Pembaca

13 November 2019

Empat Kilometer, Limabelas Menit, Banyak Kegalauan



Ini kisah perjalanan saya beberapa tahun yang lalu, kira-kira dua tahun yang lalu mungkin. Tanggal dan bulan persisnya saya lupa, lupa tidak dicatat. Sayang kalau tulisan ini ngendon di hardisk, saya publikasikan saja.

* * *

Selepas isya, saya dan istri pergi ke Ganding. Ini adalah kota kecamatan yang setingkat lebih ramai ketimbang 'kota' saya, Guluk-Guluk. Jika di LG (begitu Pak Agus Zainal Arifin menyingkatnya) hanya ada penjual bakso setelah isya (lainnya tutup sebelum maghrib), di Ganding lebih maju: ada ATM dan penjual lalapan, lapangan futsal, dan maret-maret gitu.

Baru 10 meter keluar pagar rumah, Colt saya dihadapkan pada cekungan jalan yang andai ada sepeda motor tanpa lampu melintasinya dengan kecepatan 50 km/jam, taruhannya adalah jatuh. Kubangan ini jelas disebabkan oleh truk molen tronton yang tempo hari wira-wiri di sini, buat ngecor proyek PLN 30 Kwh di Gardu Induk Guluk-Guluk. Kok menuduh dia? Lah, soalnya, sebelumnya, jalan ini baik-baik saja. Ia rusak persis setelah si bongsor itu mewira-wirinya. Hebatnya, habis merusak begitu, dia pergi begitu saja, kayak cowok tidak bertanggung jawab.

Maju sedikit lagi, kengawuran manusia meraja lele, eh, lela. . Saya kepergok Innova yang menyalakan lampu hazard, parkir,  tapi lampu utamanya dibiarkan menyala. Kejadian seperti ini sering terjadi. Sopirnya jelas tidak tahu aturan bagaimana cara parkir yang benar di badan jalan. Saya berburuk sangka, “SIM-nya hasil nembak, hasil beli, enggak pakai ujian.” Tapi, orang seperti ini tidak bisa disalahkan, karena dia akan menyalahkan balik dengan, misalnya, “Lah, aku dulu waktu dapat SIM-nya tidak diajarin begitu, kok!”. Maka, biarkan saja dia terkubur dalam egosentrismenya.

Sampai di pertigaan Berpenang, ada gerombolan anak muda nongkrong di got. Apa salahnya nongkrong? Salah, dong, jika... Begini saja...  Meskipun tidak menghadang atau mengganggu orang yang lewat di tengah jalan raya sebagaimana polisi tidur yang dibangun suka-suka oleh masyarakat di jalan umum, tapi kehadiran mereka secara bergerombol dan nongkrong itu sangat mungkin bisa membuat cemas orang yang mau melintas, lebih-lebih jika yang melintas adalah seorang perempuan, sendirian, naik Scoopy. Pasti keder dia menghadapi serombongan anak muda bergerombol begitu. Maka, akan semakin apes lagi kalau masih digoda-goda pula.

Sampai di Gurmate, kira-kira 1900 meter perjalanan dari rumah, saya berpapasan dengan sedan Timor. Oya, saya tiba-tiba ingat sesuatu. Cowok-cowok itu biasanya suka nyari “yang putih dan tinggi”. Tapi, kalau kalau dikasih lampu sedan Timor “yang putih dan tinggi” ini, pasti mereka bersungut-sungut dan maki-maki.

Tiba di Ganding, saya parkir di seberang rumah Huzaimi. Baru keluar dari mobil, ada Pak Amin menghampiri, mengelus-elus mobil Colt saya sambil memuji, “Ndak pernah mogok, ya, mobil ini?”. Ini contoh pujian yang berlebihan, pujian yang menyakitkan. Saya agak emosi, “Ini baru saya bawa ke Jogja, ndak ada masalah. Apalagi kalau cuman dibawa ke Jawa. Jogja itu lebih jauh dari Jawa” (Orang di sekitar kami biasa menyebut Jawa itu untuk Jember atau Situbondo, area Tapal Kuda).

Percakapan berlangsung beberapa menit. Dan selama rentang waktu saya bercakap dengannya itu, saya melihat banyak peristiwa menarik yang perlu saya tulis.
  1. Di depan toko H. Huzaimi ini, ada orang jualan Martabak Bandung. Namanya “Martabak 46” (angkat 46 pakai font Serpentine, seperti font Valentino Rossi). Saya langsung tertawa mengingat Huzaimi itu penggemar berat Marc Marquez, musuh bebuyutannya. Orang terlalu benci sesuatu terkadang memang suka disamperin sama yang dibencinya itu.
  2. Ketemu sama Amin Qutbi naik bebek otomatis,  agak ngebut. Gawat, ia ngerem mendadak hanya karena melihat saya berdiri di sana. Ternyata, cuman mau salaman, lalu mencelat lagi dengan begitu cepatnya. Coba kalau ada sepeda motor yang membuntutinya, pasti sudah dia kena tabrak.
  3. Saya melihat seseorang (masih famili) yang nyopir Suzuki Carry, belok kiri. Apakah dia hendak ke Prenduan atau ke Guluk-Guluk, itu tidak saya urus. Yang saya perhatikan hanya bahwa dia tidak menyalakan lampu sein. Coba bandingkan dengan Man Iyad yang menyusulnya beberapa detik sesudahnya, datang dari arah barat. Nah, beda sekali. Beliaunya ini selalu tertib berlalu lintas. Seinnya pasti menyala.
  4. Sesudah itu, ada mobil pikap penuh stiker bernuansakan cabai melintas, ngebut.  Apakah mobil pengangkut cabai itu memang harus ngebut meskipun di pertigaan yang tanpa lampu lalu lintas seperti di Ganding ini? Andai saja ada orang yang motong jalur dari selatan, pastilah satu atau keduanya langsung masuk Puskesmas yang letaknya persis di pojok perempatan itu.
  5. Sebuah Honda Mobilio datang lalu parkir di jalan, agak ke tengah, tidak turun dari aspal. Lampu depannya menyala, tanpa hazard. Sopirnya membunyikan klakson bertubi-tubi, berkali. Saya paham, klakson ini adalah isyarat panggilan, mungkin memanggil seseorang yang rumahnya ada di dekat situ dan sudah janjian. Tapi, coba pikir, kita-kita ini kan tidak tahu dia manggil siapa? Kok kita harus terima resiko menikmati kebisingannya? Andaikan ‘suara’ klaksonnya itu seperti suara Sundari Sukoco atau Melly Goeslaw kan mendingan. Lah, ini cempreng banget. 

Saya beridiri di situ mungkin hanya sekitar limabelas menit. Sudah begitu banyak yang saya saksikan. Saya berempati, andaikan ada pak pulisi lantas di sana, betapa stres dia harus menyaksikan peristiwa-peroista yang harus ditanganinya itu hanya dalam waktu sekejap saja. Maka, untunglah saya tidak ditakdikrn menjai pulisi lantas.

Saya tidak bisa menuliskan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi setelah itu karena Pak Amin sudah pergi, Huzaimi enggak nongol-nongol, dan istri saya sudah selesai beli-beli. Kami pun pulang, kembali ke rumah, sembari saya berpikir betapa keributan yang berkecamuk di dalam pikiran barusan tadi harus dituliskan agar orang-orang pada tahu: begitu banyak hal yang menyebalkan di jalan raya ini kalau kita mau memperhatikannya.  Tapi, siapa mau peduli? Sudah bikin pening, tidak dibayar pula.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...