Dalam perjalanan dari Ampel menuju Bangkalan, mata saya sudah berasa panas. Saya istirahat sejenak di rumah adik, dekat Plaza Bangkalan. Saya taksir, saya tidak akan kuat kalau dipaksa pulang ke rumah. Soalnya, istirahat di Sukorejo (rumah Agus dan Pasuruan, arah Malang) cuma 3 jam dalam semalam. Makanya, setelah saya menjumpai Ibu yang sudah 15 hari lamanya tinggal di rumah adik perempuan saya itu, sekiranya sudah pulih, saya akan lanjut ke timur, pulang.
Ternyata, ibu membuatkan saya kopi: ini peristiwa langka karena biasanya saya memang bikin kopi sendiri. Saya tidur dan bangun pukul 22.34: cuci muka, menghabiskan kopi, dan pamit.
Dengan mata
berbinar-binar, saya menempuh perjalanan 125 km ke timur dengan perasaan lega
dan tenang. Di SPBU Tangkel, saya isi bensin 50.000 setelah tadi ngisi 100.000
di area istirahat di tol, soalnya, malam Sabtu esoknya, saya harus jalan lagi
ke Pamekasan dan diperkirakan pulang tengah malam. Biar tidak repot, isi saja
dulu sekarang.
Namun, di
penghujung cerita, setelah berhasil menanjak ke Taman Safari, setelah
meliak-liuk di jalan arteri, setelah mampir sana mampir sini, kira-kira kurang
1 kilometer dari rumah, selepas perempatan Sumber Pinang, setelah jalan menurun
panjang dari Pangurai, baru saja belok kiri, tiba-tiba mobil mati. “Waduh, ini
tokoh cerita bikin keki!” bisik saya di dalam hati.
Colt Pariwisata
ini saya starter, tetap ngadat. Saya cabut selang, distarter, ternyata bensin
tak muncrat. Diambillah postulat: membran tidak mampu menghisap. Mungkin
disebabkan bensin di filter sudah asat. Kemungkinan lain adalah karena selang
bocor tidak kedap sehingga pompa pun megap-megap. Untung saja saya tenang, tidak kalap, keder
juga, sih, karena tempat ini sedikit senyap, apalagi memang malam Jumat.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Tunggu di akhir catatan. Sementara, kita kembali dulu ke cerita pembuka....
***
Arti frase “bakda isya” itu mengambang, tapi tetap saja diucapkan dan dipercayai oleh orang-orang di sekitar saya. Yang dipahami umum, waktu itu adalah 19.00-19.30 (untuk zona WIB), tapi hingga pukul 20.00, Agus, orang yang saya tunggu, belum nongol juga. Baru pukul 20.14 dia datang.
Kok bisa? Dia
nunggu saya ngajak, saya nunggu dia muncul. Itulah masalahnya. Dan semua itu
pakai kata kunci bakda isya.
Malam itu, Rabu
malam Kamis, 31 Juli 2019, saya pergi ke Krajan, Sukorejo,
Pasuruan. Tujuan awalnya adalah ke Ampel, Surabaya. Namun, karena kebetulan si
Agus ini mau pulang ke rumah mertuanya di Sukorejo, dibuatlah rencana
sampingan: ikut dia ke sana. Adapun rencana menyamping di samping sampingannya
adalah; pergi ke Taman Safari mengingat rumah dia, katanya, dekat dengan TKP.
Malam itu, Jalan
Nasional 21 Madura sisi selatan terbilang sepi. Laju Colt bisa agak kencang
sehingga pukul 21.39, kami sudah
masuk kota Sampang.
Di perjalanan, saat
parkir di sebuah toko, saya
merasakan kondisi mesin kurang stasioner pada saat idle (lepas
gas). Saya merasa heran, ini tumben. Baru diketahui belakangan (setelah esai
ini ditulis) kalau ternyata gelang karet
yang memperantarai karburator dengan
tutupnya telah raib. Rupanya, tempo hari saya melepas dan lupa tidak
memasangnya kembali. Celakanya, saya juga lupa telah meletakkannya di mana.
Di tempat
istirahat tol Perak-Gempol, dekat Sidoarjo, saya isi premium, 70.000, dengan
pertimbangan agar besok tidak perlu masuk SPBU lagi. Kami rebutan bayar ke
petugas. Saya menyodorkan uang seratus ribuan, Agus menyodorkan uang 50.000 +
20.000, pas. Baik, saya mengalah saja. Petugas mengambil jumlah yang pas.
Setelah melewati Masjid
Besar Al-Mukhlasin Sukorejo yang terkenal itu, kami tiba di tempat tujuan,
berada di sisi barat garasi bis PO Tunas Bangsa, pada pukul 01.08. Kalau
tidak salah hitung odometer, jarak dari
rumah saya ke tempat Agus ini adalah 201 kilometer. Jam segitu, penghuni rumah
yang besar ini sudah pada tidur. Kami turun dari mobil dan dipersilakan naik ke
lantai atas.
Pukul 08.20, esoknya, Kamis, 1 Agustus 2019, setelah sarapan
pagi, kami berangkat menuju lokasi. Sempat mampir kami ini di Masjid
Al-Mukhlasin, semacam setor jempol di mesin presensi tapi ini pakai jidat
nempel di lantai. Hanya sebentar di sana, sekadar merampungkan shalat tahiyat
dan duha, kami cus ke Taman Safari Prigen (TSP).
Sejauh ini, saya kira, lokasi Taman Safari tersebut tidak
jauh dari pintu masuk utama yang gapuranya bersimbolkan dua gading gajah beton.
Asumsi ini sama persis manakala saya berkunjung ke Taman Nasional Baluran,
sehabis Ramadan lalu. Ternyata, jarak dari jalan raya ke pintu masuk itu
berkisar 7,5 km. Jarak ini sama dengan jarak dari Jalan Nasional ke rumah saya.
Sesuai janji yang kami sepakati sebelumnya, kira-kira 4
kilometer menjelang lokasi, saya bertemu dengan Muzammal Noer, seorang sahabat
yang sudah lama tidak bersua. Sudah sejak lama pula saya menyatakan ingin
menyambanginya, persisnya setelah dia pernah membantu ngurus kemah siswa-siswa
di Kaliandra. Keinginan itu baru terkabul sekarang. Ya, keinginan selalu
terkabul, tapi terkadang kita menguburkannya sebelum ia datang hanya karena
bosan menunggu pengabulan.
Jalan menuju lokasi
menanjak dan kelak-kelok. Ada beberapa
titik yang diwanti-wanti, seperti lewat plakat yang berbunyi: “Gunakan Gigi 1”.
Di bawah, bahkan ada tulisan “Pastikan Kendaraan Anda Laik Jalan”. Merasa
penting menanggapi ini, saya bilang, “Agus, plakat ini kayaknya nyinggung
mobilku, ya?”
“Ngenyek dia,” balasnya.
“Tidak masalah kalau cuman menyinggung, yang penting yakin
kalau aku tidak perlu tersinggung.”
Setelah beli tiket, saya memarkir mobil. Temperatur suhu
mesin di atas setengah, ngeri. Ini kiamat kecil bagi Colt, beda dengan mobil
sejenis Kijang yang kontrol suhu mesinnya memang ada di tengah dalam kondisi
normal, atau seperti Grand Livina yang malah tanpa penanda di saat suhu mesin
dalam status aman. Panas mesin mestinya tidak sampai
90 derajat celcius—suhu yang sudah pas
untuk memasak kopi—begitu mengingat suhu alamnya dingin. Dalam kondisi
wajar, mesin Colt saya sudah teruji: dibawa lari 80-90 km/jam dalam jarak
hampir 30 kilometer secara maraton, ya, normal-normal saja. Saya menduga,
penyebabnya—antara lain—adalah karena pengaturan konsumsi BBM yang terlalu
irit, RPM selalu tinggi sedangkan
kecepatannya sangat rendah.
Tadi sempat ada sedikit kejutan. Dua kali momen ‘dramatis’
itu terjadi. Ada saat yang mestinya saya menurunkan gigi dari 3 ke 2, tapi
karena ada masalah pada percepatan—belakangan diketahui setelan persneling saja
yang kurang pas—terpaksa harus masuk gigi 1. “Ya, terpaksa dilakukan meskipun
ini sangat berat,” pikir saya, sebab kami harus nanjak sampai puncak.
“Petugas penjaga tiket tuh ada yang nyuting,” kata Agus
lagi.
“Ah, masa?”
“Iya, dia nyuting pakai ponselnya.”
“Barusan ada yang nanya, ‘dari Madura, ya?’ Kok plat M kata
dia?” terdengar suara Muzammal menimpali setelah dia memarkir sepeda motornya
dan bersiap naik mobil bersama kami.
Saya melipat jok depan dan mulai memerciki air ke radiator.
Mesin saya nyalakan lagi. Langkah ini adalah sejenis “kompres cepat” agar suhu
mesin segera turun karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan lagi di
dalam Taman Safari.
***
Pohon-pohon pinus menyambut di pintu masuk, berjejalan dan
menjadi tumbuhan utama. Perasaan senang tiada tara terlontar dari kedua mulut
anak saya yang duduk di kursi paling belakang (lantas saya ingat sama kedua
anak lainnya yang tinggal di rumah, tidak ikut serta karena alasan tertentu
sehingga rasa senang pun berubah sedih sebentar) manakala mulai melihat
penampakan binatang-binatang khas Eropa mulai tampak di depan mata. Ada yang
mendekat, ada yang bermalas-malasan.
Kami benar-benar merasa ada di alam bebas begitu melihat
binatang-binatang buas yang selama ini hanya ada di gambar atau tivi atau di
dalam kerangkeng di kebun binatang, kini benar-benar seperti di dalam rimba.
Ada rusa, kalkun, gajah, beruang, rusa. Ada pula binatang yang terbilang asing,
seperti nilgai, llama, eland, scimitar oryx, dll. Binatang Australia, kanguru,
serta penguin, tidak saya lihat.
Perjalanan menempuh 6,7 km jalanan naik-turun di dalam hutan
itu menghabiskan waktu satu jam lebih mengingat laju mobil hanya 5 km/jam.
Adakalanya mobil-mobil berhenti, lalu jalan lagi ketika ada binatang buas yang
mendekat. Memang begitu aturannya. Yang penting, jangan sampai buka kaca,
khususnya di area karnivora, habislah riwayat kalau sampai mereka masuk ke
kabin kita.
Tiket masuk Taman Safari Prigen ini relatif mahal. Untuk
tiket “kelas rusa” (ini hanya istilah saja) adalah Rp105.000 (usia 5-10 tahun)
dan 110.000 (dewasa). Jika mau nambah permainan-permainan anak, kita harus
merogoh kocek lagi, 50.000, atau pesan tiket kelas “badak”, Rp135.000, yang
punya fasilitas lebih banyak. Sedangkan tiket “kelas gajah” adalah 160.000 dan
kelas inilah yang dapat membuat pengunjung boleh menggunakan hampir semua
fasilitas di TSP. Saran: Sebisa mungkin, datanglah bukan pada hari
Sabtu-Minggu, seperti yang saya lakukan ini, yaitu pada hari Kamis. Di samping
tiketnya bisa dapat potongan (Rp80.000 untuk “kelas rusa”), para pengunjung pun
tidak ramai. Sudah jelas, sensasi ketenangan hutan akan jauh berkurag kalau
terlalu banyak orang. Dan bagaimanapun, tiket termurah pun tetap berasa mahal
bagi warga masyarakat seperti saya yang untuk sampai ke tempat ini harus
menunggu lama nabung dan cari kesempatan. Ia jadi murah ketika kita senggang
dan ada orang yang mentraktir tiketnya, he, he, he.
Ada hal penting yang perlu dicatat: kalau mau ke Taman
Safari Prigen, ada baiknya Anda mencari sejenis “Agus” atau “Muzammal”, yaitu
orang yang rumahnya dekat lokasi sehingga Anda bisa
bermalam di rumah mereka dan masuk ke lokasi sepagi mungkin, pukul 8. Kalau
datang dari rumah dan langsung ke lokasi, khawatir Anda mampu tapi anak-anak
sudah capek duluan sehingga cepat loyo untuk mengitari lokasi yang sangat luas
tersebut. Saya yang masuk pukul 08.15 dan keluar hampir pukul 13.00 saja cuma
mampu mengawal anak-anak bermain sekitar 10 dari 22 permaianan yang tersedia.
Pasalnya, ada pertunjukan dan wahana yang tidak buka pagi, melainkan siang,
seperti pertunjukan gajah (pukul 11.00) dan pertunjukan lumba-lumba (pukul
13.00). Butuh nyaris setengah hari untuk menikmatinya. Bagi Anda yang tidak mau
bawa kendaraan sendiri, Anda dapat naik bis atau mobil gratis milik Taman
Safari, begitu pula bagi mereka walaupun bawa mobil sendiri tapi khawatir
catnya tergores manatahu ada harimau iseng yang mencakarnya.
Dalam perjalanan pulang, kami ikut Muzammal, mampir di
rumahnya, sekitar 2 kilometer dari lokasi. Dana belum keluar dari kocek, eh,
ini masih ada layanan makan siang gratis lagi. Tidak terbayang berapa jutanya
kalau harus sewa hotel dan sarapan paginya di restoran. Secara normal, kayaknya
saya, kok, enggak mampu, deh. Hamdalah, lengkap sekali kami mendapat
anugerah: sudah serba-gratis, masih
diberi sehat dan sempat. Kalau ingat ini, rasanya tidak masuk akal kalau masih
berani nakal-nakal beribadah.
Mestinya, dari rumah Muzammal, kami langsung pulang, menuju
Surabaya, sedangkan si Agus kembali ke Sukorejo. Tapi, karena ada iming-iming
es duren dari Agus dan pesanan undangan nyicipi Bakso Tetelan Cak To di
Sidoarjo, rencana berubah di tengah jalan. Kami kembali ke Sukorejo, menikmati
sajian es dari Resto Duren, lalu balik ke utara, pulang lewat arteri Porong,
menuju kota Sidoarjo.
Senja itu, kami sekeluarga (dan Agus sekeluarga, bawa mobil
sendiri), tiba di Warung Bakso Tetelan “Cak To” yang lokasinya ada di selatan
GOR Delta dan sedianya baru soft opening di hari Jumat, 1 Agustus 2019.
Kami diservis bakso yang bagi saya agak asing karena mi-nya model lebar dan
mangkok penuh sayur, ada kacang sanghai-nya juga. Enak, ya, iyalah. Sudah
gratis masa’ bilang enggak?
Tidak lama saya
di sana, hanya sepeminuman kopi dan semangkok bakso. Kopi dan bakso memang
enggak nyambung, tapi bisa disambung-sambungkan karena warung bakso dan kafe
berdempetan. Yang pasti, kafenya berpenyekat dan ada di ruang terpisah,
sehingga ketika pengunjung nyeruput kopi tak akan terpapar aroma bawang dan
seledri.
Dari Sidoarjo,
saya meluncur ke Pegirian, menuju makam Sunan Ampel. Karena saya turun di ujung
tol Perak, Jalan Jakarta, maka setelah melewati Jalan Hang Tuah, lurus saja
saya ke selatan, menuju Jalan Mas Mansyur. Saya masuk dari pintu belakang tapi
tidak parkir di dalam, melainkan di Jalan Petukangan. Sementara istri tetap di
mobil, menjaga anak-anak yang tertidur, saya masuk ke lokasi makam.
Di pasarean Raden
Rahmat, Sunan Ampel, saya berdoa untuk kebahagian orangtua yang sudah wafat
maupun ibu yang masih ada, untuk saudara-saudara, lalu mendoakan untuk
teman-teman yang pernah berbuat baik ataupun (semoga) tidak, khususnya
orang-orang yang paling sering berinteraksi dengan saya, termasuk para
tetangga. Minta dan permohonan memang harus banyak-banyak kepada Allah sebab
jika tidak maka seolah diri ini serba-berkecukupan, bukan? Kalau sama teman,
janganlah minta-minta. Kalau dikasih, ya, terima.
Habis dari makam,
saya menuju Jalan Sasak, membeli beberapa eksemplar kitab untuk siswa. Karena
berat, saya panggil abang becak untuk mengangkut kitab dan diri saya sendiri
tentunya menuju parkiran mobil. Nah, aslinya, perjalanan ke Ampel inilah tujuan
pertama perjalanan saya kali ini.
Di perempatan itu, terdapat rumah-toko Busiri yang jualan bensin, tapi sudah beberapa bulan ini tutup. Malam itu, lampunya pun bahkan mati. Hati saya berdesir, ini kok antiklimaks, sih. Lalu, terjadilah deus ex machina: lampu toko mendadak menyala. Sejurus lalu, sesosok bayang muncul. Alhamdulillah, si empunya toko yang keluar.
“Sampeyan, Bus?”
sapa saya.
“Enggi,”
jawabnya.
“Enggak tidur?”
“Belum.”
“Belum.”
“Sampeyan ada
bensin?”
“Wah, saya sudah
lama tidak jualan, Keh.”
“Maksud saya,
setengah cangkir saja cukup, saya minta.”
“Ada, tapi di
sepeda motor. Tapi, buat apa kok cuman setengah cangkir?”
Dia mengeluarkan
sepeda motornya dengan perlahan, seperti pelayan diler mengeluarkan motor baru
untuk diangkut ke mobil pikap. Saya jelaskan kepadanya bahwa karburator Colt
itu tidak menye-menye, tidak kayak mobil baru. Cukup dibaui bensin saja dia
bisa langsung menyala, bahkan menyalak kalau digas secara sontak.
Setelah
mendapatkan sekitar 25 mililiter bensin yang diperoleh dengan cara membuka baut
tap karburator Honda Supra-nya dengan tadah gelas plastik, saya melakukan aksi
sesuai SOP: buka tutup karburator yang menyerupai keong itu, teteskan bensin
sedikit, tutup karburator dengan tangan kiri, starter, dan... jreeeeng! Nyala!
Bensin langsung muncrat dari membran.
Langkah
selanjutnya adalah; matikan mesin, tutup karburator kembali, starter lagi—aduh,
hampir lupa, jok depan ketinggalan di luar—lalu langkah tegap maju, jalan. Kami
pun tiba di pekarangan rumah menjelang pukul 2 pagi. Tidak ada yang kurang
suatu apa kecuali tangan yang sedikit kotor dan berbau bensin. Namun, ini jauh
lebih terhormat daripada tangan yang merampas hak orang lain dan korupsi
meskipun bersih dan dan tidak bacin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar