran.
Akhirnya, kami nyeberang selat bali dan kaget alang kepalang karena ternyata tiketnya harus pakai emoney alias uang-tak-kasat-mata, harus diisi pula di depan pintu masuk karena saldo saya tinggal 155.000 sementara tarip penyeberangan adalah 159.000 (kurang 4400 rupiah). Sungguh, ini termasuk di luar persiapan mental saya karena setahu saya di penyeberangan Ujung – Kamal hanya sekitar 35.000-an saja, padahal lebar selatnya relatif sama. Meskipun penyeberangan Ketapang-Gilimanuk tidak menghitung jumlah penumpang, tapi selisih harganya berasa sekali menggetarkan dompet.

Rencananya, saya mau nanya begini sama petugas: 'Apa tidak ada potongan harga bagi pengguna mobil tua?', tapi pertanyaan tersebut gagal saya lontarkan setelah membayangkan si petugas akan menjawab; 'justru mestinya Anda harus bayar lebih untuk jaminan beli jamu bagi ABK, manatahu mobil Anda tidak bisa distarter di atas kapal dan kami harus mendorongnya!'. 

Kami tiba di kediaman Ahmadul Faqih, di dusun Sumberwangi, desa Pemuteran, kecamatan Gerokgak (baca: gero’ga’) sekitar pukul 22.00 WITA. Awalnya, kami merencanakan tiba isya, tapi begini kenyataannya. Tertahan di rumah Kak Taqwim di Ketapang dan tertahan saat hendak sandar di Gilimanuk adalah penyebabnya. Kami ngobrol dulu, masih disuguhi makan juga padahal saya sampaikan bahwa kami masih kenyang namun tuan rumah tak mau tahu. Hidangan makan keluar juga.

Nyaris tak percaya, tapi ternyata Colt T 120 ini sampai juga di tempat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...