Pembaca

22 Agustus 2019

Diseruduk Truk Garam

Inilah laporan lengkap laka (kecelakaan) lantas (lalu lintas) yang saya alami pada Selasa, 20  Agustus 2019. Sejak saya belajar mengenali mesin sejak tahun 1987 (kelas 6 SD) dan baru dapat izin jalan ke jalan raya setelah punya SIM di tahun 1997 (sepuluh tahun kemudian), ini adalah kejadian laka pertama di jalan raya yang saya alami selama 32 tahun pegang kemudi.  Jangankan sampai nabrak, bikin kesalahan sampai ditilang pun saya tidak pernah. Saya sadar, saya manusia, bukan Dewa. Beginilah nasib, beginilah manusia.

***

Selasa siang, 19 Agustus 2019, tepatnya pukul 13.00 lewat sedikit, kami—saya dan istri; Abdullah dan istri serta kedua bayinya; dua orang penumpang lain—bertolak dari Sampang, pulang menuju Sumenep. Hari itu, kami pergi berziarah ke dua orang (kakak beradik, sama-sama bujangan) yang datang dari tanah suci  Mekkah, usai menjalankan ibadah haji. Dua orang (suami istri) yang kami ziarahi juga ada di Taddan, masih dekat kota Sampang. Kami meninggalkan Taddan pada pukul sekitar 14.40.

Mendekati warung makan Asela, sebuah rumah makan yang berada di tepi laut, saya mendahului truk bermuatan garam. Ada sepeda motor berboncengan, membawa tangga lipat. Saya bilang ke Aploh, nama panggilan Abdullah, si sepupu yang duduk di depan yang momong anaknya. “Tangga ini berbahaya, semestinya diangkut mobil pikap tapi cuma dipegang sendiri. Sangat berbahaya karena pasti dia sulit mengatur keseimbangan.”

Beberapa puluh meter mendekati warung itu, tampak lampu merah menyala, dari mobil yang ada di depan saya. Saya pun ikut ngerem perlahan sambil mendahului pengendara sepeda motor itu. Ketika mobil saya sudah berhenti, baru kelihatan oleh saya: sebuah mobil Avanza Veloz (belakangan diketahui nomor polisinya: M-1632-BR) yang berada di ujung depan, sein kanan, hendak masuk ke areal parkir warung, tapi tertahan karena menunggu arus lalu lintas yang terus berdatangan dari arah depan (dari arah timur). Di belakangnya ada Avanza hitam tipe G (M-1321-NH); di belakangnya lagi ada Xenia. Posisi Colt saya ini berada di belakang Xenia (L-1423-DB) itu.

Dalam beberapa detik kemudian, terdengar bunyi barang terjatuh, atau orang ambruk. Dan hanya dalam sepersekian detik berikutnya, saya melihat dari spion kiri: sepeda motor terjatuh, orangnya tidak kelihatan. Baru saja terbersit pikiran; ‘Duh, yang barusan bawa tangga itu!’, mungkin kurang dari sedetik sesudahnya, tiba-tiba mobil saya berguncang hebat, melonjak ke depan, diiringi bunyi benturan sangat keras. Semua penumpang kami berteriak histeris. Yang saya ingat, ada bayi di kursi belakang dan dua orang perempaun. Sedangkan ibunya duduk di tengah, bersama istri saya. Bayi yang satunya lagi dimomong ayahnya, di depan, bersama saya.

Orang-orang datang, berhamburan. Setelah saya pastikan tidak ada apa-apa, mobil mau saya pinggirkan, tapi tidak bisa memasukkan persneling karena lantai di bawah nyundul, menahan kopling. Akhirnya, saya masukkan gigi persneling lebih dulu (agak susah memang) dengan cara mematikan mesin lebih dulu, baru starter dan langsung jalan tanpa kopling, sembari mencari tempat parkir.

Kami segera turun, pintu depan agak sulit dibuka, harus dipaksa, mungkin dampak benturan keras tadi. Kaca belakang mobil saya sudah tak ada lagi. Kaca mata si Abdullah terpental entah ke mana. Peci hitam saya jatuh tidak diketahui ada di mana.

Setelah saya turun dari mobil dan cek lokasi, barulah saya tahu kalau mobil saya diseruduk truk bermuatan garam itu, sehingga mobil saya menabrak Xenia, dan Xenia nabrak Avanza, sedangkan Avanza tidak nabrak apa-apa karena Avanza Veloz silver tadi baru saja parkir ke halaman rumah makan.


Sopir truk yang ber-tagline “Putra Hidayat”, bertuliskan merek dagang “Tuan Muda”, berplat nomor M-9058-UN ini, mojok bersama entah siapa, kenalannya mungkin. Pemilik kendaraan yang lain masing-masing ngurus kendaraanya sendiri, memeriksa kerusakan. Menurut pengakuan sopir, ia mengangkut 14 ton garam dari Pangarengan (Torjun) dengan tujuan PT Budiono (Baranta, Pamekasan). Ia mengaku, truk itu bukan batangannya, ia hanya sopir wakil atau pengganti. Dia sudah ngerem (tapi menurut warga, mungkin saja terlambat mengerem karena suatu hal, seperti karena sedang kurang konsentrasi). Akan tetapi, intinya, truk Mitsubishi Canter itu tidak mampu melakukan pengereman dalam jarak dekat dengan muatan overload (yang menurut standar maksimalnya antara 7-8 ton khusus tipe Super HD). Kesimpulan pertama: “Nyeruduk karena tidak mampu mengerem bukanlah takdir karena takdir selalu bersamaan dengan ikhtiar. Adapun sengaja mengangkut muatan melebihi kapasitas adalah tindakan tidak melakukan ikhtiar, apalagi—misalnya—dia hanya sopir pengganti, lebih-lebih jika misalnya diketahui bahwa ia sedang menelepon atau melakukan aktivitas lain yang mengurangi konsentrasinya.

Ketika kami sedang menunggu kabar pertanggungjawaban dari si sopir truk yang menyatakan bahwa ia juga sedang menunggu pak bos-nya tapi tidak kunjung datang, bahkan polisi pun datang-datang juga, rasa bosan mulai datang. Tiba-tiba, ada seseorang yang mendekat, lalu bertanya.
“Tabrakan dengan apa?”
“Mobil saya diseruduk truk, lalu terjadilah tabrakan beruntun.”
“Oooo Panjenengan dari mana?”
“Dari arah Sampang, mau pulang.”
“Apakah Panjenengan Keh Faizi?”

Saya mengamati orang itu, merasa heran karena tidak kenal, dan tidak pernah melihatnya. Saya jawab, “Betul. Kok Anda tahu?”
“Soalnya, ini Colt-nya ada tulisan Pariwisata-nya dan ada benderanya!”

Saya merasa lucu terhadap jawaban itu. Kami tertawa.
“Anda sendiri, siapa?” Saya balik bertanya.
“Saya Faad. Teman Facebook Panjenengan.”
“Ooo, iya. Benar, ada nama Faads Maushuf dalam daftar teman. Akhirnya, kita dipertemukan di sini, gara-gara laka lantas.”

Satu per satu, kenalan dan kawan saya berdatangan. Ada Pak Jumali yang rumahnya persis di seberang jalan warung Asela itu dan kebetulan anaknya juga murid saya. Ada juga famili: Mahrus, Man Mulki, Lutfi, dll. Di antara mereka ada yang menyediakan tempat istirahat, membelikan air, dll. Saya bersyukur, meskipun tertimpa kena musibah, tapi rasanya seperti di depan rumah: tenang dan aman, lebih-lebih karena tidak ada korban jasmani serius dalam laka ini, kecuali kendaraannya.

Matahari sudah turun, hampir terbenam. Waktu sudah pukul 5 sore lewat dan saya belum shalat. Izin kepada seorang pemilik toko, saya numpang kamar kecil dan mushalla yang terletak di belakang tokonya. Seusai shalat, kedua korban laka tadi (Avanza dan Xenia) ternyata sudah bubar. Karena hari sudah mulai gelap, ketika orang-orang pada bubar (saya tidak tahu bagaimana rundingan pemilik kedua mobil dengan si perwakilan pemilik yang sudah datang karena mereka sudah pergi ketika saya shalat ashar), si Faad ini menawarkan diri untuk membantu saya meneruskan masalah ini ke Lakalantas.

Setelah dirembuk dengan si pemilik truk, kami pun sepakat untuk ke kantor Polsek Kota Sampang. Saya naik sepeda motor sementara mereka naik (mungkin) Avanza W-1266-PR. Kami sempat mampir di Masjid Nur Inka, Taddan, untuk shalat maghrib untuk selanjutnya menuju kantor Polsek Kota Sampang. Di perjalanan tadi, jalan macet karena ada kebakaran di Camplong. Terbersit pikiran, “Di atas musibah masih ada musibah,” kata saya dalam hati.

Anehnya, kantor bagian Lakalantas sepi, tidak ada orang, kecuali tiga atau empat orang si pemilik truk tadi.  Muncul lagi suara dari kedalaman batin, “Dua tahun yang lalu, di tempat ini, saya diundang Radar Madura kerjasama dengan Polres Sampang, menyelenggarakan diskusi keselamatan berkendara di aula ini, sekarang saya yang butuh bantuan mereka untuk mendapatkan keadilan, ternyata nasib saya kurang baik, sepi tak ada orang.” Saya tidak tahu, petugas yang berjaga di depan hanya menunjukkan tempat ini, tapi ternyata tidak ada orangnya, kecuali masih saja orang-orang yang itu tadi, tiga orang perwakilan perusahaan.

“Mari, kita rembukan di Pendopo Wakil Bupati Sampang saja”, ajak salah satu dari mereka. Meskipun tetap merasa aneh dengan ajakan itu, saya manut saja. Tadi saya sudah mengajukan permohonan agar sebelum ada rembukan dengan kepolisian, mestinya ada olah TKP dulu, tapi diajak ke lakalantas lebih dulu, kini malah diajak ke kantor wakil bupati. Tetap saja saya ikuti.

Singkat cerita, masalah diselesaikan di sana. Pemilik truk berkata, “Saya hanya sanggup mengganti uang 1 juta rupiah. Kalau mau silakan.”
Tentu saja saya kaget dengan nominal itu, tapi saya jawab saja begini: “Sampeyan sudah tahu kondisi mobil saya. Saya terima uang itu.” Hanya itu jawaban yang saya katakan, sebab tidak mungkin menuntut lebih tinggi lagi karena dia sudah menyatakan ‘kalau mau silakan’. Rasanya, firasat saya, percuma saya menuntut lebih tinggi lagi karena sejatinya dia tahu betul kondisi ringsek mobil saya, Xenia, serta Avanza itu, pada saat kami semua memang tidak bersalah.

Akhirnya, kami bersalaman. Orang tadi, bersama rombongannya, pergi. Tinggallah saya dan Faad dan seorang lelaki lain—yang ternyata masih ada hubungan saudara dengan si pemilik truk dan sekaligus bersaudara dengan Faad—yang ada di situ, serta beberapa petugas yang berjaga-jaga. Sambil menghisap sebatang rokok yang sangat berasa pahit karena tidak ada kopinya, saya mengingat-ingat momen lucu tadi sore, saat si pemilik truk datang bersama kawan-kawannya.

Percakapannya agak lucu. Maklum, si pemilik tampak sedikit naik pitam karena ditodong untuk bertanggung jawab oleh si pemilik Avanza (yang penumpangnya banyak) dan si pemilik Xenia (yang kayaknya cuma berdua saja). Sementara saya diam saja, menyimak pembicaraan saja. Salam satu bagian dari percakapan yang saya ingat adalah sebagai berikut:

“Jadi, gimana ini?” tanya si pemilik truk.
“Ya, kami mau minta ganti rugi,” yang menjawab bapak dan ibu, penumpang Avanza.
“Saya khawatir, sampeyan semua minta ganti ke saya!” kata si empunya truk diplomatis.
“Lah, memang iya, memang mau minta ganti ke siapa?” Yang menjawab ini seorang bapak tua dan seorang perempuan, bersamaan.
“Logikanya mesti begitu, Pak!” kata si pemilik Xenia menimpali, menjawab dengan bahasa Indonesia karena dia orang Sidoarjo, sementara yang lain sama-sama orang Madura.

Sedikit panik, si pemilik truk berkata lagi: “Sampeyan (menunjuk si pemilik Avanza) ditabrak yang ini (menunjuk kepada si pemilik Xenia). Dan yang ini ditabrak Sampeyan (menunjuk ke saya), dan terus semuanya minta ganti kerugian ke saya semua.
Memang aturannya kan begitu?” Satu suara terdengar nyeletuk.
“Terus, saya mau minta ganti ke siapa? Padahal truk saya kan juga rusak?”

Sampai di sini saja, saya langsung lemes. Bagaimana cara menalar logika si Bapak ini. Wong semua mobil sudah berhenti dan tidak ada yang berhenti mendadak. Semua saksi tahu itu. Truknya juga bermuatan overload, ditambah melaju agak kencang. Kok bisa muncul pertanyaan retoris seperti itu?

Itulah lintasan-lintasan pikiran yang datang dalam kepala saya. Capek iya, sedih iya. Makin runyam jadinya kalau percakapan tadi sore itu terus saya ingat. Makanya, saya segera ajak Faad untuk pulang saja. Akhirnya, dengan sisa tenaga yang masih tersisa, saya duduk di sadel sepeda motor Faad dan pulang. Faad menurunkan saya di lokasi. Saya menjalankan mobil dengan cara menaikkan kopling lebih dulu sehingga bisa buat jalan.

Mobil saya bawa ke Masjid Al-Munawwar, ke rumah Man Mulki. Saya shalat dan istirahat di sana. Setelah agak malam, sekitar pukul 22.00, barulah jemputan datang. Adik saya bawa mobil untuk mengawal karena lampu depan Colt saya, meskipun menyala, tapi terlalu terang dan membahayakan pengendara yang datang dari arah depan. Dengan dikawal mobil di depannya, cahaya lampu mobil saya tidak kena langsung mata pengendara lawan arah, tapi kena ke belakang mobil adik saya yang selalu mengawal saya di depan. Pukul 00 kurang sedikit, mungkin lima atau dua menit, tibalah saya di rumah. Sebelum tidur, saya langsung menulis laporan ini.

Hati-hati di jalan!
Sekian dan terima kasih.

LAMPIRAN FOTO-FOTO:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...