Pembaca

25 Juni 2019

Tujuan ke Besuki, Jelimpat ke Baluran

SENIN, 10 Juni 2019

Kami berangkat pukul 9 malam lewat beberapa menit. Hamdalah, jalanan lancar, tidak seperti yang diceritakan orang-orang yang melintas di malam-malam sebelumnya. Saya dengar, macet parah terjadi di beberapa titik, terutama di pasar-pasar area Bangkalan, seperti Blega dan Tanah Merah. Entah mengapa malam ini sepi atau memang karena sudah lewat tengah malam? Yang jelas, hingga masuk Sampang, sekitar dua jam perjalanan, ruas “Jalan Nasional 21” yang ditandai dengan marka bercat kuning itu terbilang lengang.

Masih tersimpan tanya dalam pikiran, mengapa pasar-pasar di area Bangkalan nyaris semuanya “bermasalah”, seperti dua pasar yang saya sebut di atas, yang hari pasarannya hari Jumat dan Senin (Blega) serta Sabtu dan Rabu (Tanah Merah). Sejak zaman Orde Baru hingga sudah beberapa kali ganti bupati, tetap saja begitu. Apakah karena kedua pasar itu memang lebih ramai dibandingkan dengan pasar-pasar lainnya di pulau Madura yang juga macet pada hari pasaran tapi tidak separah keduanya?

Tujuan perjalanan kali ini adalah menghadiri Haul Kiai Muhammad as Syarqawi (pendiri PP Annuqayah, leluhur kami, asal Kudus, wafat di Guluk-Guluk, Sumenep, 1911), yang akan dilaksanakan pada Kamis siang, 13 Juni 2019, di pondok Al-Munir, Kalianget, Banyuglugur, Besuki, Situbondo. Karena masih banyak tujuan sampingan (mampir-mampir, silaturahmi, takziyah, jengukan, dan lain sebagainya), makanya kami berangkat H-3. Kebetulan pula: sekolahan belum masuk; santri belum kembali, dan; para guru belum mengajar. Resikonya, ya, sisa arus balik pastilah ada. Tapi kesempatan ini tak boleh terbuang begitu saja.

Malam itu, kami berangkat dalam dua rombongan. Mobil saya mengangkut anggota keluarga, sedangkan Ibu mengajak sebagian saudara saya dan anak mantunya dengan naik Mitsubishi Kuda. Saat akan mencapai Tanah Merah, baru lewat pergantian hari, masuk 11 Juni pagi, tiba-tiba Warid—yang ketika itu pegang kemudi—berkata.
“Ini kabel gasnya melorot!”
“Masa?” sontak saya rada cemas. Untung saya segera paham, “Tenang, itu pasti jepitan kabel gasnya lepas.”

Setelah saya periksa, dugaan benar. Baut penjepit kabel gas (ujung kabel gas) kendor sehingga kabel gas pun melorot. Hanya butuh waktu 5 menit kurang sedikit, masalah teratasi. Sayangnya, saya tidak bisa mengencangkannya dengan baik karena obeng yang saya pakai terlalu panjang. Yang dapat saya lakukan hanya memutar dengan dua jari karena ruangnya sempit sementara obengnya terlalu panjang kalau dipasang dengan pegangannya (saat pulang lepas lagi di tol Porong-Perak, bisa diatasi lagi, dan sekarang saya sudah punya obeng pendek buat jaga-jaga).

Mendekati Jembatan Suramadu, tiba-tiba ada yang menyejajari kami sembari membunyikan klakson. Saya cek di kaca belakang Grand Livina yang barusan menyalip itu tidak ada satu pun indikasi stiker yang menunjukkan tanda-tanda kenal. Akhirnya, karena ia melambat dan ambil sisi kiri, kami menyalipnya. Baru tahu kalau ternyata Darori.

“Woi, kamu toh!” panggil saya dengan keras. “Kemana?”
Dia menjawab tapi saya tidak mendengarnya. Baru tahu belakangan kalau dia hendak ke Tulungagung.

Mobil yang dinaiki ibu dan rombongan adik-adik mampir di masjid tepi jalan, Kalilom Lor, Kedungcowek. Entah, mereka mampir untuk apa. Kami tadinya memang berangkat bersama. Tapi, saya putuskan untuk lanjut saja karena yakin pasti mereka dapat mengejar kami, nanti.

Kami menyeberangi kota Surabaya—untuk mencapai tol Perak Timur—dengan cara lewat Sidotopo ke Hang Tuah Jl. Jakarta, Tanjung Perak Timur, Putar ke Tanjung Perat Barat, Laksda M Nazir (Depannya Taman Barunawati), masuk ke bundaran patung buaya dan ambil kiri ke tol Perak – Satelit, dari KM Nol. Biasanya, saya lewat Kenjeran, Kapasan, Stasiun Kota, Pahlawan, Dupak, dan masuk tol. Tujuan saya dengan cara menyisir rute utara kali ini adalah untuk memperkenalkan salah satu rute alternatif kepada penumpang yang saya ajak (nanti pulangnya lewat Pahlawan).

Saat masuk gerbang tol otomtis, tertera saldo di layar: Rp 27,000. Saya kira, saldo ini memang cukup untuk sampai ke Gempol/Kejapanan, tapi tidak mungkin bisa dipakai sampai Grati, apalagi Probolinggo. Adapun turun tol di Raci (depan Pondok Pesantren DALWA) sangat tidak masuk akal: akses keluar tolnya sangat jauh dan jalannya tidak bagus. Dan atas pertimbangan pantauan kondisi jalan raya yang relatif bersahabat, tidak padat dan tidak longgar, diputuskanlah untuk tetap tidak lewat tol, lewat Jalan Nasional saja.

Sesuai dugaan, menjelang pintu keluar Tol Gunungsari, mobil ibu menyalip. Maklum, kecepatan Colt saya hanya tertahan di angka 70-80 km/jam, tidak lebih dari itu demi menjaga “ke-mobil-iawian” kendaraan, makin uzur harus makin santai. Nyatanya, setelah kami keluar dari bundaran Gempol, arus lalin ke arah timur tidaklah ramai. Jadi, di tol maupun di jalan nasional, laju mobil kami sama saja, tetap berkisar di kecepatan segitu, hanya mungkin beda-beda sedikit ketika tersendat atau ada lampu merah. Pantas dan wajar saja ketika mobil ibu keluar di Probolinggo Timur (arah Leces) pada saat kami melintasi Nguling. Selisihnya masih rasional.

SELASA, 11 Juni 2019

Atas permintaan tuan rumah yang mendadak menelepon saya saat akan berangkat, terpaksa kami mampir di Kraksaan (padahal dua bulan yang lalu kami baru saja dari situ, juga bawa Colt CEK TAUTAN AKTIF). Bindara Muzanni (yang ditugaskan Kiai Mustofa) mempersilakan kami istrihat di rumah kayu Kia Mustofa Badri. Subuh masih satu jam lagi. Makanya, kami nunggu waktu azan, lalu tidur setelah itu karena semalam suntuk kami melek melihat kegelapan: hitamnya aspal dan cahaya-cahaya lampu kendaraan.

Setelah ada pesan dari Kiai, “Mampir sebentar saja tidak apa-apa, sepeminuman kopi saja”, kami bangun pukul 07.30, makan lontong yang sudah disiapkan, dan ngeteh di kediaman kasepuhan kiai sekitar 15 menitan lamanya. Habis itu, perjalanan dilanjutkan, perjalanan yang masih panjang, masih sekitar 100 kilometer lagi.

Tengah hari, sampailah kami di rumah bibinda Azizah, di Lamongan, Arjasa, Situbondo. Colt ini sudah berkali-kali tiba di tempat ini. Kami bongkar muatan dan tidur siang, tentu saja setelah makan dengan lahap. Sorenya, kami bertolak ke Widuri, Asembagus, ke rumah bibinda satunya, nyambangi Pamanda Syibawaih Sulaiman yang habis operasi. Beliau sakit dan menjalani operasi menjelang puasa. Karena tidak mungkin kami pergi sambang menjelang Ramadan, maka kami akhirkan saja kunjungannya, yakni saat ini. Setelah isya, agak malam sedikit, barulah kami kembali ke Arjasa, nginap di sana. Sisa capek masih belum sepenuhnya sirna.

RABU, 12 Juni 2019


Pagi ini adalah hari kedua di Situbondo. Agenda saya adalah ke Galekan, Wongsorejo, Banyuwangi. Tujuan utamanya adalah nyambangi paman (sepupu almarhum ayah) yang hijrah dan tinggal di sana. Ini adalah kunjungan yang entah keberapa kalinya, tetapi merupakan kunjungan yang ketiga dengan mobil ini, Colt T120. Kunjungan yang pertama tahun 2010, yang kedua tahun 2011, yang ketiga sekarang, 2019.

“Ada yang mau ikut pergi ke hutan?”
“Saya... “ jawab anak-anak serempak.

Saya kira, istri saya tidak akan ikut, memilih tinggal bersama bibinya. Rupanya, dia ingin ikut bersama kami karena tujuannya bukan wisata, melainkan sambang famili alias silaturahmi. Pergi ke rumah teman orangtua, atau ke orang-orang yang pernah berhubungan dengan orangtua kita, apalagi masih ada ikatan saudara, adalah sunah. Adapun janji pergi ke Taman Nasional Baluran adalah bonusnya.

Sehabis sarapan, berangkatlah kami ke arah timur, melewati Asembagus, Sukorejo, Banyuputih, dan mulai masuk Alas Baluran. Perjalanan ke Wongsorejo pasti mengasyikkan karena kami akan melewati Alas Baluran sepanjang kira-kira 23 kilometer. Jalannya berkelak-kelok, menanjak dan menurun. Seperti biasa, di tengah hutan jati, kita akan selalu melihat pemandangan truk-truk besar yang mogok atau berjalan terseok. Kita sering melihat pemandangan semacam ini dengan perasaan santai dan datar, padahal mereka menjalaninya dengan situasi tegang. Inilah ironi manusia, dan persis begitu saat kita melihat sirkus: kita bayar untuk menyaksikan binatang-binatang itu sebagai hiburan padahal semestinya mereka bebas harus hidup di luar kurungan.

Setelah minum kopi dan seterusnya, basa-basi dan seterusnya, kami pamit pulang. Hari baru beranjak siang, baru lingsir tengah hari. Tinggal satu lagi. Keinginan yang saya simpan sejak dulu harus dikabulkan hari ini: pergi ke Taman Nasional Baluran.

Wisata Taman Nasional Baluran berada di ujung timur Alas Baluran. Areanya masih masuk wilayah administratif Situbondo dan bersebelahan batas dengan Kabupaten Banyuwangi karena Wongsorejo—kediaman paman saya—memanglah masuk wilayah Banyuwangi timur laut (timur-utara). Dari dulu, jalan masuk ke hutan ini saya kira berada tidak jauh dari pintu masuk yang berlokasi di Batangan. Ternyata, kami masih harus menembus hutan sejauh 8 kilometer ke sabana Bekol atau nambah 4 kilometer lagi untuk tiba di Bama, bibir pantainya.

Sabana (atau savana) bekol adalah padang rumput yang sangat luas. Ia adalah ‘rumah makan’ spesies-spesies yang ada di sana. Sayangnya, karena saya datang di siang hari, tidak ada penampakan binatang-binatang yang dimaksud, seperti rusa dan badak. Hanya monyet yang banyak, juga manusia yang selfie atau berlagak di depan kamera.  Menurut penuturan sesama pelancong, waktu terbaik untuk berkunjung adalah sore hari. Sepintas, sabana luas ini akan semakin tampak seperti Afrika, atau taman Zanzibar dengan latar Kilimanjaro yang di sana bernama Gunung Baluran.

Sementara pantai Bama hanyalah pantai biasa. Yang membedakan dengan lainnya adalah adanya pohon-pohon besar di sekitar pantai yang membuatnya teduh. Jadi, pantai ini berbatas langsung dengan hutan.

Dari Baluran, kami balik ke Asembagus, tapi sebelumnya singgah ke PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Di pesantren ini, kami melakukan takziyah yang tertunda , ke keluarga mendiang Kiai Abdul Wasik. Beliau wafat 17 Sya’ban alias hampir dua bulan yang lalu (23 April). Apa daya, karena baru sekarang kami ada waktu, maka baru kali itu kami melakukannya. Bahkan, rencana kepergian saya ke Jawa kali ini yang sebelumnya juga diarahkan ke Krai, Yosowolangun, untuk sekalian takziyah ke Nyai Azimah (20 Mei) harus terpangkas karena di hari pemberangkatan (Senin, 10 Juni) masih ada undangan walimah, yang semestinya kami sudah bertolak pada Ahad malamnya.


Di Sukorejo, saya kembali bertemu Ibu yang datang dari arah Bondowoso. Kami takziyah bersama. Dikawal oleh Nabil, putra Kak Rifai, habis takziyah kami ambil bonus silaturahmi ke kediaman saudara kami yang lain, ke rumah Erfah dan Suwandi serta ke rumah Nabil sendiri.


Belum berakhir di situ, silaturahmi masih berlanjut: mobil kami dan mobil ibu bersama pergi ke Sletreng, ke pondok pesantren Sumber Bunga, menyambangi mbahanda Nyai Rauhanah (beliau adalah sepupu mbah putri saya), janda mendiang Kiai Ahmad Sufyan. Saat ibu dan rombongan putri masuk ke dalam. Hamdalah, saya sempat bertemu dengan pengasuh, Kiai Syainuri Sufyan yang selama ini tersiar kabar sakit. Meskipun masih tampak lelah, sempatklah kami bertegur sapa walau sebentar.

Agak malam, kami keluar dan kami pun berpencar. Rombongan Ibu ke arah Besuki, saya kembali ke Arjasa. Besok kami akan bertemu lagi, juga dengan saudara-saudara yang lain, dari berbagai penjuru arah, di PP Al-Munir.


KAMIS, 13 Juni 2019

Sebelum diputuskan berangkat ke barat, ke Besuki, pada pukul 10.00, saya masih sempat disambangi oleh Masuki M Astro (beliau adalah wartawan Antara) bersama kedua rekannya, Imam dan Diana, yang berencana sowan ke makbarah Sukorejo. Sempat kami bertamu di rumah paman, dalam status saya yang juga sebagai tamu di sana. Tentu saja, sebagai tamu, saya minta izin terlebih dulu kepada paman karena harus menerima tamu di kediamannya.

Dan seperti yang dijanjikan, berangkatlah kami ke Besuki pada pukul 10 lewat sedikit. Kami melajukan mobil dengan wajar. Warid yang pegang kemudi. Kami tiba di lokasi sehabis azan duhur, langsung shalat dan bergabung dengan para hadirin yang lain.

Acara berlangsung lancar. Maklum, acara silaturahim Bani Syarqawi ini tidak punya agenda tahunan. Sejauh didirikan, ia baru dilaksanakan beberapa kali. Pertama kali di awal 90-an. Agenda keduanya tahun 1999. yang ketiga tahun 2012. yang keempat—dan yang pertama kali dilaksanakan di luar pondok pesantren Annuqayah—dilaksanakan di Al-Munir, Besuki. Keluarga dan famili datang dari berbagai penjuru. Seluruh hadirin datang dan langsung dipersilakan makan secara prasmanan duluan. Menunya sangat lengkap, mengundang selera. Acara selesai pada pukul 16.00.

sekitar pukul 16.40, saya keluar dari Al-Munir. Sebagian besar sudah pergi, tapi masih ada juga yang belum pulang dari lokasi. Namun, saya mampir  dulu di SPBU Utama Raya, stasiun pengisian bahan bakar yang berada kira-kira 5 kilometer di barat tempat acara, merupakan SPBU paling barat di Kabupaten Situbondo. Kami tidak isi BBM, tapi justru mengantar anak-anak main di pantainya.

Memang, SPBU nomor 54.683.10  ini tergolong SPBU besar, memiliki 80 toilet (memecahkan rekor MURI sebelumnya yang dipegang SPBU 44.521.08 Tegal dengan 67-an toilet). Ada banyak kamar penginapan dan restorannya. Ia juga menyediakan wahana permainan air laut, berupa jetski, mancing, snorkeling, dll., dengan tarif yang bersahabat, mulai dari hingga 400 ribu/5 jam (untuk mancing di tengah laut, dengan fasilitas kapal pemancing). Mungkin karena akses masuk ke pantai yang dibikin gratis inilah yang membuat SPBU ini ramai sekali, juga karena tarif menginapnya yang relatif terjangkau yang membuat bis-bis yang hendak ke Bali singgah dan menginap di sini. Kalau agak capek mau jalan kaki ke pantai yang berjarak sekitar 300 meter, disediakan pula mobil golf dengan tarif 3000/orang.

Sayangnya, kami datang terlambat, pukul 17.00 lewat. Wahana air sudah ditepikan dan diikat. Anak-anak saya kecewa. Untungnya, pengelola hotel memperbolehkan bermain wahana itu asal di tepian saja, tetap terikat, dan tentu saja gratis. Kecewa mereka terobat. Syukur pula, di sana, tanpa sengaja, saya bertemu dengan kawan lama, Memet Miftahus Surur, yang rumahnya memang tidak jauh dari tempat ini.

Menjelang isya, kami baru keluar dari SPBU tersebut, bergerak ke arah barat, menuju Probolinggo, pulang. Perhentian kami selanjutnya adalah Masjid Sabilul Muttaqin, Sumbersari, kira-kira 2,5 kilometer di barat kota Probolinggo. Masjid ini ‘legendaris’ bagi saya. Bersama ayah saya, pertama kali menyinggahinya sekitar tahun 1998 atau 1999, saat masjid masih berlantai tanah dan hanya bagian dalamnya yang berlantai lepa. Alasan mendiang ayah saya berhenti di situ adalah karena air masjid yang sangat melimpah. Biasanya, tiap kali saya mampir di sini, pasti selalu bertemu dengan kenalan dari Madura. Tak terkecuali saat itu, saya bertemu dengan beberapa rombongan yang pulang dari acara yang sama, haul Kiai Syarqawi.


Setelah makan, mandi, dan shalat, telentang-telentang barang sebentar, barulah kami mulai lagi perjalanan panjang kami ke Madura. Jalananan normal malam ini. Hamdalah, tidak ada kemacetan. Bahkan jalan tersendat pun nyaris tak ada. Kami masih lewat jalan nasional, tidak lewat tol, sama seperti ketika berangkat.

Kejutan terjadi hanya di ruas jalan Porong-Perak. Kabel gas lepas lagi. Yang bikin gregetan saya adalah ketika obeng yang saya gunakan untuk mengencangkannya terjadi, nyangkut di tengah pelindung mesin. Mau saya ambil tentu saja tidak berani karena posisinya dekat sekali dengan knalpot, panas sekali. Untungnya, dikorek-korek pakai batang kayu, jatuh juga akhirnya dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Saya pribadi memang kurang enjoy lewat di jalan tol (bukan antipati, lho) jika tidak ada alasan mendesak. Bepergian dengan lewat jalan tol itu rasanya sedang berjalan di tengah sawah tapi dengan kesan ‘alienasi’, bukan nuansa asri. Entah mengapa kok bisa begini. Jika jalanan diperkirakan macet dan kami rada buru-buru, barulah saya putuskan lewat jalan tol.

Masuk kota Surabaya dengan turun di Dupak, lewat Pasar Turi, masuk Pahlawan, lanjut Kapasan, kami melipir di SPBU Jalan Kenjeran, selepas perlintasan rel sepur Kalimas. Kami isi pertalite 150.000 di sana. Jarum indikator bahan bakar pun naik ke atas separuh. Akhirnya, kami tiba di rumah satu jam menjelang subuh. Alhamdulillah.

TAMBAHAN DATA:

1. Berdasarkan data Google Maps (karena saya lupa tidak mencatat odometer), jarak tempuh perjalanan kali ini adalah 435 km x 2 (dari rumah ke titik Wongsorejo) = 870. Jika ditambah dengan jarak masuk ke rumah paman, masuk ke Taman Nasional Baluran, nambah lagi ke Banongan, totalnya saya taksir  900 kilometer. Jarak tersebut lebih jauh daripada jarak dari Sumenep ke Cikampek (untuk sekali jalan)
2. Bahan bakar yang dihabiskan sekitar 80 liter (premium 76 liter, pertalite 19 liter), lebih boros sedikit daripada perjalanan Sumenep-Jogja tahun lalu yang sepenuhnya menggunakan pertamax.
3. Rekaman gambar dan video perjalanan menggunakan GoPro HeroBlack 5 yang dipasang di atas rak atas dan juga kamera ponsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...