Pembaca

06 Agustus 2019

Bersafari ke Taman Safari


Dalam perjalanan dari Ampel menuju Bangkalan, mata saya sudah berasa panas. Saya istirahat sejenak di rumah adik, dekat Plaza Bangkalan. Saya taksir, saya tidak akan kuat kalau dipaksa pulang ke rumah. Soalnya, istirahat di Sukorejo (rumah Agus dan Pasuruan, arah Malang) cuma 3 jam dalam semalam. Makanya, setelah saya menjumpai Ibu yang sudah 15 hari lamanya tinggal di rumah adik perempuan saya itu, sekiranya sudah pulih, saya akan lanjut ke timur, pulang.

Ternyata, ibu membuatkan saya kopi: ini peristiwa langka karena biasanya saya memang bikin kopi sendiri. Saya tidur dan bangun pukul 22.34: cuci muka, menghabiskan kopi, dan pamit.

Dengan mata berbinar-binar, saya menempuh perjalanan 125 km ke timur dengan perasaan lega dan tenang. Di SPBU Tangkel, saya isi bensin 50.000 setelah tadi ngisi 100.000 di area istirahat di tol, soalnya, malam Sabtu esoknya, saya harus jalan lagi ke Pamekasan dan diperkirakan pulang tengah malam. Biar tidak repot, isi saja dulu sekarang.

Namun, di penghujung cerita, setelah berhasil menanjak ke Taman Safari, setelah meliak-liuk di jalan arteri, setelah mampir sana mampir sini, kira-kira kurang 1 kilometer dari rumah, selepas perempatan Sumber Pinang, setelah jalan menurun panjang dari Pangurai, baru saja belok kiri, tiba-tiba mobil mati. “Waduh, ini tokoh cerita bikin keki!” bisik saya di dalam hati.

Colt Pariwisata ini saya starter, tetap ngadat. Saya cabut selang, distarter, ternyata bensin tak muncrat. Diambillah postulat: membran tidak mampu menghisap. Mungkin disebabkan bensin di filter sudah asat. Kemungkinan lain adalah karena selang bocor tidak kedap sehingga pompa pun megap-megap.  Untung saja saya tenang, tidak kalap, keder juga, sih, karena tempat ini sedikit senyap, apalagi memang malam Jumat.


Bagaimana kelanjutan ceritanya? Tunggu di akhir catatan. Sementara, kita kembali dulu ke cerita pembuka....

*** 

Arti frase “bakda isya” itu mengambang, tapi tetap saja diucapkan dan dipercayai oleh orang-orang di sekitar saya. Yang dipahami umum, waktu itu adalah 19.00-19.30 (untuk zona WIB), tapi hingga pukul 20.00, Agus, orang yang saya tunggu, belum nongol juga. Baru pukul 20.14 dia datang.

Kok bisa? Dia nunggu saya ngajak, saya nunggu dia muncul. Itulah masalahnya. Dan semua itu pakai kata kunci bakda isya.

Malam itu, Rabu malam Kamis, 31 Juli 2019, saya pergi ke Krajan, Sukorejo, Pasuruan. Tujuan awalnya adalah ke Ampel, Surabaya. Namun, karena kebetulan si Agus ini mau pulang ke rumah mertuanya di Sukorejo, dibuatlah rencana sampingan: ikut dia ke sana. Adapun rencana menyamping di samping sampingannya adalah; pergi ke Taman Safari mengingat rumah dia, katanya, dekat dengan TKP.

Malam itu, Jalan Nasional 21 Madura sisi selatan terbilang sepi. Laju Colt bisa agak kencang sehingga pukul 21.39,  kami sudah masuk kota Sampang.  

Di perjalanan, saat parkir di sebuah toko, saya merasakan kondisi mesin kurang stasioner pada saat idle (lepas gas). Saya merasa heran, ini tumben. Baru diketahui belakangan (setelah esai ini ditulis) kalau ternyata gelang karet yang memperantarai karburator dengan tutupnya telah raib. Rupanya, tempo hari saya melepas dan lupa tidak memasangnya kembali. Celakanya, saya juga lupa telah meletakkannya di mana.

Di tempat istirahat tol Perak-Gempol, dekat Sidoarjo, saya isi premium, 70.000, dengan pertimbangan agar besok tidak perlu masuk SPBU lagi. Kami rebutan bayar ke petugas. Saya menyodorkan uang seratus ribuan, Agus menyodorkan uang 50.000 + 20.000, pas. Baik, saya mengalah saja. Petugas mengambil jumlah yang pas.

Setelah melewati Masjid Besar Al-Mukhlasin Sukorejo yang terkenal itu, kami tiba di tempat tujuan, berada di sisi barat garasi bis PO Tunas Bangsa, pada pukul 01.08. Kalau tidak salah hitung  odometer, jarak dari rumah saya ke tempat Agus ini adalah 201 kilometer. Jam segitu, penghuni rumah yang besar ini sudah pada tidur. Kami turun dari mobil dan dipersilakan naik ke lantai atas.

Pukul 08.20, esoknya, Kamis, 1 Agustus 2019, setelah sarapan pagi, kami berangkat menuju lokasi. Sempat mampir kami ini di Masjid Al-Mukhlasin, semacam setor jempol di mesin presensi tapi ini pakai jidat nempel di lantai. Hanya sebentar di sana, sekadar merampungkan shalat tahiyat dan duha, kami cus ke Taman Safari Prigen (TSP).

Sejauh ini, saya kira, lokasi Taman Safari tersebut tidak jauh dari pintu masuk utama yang gapuranya bersimbolkan dua gading gajah beton. Asumsi ini sama persis manakala saya berkunjung ke Taman Nasional Baluran, sehabis Ramadan lalu. Ternyata, jarak dari jalan raya ke pintu masuk itu berkisar 7,5 km. Jarak ini sama dengan jarak dari Jalan Nasional ke rumah saya.

Sesuai janji yang kami sepakati sebelumnya, kira-kira 4 kilometer menjelang lokasi, saya bertemu dengan Muzammal Noer, seorang sahabat yang sudah lama tidak bersua. Sudah sejak lama pula saya menyatakan ingin menyambanginya, persisnya setelah dia pernah membantu ngurus kemah siswa-siswa di Kaliandra. Keinginan itu baru terkabul sekarang. Ya, keinginan selalu terkabul, tapi terkadang kita menguburkannya sebelum ia datang hanya karena bosan menunggu pengabulan.

Jalan menuju lokasi  menanjak dan kelak-kelok.  Ada beberapa titik yang diwanti-wanti, seperti lewat plakat yang berbunyi: “Gunakan Gigi 1”. Di bawah, bahkan ada tulisan “Pastikan Kendaraan Anda Laik Jalan”. Merasa penting menanggapi ini, saya bilang, “Agus, plakat ini kayaknya nyinggung mobilku, ya?”
“Ngenyek dia,” balasnya.
“Tidak masalah kalau cuman menyinggung, yang penting yakin kalau aku tidak perlu tersinggung.”

Setelah beli tiket, saya memarkir mobil. Temperatur suhu mesin di atas setengah, ngeri. Ini kiamat kecil bagi Colt, beda dengan mobil sejenis Kijang yang kontrol suhu mesinnya memang ada di tengah dalam kondisi normal, atau seperti Grand Livina yang malah tanpa penanda di saat suhu mesin dalam status aman. Panas mesin mestinya tidak sampai 90 derajat celcius—suhu yang  sudah pas untuk memasak kopi—begitu mengingat suhu alamnya dingin. Dalam kondisi wajar, mesin Colt saya sudah teruji: dibawa lari 80-90 km/jam dalam jarak hampir 30 kilometer secara maraton, ya, normal-normal saja. Saya menduga, penyebabnya—antara lain—adalah karena pengaturan konsumsi BBM yang terlalu irit, RPM selalu tinggi  sedangkan kecepatannya sangat rendah.

Tadi sempat ada sedikit kejutan. Dua kali momen ‘dramatis’ itu terjadi. Ada saat yang mestinya saya menurunkan gigi dari 3 ke 2, tapi karena ada masalah pada percepatan—belakangan diketahui setelan persneling saja yang kurang pas—terpaksa harus masuk gigi 1. “Ya, terpaksa dilakukan meskipun ini sangat berat,” pikir saya, sebab kami harus nanjak sampai puncak.

“Petugas penjaga tiket tuh ada yang nyuting,” kata Agus lagi.
“Ah, masa?”
“Iya, dia nyuting pakai ponselnya.”
“Barusan ada yang nanya, ‘dari Madura, ya?’ Kok plat M kata dia?” terdengar suara Muzammal menimpali setelah dia memarkir sepeda motornya dan bersiap naik mobil bersama kami.

Saya melipat jok depan dan mulai memerciki air ke radiator. Mesin saya nyalakan lagi. Langkah ini adalah sejenis “kompres cepat” agar suhu mesin segera turun karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan lagi di dalam Taman Safari.

***
Pohon-pohon pinus menyambut di pintu masuk, berjejalan dan menjadi tumbuhan utama. Perasaan senang tiada tara terlontar dari kedua mulut anak saya yang duduk di kursi paling belakang (lantas saya ingat sama kedua anak lainnya yang tinggal di rumah, tidak ikut serta karena alasan tertentu sehingga rasa senang pun berubah sedih sebentar) manakala mulai melihat penampakan binatang-binatang khas Eropa mulai tampak di depan mata. Ada yang mendekat, ada yang bermalas-malasan.

Kami benar-benar merasa ada di alam bebas begitu melihat binatang-binatang buas yang selama ini hanya ada di gambar atau tivi atau di dalam kerangkeng di kebun binatang, kini benar-benar seperti di dalam rimba. Ada rusa, kalkun, gajah, beruang, rusa. Ada pula binatang yang terbilang asing, seperti nilgai, llama, eland, scimitar oryx, dll. Binatang Australia, kanguru, serta penguin, tidak saya lihat.

Perjalanan menempuh 6,7 km jalanan naik-turun di dalam hutan itu menghabiskan waktu satu jam lebih mengingat laju mobil hanya 5 km/jam. Adakalanya mobil-mobil berhenti, lalu jalan lagi ketika ada binatang buas yang mendekat. Memang begitu aturannya. Yang penting, jangan sampai buka kaca, khususnya di area karnivora, habislah riwayat kalau sampai mereka masuk ke kabin kita.

Tiket masuk Taman Safari Prigen ini relatif mahal. Untuk tiket “kelas rusa” (ini hanya istilah saja) adalah Rp105.000 (usia 5-10 tahun) dan 110.000 (dewasa). Jika mau nambah permainan-permainan anak, kita harus merogoh kocek lagi, 50.000, atau pesan tiket kelas “badak”, Rp135.000, yang punya fasilitas lebih banyak. Sedangkan tiket “kelas gajah” adalah 160.000 dan kelas inilah yang dapat membuat pengunjung boleh menggunakan hampir semua fasilitas di TSP. Saran: Sebisa mungkin, datanglah bukan pada hari Sabtu-Minggu, seperti yang saya lakukan ini, yaitu pada hari Kamis. Di samping tiketnya bisa dapat potongan (Rp80.000 untuk “kelas rusa”), para pengunjung pun tidak ramai. Sudah jelas, sensasi ketenangan hutan akan jauh berkurag kalau terlalu banyak orang. Dan bagaimanapun, tiket termurah pun tetap berasa mahal bagi warga masyarakat seperti saya yang untuk sampai ke tempat ini harus menunggu lama nabung dan cari kesempatan. Ia jadi murah ketika kita senggang dan ada orang yang mentraktir tiketnya, he, he, he.

Ada hal penting yang perlu dicatat: kalau mau ke Taman Safari Prigen, ada baiknya Anda mencari sejenis “Agus” atau “Muzammal”, yaitu orang yang rumahnya dekat lokasi sehingga Anda bisa bermalam di rumah mereka dan masuk ke lokasi sepagi mungkin, pukul 8. Kalau datang dari rumah dan langsung ke lokasi, khawatir Anda mampu tapi anak-anak sudah capek duluan sehingga cepat loyo untuk mengitari lokasi yang sangat luas tersebut. Saya yang masuk pukul 08.15 dan keluar hampir pukul 13.00 saja cuma mampu mengawal anak-anak bermain sekitar 10 dari 22 permaianan yang tersedia. Pasalnya, ada pertunjukan dan wahana yang tidak buka pagi, melainkan siang, seperti pertunjukan gajah (pukul 11.00) dan pertunjukan lumba-lumba (pukul 13.00). Butuh nyaris setengah hari untuk menikmatinya. Bagi Anda yang tidak mau bawa kendaraan sendiri, Anda dapat naik bis atau mobil gratis milik Taman Safari, begitu pula bagi mereka walaupun bawa mobil sendiri tapi khawatir catnya tergores manatahu ada harimau iseng yang mencakarnya.

Dalam perjalanan pulang, kami ikut Muzammal, mampir di rumahnya, sekitar 2 kilometer dari lokasi. Dana belum keluar dari kocek, eh, ini masih ada layanan makan siang gratis lagi. Tidak terbayang berapa jutanya kalau harus sewa hotel dan sarapan paginya di restoran. Secara normal, kayaknya saya, kok, enggak mampu, deh. Hamdalah, lengkap sekali kami mendapat anugerah:  sudah serba-gratis, masih diberi sehat dan sempat. Kalau ingat ini, rasanya tidak masuk akal kalau masih berani nakal-nakal beribadah.

Mestinya, dari rumah Muzammal, kami langsung pulang, menuju Surabaya, sedangkan si Agus kembali ke Sukorejo. Tapi, karena ada iming-iming es duren dari Agus dan pesanan undangan nyicipi Bakso Tetelan Cak To di Sidoarjo, rencana berubah di tengah jalan. Kami kembali ke Sukorejo, menikmati sajian es dari Resto Duren, lalu balik ke utara, pulang lewat arteri Porong, menuju kota Sidoarjo.

Senja itu, kami sekeluarga (dan Agus sekeluarga, bawa mobil sendiri), tiba di Warung Bakso Tetelan “Cak To” yang lokasinya ada di selatan GOR Delta dan sedianya baru soft opening di hari Jumat, 1 Agustus 2019. Kami diservis bakso yang bagi saya agak asing karena mi-nya model lebar dan mangkok penuh sayur, ada kacang sanghai-nya juga. Enak, ya, iyalah. Sudah gratis masa’ bilang enggak?

Tidak lama saya di sana, hanya sepeminuman kopi dan semangkok bakso. Kopi dan bakso memang enggak nyambung, tapi bisa disambung-sambungkan karena warung bakso dan kafe berdempetan. Yang pasti, kafenya berpenyekat dan ada di ruang terpisah, sehingga ketika pengunjung nyeruput kopi tak akan terpapar aroma bawang dan seledri.

Dari Sidoarjo, saya meluncur ke Pegirian, menuju makam Sunan Ampel. Karena saya turun di ujung tol Perak, Jalan Jakarta, maka setelah melewati Jalan Hang Tuah, lurus saja saya ke selatan, menuju Jalan Mas Mansyur. Saya masuk dari pintu belakang tapi tidak parkir di dalam, melainkan di Jalan Petukangan. Sementara istri tetap di mobil, menjaga anak-anak yang tertidur, saya masuk ke lokasi makam.

Di pasarean Raden Rahmat, Sunan Ampel, saya berdoa untuk kebahagian orangtua yang sudah wafat maupun ibu yang masih ada, untuk saudara-saudara, lalu mendoakan untuk teman-teman yang pernah berbuat baik ataupun (semoga) tidak, khususnya orang-orang yang paling sering berinteraksi dengan saya, termasuk para tetangga. Minta dan permohonan memang harus banyak-banyak kepada Allah sebab jika tidak maka seolah diri ini serba-berkecukupan, bukan? Kalau sama teman, janganlah minta-minta. Kalau dikasih, ya, terima.

Habis dari makam, saya menuju Jalan Sasak, membeli beberapa eksemplar kitab untuk siswa. Karena berat, saya panggil abang becak untuk mengangkut kitab dan diri saya sendiri tentunya menuju parkiran mobil. Nah, aslinya, perjalanan ke Ampel inilah tujuan pertama perjalanan saya kali ini.

Jadi, begitulah ceritanya sebagaimana digambarkan pada empat paragraf pembuka. Saya pulang dari Bangkalan dan mogok mendadak di Sumber Pinang, sebuah perempatan jalan yang jaraknya tinggal sekali ngegas untuk sampai ke halaman rumah. Ibarat kata, kejadian ini mirip gol bunuh diri menjelang akhir pertandingan, pada masa perpanjangan waktu.


Di perempatan itu, terdapat rumah-toko Busiri yang jualan bensin, tapi sudah beberapa bulan ini tutup. Malam itu, lampunya pun bahkan mati. Hati saya berdesir, ini kok antiklimaks, sih. Lalu, terjadilah deus ex machina: lampu toko mendadak menyala. Sejurus lalu, sesosok bayang muncul. Alhamdulillah, si empunya toko yang keluar.

“Sampeyan, Bus?” sapa saya.
“Enggi,” jawabnya.
“Enggak tidur?”
“Belum.”
“Sampeyan ada bensin?”
“Wah, saya sudah lama tidak jualan, Keh.”
“Maksud saya, setengah cangkir saja cukup, saya minta.”
“Ada, tapi di sepeda motor. Tapi, buat apa kok cuman setengah cangkir?”

Dia mengeluarkan sepeda motornya dengan perlahan, seperti pelayan diler mengeluarkan motor baru untuk diangkut ke mobil pikap. Saya jelaskan kepadanya bahwa karburator Colt itu tidak menye-menye, tidak kayak mobil baru. Cukup dibaui bensin saja dia bisa langsung menyala, bahkan menyalak kalau digas secara sontak.

Setelah mendapatkan sekitar 25 mililiter bensin yang diperoleh dengan cara membuka baut tap karburator Honda Supra-nya dengan tadah gelas plastik, saya melakukan aksi sesuai SOP: buka tutup karburator yang menyerupai keong itu, teteskan bensin sedikit, tutup karburator dengan tangan kiri, starter, dan... jreeeeng! Nyala! Bensin langsung muncrat dari membran.

Langkah selanjutnya adalah; matikan mesin, tutup karburator kembali, starter lagi—aduh, hampir lupa, jok depan ketinggalan di luar—lalu langkah tegap maju, jalan. Kami pun tiba di pekarangan rumah menjelang pukul 2 pagi. Tidak ada yang kurang suatu apa kecuali tangan yang sedikit kotor dan berbau bensin. Namun, ini jauh lebih terhormat daripada tangan yang merampas hak orang lain dan korupsi meskipun bersih dan dan tidak bacin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...