Rencana semula, kami akan berangkat bersama dengan rombongan satunya, yaitu rombongan grup gambus yang juga akan ke Jogja dan untuk acara yang sama. Pak Edi meminta saya mencarikan grup gambus untuk mengisi acara dua malam itu, di kafenya. Tapi, karena di antara mereka masih ada kegiatan lain, maka mereka akan berangkat sehabis maghrib, malam Jumbat, sementara saya harus berangkat duluan karena di malam jumabtnya saya dijadwalkan mengisi diskusi di warungnya Mas Andhi Kepik, Boenga Ketjil, di Jombang.
Saya lewat
Patapan, untuk menjemput Lutfi, sopir kami kali ini. Ternyata, Lutfi tidak siap
karena secara mendadak dipanggil Mbah Kiai Fathol, memperbaiki Hijet-nya yang
mendadak mogok di pagi itu. Agak galau hati ini mengingat waktu berangkat sudah
molor. Tapi, untungnya, tidak lama urusannya. Hijet nyala dan kami pun
berangkat.
Transit pertama
adalah Sumber Anyar, Larangan Tokol, Pamekasan. Tiba di PP Al-Mawardi,
Soklancar, kami tidak langsung berangkat karena jam sudah nanggung, mepet duhur.
“Kita shalat di
sini saja,” kata saya kepada anggota rombongan yang terdiri dari istri dan ipar
perempuan. Kak Faruq adalah penumpang dari Sumber Anyar yang tak lain adalah
ipar laki-laki. Jadi, perjalanan saya kali ini didampingi ipar-ipar.
Bensin masih ada
dan saya baru ngisi lagi di SPBU54.692.09 yang berlokasi di ujung paling barat
kecamatan Jrengik, zona Sampang paling barat, berbatasan dengan Lomaer yang
secara administratif masuk wilayah Bangkalan.
Sebelum
berangkat, saya sudah isi kartu tol sejumlah 400.000. Namun, saya tidak pernah
membayangkan kartu tersebut akan digunakan untuk masuk tol. Sebatas persiapan,
kata saya kepada Kak Faruq, siapa tahu dibutuhkan dalam keadaan darurat.
Dua perjalanan
saya sebelumnya, dan dua-duanya dengan Colt, ke Kutoarjo (Juli 2019) dan ke
Jogja (Pebruari 2018), melewati tolnya hanya sampai Kertosono dan Mojokerto.
Saya selalu sayang mengeluarkan duit untuk perjalanan di atas tol karena kami
selalu tidak terburu-buru. Lebih dari itu, meskipun banyak orang merasa asyik
lewat tol, bagi saya justru tidak. Perjalanan lewat tol mengurangi rasa perjalanan.
Lagi pula saya tidak terburu-buru. Apalagi saya ngajak orang yang baru pertama
di rute itu, maka jika benar ke Jogja lewat tol, dia sama sekali tidak akan
pernah tahu ada Bagor, ada Caruban, ada Ngawi, ada Sragen, ada Masaran, ada
Palur, ada Solo. Yang dia tahu paling-paling cuman Delanggu, Klaten, Prambanan,
karena kota-kota itu ada di jalur arteri menuju Jogjakarta.
Tapi, sore itu,
dengan berat hati, saya harus rela masuk tol dengan target masuk Jombang
sebelum maghrib. Maklum, berangkat sudah telat, maka lewat tol adalah siasat.
Kami masuk Tol Sumo dan turun di Mojokerto Barat. Tapi, saya benar-benar kecewa
karena akses tol ke jalan arteri cukup, ah, bukan cukup lagi, tapi terlalu
jauh. Butuh nyaris 30 menit hanya untuk tiba di
by pass Jampirogo: pertigaan yang mempertemukan jalur tol lewat kota ke
jalan arteri menuju Trowulan.
Kami melaju pelan
hingga tiba di Corogo, rumah Haris, sekitar pukul 16.40.
Leyeh-leyeh
sampai maghrib, kami pun pergi makan malam selepas shalat. Sopir Lutfi dan
penumpang perempaun tidak ikutan, mereka pilih istirahat di sana. Saya dan kak
Faruq saja yang pergi, plus tuan rumahnya, Haris.
Saya diajak haris ke warung kikil di Jatirogo. Sebetulnya saya bukan penggemar kuliner. Tapi untuk memberikan penghormatan kepadanya, saya manut saja meskipun dikasih yang enak-enak. Para penumpang perempuan pilih makan di rumah saja.
Saya diajak haris ke warung kikil di Jatirogo. Sebetulnya saya bukan penggemar kuliner. Tapi untuk memberikan penghormatan kepadanya, saya manut saja meskipun dikasih yang enak-enak. Para penumpang perempuan pilih makan di rumah saja.
Jombang banyak
banget koleksi warung kikilnya. Yang saya tahu justru bukan di warung yang kami
singgahi itu. Entah apa namanya, yang jelas ada slogannya yang berbunyi; “Nasi
Kikil Kesukaan Gus Dur”. Dalam hati, saya membatin. Orang besar itu, meskipun
sudah tiada, masih bisa kasih endorsemen, bahkan kalau kita lihat di
pekuburannya, di Tebuireng sana, masih bisa memberikan penghidupan kepada para
tetangga untuk berjualan. Kita yang hidup malah kadang bikin susah orang.
Saat kami baru
saja makan, tiba-tiba ada seseorang mendatangi.
“Siapa yang punya
Colt ini?”
“Dia,” kata Kak
Faruq seraya menunjuk saya. “Kenapa?”
“Oh, ndak. Tadi
saya lewat di sini. Ketemu sama Colt parkir, langsung saya melipir. Saya
penasaran saja.”
Orang itu bernama
Pujo Sukamto. Dia bilang, Ahad besok bakal ada kopdar penggemar Colt di
Jombang. Saya diminta mampir sepulang dari Jogja.
“Saya tidak janji
karena saya juga tidak tahu persis rangkaian acara di Jogja, tapi saya akan
berusaha datang,” jawab saya kepadanya.
Malam itu, saya
menghadiri undangan Selasastra di warung kopi Boenga Ketjil yang diasuh oleh
Mas Andhi (atau dikenal dengan panggilan Kepik). Lokasi warung berada di
belakang SPBU Parimono. Kami diskusi sampai malam, sampai pukul 22.30. Adapun
yang saya bicarakan adalah kenangan-kenangan awal bagaimana saya sering
berkunjung ke Terminal Jombang (Lama; yang lokasinya masih di depan UNDAR).
Bagaiamana kenangan itu ternyata mendorong saya untuk bepergian naik bis
antarakota jika pergi sendirian. Maka, dari situ kemudian saya simpulkan,
banyak kegiatan sastra yang saya hadiri dengan naik bis. Peran bis antarakota tidak
boleh dinafikan dalam kehidupan saya, bahkan sangat penting dalam membantu kehidupan
bersastra banyak orang. Inung
Ardiansyah, moderatpr diskusi kala itu, menutup diskusi pada pukul 22.30.
Dari sana, sebelum
balik ke Corogo, kami masih mampir makan ketan dulu di pojokan Ringin Conthong.
Nama Ringin Conthong ini adalah bundaran
yang mejadi semacan tengara kota Jombang. Ketan bubuk memang sangat khas
Jombang. Banyak warung ketan seperti ini di kota Ijo-Abang tersebut.
***
Setelah cuap-cuap
sebentar, maka pada pukul 00.20, kami pamitan, berangkat ke Jogja.
“Lut, nanti
sampeyan jalan saja, lurus, jangan belak-belok kalau ada perempatan. Saya mau
tidur, capek.”
Demikian kata
saya kepada Lutfi yang kali ini bertugas mengemudi, bersama Kak Faruq di depan.
Saya duduk di kursi tengah sendirian, tidur. Sementara istri dan ipar perempuan
saya duduk di belakang. Saya memandu Lutfi hingga lepas stasiun Jombang dan
tiba di ujung jalan Ngrandu .
Selepas itu,
barulah saya tidur.
Lutfi melajukan
mobil pelan saja, sekitar 60-70 km/jam. Kecepatan itu memang kecepatan yang
saya harapkan. Tidak perlu terlalu ngebut agar tidak capek kalau sudah sampai
di tempat tujuan. Namun, saya tiba-tiba dibangunkan oleh Kak Faruk. Saya pun
langsung melihat tanda-tanda alam sekitar. Saya membaca: Polsek Semampir,
Kediri
“Loh, kok Kediri?
Waduh.”
“Salah, ya?”
“Lah, iyalah.
Saya memang ingin pergi ke Kediri, tapi bukan sekarang,” kata saya sambil
tertawa. “Ayo putar balik.”
Rupanya, saat di
Braan tadi, kedua orang yang duduk di bangku terdepan itu sama-sama hilang
arah. Mereka pilih serong kiri dan bukannya lurus ke arah Kertosono. Jadilah
kami tersesat sampai di depan Gudang Garam, Kediri. Lumayan lama dan jauh, tapi
untungnya nambah pengalaman. Saya cek, saat itu pukul 01.40.
Perjalanan
berlanjut dan akhirnya kami subuhan di masjid Al-Hidayah, Ngale, kira-kira 2
kilometer sebelah barat rumah makan DUTA, warung servis makannya PO EKA.
“Sebentar dulu,
takut itu masjid LDII. Oh, tidak ternyata...”
“Kok bisa?”
“Itu ada
jidurnya.”
Dari sana, kami
lanjut lagi. Jalan sudah mulai ramai. Orang-orang sudah keluar rumah. Yang mau
bertani berangkat ke sawah, yang PNS ke kantor, yang kecil-kecil dan berseragam
pergi ke sekolah.
Sebelum tiba di
Jogja, kami sempat mampir di tiga tempat: pagi sekali, pukul 7.30-an, kami
mampir di rumah Marzuki. Dia ini santrinya Kak Faruq. Dia adalah seorang
penjual sate sekaligus pembikin tusuk sate. Di sini kami sempat istirahat
hingga menjelang pukul 11.00. Kami terpaksa pergi dan tidak menunggu jumatan di
situ karena memang kami sudah niat mau shalat jamak duhur-asar di tempat lain
saja.
Di kota Solo,
saya mampir ke kawan lama yang saya dengar sakit serius: Fajar Setiawan namanya.
Kini dia tinggal di sebuah rumah, pasar Ngemplak ke selatan, dekat jembatan,
samping rel kereta api. Dia senang sekali karena saya berkunjung ke tempatnya, “Kunjungan
yang tidak diduga,” kata dia. Saya lebih senang lagi karena meskipun dia sangat
kurus, namun ternyata sehat.
Sekitar satu jam
di sana, kami lanjut lagi ke Sanggir, Paulan, Colomadu. Posisi kawan saya yang
ini, Darmawan Budi Soseno, berada di PG Jolomadoe. Baik di rumah kawan Fajar mau
di Dharmo, kami tidak mau disuguhi makanan berat karena sisa sate di rumah
Muzakki tadi masih cukup mengganjal perut kami. Sementara sisa gorengan di
rumah Fajar dan ditambah sop buah. Maklum, kawan saya yang Colomadu ini punya
kios makanan di rumahnya. Tapi dia ngotot agar kami mencicipi jualan
andalannya: steak ayam.
Dalam perjalanan
ke Jogja, sore itu, kami masih mampir di Masjid Al Aqsa. Masjid yang sangat
megah ini menjadi tengara kota Klaten. Posisinya menggantikan posisi terminal
lama Klaten, sementara terminal Klaten sendiri dipindah ke jalan luar kota,
dekat stasiun.
“Kok cuma begini
masjidnya? Katanya besar,” celetuk istri saya dari kursi belakang ketika saya
katakan bahwa kita akan masuk ke pelataran parkir sebauh masjid yang sangat
megah.
“Loh, itu bukan
masjidnya, itu hanya bangunan menaranya.”
“Wah,
ternyata...”
Maklum,
keseluruhan masjid tidak kelihatan karena kami melihat terlalu dekat, dari
dalam mobil pula. Setelah masuk dan parkir, barulah mereka terheran-heran dan
takjub melihat masjid yang megah dan sangat besar ini.
Duapuluh Empat Jam di Jogja
Malam itu, kami
merayakan peringatan maulid Nabi di Kafe Basabasi. Saya kebagian membaca
shalaawat. Ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya: diundang hadir ke
acara maulid nabi dan mendapatkan tugas membaca shalawat, di kafe pula
(diundang khusus untuk baca shalawat, bukan seperti di Madura yang biasanya
asal tunjuk siapa yang bakal baca shalawat pas menjelang acara dimulai). Tentu
saja, bagi saya ini ajaib dan berkesan karena di samping penyelenggaraan
acaranya sangat jauh, di Jogja, dan saya bukanlah orang yang pintar
berlanggam-langgam dalam membawakannya. Justru dengan modal suara yang
pas-pasan saya bisa diundang ke sini. Menyenangkan sekali.
Malam maulid Nabi
di Kafe Basabasi Sorowajan itu sangat istimewa karena juga ada penampilan musik
gambus jalsah dari Madura. Yang bermain di sana adalah Rafiq BJ bersama
kawan-kawannya: Haris pada keyboard, Lutfi pada biola, dan Hasin pada dumbuk
(darbuka). Tak juga disangka, ternytata banyak hadirin yang suka dan bahkan
bisa berzafin, mengiringi hentak irama lagu. Tentu saja, karena ini momen
maulid, maka tema nyanyian juga kebanyakan bernafas sama, pujian-pujian, madah.
Esok paginya,
Sabtu, saya kedatangan Mas Moko dan Adi dari Jakarta. Mereka menyambangi kami
di penginapan yang disediakan oleh Pak Edi untuk rombongan dari Madura. Entah
kepentingan apa mereka ke Jogja selain menjumpai saya. Pasalnya, dari pagi,
sampai sore, bahkan hingga acara bubar di Kafe Basabasi Condongcatur, mereka hadir
bersama saya. Lalu, mereka pamit pulang begitu acara kelar dan kami juga
siap ke Madura.
Seharian saya
tidak ke mana-mana. Paginya nemenin Mas Moko, sementara ibu-ibu PKK pergi ke
Studio Alam Gamplong, diantar Fatih. Sorenya kami keluar rumah dan terus ke
Warung Mojok. Sementara saya menikmati kopi di bawah hujan, anggota perempuan
minta ke Filosofi Kopi. Lutfi yang antar mereka sementara saya cuman ngobrol
sama Puthut EA, sampai maghrib.
Adapun acara di Kafe
Basabasi Condongcatur, saya juga dapat tugas yang sama, yakni baca shalawat
Simtud Duror. Urusan ceramah agama diselesaikan oleh dai muda milenial, Habib
Husein Ja’far al-Hadar. Penceramah ini keren sekali. Wawasannya luas dan paham
wawasan anak muda. Sungguh, malam itu, kami pulang dengan bahagia karena acara
ternyata lancar berjalan dan tiada kendala.
Tengah malam itu,
sudah masuk hari Ahad, 24 November 2019, saya dan romobngan mobil satunya, rombongan
gambus yang bawa Mitsubishi KUDA, keluar dari halaman parkir kafe nyaris
bersamaan, pukul 01.00, kurang lebih. Kami masih sempat mampir di sebuah kios
oleh-oleh di sekitar Janti, lalu lanjut pulang ke arah Solo. Kami terpisah
akhirnya karena rombongan mereka berangkat duluan dan kami menyusul di
belakang. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30-an.
Mengingat esoknya
ada acara di Jombang, sebagaimana Pak Pujo berpesan kemarin lalu saat bertemu
dengan saya di sebuah warung kikil di Jatirogo, saya ada niat ikut kopdar
Indonesian Colt Lovers yang diletakkan di rumah Pak Sularso, beralamat di desa
Tunggorono, barat kota Jombang, saya ‘terpaksa’ masuk tol. Kami masuk PT (Pintu tol) Karanganyar karena waktu mau
masuk tol Kartosuro saya ketiduran sementara sopir tidak tahu. Saya bangun saat
mobil sudah nyampe di depan Universitas Muhammadiyah Solo.
Dalam perjalanan
lewat tol, tengah malam itu, saya ikut peran pegang kemudia agar tenaga Lutfi
tidak terkuras. Sempat pula dag-dig-dug saat membayangkan kalau saja ada
masalah mesin di tengah malam, jauh dari rumah dan bengkel. Tapi, bismillah
sajalah. Dengan kecepatan rata-rata hampir 80 km/jam, saya melajukan mobil
secara konstan.
Kami subuhan di
Km 597, lepas Ngawi, sebelum Madiun. Yang lain subuhan di tempat istirahat
berikutnya. Kata Fatih yang kebetulan nyopir si Kuda, di tempat istirahat Km
626. Jadi selisih jarak kami ada 30 km.
Sementara mereka
lanjut ke Madura, saya keluar kota Nganjuk karena di samping ruas jalan dari
Nganjuk ke Kertosono itu relatif lurus, mulus, dan insya Allah sepi di pagi
hari, juga karena alasan tujuan melipir ke Purwoasri, ke kediaman Gus Furqon di
PP Al Hikmah. Semua berlangsung benar dan lancar. Pagi hari Minggu itu asyik sekali.
“Gus, kami ndak
usah dilayani sebagai tamu,” pesan saya kepada si Gus, khawatir beliau nyiapkan
makan pagi. “Kami masih bawa nasi dari Jogja.”
“Iya,” begitu
saja jawabnya.
“Kami cuman
numpang istirahat sebentar karena pukul 9 nanti, kami mau bertolak lagi.”
Gus Furqon hanya
tersenyum. Tapi, ternyata, si Gus ini tidak menggubris. Kami tetap diservis ala
raja, dikasih tempat istirahat, dikasih sarapan pecel, dikasih pentol, dan
sekian ragam makanan lengkap dengan minumannya.
Kopdar Colt
ICL di Jombang
Pukul 9.50 (molor
juga akhirnya), kami bertolak dari Purwoasri, lanjut ke Jombang. Tujuan
berikutnya adalah kediaman Pak Sularso yang beralamat di dekat balai desa
Tunggorono, sebelah barat kota. Tidak
lama untuk mencapai tempat ini, mungkin hanya setengah jam saja dari Purwoasri.
Di Jombang, saya
bertemu dengan kawan-kawan penggemar Colt. Ada Pak Benta dari Jogja, Mas Alwi
dari Ngawi, Pak Tito dan Mas Wida dari Malang, eh, ketemu Mas Alamsyah juga
dari Kediri. Mas Appy dari Jember bersama kawan-kawannya juga ada di lokasi.
Sayang, Mas Yudi dari Bondowoso dan Mas Juki dari Jember berhalangan hadir.
Acara kopdar yang
sedianya akan ditutup dengan ziarah ke Makam Tebuireng terpaksa tidak saya
ikuti mengingat perjalanan pulang masih jauh, kebetulannya juga istri sakit
perut mendadak. Alasan tambahannya adalah; udara sangat panas, gerah bikin
gelisah. Setelah diminta memberi sambutan oleh Pak Wahib di acara itu, saya pun
duduk kembali, cuap-cuap beberapa saat dengana beberapa peserta, makan, ngobrol
seperlunya, lalu pamit pulang.
Jalan pulang kami
pilih lewat tol lagi, masuk di Tambak Beras dan langsung cus menuju km Nol di
Tanjung Perak. Dengan kondisi bahan bakar yang makin menipis, akhirnya saya
ngisi bahan bakar di SPBU Kenjeran, 54.601.120 pada pukul 14.00 lewat sekian.
Dari corongan TOA Masjid Sabilul Muttaqin ada berada tepat di sebelah timurnya,
terlantun kiraah menjelang asar. Suaranya kencang sekali. Kami antri lama di
jalur premium tapi ternyata kebagiannya pertalite juga.
Dari sana,
perjalanan diteruskan ke Larangan Tokol, menurunkan Kak Faruq, dan kami shalat
jamak maghrib di Tentenan, terus lanjut pulang dan tiba di pelataran rumah
setelah isya, sekitar pukul 20.30. Alhamdulillah, perjalanan lancar jaya.
Foto-Foto Lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar