Esoknya,
kami keluar tidak jadi pagi-pagi, melainkan pukul 09.00. Rencana
awalnya, tujuan saya hanya sampai di sini, lalu kembali, tapi istri
ngajak main ke rumah temannya yang mengaku tinggal di Singaraja. Saya
nanya, lokasi tepatnya ada di mana dan seberapa jauh ke tempat dia.
Setelah terhubung sambungan telepon, diputuskan untuk main ke sana.
Menurut si tuan rumah, perjalanan akan kami tempuh satu jam
kurang-lebih menuju Seririt, tempat tinggal dia. Satu jam itu setara
jarak 40 km di jalan padat atau 55 km di jalan lurus dan sepi.
Pengalaman saya begitu.
Karena
ke Seririt ini adalah agenda istri saya, maka saya pasrahkan maunya
dia apa saja, mau ke mana saja silakan, asal jangan minta duit karena
sangu saya sudah habis, sudah tinggal 300.000 (saya tenang saja
karena nanti setelah pulang, saya akan ambil uang pembelian buku di
Asembagus, Situbondo). Tapi untuk di Bali, mohon ampun, jangan
cam-macam dulu. Tugas saya "mengantar" saja, beda dengan
tujuan-tujuan yang sebelumnya yang memang inisiatif dan merupakan
ajakan saja.
Kami
tiba di Seririt menjelang duhur karena dari kediaman Om Faqih, kami
masih singgah di rumah Rofiqi dan Kafi, kira-kira 2 km setelah SPBU
Pemuteran. Mereka berdua adalah alumni PP Nurul Jadid, juga mengelola
lembaga pendidikan bernama Nurul Jadid. Konon, lembaga itu didirikan
oleh Kiai Mahfudz Amiruddin atas dukungan dari Kiai Zaini Mun’iem,
pendiri PP Nurul Jadid Paiton. Rencananya, kami hanya mau salaman,
tapi ternyata malah ngopi dan ngobrol panjang karena kebetulan ada
Gus Endy, sepupu Om Faqih, dari Genteng, Banyuwangi.
Tuan
rumah kami bernama Zaini dan Mawaddah. Pasangan suami istri ini sudah
menikah 17 tahun tapi belum dikaruniai putra. Rupanya, di kawasan
itu, banyak sekali warga Madura yang jualan ayam potong. Saya kira,
warga Madura cuma numpuk di Denpasar dan Jembrana atau Bali selatan
dan barat, ternyata di daerah Buleleng (Bali bagian utara) juga ada,
tapi tak sebanyak di selatan.
Sehabis
shalat duhur dan makan, Zaini lalu mengajak kami ke Bedugul.
“Aslinya,
saya lebih suka duduk-duduk di sini sambil bercakap-cakap,” kata
saya kepada mereka, “tapi karena ini adalah waktunya istri saya,
maka saya manut saja.”
mereka
tertawa lalu menjelaskan eksotika danau Bedugul. Tapi saya tetap
tidak tertarik. Saya baru tertarik ketika mereka katakan bahwa rute
ke sana sepenuhnya menanjak dan berliku-liku, melewati perkebunan
cengkeh, kopi, dan durian. Wow, fantastis agaknya, pikir saya. Maka,
tak ada alasan lagi untuk tidak setuju.
"Bawa
mobil saya saja, Ra!" kata Zaini begitu saya masuk ke kabin
Colt.
"Wah,
saya kadung niat bawa Colt ke Bali, jadi biarlah."
"Wah,
jangan, tidak perlu. Ini kita sudah bawa dua mobil," katanya.
Saya lihat, memang ada dua mobil yang parkir: dua Innova beda
generasi. Tapi, saya terlanjur masuk dan memundurkan Colt, jadi tidak
ada yang dapat menghentikan saya, baik itu Pak Jokowi ataupun Pak
Prabowo.
“Hanya
kematian yang dapat menghentikan niat saya,” kata saya kepada
mereka, “baik itu kematian orangnya ataupun kematian dinamo
starter.”
Mereka
tertawa lagi, meskipun ada rasa sedikit kecewa. Dan supaya mereka
tidak terlalu kecewa dan saya juga tidak kecewa, saya ambil jangan
tengah saja. “Sudah, biar Sampeyan bawa mobil Innova-nya bersama
istri Sampeyan dan istri saya, saya naik Colt saja bersama Warid dan
Muafi.” "Jalannya menanjak, lho, dan panjang."
"Sampeyan
kayak ndak tahu Colt saja,” kata saya agak menantang. “Tanjakan
itu bukan masalah bagi Colt sejauh cuma naik jalan beraspal, bukan
naik tangga. Mobil saya sudah teruji melewati berbagai medan. Yang
jadi masalah bagi Colt saya ini adalah kalau mau beli bensin tapi
ternyata enggak ada duit-nya.”
Lagi-lagi
mereka tertawa, terbahak bersama-sama.
Rute
Seririt-Bedugul memang terjal, setidaknya di luar bayangan saya
karena menurut Om Faqih hanyalah mirip dengan tanjakan dari Prenduan
ke Guluk-Guluk. Jalan ke sana bisa ditempuh dari tiga pintu: dari
Seririt, dari Singaraja, dari Denpasa. Betul ternyata, jalan menanjak
langsung menghadang dari bawah, nyaris hanya ada beberapa ratus meter
saja jalan datar, lainnya tanjakan dan tikungan. Saya mulai keder.
Betul jalannya banyak mirip rute Prenduan ke utara, tapi masalahnya
ini sangat panjang, lebih dari 30 kilometer agaknya.
Kira-kira
3/4 perjalanan, hati saya mulai cemas mengingat Colt saya ini tidak
sedang sempurna tenaganya karena ada satu klep yang bocor sehingga
busi tidak berfungsi pada posisi mesin lamsam/idle. Entah kalau pada
putaran tinggi, anggaplah di status RPM 3000-3500. Yang pasti,
tenaganya tidak seperti biasanya, sementara tanjakan tidak berhenti
juga sejauh 30-an km yang lalu. Masih ada sepuluhan km lagi di depan.
Ada 2 spot di mana gigi harus nanjak masuk 1, dan ada banyak sekali
ruas jalan yang harus dilalui dengan persneling tertahan di posisi 2.
Meskipun jarum suhu mesin sudah naik di posisi tengah bahkan
terkadang naik ke atasnya lagi jika tanjakan terjalnya sangat
panjang, saya tetap berani karena medan seperti ini sudah pernah saya
lewati di rute menuju Taman Safari Prigen. Bedanya, kali ini treknya
sangat panjang.
Namun,
begitu tiba di puncak, seluruh ketegangan dan rasa khawatir terobati.
Panorama surgawi terhampar di depan mata: danau, hutan, kabut,
gerimis. Saya menikmati puncak kenikmatan secara sekaligus:
kenikmatan sempat, sehat, serta kenikmatan lain yang tak terhitung
oleh jari-jemari, semua ada di sini. Saya manut saja, mengekor dua
Innova yang ada di depan saya.
Rupanya
mereka membawa saya ke Taman Bunga, semacam Bukit Cinta kalau di
Pamekasan, Madura. Ngapain di sini? Tidak makan, tidak ngopi,
melainkan melakukan kegiatan paling tidak esensial, alih-alih
eksistensial, bagi umat manusia, tapi dianggap paling tepat untuk
menjalani "hidup eksis". Orang-orang pada selfie: sebuah
tindakan 'egosentris' yang oleh Søren Kierkegaard, dulu, pernah
dicaci-maki. Sayang beliaunya sudah tiada, tidak sempat tahu ada
kamera nirlensa dan tidak tahu juga ada Bedugul. Sekarang,
kenyataannya memang begini. Mau apa lagi? Saya pupuskan imajinasi ini
dengan dua rumus melakoni hidup sosial: jalani dan nikmati.
Kami
terus ke Kebun Raya, gelar tikar dan bersantai. Pulang dari sana,
kami nyambangi Masrur yang rumahnya tepat berada di 15 meter sebelum
pintu masuk/keluar. Dia lagi sakit asam lambung akut. Kasihan sekali.
Ada Faridah, ibunya, yang mendampingi.
“Kapan
tiba di sini?” kata saya
“Kemarin,
soalnya anak saya sakit,” jawabnya lirih.
Masih
begitu, dia sempat menyuguhi kami makan. Meskipun merantau ke Bali,
gayanya dalam menyambut tamu masih tetap ala Madura. Sebetulnya, saya
tidak tahu kalau Masrur ada di Bedugul. Yang saya tahu, dia kerja di
Bali, begitu juga dengan Pak Ali, ayah Budiawan yang tinggal di
Seririt. Saya kira, yang tinggal di sana hanya Pak Khotib karena dulu
kakek saya pernah beli sedan miliknya dan ternyata, secara kebetulan
juga, yang ngurus perpanjangan pajaknya dulu itu Pak Muafi, yang saat
ini menemani saya di mobil ini.
"Habis
ini kita langsung pulang?" tanya saya.
"Ke
danau dulu," sela Pak Khotib.
"Tapi
ini sudah pukul 6 lewat, sudah mau maghrib, apa tidak terlalu gelap?"
"Oh,
tidak, masih bisa."
Tampaknya,
kami adalah rombongan terakhir yang naik perahu cepat mengitari danau
ini. Alam mulai gelap. Kabut menyelimuti gunung. Dingin udara bagai
jarum-jarum akupunktur menusuk kulit. Pengemudi perahu cepat ini
agaknya rada 'teler'. Gas ditarik dan tahu-tahu, di ujung timur
danau, pak nakoda bermanuver, kemudi dibanting mendadak, untung
kamera tidak terlepas. Manuver seperti ini ia lakukan beberapa kali.
Yang terakhir, saat perahu sudah dekat dermaga, lajunya dihentikan
mendadak dengan cara menurunkan gas secara serta-merta dan membanting
kemudi sehingga bodi perahu melintang, terjadilah pengereman secara
alami.
Kami
turun dari perahu pas ikamah sedang dikumandangkan dari masjid
Al-Hidayah, masjid yang berada di ketinggian, di seberang jalan, di
selatan Danau Beratan. Bergegas saya ke sana untuk nunut jamaah
maghrib. Rombongan Pak Zaini bersama istrinya dan istri saya pulang
duluan.
Dari
informasi Om Mamak, salah satu pengurus masjid ini bernama H. Sujono,
alumni PP Annuqayah. Sayang saya tidak bertemu dengannya, lagi pula
saya tidak kenal karena belum pernah bertatap muka. Sebagai kata
pengantar, saya kira kunjungan kali ini sudah cukup. Kami pun pulang
dan saya duduk di kursi belakang, Pak Khotib di tengah, sementara Pak
Muafi menemani Warid di depan yang bertugas mengemudi dan dia sebagai
penunjuk jalan.
Setiba
di Seririt, saya rehat, duduk-duduk saja sambil ngetik cerita
perjalanan ini di ponsel BlackBerry 9700. Sementara istri saya
(bersama istrinya Pak Zaini) pergi ke suatu tempat yang entah apa
namanya, saya tidak tahu. Tapi, dugaan saya, pastilah tempat itu
tempat wisata atau tempat belanja, tak bakal salah lagi.
colt T120, legend.
BalasHapusAlhamdulillah, ada yang baru lagi.
BalasHapus