Pembaca

28 Desember 2019

Perjalanan ke Bali (Etape III: Gerokgak - Bedugul)



Esoknya, kami keluar tidak jadi pagi-pagi, melainkan pukul 09.00. Rencana awalnya, tujuan saya hanya sampai di sini, lalu kembali, tapi istri ngajak main ke rumah temannya yang mengaku tinggal di Singaraja. Saya nanya, lokasi tepatnya ada di mana dan seberapa jauh ke tempat dia. Setelah terhubung sambungan telepon, diputuskan untuk main ke sana. Menurut si tuan rumah, perjalanan akan kami tempuh satu jam kurang-lebih menuju Seririt, tempat tinggal dia. Satu jam itu setara jarak 40 km di jalan padat atau 55 km di jalan lurus dan sepi. Pengalaman saya begitu.

Karena ke Seririt ini adalah agenda istri saya, maka saya pasrahkan maunya dia apa saja, mau ke mana saja silakan, asal jangan minta duit karena sangu saya sudah habis, sudah tinggal 300.000 (saya tenang saja karena nanti setelah pulang, saya akan ambil uang pembelian buku di Asembagus, Situbondo). Tapi untuk di Bali, mohon ampun, jangan cam-macam dulu. Tugas saya "mengantar" saja, beda dengan tujuan-tujuan yang sebelumnya yang memang inisiatif dan merupakan ajakan saja.

Kami tiba di Seririt menjelang duhur karena dari kediaman Om Faqih, kami masih singgah di rumah Rofiqi dan Kafi, kira-kira 2 km setelah SPBU Pemuteran. Mereka berdua adalah alumni PP Nurul Jadid, juga mengelola lembaga pendidikan bernama Nurul Jadid. Konon, lembaga itu didirikan oleh Kiai Mahfudz Amiruddin atas dukungan dari Kiai Zaini Mun’iem, pendiri PP Nurul Jadid Paiton. Rencananya, kami hanya mau salaman, tapi ternyata malah ngopi dan ngobrol panjang karena kebetulan ada Gus Endy, sepupu Om Faqih, dari Genteng, Banyuwangi.

Tuan rumah kami bernama Zaini dan Mawaddah. Pasangan suami istri ini sudah menikah 17 tahun tapi belum dikaruniai putra. Rupanya, di kawasan itu, banyak sekali warga Madura yang jualan ayam potong. Saya kira, warga Madura cuma numpuk di Denpasar dan Jembrana atau Bali selatan dan barat, ternyata di daerah Buleleng (Bali bagian utara) juga ada, tapi tak sebanyak di selatan.

Sehabis shalat duhur dan makan, Zaini lalu mengajak kami ke Bedugul.
“Aslinya, saya lebih suka duduk-duduk di sini sambil bercakap-cakap,” kata saya kepada mereka, “tapi karena ini adalah waktunya istri saya, maka saya manut saja.”
mereka tertawa lalu menjelaskan eksotika danau Bedugul. Tapi saya tetap tidak tertarik. Saya baru tertarik ketika mereka katakan bahwa rute ke sana sepenuhnya menanjak dan berliku-liku, melewati perkebunan cengkeh, kopi, dan durian. Wow, fantastis agaknya, pikir saya. Maka, tak ada alasan lagi untuk tidak setuju.

"Bawa mobil saya saja, Ra!" kata Zaini begitu saya masuk ke kabin Colt.
"Wah, saya kadung niat bawa Colt ke Bali, jadi biarlah."
"Wah, jangan, tidak perlu. Ini kita sudah bawa dua mobil," katanya. Saya lihat, memang ada dua mobil yang parkir: dua Innova beda generasi. Tapi, saya terlanjur masuk dan memundurkan Colt, jadi tidak ada yang dapat menghentikan saya, baik itu Pak Jokowi ataupun Pak Prabowo.
“Hanya kematian yang dapat menghentikan niat saya,” kata saya kepada mereka, “baik itu kematian orangnya ataupun kematian dinamo starter.”
Mereka tertawa lagi, meskipun ada rasa sedikit kecewa. Dan supaya mereka tidak terlalu kecewa dan saya juga tidak kecewa, saya ambil jangan tengah saja. “Sudah, biar Sampeyan bawa mobil Innova-nya bersama istri Sampeyan dan istri saya, saya naik Colt saja bersama Warid dan Muafi.” "Jalannya menanjak, lho, dan panjang."
"Sampeyan kayak ndak tahu Colt saja,” kata saya agak menantang. “Tanjakan itu bukan masalah bagi Colt sejauh cuma naik jalan beraspal, bukan naik tangga. Mobil saya sudah teruji melewati berbagai medan. Yang jadi masalah bagi Colt saya ini adalah kalau mau beli bensin tapi ternyata enggak ada duit-nya.”
Lagi-lagi mereka tertawa, terbahak bersama-sama.

Rute Seririt-Bedugul memang terjal, setidaknya di luar bayangan saya karena menurut Om Faqih hanyalah mirip dengan tanjakan dari Prenduan ke Guluk-Guluk. Jalan ke sana bisa ditempuh dari tiga pintu: dari Seririt, dari Singaraja, dari Denpasa. Betul ternyata, jalan menanjak langsung menghadang dari bawah, nyaris hanya ada beberapa ratus meter saja jalan datar, lainnya tanjakan dan tikungan. Saya mulai keder. Betul jalannya banyak mirip rute Prenduan ke utara, tapi masalahnya ini sangat panjang, lebih dari 30 kilometer agaknya.
Kira-kira 3/4 perjalanan, hati saya mulai cemas mengingat Colt saya ini tidak sedang sempurna tenaganya karena ada satu klep yang bocor sehingga busi tidak berfungsi pada posisi mesin lamsam/idle. Entah kalau pada putaran tinggi, anggaplah di status RPM 3000-3500. Yang pasti, tenaganya tidak seperti biasanya, sementara tanjakan tidak berhenti juga sejauh 30-an km yang lalu. Masih ada sepuluhan km lagi di depan. Ada 2 spot di mana gigi harus nanjak masuk 1, dan ada banyak sekali ruas jalan yang harus dilalui dengan persneling tertahan di posisi 2. Meskipun jarum suhu mesin sudah naik di posisi tengah bahkan terkadang naik ke atasnya lagi jika tanjakan terjalnya sangat panjang, saya tetap berani karena medan seperti ini sudah pernah saya lewati di rute menuju Taman Safari Prigen. Bedanya, kali ini treknya sangat panjang.


Namun, begitu tiba di puncak, seluruh ketegangan dan rasa khawatir terobati. Panorama surgawi terhampar di depan mata: danau, hutan, kabut, gerimis. Saya menikmati puncak kenikmatan secara sekaligus: kenikmatan sempat, sehat, serta kenikmatan lain yang tak terhitung oleh jari-jemari, semua ada di sini. Saya manut saja, mengekor dua Innova yang ada di depan saya.

Rupanya mereka membawa saya ke Taman Bunga, semacam Bukit Cinta kalau di Pamekasan, Madura. Ngapain di sini? Tidak makan, tidak ngopi, melainkan melakukan kegiatan paling tidak esensial, alih-alih eksistensial, bagi umat manusia, tapi dianggap paling tepat untuk menjalani "hidup eksis". Orang-orang pada selfie: sebuah tindakan 'egosentris' yang oleh Søren Kierkegaard, dulu, pernah dicaci-maki. Sayang beliaunya sudah tiada, tidak sempat tahu ada kamera nirlensa dan tidak tahu juga ada Bedugul. Sekarang, kenyataannya memang begini. Mau apa lagi? Saya pupuskan imajinasi ini dengan dua rumus melakoni hidup sosial: jalani dan nikmati.

Kami terus ke Kebun Raya, gelar tikar dan bersantai. Pulang dari sana, kami nyambangi Masrur yang rumahnya tepat berada di 15 meter sebelum pintu masuk/keluar. Dia lagi sakit asam lambung akut. Kasihan sekali. Ada Faridah, ibunya, yang mendampingi.
“Kapan tiba di sini?” kata saya
“Kemarin, soalnya anak saya sakit,” jawabnya lirih.

Masih begitu, dia sempat menyuguhi kami makan. Meskipun merantau ke Bali, gayanya dalam menyambut tamu masih tetap ala Madura. Sebetulnya, saya tidak tahu kalau Masrur ada di Bedugul. Yang saya tahu, dia kerja di Bali, begitu juga dengan Pak Ali, ayah Budiawan yang tinggal di Seririt. Saya kira, yang tinggal di sana hanya Pak Khotib karena dulu kakek saya pernah beli sedan miliknya dan ternyata, secara kebetulan juga, yang ngurus perpanjangan pajaknya dulu itu Pak Muafi, yang saat ini menemani saya di mobil ini.

"Habis ini kita langsung pulang?" tanya saya.
"Ke danau dulu," sela Pak Khotib.
"Tapi ini sudah pukul 6 lewat, sudah mau maghrib, apa tidak terlalu gelap?"
"Oh, tidak, masih bisa."

Tampaknya, kami adalah rombongan terakhir yang naik perahu cepat mengitari danau ini. Alam mulai gelap. Kabut menyelimuti gunung. Dingin udara bagai jarum-jarum akupunktur menusuk kulit. Pengemudi perahu cepat ini agaknya rada 'teler'. Gas ditarik dan tahu-tahu, di ujung timur danau, pak nakoda bermanuver, kemudi dibanting mendadak, untung kamera tidak terlepas. Manuver seperti ini ia lakukan beberapa kali. Yang terakhir, saat perahu sudah dekat dermaga, lajunya dihentikan mendadak dengan cara menurunkan gas secara serta-merta dan membanting kemudi sehingga bodi perahu melintang, terjadilah pengereman secara alami.

Kami turun dari perahu pas ikamah sedang dikumandangkan dari masjid Al-Hidayah, masjid yang berada di ketinggian, di seberang jalan, di selatan Danau Beratan. Bergegas saya ke sana untuk nunut jamaah maghrib. Rombongan Pak Zaini bersama istrinya dan istri saya pulang duluan.


Dari informasi Om Mamak, salah satu pengurus masjid ini bernama H. Sujono, alumni PP Annuqayah. Sayang saya tidak bertemu dengannya, lagi pula saya tidak kenal karena belum pernah bertatap muka. Sebagai kata pengantar, saya kira kunjungan kali ini sudah cukup. Kami pun pulang dan saya duduk di kursi belakang, Pak Khotib di tengah, sementara Pak Muafi menemani Warid di depan yang bertugas mengemudi dan dia sebagai penunjuk jalan.

Setiba di Seririt, saya rehat, duduk-duduk saja sambil ngetik cerita perjalanan ini di ponsel BlackBerry 9700. Sementara istri saya (bersama istrinya Pak Zaini) pergi ke suatu tempat yang entah apa namanya, saya tidak tahu. Tapi, dugaan saya, pastilah tempat itu tempat wisata atau tempat belanja, tak bakal salah lagi.

2 komentar:

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...