Pembaca

28 Juli 2019

Menuju Kutoarjo, Pulang Singgah di Campurejo



Perjalanan empat hari empat malam, atau kira-kira 100 jam (wah, kayak durasi Penataran P4 tempo dulu) yang kami jalani sejak hari Rabu, 10 Juli 2019 (pukul 17.10), akhirnya berakhir kembali di halaman rumah, pada hari Ahad, 14 Juni 2019, pukul 21.27. Perjalanan pulang dari Campurejo, Gresik—meskipun lambat karena arus lalu lintas yang membeludak di malam terakhir liburan—terbilang lancar karena tidak ada gangguan pada mobil di perjalanan. Senang sekali rasanya begitu tiba di rumah dan melihat semuanya berjalan dengan baik

Rencana semula dari perjalanan ini adalah ke Sruweng, Kebumen.  Adapun rutenya adalah; berangkat lewat Pantura (Semarang – Kendal – Wonosobo via Boja) dan pulang lewat tengah (Solo – Ngawi). Tapi, rencana hanya tinggal rencana ketika yang terjadi di lapangan ternyata tak sama. Karena suatu dan lain hal, rencana ke Kebumen digagalkan (sementara) dan tujuan dipindah ke Kutoarjo saja, tepatnya ke Pasar Kemiri, sebuah titik di muka Bumi yang belum pernah saya kunjungi sama sekali.

RABU, 10 Juni

Berangkat nyaris terlalu sore, pukul 17.00 lewat, kami berhenti di Masjid Al-Hidayah, Larangan, untuk shalat maghrib dan ambil poin: ipar sepupu. Saat itu, jam menunjuk 17.41.

Azan isya terdengar saat kami melintas di Bandaran-Tanjung, desa dan kecamatan di perbatasan kabupaten Pamekasan dan Sampang. Berhenti sejenak kami di pinggir jalan karena anak merengek minta manisan. Dengan polisi lalu lintas kita mampu berdebat, tapi dengan anak mana bisa?

Setelan mobil kurang enak kali ini, beda banget dengan bulan lalu saat saya bawa ke Jawa, dari Besuki hingga ke Taman Nasional Baluran. Maka, sehabis ngisi premium sejumlah 150 ribu di SPBU perbatasan Jrengik-Lomaer, di perbatasan Sampang-Bangkalan, pukul 20.00 persis, saya menukar rotor pada distributor. Saya curiga, inilah penyebabnya. Sayangnya, rotor cadangan yang saya bawa tidak lebih baik dengan yang sedang dipakai. Hanya dibersihkan, baru itu, kami jalan. Hasilnya lumayan. Kata orang, menganggur pun, kalau diopeni, hasilnya juga lumayan, apalagi membersihkan rotor.

Lepas dari Blega sampai Padurungan, jalan padat merayap. Benar dugaan saya, ada dua truk tuang yang berjalan sangat santai, seperti pengantin. Kami baru bisa mendahuluinya menjelang Tanah Merah. Walhasil, kami baru melintasi Jembatan Suramadu pada 21.15.

Kami menempuh jalur tengah kota, lewat Jalan Pahlawan, ke Pasar Turi dan Dupak, untuk mencapai akses ke jalan tol. Meskipun saya tidak menganggarkan uang untuk bayar tol—di samping karena karena sensasi perjalanan yang nyaris tidak akan berasa—tapi malam itu harus dilakoni. Saya menimbang tuan rumah (Haris) agar tidak kemalaman menunggu kami. Dengan amat terpaksa, mobil saya arahkan ke tol Sumo: Surabaya-Mojokerto.

Begitu keluar di Mojokerto Timur, langsung terasa macetnya, sangat beda dengan waktu lewat tol. Pantas saja, nyaris setengah jam kami habiskan hanya untuk keluar dari kota. Akibatnya, kami tiba di Corogo, Rejoso, pada 23.21, saat tuan rumahnya ngorok seperti mesin diesel. Wajar  kalau dia tak segera mendengar orang menguluk salam.

KAMIS, 12 JUNI

Habis tidur lelap semalam, kami bangun disergap ketan urap bumbu kedelai. Yang saya inginkan tempo hari terkabul tiga minggu kemudian. Saya penggemar makanan ini dan Haris tahu.  Haris adalah tujuan pertama saya dalam anjangsana silaturrahmi ini. 

Sebelum penumpang berkemas, saya ngecek mesin. Sempat kaget karena mendapati Colt tidak bisa distarter, padahal yang saya kontrol hanya rotor dan kabel busi. Saya utak-atik, mobil tidak mau hidup juga. Saya pun terpaksa 'ngolong', masuk ke bawah sasis. Astaga! Ternyata, mur dinamo starternya hilang. Jadi, andai saja saya matikan mesin di perjalanan, pasti langsung tidak bisa distarter lagi. Untung hal itu saya dapati saat parkir di rumah Haris. Penyelesaiannya mudah sekali karena hari sudah terang dan mesin tidak panas. 

Karena ada usul penumpang untuk tahu Pondok Darul Ulum Peterongan, saya bawa keliling pondok. Tentu saja, sebelum masuk, saya telpon dulu salah satu gus-nya: Gus Binhad, untuk minta izin.

“Misi... saya ada di Jombang, mohon izin melintas, masuk pondok.”
“Wah, harus mampir dulu.”
“Makasih, Gus. Ini kejar tayang, takut kemaleman sampai di Jogja.”
“Wah, mampir saja sebentar, ngopi dulu.”

Kami masuk dan bertamu. Mampir di Peterongan tidak masuk manifes, tapi kami mampir juga. Itulah yang disebut improvisasi. Karena niatnya silaturrahmi, kami dapat ganjaran, dapat pula secangkir kopi.
Sementara saya ngobrol dengan gus gondrong, para penumpang yang kesemuanya perempuan itu ngobrol dengna Nyai Eyik Mustain, ning-nya di situ.

Di Bagor, sempat kami melihat adegan Sumber nyalip di tikungan, dan nyaris nyenggol kendaraan lain. Seorang polisi lalu lintas di pos pantau memergokinya. Saya melihat, ia mengambil sepeda motor dan mengejar. Dalam batin, ‘kena nih bentar lagi’. Dan benar, Sumber kena beneran. Lalu terjadilah sesuatu yang mesti terjadi. Dalam hati, ternyata begini kalau melihat peristiwa dari sudut pandang di luar bis, bagaikan posisi narrator observer dalam teknik point of view.

Sampai di Wilangan—karena kebetulan saya yang nyetir—saya bawa Colt turun ke bawah, melewati jalur lama, melintasi rel, jembatan, lalu nanjak, melewati jalanan yang kotor penuh daun jati karena tidak pernah dilewati. Ada bagian jalan yang kelihatan menyempit karena tertutup semak-semak. Ternyata, ujung jalan dipalang, waduh! Nostalgia berakhir di situ. Penonton kecewa.

Sesampainya di Caruban pukul 10.30, saya parkir sejenak di depan sebuah toko, kira-kira 100 meter dari pertigaan. Tujuannya adalah ngambil foto grafiti petani dan Colt di atas sebuah tokoh, di seberang jalan. Sayangnya, ia sudah tertutup rerimbunan pohon. Tahun lalu—ketika melintasi Caruban, sepulang dari Jogja—saya juga merencanakan seperti ini, tapi gagal karena suasana hujan dan waktunya malam hari. 
 

Kami masuk kota Solo saat terik-teriknya. Panas kabin begitu terasa. Panas mesin begitu juga. Rasanya kami sedang naik oven versi suhu rendah. Kalau sedang kena macet lama, jarum penunjuk temperatur kadang naik sampai setengah. Tapi, Colt kan memang begitu, cepat naik dan cepat turun, seperti kolor. Saya berpikir, naik Colt  itu pasnya di daerah dingin saja, seperti Wonosobo. 

Dari Kartosuro, saya ambil kanan ke arah Boyolali. Jarum bensin semakin menipis, sudah sampai di garis terbawah. Tapi, saya bisa memperkirakan, yang tersisa masih dapat digunakan sampai di perhentian berikutnya. Tujuan saya adalah melayani hajat para penumpang yang kesemuanya merupakan "ibu-ibu PPK", yaitu ingin tahu proses pembuatan keju Indrakila, ketika saya cerita tentang keju premium milik Nas Novi itu. Sayangnya, si empunya (Mas Novi) sedang di Jogja. Tapi dia menyuruh saya agar lanjut saja, tetap ke Boyolali. Kami tiba di sana pukul 15.15.

Kira-kira satu jam kurang, kami pulang. Mas Warjo—salah satu pegawai Mas Novi—yang mengawal kami hingga SPBU Kemiri. Saya ngisi pertalite 100.000 (karena hanya itu yang tersedia selain pertamax). Cari premium susah di sini. Selanjutnya, ia memandu arah kami menuju Jatinom. Tujuan berikutnya adalah Batur, di Ceper. Kami dipandu lewat jalan tengah. Maklum, saya memang tidak menggunakan Google Maps.  Susah-susah senang naik mobil tua tanpa GPS. Suasana perjalanan benar-benar seperti dulu, sering bertanya sama orang, sangat bernuansa 90-an.  


Hampir maghrib, kami tiba di rumah Mbak Indra (yang merupakan kembaran mbak Atik). Keduanya adalah putra Pak Jabir, pendiri dan pemiliki CV Teknika Jaya yang beralamat di dusun Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten. Rumahnya berseberangan dengan masjid Raudlotus Sholihin yang sangat besar itu. Pertemuan ini sangat mengherankan baginya karena tidak menyangka saya bakal ke sini, juga bagi saya karena tidak menyangka bisa sampai ke rumahnya juga pada akhirnya.

Beberapa saat setelah azan isya, setelah mampir di rumah kembarannya (Mbak Atik), kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja. Karena sementara Pak Edi yang menawarkan tempat bermalam, melajulah kami ke sana. Tiba pukul 21.00, yang lain langsung cari kasur, sementara saya keluar lagi karena ada undangan minum kopi.


JUMAT, 12 JUNI

Pagi ini kami berangkat ke Purworejo setelah sarapan. Sebelum lanjut terlalu jauh, kami isi bensin dulu di SPBU 44.551.12, jalan lingkar selatan, Jogja: pertalite 150.000. Jalan tidak terlalu padat di pagi hari. Mudah bagi kami mencapai Gamping: titik percabangan jalan ke Jalan Wates, menuju Purworejo.

Jalan ke arah barat Jogja adalah yang pertama bagi Colt tapi sudah tak terhitung kali bagi saya. Jalannya lempeng dan bagus. Pemandangan sangat indah karena dipenuhi hamparan padi. Pemandangan seperti ini, bagi saya, merupakan “wisata” tersendiri, lebih menarik dari wisata buatan dan rekayasa manusia.

Yang sempat membuat kurang indah hanyalah karena mobil mendadak mati di Milir, Pengasih, dekat pos polisi.

Dalam hati, saya berkata, “Hei, jangan mogok di sini, Colt. Jangan bikin malu. Kelihatan plat M-nya, di dekat lampu merah pula. Mohonlah, jangan mogok di sini, pliii...ss.”



Sementara saya minta bantuan Pak Bento, seorang pak polisi membantu saya dengan menghubungkan kepada bengkel (sayangnya, bengkel berhalangan). Dua stuntman beliau datang dalam waktu—yang menurut perhitungan saya—lebih singkat daripada kemunculan Spiderman kalau ada kejahatan. Untung pula, mobil bisa menyala setelah saya utak-atik kabel coil-nya. Rupanya, pengapian ada masalah. Ini kurang saya perhatikan sebelum berangkat. Adalah kesalahan saya hanya membawa sangu nasi dan air, mestinya juga bawa sangu platina dan coil.

Kami jumatan di Masjid Agung Purworejo. Masjid ini bersejarah. Salah satu tinggalan sejarahnya ada pada bedugnya, bedug raksasa, yang terbesar di Indonesia (sangat mungkin juga rekor dunia; dengan panjang hampir 3 meter dan lingkar depan nyaris dua kali lipatnya). Di situlah kami bertemu Pak Zuhri (Zufan) yang kemudian mengajak kami bermain ke rumahnya, di Kemiri, Kutoarjo.

Habis ashar, kami pulang. Di Bagelan, suplai bensin sempat bermasalah tapi mudah diatasi. Dugaan saya, ada kemacetan di filter. Jadi, cukup copot selang dari tangkinya, sumbat pakai tangan kiri, sementara tangan kanan menepuk-nepuknya dengan kunci yang agak besar. Saya biarkan sisa bensin mengalir keluar. Setelah itu, barulah selang dari tangki saya masukkan lagi. Selesai. Kami jalan lagi.

Tidak ada rencana untuk mampir di Gamping karena tahun lalu sudah ke situ. Kami mampir lagi di Pak Bento untuk berterima kasih atas kordinasinya tadi pagi: mendatangkan bengkel saat kami kena mogok. Pak Bento malah meledek, “salahnya tidak Gamping tadi...” kata beliau bercanda.

Dari Pak Bento, kami ke rumah Mas Joni yang tak jauh, hanya tiga ratusan meter dari situ. Saya dan rombongan numpang menginap di sana. Akan tetapi, ternyata,saya tidak bisa tidur sore seperti yang lain, melainkan pergi lagi, undangan Edi ke Condong Catur, untuk memperkenalkan kafe-nya yang sedang digarap. Belum lagi saya sampai ke lokasi, eh, ada panggilan berikutnya: panggilan dari Om Mamak dan Om Acing yang mengundang saya ke Sedan, rumah Gus Muwafiq. Kata mereka, saya ditunggu di sana.

Supaya dapat poin silaturrahmi sebanyak-banyaknya, dipenuhilah kedua target ini sekaligus: ke Condong Catur dulu, habis itu ke Sedan. Dan ternyata, yang semula saya agendakan pulang pukul 23.00, akibat pembicaraan yang melantur, waktu pamit pulangnya hilang satu angka, yakni angka 3-nya. Kami pulang pukul 2. Alhamdulillah, Gus Muwafiq menghadiai saya besek atau berkat, yaitu seperangkat  Roland Cube amplifier & gitar Ibanez. Entah kenapa Gus Wafiq ngasih saya itu secara tiba-tiba, saya tidak tahu.


SABTU, 13 Juni

Seharian saya di rumah Mas Joni. Di saat istri dan kedua ipar saya diantar tuan rumah ke pasar, saya nemeni main anak di rumah Mas Joni: mancing ikan di kolamnya. Ada beberapa teman dan tamu Pak Joni yang berkunjung. Sembari saya cek kabel-kabel dan kondisi coil serta mesin dan roda untuk memastikan keamanan perjalanan pulang nanti malam. Hingga maghrib turun, habis shalat, barulah kami pamit. Kami pergi menuju Mlangi, sowan ke Gus Memet dan tahlilan di makam Mbah Nur Iman di Masjid Patoknegoro. Konon, penamaan Mlangi ini berasal dari “mulangi” karena Mbah Nur Iman itu memilih mengajar ngaji masyarakat dan tidak memilih tinggal di keraton Mataram.

Selesai dari sana, barulah saya ke Kafe Basabasi di Sorowajan untuk menghadiri acara diskusi bersama Prof Abdul Gaffar Karim, bertema “orang Madura”.


AHAD, 14 JUNI

Setelah beres-beres, sehabis acara yang dimoderatori langsung oleh si empunya kafe (Edi Mulyono), saya tidak bisa segera pergi karena masih bertemu dengan teman-teman untuk ngobrol. Kami keluar dari kafe pada pukul 01. 15. Warid yang bawa sementara saya bertugas memantau SPBU yang menjual premium. Ternyata, tidak ada satu pun yang jual premium. Sampai akhirnya kami mendekati Prambanan, barulah saya isi lagi, pertalite lagi, 150 ribu lagi (beda dengan tahun lalu yang sejak berangkat sampai pulang saya isi pertamax. Anda pasti tahu lah kenapa begini dan begitu!)

kini, giliran saya yang ambil kemudi. Mobil langsung saya pancal dengan kecepatan rata-rata 75 km/jam. Kalau kecepatan 60 terlalu lambat, kalau 80 berisik karena buzzer-nya bunyi terus-menerus.  Masuk Klaten, Delanggu, jalan sangat sepi, padahal dengar kabar dari kawan bahwa hari ini adalah hari terakhir liburan.  Tanda-tanda kemacetan tidak ada.

Selepas Ngrampal, sempat saya nekat mengejar MIRA S-7022 yang nyalip. Ya, hanya dengan kecepatan terus-menerus 90 km/jam, hingga beberapa kilometer, Colt ternyata cuman mampu nutul, tidak bisa nyalip, malah diasapi. Dalam hati, saya bertanya lagi, “Mengapa kok diasapi? Emang Colt ini bandeng apa ikan bawal gitu kok diasapi?”. Kata orang: pelan nunggu apa, ngebut ngejar apa. Akhirnya, saya ngendorkan kabel gas begitu si MIRA ambil kanan, merangkai beberapa kendaraan sekaligus, dekat hutan. Ciut nyali saya melihatnya.

Masuk Ngawi, saya berpapasan dengan konvoi sepeda motor dan mobil. Sebagian mereka mengenakan syal Persebaya. Sebagian lagi mengibarkan bendera perguruan beladiri. Dari mananya, mau ke mananya, saya tidak ngurus dan tidak tahu. Saya hanya lelah karena harus bersiah melulu. Hingga akhirnya, saya melipir, mampir di Masjid Nurul Iman, Karangjati, Ngawi, pada pukul 04.50, untuk shalat subuh.


Setelah shalat dan beli nasi bungkus di kedai kaki lima di sebarang jalannya, kami berangkat lagi. Masih tetap saya yang bawa hingga mampirlah kami ke Warung Kopi  Fambayung (selama puluhan tahun saya menyangka tulisannya adalah Flambloyan. Waduh, kacau sekali). Saya hanya ngopi saja dan beli nasi sebungkus buat istri karena asam lambung melarang dia makan pedas-pedas seperti nasi pecel yang kami beli tadi.

Saya mengubah jalur perjalanan ke arah utara, ke Widang, bukan ke Mojokerto, setelah memastikan bahwa Jauhari—tujuan akhir singgahan kami—ada di rumahnya, di Campurejo, Gresik. Dari SPBU Tambakberas, mobil dikendalikan oleh Warid. Mata saya benar-benar sudah pahit. Saya duduk di kiri, tidur dan terbangun ketika mobil berhenti.

“Mana ini?”
“Babat.”

Saya meneruskan tidur dan melek ketika ngerti-ngerti sudah sampai dekat Paciran, Lamongan. Sebelum tidur, saya memang berpesan agar nanti belok kiri di Sukodadi, ikuti jalan terus sampai ke Jalan Deandels karena itulah jalan tersingkat ke Cak Heri (Jauhari) yang saat ini mengampu Madrasah Tarbiyatul Wathon, Campuerjo, Panceng, Gresik.

Kami tiba di rumah Cak Heri agak siang. Kami ngobrol agak lama. Anggota PKK bahkan sempat istirahat siang. Setelah disuguhi makan, saat asar kami izin pulang.
Warid lagi yang bawa karena saya sangat lelah kalau berhadapan dengan jalanan yang macet dan panas. Kepada sepupu dua kali saya itu saya berkata, “Kamu bagian jalan yang sumpek tapi pendek, saya bagian yang lempeng tapi panjang.
Adil.”

Masuk di pintu tol Manyar, kami turun di Pasar Turi. Saldo e toll tinggal 5050. Coba andai pergi-pulang lewat tol terus, habislah uang kalau cuman 500-an ribu. Kami hanya masuk tol dua kali. Pertama, dari Warugunung ke Mojokerto (karena ngejar waktu takut tuan rumahnya keburu tidur) dan yang kedua dari Manyar ke Dupak (karena cara ini memang yang paling rasional).

Di SPBU by pass Suramadu, saya isi bahan bakar lagi. Baru di situ ada premiumnya. Saya isi 160.000 (angkanya dibikin tidak ngepas 150 supaya dapat kembalian sepuluh ribuan). Kami lalu lanjut ke timur setelah singgah sejenak di warung bebek Rizky II, bungkus semua.

Dari sana, jalan sangat padat baru terasa. Susah sekali mau nyalip kendaraan di depan karena mobil terus berdatangan dari lawan arah. Jalan lumayan lengang sejak kami mencapai kota Sampang. Kami bisa kembali memacu kendaraan hingga buzzer di balik spidometer Colt ini bisa bunyi nit-nit-nit lagi.

Di Masjid Al-Hidayah, Larangan, masjid yang airnya paling memuaskan untuk ukuran masjid pinggir jalan di Madura, kami shalat. Hampir pukul 21.00 saat kami tiba. Tidak perlu istirahat lagi, kami lanjut lagi dan tiba di rumah pada 21.27 dalam keadaan bundar dan bulat tak kurang suatu apa. Dan begitu barang-barang dikeluarkan dari mobil, rasanya saya sedang melihat pemandangan kapal pecah atau orang yang baru pulang dari Malaysia setelah tinggal puluhan tahun di sana. Singkat cerita, perjalanan etape terakhir menuju pulang ini lumayan lama, yakni selama 20 jam (dari Jogjakarta dan singgah dulu di Campurejo, Gresik, via Widang).  

Demikianlah laporan perjalanan muhibah atau anjangsana kali ini. Terima kasih disampaikan kepada semua rekan yang saya kunjungi dan mohon maaf kepada yang belum disinggahi. Sungguh kami merasakan betapa mahalnya nikmat sempat dan sehat itu, terutama dalam rangka silaturrahmi. Barangkali, inilah rahasia mengapa silaturrahmi itu—di dalam Islam—dijanjikan Allah dengan limpahan pahala yang besar sekali.


DATA-DATA:

Jarak berdasarkan Google Maps: rumah – Jombang – Karangjati – Solo – Surakarta – Jatinom – Ceper – Jogja – Purworejo – Kemiri (Kutoarjo) = 747 km
Pulang dari Kemiri ke Jogja – Jombang – Sukodadi – Paciran - Tarbiyatul Wathon= 459.
Dari Panceng (Tarbiyatul Wathon) ke Guluk-Guluk = 225 km.
ke sabajarin
Total jarak = 1431 kilometer (jarak odometer biasanya lebih jauh dan lebih sejati karena citra satelit agaknya tidak ‘membaca’ jarak naik dan turun. Kebetulan, odometer saya sedang ngadat, sering berhenti kalau berada di angka kembar 99 tapi normal lagi kalau angkanya berputar lagi)

Bahan Bakar:
Premium 150.000 di Lomaer (Sampang/Bangkalan)
Pertalite 100.000 di Kemiri (Boyolali)
Pertalite 150.000 di ringroad selatan (Jogja)
Pertalite 150.000 Kalasan (Jogja)
Pertalite 100.000 di tambakberas (Jombang)
Premiun 160.000 di Suramadu (Bangkalan)
Sisa di tangki setelah sampai di rumah sekitar 40%. Perkiraan konsumsi total BBM adalah 750.000.



2 komentar:

  1. bukankah sdh dipasang cdi merk flash pak?seharusnya platina awet,apa sekarang sdh dilepas cdi flashnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf, terlambat membalas. Iya, CDI Flash tidak copot dan tidak rusak. Mogoknya hanya karena kabel pemantik api nya nyaris copot, dan tidak segera diketahui

      (Titosdupolo)

      Hapus

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...