Saya pernah beberapa kali mengalami kejadian seperti yang ini, termasuk kemarin, 19 Desember 2019. Dua tahun yang lalu juga begitu, rasanya deja vu. Jika dulu sarapannya beli nasi kobal di Bandaran, kemarin beli nasi rames di sisi timur Arek Lancor, Pamekasan. Karena tujuan kami di Bangkalan, tepatnya Kwanyar, maka sedianya kami akan makan nasi bungkus ini di tengah perjalanan.
Hari masih relatif pagi, masih pukul 08.15 ketika saya masuk Galis. Saya bilang ke Fatih, “Tih, saya mampir di rumah Subki dulu, ya! Soalnya, acara di Kwanyar masih nanti pukul 10.00. Lah, ini masih pukul 8. Kita istirahat dulu barang sejenak. Kita makan di rumah Subki saja.”
Tentu saja, Fatih dan dua penumpang lain di mobil saya setuju karena mereka sekadar ikut saja: Fatih sekadar ikut saya, Fazir dan Jai punya keinginan hadir di acara bedah buku saya, “Jalan Keempat”, yang bakal diselenggarakan oleh SMK Al Asyari, Kwanyar, dan Komunitas Masyarakat Lumpur, Bangkalan.
Sampai di Gunung Sereng, dusun Morgunong, tibalah kami di rumah Subki. Sempat saya salah jalur mengingat jalannya seperti teka-teki silang, banyak jalan mendatar dan menurun. Percabangannya juga lumayan banyak. Saya baru ingat setelah mobil melewati lembaga pendidikan Ad-Tadwin. Soalnya, dua tahun yang silam, saya pernah berkunjung ke tempat ini, di suatu malam, pukul 2 dinihari. Jadi, masih ingat dikit meskipun lupanya banyak.
Dari tempat, Subki, kami bergerak pada pukul 09.30. Ternyata, jalan kolektor ke Pasar Somor Koneng sangat sempit, mungkin jalan kelas III C, yaitu jalan yang lebarnya hanya 2 meter lebih sedikit, jalan beraspal yang kalau kita berpapasan dengan kendaran lain maka salah satunya harus mundur dan mencari badan jalan yang agak lebar, yang bisa buat papasan. Sempat tiga kali saya berpapasan dengan mobil dan truk, dan untungnya, ketiga-tiganya dapat tempat yang lumayan lapang.
Kami tiba di SMK Al-Asy’ari, Jalan Pesanggrahan, Kwanyar, pada pukul 10.10, telat 10 menit dari yang dijadwalkan. Dan setelah cuap-cuap dengan panitia dan beberapa orang guru, acara langsung dimulai. Hebat, ini acara diskusi buku “serba-pertama” bagi saya: untuk pertama kalinya diselenggarakan sejak terbit; untuk pertama kalinya yang diselenggarakan oleh SMK; juga yang pertama kalinya diselenggarakan di Kwanyar; yang untuk pertama kalinya pula menghadirkan 3 pembanding sekaligus (2 dari STKIP PGRI Bangkalan [Helmy Prasetya dan Rozekki], dan satu dari STKW Surabaya [Ahmad Faishal]). Acaranya dipandu oleh Muhlis Bajra, pembina Tenter Paddang Bulan. Yang dahsyat, acara ini bisa bertahan nyaris tiga jam setengah, berlangsung hingga hampir pukul 14.00. Inilah acara bedah buku paling lama yang pernah saya laksanakan.
Karena tadi ada masalah kabel dinamo starter yang copot di Gunung Sereng, maka Muhlis langsung kasih komando kepada siswanya. Seakan-akan, dia sedang mengajukan soal ujian, ‘Jika dinamo starter mobil tiba-tiba tidak berfungsi, apakah masalah pertama yang harus Anda atas?’. Seolah seperti itu pertanyaannya.
“Nak, cek kabel dinamonya! Kerjakan yang terbaik!”
Dua siswa langsung menggelar kardus bekas dan masuk ke kolong mobil, ngecek kabel. Hamdalah, mobil gak jadi mogok, tidak perlu didorong, starter berfungsi lagi.
“Alhamdulillah,” kata saya, “Para dosen ini tidak jadi malu, tidak perlu mendorong mobil.” Tawa mereka meledak di halaman.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Bangkalan. Tapi, sebelumnya, kami masih ambil bonus, nyalase alias ziarah ke Makam Sunan Cendana, cucu Sunan Drajat, penghulu para kiai di Madura, yang ada di depan pasar Kwanyar. Tahlil pendek saja di situ, shalat jamak di masjidnya, dan kami pergi ke Bangkalan saat azan asar baru berkumandang.
Tepat pukl 15.40, kami sudah tiba di lokasi, komunitas Masyarakat Lumpur, yang berlokasi di seberang jalan SDN 1 Kemayoran, Bangkalan. Mata yang sudah ngantuk jadi kembali bergairah karena diskusi buku saya direspon dengan baik oleh para peserta. Mungkin para hadirin yang bergairah dan juga moderator, Mas Joko, yang bisa menghidupkan suasana, asyik dalam memandu acara. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur. Semunya berjalan dengan asyik. Hingga tak terasa, hari semakin sore, matahari kian surub, maghrib pun datang.
Saat pulang, ada bunyi gludak-gluduk di kaki-kaki sebelah kiri. Saya menduga itu kancing kampas rem, soalnya ia bunyi hanya kalau ngerem. Tapi, saya kecurigaan berubah manakala saya sadari, bunyi-bunyi gemelodak juga terdengar kalau ketika roda menghajar jalan berlubang. Demi menutup keraguan, akhirnya kami cari bengkel untuk memastikan kondisi kaki-kaki kendaraan. Walhasil, kami mampir di rumah bengkel Cat Mat, persis sebelah timur jembatan Tanahmerah, selatan jalan.
“Sebetulnya, kami enggak kerja kalau jumat,” kata mas montir yang sedang membuka ban depan dan memastikan kalau ternyata bukan kancking kampas rem yang bermasalah, melainkan baut atas lengan ayun yang kurang kencang.
“Ya, kami juga maaf, merepotkan.”
“Iya, Cak Mat tadi bilang, tolong dilayani, kasihan, orang Sumenep, mau pulang.”
Sembari diperbaiki, kami shalat. Acara selesai dalam waktu 30 menit. Mengencangkan baut itu sebetulnya pekerjaan mudah dan cepat, sih, tapi karena posisi bautnya ada di dalam, di balik lengan ayun atas (swing arm) maka semua ‘rintangan untuk menuju ke sana’, termasuk balljoin dan tierod, harus dilepas dulu. Inilah yang bikin lama, padahal mengencangkan bautnya paling-paling butuh waktu cuma 2 menit saja.
Akhirnya, kami pulang sekitar pukul 20.00. Dan saya tidak mampu lagi mengemudi seusai isi premium di SPBU Jrengik. Fatih pun dengan terpaksa yang ambil kendali.
“Bisa nyetir mobil ini, kan, Tih?” tanya saya.
“Saya takut, takut nyenggol.”
Ah, jalan saja, pelan-pelan.”
Namun, saat Fatih masuk ke kokpit dan siap menjalankan mobil, ia bertanya, “Waduh, ini gimana cara menyalakan lampunya?”
“Ha, ha, ha.”
Saya tertawa. Pemula memang harus banyak tanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar