Pembaca

10 Desember 2020

Darjo Lagi, Darjo Laaagi

Ahad, 6 Desember 2020
___________________

“Saya ikut, bisa?” tanya Agus
“Bisa, muat, kok.”
“Kalau bawa ayam dan kurung?” tanya dia lagi.

Saya tidak menjawab hingga dia mengirimkan foto kurung ayam tersebut di kotak pesan, dan saya iyakan. Tapi, astaganaga, ternyata kurung ayam itu sangat besar, di luar ekspektasi. Saya kira kurung ayam yang bisa diangkat dengan tangan sebelah, ternyata sangat besar. Salah tadi, waktu kirim foto tidak disertakan benda pembanding. 

Daripada membuat kecewa, saya angkut saja kurung ayam itu di atas mobil. Untungnya, mobil saya ada rak atapnya.  

Perjalanan ke Sidoarjo kali ini rasanya memang harus naik Colt. Meskipun ide awalnya mau sewa Elf, tapi akhirnya rencana itu gagal karena salah seorang panitianya berharap agar saya bawa Colt.

“Boleh saya parkir nanti di dekat panggung, sebagai bagian dari properti panggung?”, tanya saya sema beliau, Selasa lalu, pamit lebih dulu.

“Oh, tentu, biar Colt Anda tampil bersama Anda karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari proses kreatif Anda!” Kalimat yang diucapkan Mas Ribut Wijoto memang tidak persis seperti yang saya tulis, tapi kira-kira tidak jauh-jauh amat melencengnya. 

Saya pergi ke Sidoarjo dalam rangkat pentas. Saya bawa rombongan untuk teatrikalisasi puisi, puisi dialog, dan musikalisasi puisi, serta saya sendiri untuk orasi.  Tentu, tidak muat kalau sebelas orang naik Colt semua. Maka, saya bawa satu mobil angkutan lagi, Suzuki CAMRY, eh, Carry. Bersebelas kami berangkat ke Sidoarjo di hari Ahad pagi. 

Hujan mengguyur menjelang kami lewati perbatasan Pamekasan-Sampang. Dan gerimis jatuh terus-menerus, sesekali deras. Di satu sisi, saya agak cemas karena perjalanan di tengah hujan itu sangat berisiko: rem, pandangan mata, pemantauan pergerakan lalu lintas, dll. Tapi, ada keunggulan di sisi lain: bagi mobil non-AC seperti mobil kami, ini menguntungkan karena udara kabin tidak terlalu pengap. 

Kami shalat duhur-asar di Dumajah, di masjid Baiturrohman. Masjid ini—untuk saat ini—agaknya merupakan masjid yang paling ramai disinggahi di jalur selatan Madura. Ia dijadikan favorit perhentian rombongan. Letaknya kira-kira 6 km dari pertigaan Tangkel, pertigaan akses Suramadu arah Sumenep. 

Kami tiba di masjid itu pada 11.30, shalat jamak taqdim, makan siang juga di situ (karena kami memang bawa bekal dari rumah). Bawa bekal ini adalah kebiasan orang dulu yang saya hidupkan kembali demi menghemat biaya perjalanan dan demi menjamin kehalalan makanan. Agak ribet, sih, tapi sekarang saya sudah biasa. 
Rombongan dua mobil berjalan beriringan. Saya yang di posisi depan memandu mobil belakang yang disopiri oleh yang pertama kali masuk kota Surabaya di siang hari. Keberaan handy talky sangat membantu kami. 

Kami masuk Kenjeran. Di Perempatan Kaliondo—yang kalau kanan ke Sidotopo—kita ambil kiri, ke Jalan Kapasari, lalu belok kanan lagi ke Kalianyar, terus Jagalan, terus melintasi Tembaan, selatan Tugu Pahlawan, ke Pasar Turi, dan tembus di tol. Ini bukan rute biasa yang saya lewati. Rute ini saya tempuh hanya demi menunjukkan kepada pengemudi satunya, yang saya ajak untuk mengangkut santri-santri yang akan pentas teatrikalisasi puisi, karena rute ini merupakan rute paling mudah dari Suramadu untuk mengakses jalan tol. 

Hujan yang terus mengguyur bikin kabin yang mestinya panas karena siang, berganti pengap karena semua kaca tetap harus ditutup rapat. 

Tiba di Sidoarjo, jam menunjuk pukul 14.30, hampir asar. Hamdalah, Lia Zen mengizinkan kami untuk sekadar leyeh-leyeh di lantai tiga kafe Jungkir Balik-nya, sekaligus mandi bagi mereka yang berani mandi dalam keadaan suhu alam diguyur hujan seharian. Dia bahkan menawari kami makan, tapi kami berterima kasih karena memang baru habis makan, baru dua jam yang lalu. 

Pentas Pertunjukan Puisi 

Malam itu, Malam Senin, 6 Desember 2020, saya didapuk untuk tampil dalam agenda “Jatim Art Forum” (JAF), sebuah program kerja Dewan Kesenian Jawa Timur. Rangkaian acara JAF ini berlangsung di beberapa tempat: teater di Gresik, musik di Malang, dan sastra di Sidoarjo (sebelumnya direncakan di Situbondo, tapi digagalkan karena tuan rumah tidak siap terkait suhu politik di sana yang kurang kondusif karena jelang pilkada). Sepertinya masih ada agenda lainnya, tapi saya tidak tahu. 

Acara malam itu sepenuhnya ‘milik saya’. Artinya, panitia menyerahkan sepenuhnya rangkaian acara untuk saya kelola. Panitia hanya meminta Dewan Kesenian Sidoarjo (Dakesda) untuk menyambut dan menyiapkan tempat. Dakesda sendiri tampil dengan Techno Poem atau Puisi Elektronik. Ribut Wijoto dan Rafif membacakan puisi; Amelia membaca narasi; dan Sony memainkan musik latarnya, house mix, musik jedag-jedug yang mengiringi pembacaan puisi. 

Setelah mereka, saya tampil. Saya orasi dan membacakan beberapa puisi. Terus, setelah itu, tiga orang santri membacakan dialog puisi yang berisi percakapan benda-benda dapur, secara dialogis. Alur dituturkan oleh seorang  narator. Konsep pertunjukan ketiga adalah musikalisasi puisi. Agus Salim Faradilla yang membawakan tiga puisi karya saya: dua bertema kopi, satu lagi bertema meditasi. Puncakanya, lima orang santri eks Sanggar Kotemang MA 1 Annuqayah yang mementaskan teatrikalisasi puisi, mengangkat tema kehidupan santri dengan judul Lirik Santri. 

Sehabis pentas, saya bertemu dengan Alek Subairi dan Mashuri. Kami juga bertemu dengan Kholil, santri Prajjan yang dulu sempat kenalan di pondok Nazhatut Thullab, yang datang bela-belain nyepeda motor dari Kenjeran Surabaya sejauh 40-an kilometer ke Sidoarjo demi menonton acara pertunjukan ini. Saya juga bertemu dengan Mas Zamroni dan Mbak Ida, dua penggiat Kampoeng Sinaoe di Buduran yang sangat tekun. 

Malam itu, meskipun pentas yang semula direncanakan outdoor atau di luar ruangan oleh saya dan Pak Nasar harus dipindah ke dalam ruang, tetap membuat kami puas dan senang. Saya bahagia. Orang-orang yang saya ajak juga begitu, tapi tidak dapat menyembunyikan rasa lapar. 

Pertunjukan ini, terutama yang terakhir, mendapatkan apresiasi yang bagus. Salah satu buktinya, menurut saya, diekspresikan oleh Bu Iffa Tsuraya dengan cara mengajak kami memungkasi pasca-acara dengan makan rawon Al-Abror, rawon yang konon sudah berdiri sejak 1945. Kami makan lahap, maklum, lapar sehabis pentas. 

Kami pulang menjelang pukul 11 malam. Di jok depan, saya tidur dan tidak ingat apa-apa lagi. Cak Dong yang mengemudi. Mobil satunya hanya mengikuti, nempel terus. Entah bagaimana ceritanya saya baru terbangun setelah Cak Dong ngisi bahan bakar di lepas Jalan Suramadu, di Labang, sudah di Madura. Soalnya, ketika berangkat, saya yang memandu jalan menggunakan radio handy talky, tapi waktu pulang saya tidur sama sekali. 

Kami shalat jamak ta’khir di masjid yang sama saat kami shalat jamak taqdim, di Dumajah. Tak lama istirahat, habis shalat, kami lanjut ke timur. Saya sempat mengemudi dari situ hingga ke Jrengik. Tapi, saya tepikan kendaraan dekat SPBU Jrengik karena mata benar-benar tidak mampu melawan kantuk. Sementara cahaya lampu utama juga tidak mampu menerabas malam yang gelap serta guyuran hujan yang terus turun dari langit, sepanjang jalan, sepanjang malam. 

Kami tiba di rumah kira-kira 30 menit menjelang azan subuh. Setelah bongkar muatan, kami shalat subuh berjamaah. Apakah yang terjadi sesudahnya? Anda pasti tahu, tak perlu diceritakan. 

9 komentar:

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...