Hari ini, dalam buku diari saya, jadwal undangan banyak sekali. Ada undangan pernikahan Ely Sofiana; ada selamatan adiknya Fayyadl; ada undangan maulid di rumah H. Bahrus, dan semua undangna ini berlokasi di dekat rumah, di Madura, juga pada jam yang hampir bersamaan, siang. Tapi, hari ini, saya berada di Situbondo dalam rangka menghadiri pernikahan pamanda Aydi Ma’mun dengan istrinya, Ning Jayyidah binti Kiai Kholil Muhammad.
Sebelum berangkat kondangan ke PP Sumber Bunga (baca: sombher bhunga; sumber kebahagiaan) Sletreng, saya masih sempat kembali ke Asembagus, mengambil kunci ring dan pulpen serta buku agenda yang tertinggal kemarin sore, serta main ke rumah Mukhlis untuk makan lupis dan ngopi, dll.
ketemu sama Om Faqih dari Buleleng |
Baru pukul 10.00 kurang seperampat, kami berangkat. Pergi ke acara inilah inti perjalanan ke Situbondo kali ini, meskipun bertandang ke rumah famili jauh lebih banyak memakan waktu. Intinya, menghadiri walimatul ursy pernikahan Pamanda Aydi Makmun bin Kiai Ahmad Sufyan ini punya bonus yang besar, khususnya buat saya. Mampir-mampir seperti dalam kisah di atas itu adalah di antaranya.
Rangkaian
acara pernikahan Kiai Aydi Ma’mun bin Kiai Ahmad Sufyan di PP Sumber Bunga,
Sletreng, Situbondo, berarakhir setelah azan duhur berkumandang. Kiai Kholil
Muhammad memungkasi acara dengan doa penutup. Ini kejadian jarang terjadi
karena posisi beliau, saat itu, adalah sebagai besan yang lazimnya tidak
‘ngisi’ acara—seperti sambutan yang biasanya diwakilkan kepada orang lain,
bahkan meskipun tugas itu ‘hanya’ sebagai pembaca doa. Jika ini terjadi berarti
ada sesuatu yang istimewa. Barangkali karena tuan rumah memposisikan Kiai
Kholil ini sangat terhormat karena putra dari Kiai Muhammad bin Imam yang
notabene merupakan ‘rekan seperjuangan’-nya Kiai Ahmad Sufyan.
Undangan berhamburan untuk pulang, siap di pintu dengan berkat, menunggu mobil-mobil mereka datang dan melintas dari parkiran.
Saya
segera berkordinasi dengan istri agar pulang belakangan saja. Capek kalau
rebutan. Undangan banyak sekali soalnya. “Sekalian ambil bonus, salam-salaman
sama kenalan atau famili yang bertemu,” kata saya. Kapan lagi bisa bertemu
dengan banyak orang dan banyak famili jika bukan di acara pernikahan seperti
ini?
“Mampir
rumah.”
“Terima
kasih, saya sungkan!” Saya tertawa.
“Ndak
apa apa. Hari ini saya tidak pergi ke mana-mana.”
“Insya
Allah.”
Terus, istri beliau yang berada di belakangnya, Nyai Hafsoh, bilang; “Colt-nya mau ditukar, tah?” timpal beliau saat mau naik ke mobilnya, Velfire. Saya tahu, ini guyon asli, bukan sindiran. Maka, saya balas saja dengan guyon setimbang.
“Mmmm...
masih mau saya pikir-pikir dulu!”
Beliau
berdua tertawa.
Dari lokasi, kami lanjut ke Klatakan ketika undangan sudah tinggal beberapa saja. Kami menuju ke rumah ipar sepupu daripada istri saya, rumah pertama yang kemarin kami singgahi di Situbondo. Di situ, kami mengantar dua ipar sepupu yang hendak singgah dan berencana bermalam. Mereka berdua itulah yang sebelumnya bareng mobil saya dari Madura. Jika begitu, berarti saya hanya akan pulang bertiga; dengan istri dan keponakan istri saya. Jadi, Colt yang ketika berangkat membawa penumpang lima orang akan balik dengan hanya 3 penumpang.
Hujan deras mengguyur saat saya tiba di Klatakan. Saya mengantuk, tidur terjadi tak terencana. Dan tak terasa pula waktu menunjuk hampir asar. Saya pamit, tapi tuan rumah melarang, meminta kami agar berangkat setelah reda. Saya berkelit, “Berdasarkan warna langit yang pucat, hujan tak akan reda meskipun hingga maghrib tiba...”
Terpaksa juga kami berangkat saat hujan masih deras-derasanya.
Anam, sepupu saya, yang sekarang membawa kendali. Kami mengolesi kaca dengan shampo agar tidak ngembun. Berhasil, pandangan serlah ke depan meskipun hujan deras mengguyur.
Jalan tidak sepadat biasanya. Maklum, banyak sepeda motor yang tidak berjalan kalau hujan. Jadi, ‘lawan’ kami hanya mobil kecil dan truk. Anam masih bisa membawa kendaraan hingga kecepatan 60 km/jam. Saya kira, untuk mobil Colt yang remnya masih pakai tromol, kecepatan segitu adalah batas maksimal dalam karegori aman mengingat rem kadang ngawur jikalau terkena air saat melewati genangan.
Sementara itu, mesin relatif normal. Bredbet masih ada meskipun tak seberapa. Artinya, tutup delco itu memang bermasalah, tapi rupanya masalahnya bukan cuman di situ. Pengapian ada masalah yang lain. Saya memang sudah beli kabel busi meteran, tapi tidak dipasang. Ini cuman buat jaga-jaga saja. Selagi mobil masih bisa berjalan agak normal, biarkan saja, deh. Perbaiki di rumah saja.
Pukul 16.16 kami tiba di PP Badridduja, Kraksaan. Kami mampir sebentar saja di rumah Kiai Mustofa. Kami bertamu secara formal, duduk-duduk, bercakap-cakap. Saya bilang kepad tuan rumah agar tidak disiapkan makanan, terus terang saja, takut tidak termakan soalnya karena di samping kami baru makan di kondangan, kami juga bawa sangu berkat yang berisi roti dan nasi.
Selepas azan maghrib, kami shalat, lalu berangkat. Tujuan berikutnya adalah Leces. Saya hendak menyambangi Heri, kawan di pondok, dulu. Rencana ini di luar agenda. Awal dia meminta agak memaksa untuk mampir karena tadi sempat nyambung telepon di jalan, padahal saya hanya nanya nomor ponsel kawan bersama kami, Taufik, sama dia, eh, yang terjadi malah begitu: mampir ke Heri, ke Taufik justru tidak.
Kami tiba di sana pukul 19.00. bagi kami, perhitungan ini, satu jam perjalanan sudah dianggap cepat mengingat perjalanan dari Kraksaan sampai lokasi masih gerimis. Alhamdulillah, senang sekali rasanya bisa mampir ke rumah kawan yang lama tidak bertemu dan pertemuan tersebut di luar perencanaan. Sebetulnya, minggu lalu (24 Oktober), ketika saya datang dari Jember dan lewat Leces, saya memang berencana mampir, tapi gagal, dan ternyata terjadi seminggu kemudian.
“Satu atau
setengah?”
Begitulah cara Heri menyapa saya. Ini adalah sapaan kunci, ucapan yang dia biasa ajukan kepada saya saat mau makan, dulu, di pondok. Maklum, Heri adalah mantan penjaga kantin nasi milik kiai. Porsi satu adalah porsi standar. Porsi setengah ada porsi sedang. Kalau lapar, maka porsinya jadi satu-setengah. Malam itu, Heri menjamu kami dengan goreng.
Pukul 20.30, karena tema obrolan masih ngawur dan ngalor-ngidul, saya harus potong, dan kami mesti pulang. Rumah masih jauh, masih sekitar 265 kilometer dari situ. Kami arahkan mobil masuk ke pintu tol.
Mobil langsung
masuk tol pintu tol Probolinggo Timur yang biasa diseput “Clarak” oleh penduduk
sekitar, Leces. Masih tetap Anam yang bawa.
“Cukup ndak ini
sampai Pandaan?” tanya dia sambil menunjukkan jarum penunjuk bensin.
“Sepertinya cukup, tapi mungkin cuman sampai Gempol.”
Jalan tol sepi, dan ini malam minggu, bahkan orang-orang yang biasanya pergi ngapel pun mungkin juga pilih ngumpet di rumah karena suasana yang dingin karena hujan seharian. Kami tetap kendali diri, tidak ngebut. Laju mobil masih standar saja, tidak sampai 80 km/jam. Agaknya, hujan merata ke seluruh daerah di Jawa, bahkan mungkin Indonesia.
Sampai di Pasuruan, kami turun di Pintu Tol Kejayan. Pasalnya, saya ragu, BBM agaknya harus diisi dulu. Kami lewat—katanya daerah—Wukir sampai ke dekat pintu masuk pondok Sidogiri. Tapi ternyata ada macet. Anam turun dari kabin, melihat kondisi jalan ke arah depan.
“Sepertinya macet
panjang. Tak ada kendaraan datang dari arah barat.
Gimana? Balik,
ya!”
“Wah, kita sudah
jauh keluar dari tol, masak balik lagi?”
“Ya, ketimbang
macet lama di sini dan tidak tahu sampai kapan?”
“Terserah kamu dah.”
Kami putar balik, isi bahan bakar dulu di SPBU Karangketug, balik lagi ke tol Kajayan, masuk, lalu ngejos langsung Pandaan. Mungkin kami telah kehilangan jarak percuma sekitar 7 km x 2, atau kurang sedikit. Tapi, tak apa-apa ketimbang kami nunggu macet terurai dan itu entah seberapa lama. Kini, kami tenang karena bahan bakar hampir penuh setelah diisi pertamax 300.000.
Sampai di
percabangan batas akhir tol Leces-Gempol, sempat terpikir untuk lanjut ke Perak
saja, pulang ke Madura, sudah mulai bosan melihat hujan terus sepanjang
perjalanan. Tapi, saya lantas ingat si Agus yang dari tadi maksa-maksa agar
kami ngopi dulu di kedainya, Akui Kopi, di Pandaan.
Lokasinya di sebelah barat Masjid Laksamana Cheng Ho. Akhirnya, kami ambil
haluan kiri, mengarah ke Malang, menuju Pandaan demi turun di pintu tol Taman
Dayu.
Kami tiba di Akui Kopi hampir pukul 23.00. Di situ kami cuman ngopi dan makan gorengan. Waduh, kalau pakai pertimbangan waktu dan jarak serta ongkos tol, kayaknya gak cucuk. Tapi karena tuan rumahnya merasa sangat senang atas kedatanngan kami, maka nilai secangkir kopi dan sepiring gorengan sudah beda level dan kastanya, naik ke maqam tertinggi. Sungguh luar biasa apa itu yang disebut silaturahmi.
Dari situ, setelah jam lewat pukul nol-nol, saya pulang dan giliran saya yang gantian mancal. Jalan pulangnya lewat arteri. Jalan sepi dan menurun. Saya genjot saja sampai kecepatan 80-90 km per jam. Jalanan tak basah lagi, tak berasa basah tepatnya. Tiba tiba, mobil sudah mencapai Kejapanan. Saya lanjut terus ke utara, masuk Porong, lewat tengah kota, masuk Sidoarjo, terus ke Jalan A Yani, terus ke Ngagel hingga tiba di Kenjeran.
Saya berpikir, andai tadi kami lewat tol, masuk di Kejapanan, mungkin durasi waktu perjalanan agak lebih singkat ditempuh. Tapi, saya lalu ragu, toh malam -malam begini tidak ada kemactean di kota Surabaya. Lampu merahnya bahkan cuman saya jumpai beberapa kali saja, entah 3 atau 4 kali, Lagi pula, lewat tengah kota itu bisa menghemat jarak sekitar 7 kilometer jika dibandingkan dengan jalan tol yang memutar.
Anam menggganti posisi kursi pengemudi lagi di SPBU Galis. Kabar tersiar kalau ada kemacetan di sana ternyata sudah terurai. Dua tronton yang tidak kuat menanjak di situ ternyata dalam evakulasi, dan tak ada kemacetan.
Singkat cerita, kami mengakhiri perjalanan 838 kilometer ini di halaman musalla rumah pada pukul 04.20, masih nutut ngimami shalat subuh. Kami tiba dalam keadaan tidak kurang suatu apa, hanya jarum bensin yang kurang sedikit dari garis tengahnya.