Pembaca

10 Desember 2019

Maulidan ke Jogja

Kami berangkat pukul 9.30 dari rumah, Kamis, 21 November 2019. Tujuan kami adalah Jogjakarta. Perjalanan ini dibaluti niat yang apik, yaitu untuk menghadiri undangna shalawatan di Kafe Basabasi Sorowajan dan Kafe Basabasi Condongcatur. Saya diundang si pemilik, Edi Mulyono.

Rencana semula, kami akan berangkat bersama dengan rombongan satunya, yaitu rombongan grup gambus yang juga akan ke Jogja dan untuk acara yang sama. Pak Edi meminta saya mencarikan grup gambus untuk mengisi acara dua malam itu, di kafenya. Tapi, karena di antara mereka masih ada kegiatan lain, maka mereka akan berangkat sehabis maghrib, malam Jumbat, sementara saya harus berangkat duluan karena di malam jumabtnya saya dijadwalkan mengisi diskusi di warungnya Mas Andhi Kepik, Boenga Ketjil, di Jombang.

Saya lewat Patapan, untuk menjemput Lutfi, sopir kami kali ini. Ternyata, Lutfi tidak siap karena secara mendadak dipanggil Mbah Kiai Fathol, memperbaiki Hijet-nya yang mendadak mogok di pagi itu. Agak galau hati ini mengingat waktu berangkat sudah molor. Tapi, untungnya, tidak lama urusannya. Hijet nyala dan kami pun berangkat.

Transit pertama adalah Sumber Anyar, Larangan Tokol, Pamekasan. Tiba di PP Al-Mawardi, Soklancar, kami tidak langsung berangkat karena jam sudah nanggung, mepet duhur. 

“Kita shalat di sini saja,” kata saya kepada anggota rombongan yang terdiri dari istri dan ipar perempuan. Kak Faruq adalah penumpang dari Sumber Anyar yang tak lain adalah ipar laki-laki. Jadi, perjalanan saya kali ini didampingi ipar-ipar.

Bensin masih ada dan saya baru ngisi lagi di SPBU54.692.09 yang berlokasi di ujung paling barat kecamatan Jrengik, zona Sampang paling barat, berbatasan dengan Lomaer yang secara administratif masuk wilayah Bangkalan.

Sebelum berangkat, saya sudah isi kartu tol sejumlah 400.000. Namun, saya tidak pernah membayangkan kartu tersebut akan digunakan untuk masuk tol. Sebatas persiapan, kata saya kepada Kak Faruq, siapa tahu dibutuhkan dalam keadaan darurat.

Dua perjalanan saya sebelumnya, dan dua-duanya dengan Colt, ke Kutoarjo (Juli 2019) dan ke Jogja (Pebruari 2018), melewati tolnya hanya sampai Kertosono dan Mojokerto. Saya selalu sayang mengeluarkan duit untuk perjalanan di atas tol karena kami selalu tidak terburu-buru. Lebih dari itu, meskipun banyak orang merasa asyik lewat tol, bagi saya justru tidak. Perjalanan lewat tol mengurangi rasa perjalanan. Lagi pula saya tidak terburu-buru. Apalagi saya ngajak orang yang baru pertama di rute itu, maka jika benar ke Jogja lewat tol, dia sama sekali tidak akan pernah tahu ada Bagor, ada Caruban, ada Ngawi, ada Sragen, ada Masaran, ada Palur, ada Solo. Yang dia tahu paling-paling cuman Delanggu, Klaten, Prambanan, karena kota-kota itu ada di jalur arteri menuju Jogjakarta.

Tapi, sore itu, dengan berat hati, saya harus rela masuk tol dengan target masuk Jombang sebelum maghrib. Maklum, berangkat sudah telat, maka lewat tol adalah siasat. Kami masuk Tol Sumo dan turun di Mojokerto Barat. Tapi, saya benar-benar kecewa karena akses tol ke jalan arteri cukup, ah, bukan cukup lagi, tapi terlalu jauh. Butuh nyaris 30 menit hanya untuk tiba di  by pass Jampirogo: pertigaan yang mempertemukan jalur tol lewat kota ke jalan arteri menuju Trowulan.

Kami melaju pelan hingga tiba di Corogo, rumah Haris, sekitar pukul 16.40.

Leyeh-leyeh sampai maghrib, kami pun pergi makan malam selepas shalat. Sopir Lutfi dan penumpang perempaun tidak ikutan, mereka pilih istirahat di sana. Saya dan kak Faruq saja yang pergi, plus tuan rumahnya, Haris. 

Saya diajak haris ke warung kikil di Jatirogo. Sebetulnya saya bukan penggemar kuliner. Tapi untuk memberikan penghormatan kepadanya, saya manut saja meskipun dikasih yang enak-enak. Para penumpang perempuan pilih makan di rumah saja.

Jombang banyak banget koleksi warung kikilnya. Yang saya tahu justru bukan di warung yang kami singgahi itu. Entah apa namanya, yang jelas ada slogannya yang berbunyi; “Nasi Kikil Kesukaan Gus Dur”. Dalam hati, saya membatin. Orang besar itu, meskipun sudah tiada, masih bisa kasih endorsemen, bahkan kalau kita lihat di pekuburannya, di Tebuireng sana, masih bisa memberikan penghidupan kepada para tetangga untuk berjualan. Kita yang hidup malah kadang bikin susah orang.

Saat kami baru saja makan, tiba-tiba ada seseorang mendatangi.
“Siapa yang punya Colt ini?”
“Dia,” kata Kak Faruq seraya menunjuk saya. “Kenapa?”
“Oh, ndak. Tadi saya lewat di sini. Ketemu sama Colt parkir, langsung saya melipir. Saya penasaran saja.”

Orang itu bernama Pujo Sukamto. Dia bilang, Ahad besok bakal ada kopdar penggemar Colt di Jombang. Saya diminta mampir sepulang dari Jogja.

“Saya tidak janji karena saya juga tidak tahu persis rangkaian acara di Jogja, tapi saya akan berusaha datang,” jawab saya kepadanya.

Malam itu, saya menghadiri undangan Selasastra di warung kopi Boenga Ketjil yang diasuh oleh Mas Andhi (atau dikenal dengan panggilan Kepik). Lokasi warung berada di belakang SPBU Parimono. Kami diskusi sampai malam, sampai pukul 22.30. Adapun yang saya bicarakan adalah kenangan-kenangan awal bagaimana saya sering berkunjung ke Terminal Jombang (Lama; yang lokasinya masih di depan UNDAR). Bagaiamana kenangan itu ternyata mendorong saya untuk bepergian naik bis antarakota jika pergi sendirian. Maka, dari situ kemudian saya simpulkan, banyak kegiatan sastra yang saya hadiri dengan naik bis. Peran bis antarakota tidak boleh dinafikan dalam kehidupan saya, bahkan sangat penting dalam membantu kehidupan bersastra banyak orang.  Inung Ardiansyah, moderatpr diskusi kala itu, menutup diskusi pada pukul 22.30.

Dari sana, sebelum balik ke Corogo, kami masih mampir makan ketan dulu di pojokan Ringin Conthong.  Nama Ringin Conthong ini adalah bundaran yang mejadi semacan tengara kota Jombang. Ketan bubuk memang sangat khas Jombang. Banyak warung ketan seperti ini di kota Ijo-Abang tersebut.


***

Setelah cuap-cuap sebentar, maka pada pukul 00.20, kami pamitan, berangkat ke Jogja.

“Lut, nanti sampeyan jalan saja, lurus, jangan belak-belok kalau ada perempatan. Saya mau tidur, capek.”
Demikian kata saya kepada Lutfi yang kali ini bertugas mengemudi, bersama Kak Faruq di depan. Saya duduk di kursi tengah sendirian, tidur. Sementara istri dan ipar perempuan saya duduk di belakang. Saya memandu Lutfi hingga lepas stasiun Jombang dan tiba di ujung jalan Ngrandu .


Selepas itu, barulah saya tidur.

Lutfi melajukan mobil pelan saja, sekitar 60-70 km/jam. Kecepatan itu memang kecepatan yang saya harapkan. Tidak perlu terlalu ngebut agar tidak capek kalau sudah sampai di tempat tujuan. Namun, saya tiba-tiba dibangunkan oleh Kak Faruk. Saya pun langsung melihat tanda-tanda alam sekitar. Saya membaca: Polsek Semampir, Kediri

“Loh, kok Kediri? Waduh.”
“Salah, ya?”
“Lah, iyalah. Saya memang ingin pergi ke Kediri, tapi bukan sekarang,” kata saya sambil tertawa. “Ayo putar balik.”

Rupanya, saat di Braan tadi, kedua orang yang duduk di bangku terdepan itu sama-sama hilang arah. Mereka pilih serong kiri dan bukannya lurus ke arah Kertosono. Jadilah kami tersesat sampai di depan Gudang Garam, Kediri. Lumayan lama dan jauh, tapi untungnya nambah pengalaman. Saya cek, saat itu pukul 01.40.

Perjalanan berlanjut dan akhirnya kami subuhan di masjid Al-Hidayah, Ngale, kira-kira 2 kilometer sebelah barat rumah makan DUTA, warung servis makannya PO EKA. 

“Sebentar dulu, takut itu masjid LDII. Oh, tidak ternyata...”
“Kok bisa?”
“Itu ada jidurnya.”

Dari sana, kami lanjut lagi. Jalan sudah mulai ramai. Orang-orang sudah keluar rumah. Yang mau bertani berangkat ke sawah, yang PNS ke kantor, yang kecil-kecil dan berseragam pergi ke sekolah.

Sebelum tiba di Jogja, kami sempat mampir di tiga tempat: pagi sekali, pukul 7.30-an, kami mampir di rumah Marzuki. Dia ini santrinya Kak Faruq. Dia adalah seorang penjual sate sekaligus pembikin tusuk sate. Di sini kami sempat istirahat hingga menjelang pukul 11.00. Kami terpaksa pergi dan tidak menunggu jumatan di situ karena memang kami sudah niat mau shalat jamak duhur-asar di tempat lain saja. 

Di kota Solo, saya mampir ke kawan lama yang saya dengar sakit serius: Fajar Setiawan namanya. Kini dia tinggal di sebuah rumah, pasar Ngemplak ke selatan, dekat jembatan, samping rel kereta api. Dia senang sekali karena saya berkunjung ke tempatnya, “Kunjungan yang tidak diduga,” kata dia. Saya lebih senang lagi karena meskipun dia sangat kurus, namun ternyata sehat.

Sekitar satu jam di sana, kami lanjut lagi ke Sanggir, Paulan, Colomadu. Posisi kawan saya yang ini, Darmawan Budi Soseno, berada di PG Jolomadoe. Baik di rumah kawan Fajar mau di Dharmo, kami tidak mau disuguhi makanan berat karena sisa sate di rumah Muzakki tadi masih cukup mengganjal perut kami. Sementara sisa gorengan di rumah Fajar dan ditambah sop buah. Maklum, kawan saya yang Colomadu ini punya kios makanan di rumahnya. Tapi dia ngotot agar kami mencicipi jualan andalannya: steak ayam.
Dalam perjalanan ke Jogja, sore itu, kami masih mampir di Masjid Al Aqsa. Masjid yang sangat megah ini menjadi tengara kota Klaten. Posisinya menggantikan posisi terminal lama Klaten, sementara terminal Klaten sendiri dipindah ke jalan luar kota, dekat stasiun.

“Kok cuma begini masjidnya? Katanya besar,” celetuk istri saya dari kursi belakang ketika saya katakan bahwa kita akan masuk ke pelataran parkir sebauh masjid yang sangat megah.
“Loh, itu bukan masjidnya, itu hanya bangunan menaranya.”
“Wah, ternyata...”

Maklum, keseluruhan masjid tidak kelihatan karena kami melihat terlalu dekat, dari dalam mobil pula. Setelah masuk dan parkir, barulah mereka terheran-heran dan takjub melihat masjid yang megah dan sangat besar ini.

Duapuluh Empat Jam di Jogja

Malam itu, kami merayakan peringatan maulid Nabi di Kafe Basabasi. Saya kebagian membaca shalaawat. Ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya: diundang hadir ke acara maulid nabi dan mendapatkan tugas membaca shalawat, di kafe pula (diundang khusus untuk baca shalawat, bukan seperti di Madura yang biasanya asal tunjuk siapa yang bakal baca shalawat pas menjelang acara dimulai). Tentu saja, bagi saya ini ajaib dan berkesan karena di samping penyelenggaraan acaranya sangat jauh, di Jogja, dan saya bukanlah orang yang pintar berlanggam-langgam dalam membawakannya. Justru dengan modal suara yang pas-pasan saya bisa diundang ke sini. Menyenangkan sekali.

Malam maulid Nabi di Kafe Basabasi Sorowajan itu sangat istimewa karena juga ada penampilan musik gambus jalsah dari Madura. Yang bermain di sana adalah Rafiq BJ bersama kawan-kawannya: Haris pada keyboard, Lutfi pada biola, dan Hasin pada dumbuk (darbuka). Tak juga disangka, ternytata banyak hadirin yang suka dan bahkan bisa berzafin, mengiringi hentak irama lagu. Tentu saja, karena ini momen maulid, maka tema nyanyian juga kebanyakan bernafas sama, pujian-pujian, madah.

Esok paginya, Sabtu, saya kedatangan Mas Moko dan Adi dari Jakarta. Mereka menyambangi kami di penginapan yang disediakan oleh Pak Edi untuk rombongan dari Madura. Entah kepentingan apa mereka ke Jogja selain menjumpai saya. Pasalnya, dari pagi, sampai sore, bahkan hingga acara bubar di Kafe Basabasi Condongcatur, mereka hadir bersama saya. Lalu, mereka pamit pulang begitu acara kelar dan kami juga siap  ke Madura.

Seharian saya tidak ke mana-mana. Paginya nemenin Mas Moko, sementara ibu-ibu PKK pergi ke Studio Alam Gamplong, diantar Fatih. Sorenya kami keluar rumah dan terus ke Warung Mojok. Sementara saya menikmati kopi di bawah hujan, anggota perempuan minta ke Filosofi Kopi. Lutfi yang antar mereka sementara saya cuman ngobrol sama Puthut EA, sampai maghrib. 
Adapun acara di Kafe Basabasi Condongcatur, saya juga dapat tugas yang sama, yakni baca shalawat Simtud Duror. Urusan ceramah agama diselesaikan oleh dai muda milenial, Habib Husein Ja’far al-Hadar. Penceramah ini keren sekali. Wawasannya luas dan paham wawasan anak muda. Sungguh, malam itu, kami pulang dengan bahagia karena acara ternyata lancar berjalan dan tiada kendala.

Tengah malam itu, sudah masuk hari Ahad, 24 November 2019, saya dan romobngan mobil satunya, rombongan gambus yang bawa Mitsubishi KUDA, keluar dari halaman parkir kafe nyaris bersamaan, pukul 01.00, kurang lebih. Kami masih sempat mampir di sebuah kios oleh-oleh di sekitar Janti, lalu lanjut pulang ke arah Solo. Kami terpisah akhirnya karena rombongan mereka berangkat duluan dan kami menyusul di belakang. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30-an.

Mengingat esoknya ada acara di Jombang, sebagaimana Pak Pujo berpesan kemarin lalu saat bertemu dengan saya di sebuah warung kikil di Jatirogo, saya ada niat ikut kopdar Indonesian Colt Lovers yang diletakkan di rumah Pak Sularso, beralamat di desa Tunggorono, barat kota Jombang, saya ‘terpaksa’ masuk tol. Kami masuk PT  (Pintu tol) Karanganyar karena waktu mau masuk tol Kartosuro saya ketiduran sementara sopir tidak tahu. Saya bangun saat mobil sudah nyampe di depan Universitas Muhammadiyah Solo.

Dalam perjalanan lewat tol, tengah malam itu, saya ikut peran pegang kemudia agar tenaga Lutfi tidak terkuras. Sempat pula dag-dig-dug saat membayangkan kalau saja ada masalah mesin di tengah malam, jauh dari rumah dan bengkel. Tapi, bismillah sajalah. Dengan kecepatan rata-rata hampir 80 km/jam, saya melajukan mobil secara konstan.

Kami subuhan di Km 597, lepas Ngawi, sebelum Madiun. Yang lain subuhan di tempat istirahat berikutnya. Kata Fatih yang kebetulan nyopir si Kuda, di tempat istirahat Km 626. Jadi selisih jarak kami ada 30 km.

Sementara mereka lanjut ke Madura, saya keluar kota Nganjuk karena di samping ruas jalan dari Nganjuk ke Kertosono itu relatif lurus, mulus, dan insya Allah sepi di pagi hari, juga karena alasan tujuan melipir ke Purwoasri, ke kediaman Gus Furqon di PP Al Hikmah. Semua berlangsung benar dan lancar. Pagi hari Minggu itu asyik sekali.

“Gus, kami ndak usah dilayani sebagai tamu,” pesan saya kepada si Gus, khawatir beliau nyiapkan makan pagi. “Kami masih bawa nasi dari Jogja.”
“Iya,” begitu saja jawabnya.
“Kami cuman numpang istirahat sebentar karena pukul 9 nanti, kami mau bertolak lagi.”

Gus Furqon hanya tersenyum. Tapi, ternyata, si Gus ini tidak menggubris. Kami tetap diservis ala raja, dikasih tempat istirahat, dikasih sarapan pecel, dikasih pentol, dan sekian ragam makanan lengkap dengan minumannya.

Kopdar Colt ICL di Jombang

Pukul 9.50 (molor juga akhirnya), kami bertolak dari Purwoasri, lanjut ke Jombang. Tujuan berikutnya adalah kediaman Pak Sularso yang beralamat di dekat balai desa Tunggorono, sebelah barat kota.  Tidak lama untuk mencapai tempat ini, mungkin hanya setengah jam saja dari Purwoasri.

Di Jombang, saya bertemu dengan kawan-kawan penggemar Colt. Ada Pak Benta dari Jogja, Mas Alwi dari Ngawi, Pak Tito dan Mas Wida dari Malang, eh, ketemu Mas Alamsyah juga dari Kediri. Mas Appy dari Jember bersama kawan-kawannya juga ada di lokasi. Sayang, Mas Yudi dari Bondowoso dan Mas Juki dari Jember berhalangan hadir.

Acara kopdar yang sedianya akan ditutup dengan ziarah ke Makam Tebuireng terpaksa tidak saya ikuti mengingat perjalanan pulang masih jauh, kebetulannya juga istri sakit perut mendadak. Alasan tambahannya adalah; udara sangat panas, gerah bikin gelisah. Setelah diminta memberi sambutan oleh Pak Wahib di acara itu, saya pun duduk kembali, cuap-cuap beberapa saat dengana beberapa peserta, makan, ngobrol seperlunya, lalu pamit pulang.

Jalan pulang kami pilih lewat tol lagi, masuk di Tambak Beras dan langsung cus menuju km Nol di Tanjung Perak. Dengan kondisi bahan bakar yang makin menipis, akhirnya saya ngisi bahan bakar di SPBU Kenjeran, 54.601.120 pada pukul 14.00 lewat sekian. Dari corongan TOA Masjid Sabilul Muttaqin ada berada tepat di sebelah timurnya, terlantun kiraah menjelang asar. Suaranya kencang sekali. Kami antri lama di jalur premium tapi ternyata kebagiannya pertalite juga.

Dari sana, perjalanan diteruskan ke Larangan Tokol, menurunkan Kak Faruq, dan kami shalat jamak maghrib di Tentenan, terus lanjut pulang dan tiba di pelataran rumah setelah isya, sekitar pukul 20.30. Alhamdulillah, perjalanan lancar jaya.

Foto-Foto Lainnya: 



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...