Jumat, 6 Mei 2022
Dalam perjalanan pulang, kami putuskan untuk lewat di jalur yang sama dengan saat kami datang. Rencana awalnya, saya akan melebar sedikit ke selatan, melipir ke Kediri. Bahkan, ada pula ide lewat Cepu/Blora untuk mengobati rasa penasaran karena gagal dilewati saat berangkat. Tapi, semua jadwal banyak berubah gara-gara dua hal: pertama karena tujuan sowan akhirnya tertunda dan ponsel saya yang ketinggalan di Kudus. Dua hal ini membuat gairah turun drastis dan akhirnya rencana tersebut kami gagalkan tunda.
“Lain waktu saja,” kata saya pada semua!
Semula, saya memang merancang rute lewat Bojonegoro. Jadi, rute Babat ke utara dicoret, ganti ke Babat ke barat, lewat Cepu. Kisah-kisah mistis di sepanjang jalan itu juga saya kantongi, termasuk kisah tentang keanehan Todanan dan kendaraan yang tersesat—atau disorientasi dalam istilah lainnya yang meskipun tidak benar-benar sepadan—masih kuat melekat dalam ingatan. Andaipun kami gagal lewat di rute itu manakala berangkat, mungkin akan dilewati di saat pulang. Ternyata, rencana itu tidak jadi.
Pulang bakda ashar dari Pekalongan, kami lewati arteri. Sebetulnya, saldo etoll masih cukup bahkan hingga Warugunung, Sidoarjo. Tetapi, tapi kami pilih jalan Pantura saja, jalan Deandels, jalan panjang 1000km yang punya penuh cerita.
Saya mengamati kota-kota kecil yang dulu sangat akrab saat masih sering naik bis malam dan belum ada Trans-Jawa. Rumah-makan yang besar, yang dulu terkenal, baik persinggahan bis ataupun truk, masih ada yang bertahan dan sebagiannya sudah gulung tikar. Tol panjang yang membuat seluruh pulau Jawa nyaris bersambung dari Anyer hingga Probolinggo (saat ini—dan mungkin terus berlanjut sampai Banyuwangi) adalah satu aktor dari sekian banyak yang berdampak pada perubahan besar sosial-ekonomi ini, bahkan perubahan psikologis manusia juga mungkin.
Semua itu telah berubah, dan mungkin memang gilirannya berubah. Tapi, saya melihatnya sebagai perubahan non-alamiah, tidak seperti batang pohon pisang yang tumbang karena telah berbuah, melainkan perubahan yang sengaja diciptakan oleh manusia. Barangkali, perubahan itu disengaja untuk mencapai target tertentu meskipun—bisa jadi—dampaknya tidak setimpal dengan yang dibayangkan atau direncanakan sebelumnya. Apalah daya kita? Kita menjadi bagian dari perubahan meskipun tidak bisa ikut mengubah. Sebab itu, maka kita harus mengambil sikap dan berkomitmen dalam posisi ini, harus punya sikap.
Dengan modal kontak melalui Messenger, di luar dugaan, gayung bersambut. Hari itu, Jumat sore, 6 Mei 2022, saya bisa singgah di rumah Rifqie Fairuz di Pegandon. Rumahnya sedikit masuk dari Pantura, pertigaan Petebon, kira-kira 4 kilometer ke selatan. Dengan jarak yang sama, dari rumah Fairuz, jika diarahkan ke selatan lagi maka akan kita jumpai—kata dia—pintu Tol Kendal. Tapi, tetap seperti tadi, kami tetap lewat arteri.
Tak lama di sana, hanya seseruputan kopi dan secuil cemilan yang dilumat di dalam mulut dalam keadaan tergesa-gesa, kami gas lagi menuju perumahan Permata Puri, tepatnya di rumah Marwini yang berlokasi Jalan Watuwila V DX (baca: D sepuluh), nomor 12-A (wah, repot sekali, ya, banyak kode dan nomor-nomornya), Ngaliyan, Semarang. Saya tidak ingat, kala itu, kami masuk dari Kalikangkung atau dari Krapyak.
Setelah dijamu bakso dan mandi, kami berangkat lagi. Tujuan berikutnya—yang semula adalah cus Madura—kini bertambah, yaitu rumah Mas Gunawan. Orang ini saya kenal di Jogja, di Kafe Basabasi, dan bermula dari komen-komenan di Facebook. Rumah beliau ada di Manyaran yang secara jarak sangat dekat dari Ngaliyan. Ketersesatan oleh Google Maps-lah yang membuatnya jauh. Sejauh ini, saya memang nyaris tidak menggunakan aplikasi tersebut kecuali bersama orang yang sedang menggunakannya, dan sejauh ini—sesuai keterbatasan pengalaman saya—Google Maps masih belum bisa membedakan kelas jalan di tingkat bawah, seperti di kelas residental atau kelas kolektor, atau seperti III, apalagi subkelas-nya, seperti IIIa, IIIc, dll. Entah lebar jalan itu 2,1 meter atau 2,5 meter, misalnya, kita enggak tahu.
Kami dipandunya blusukan ke jalan-jalan yang sangat sempit, menanjak curam, nurun terjal. Intinya, saya sempat cemas, khawatir mobil tidak kuat. Semarang adalah kota yang kontur jalannya dipenuhi naik-turun seperti itu.
Kami rumah beliau, kami duduk dijamu tempe kemul. Masih banyak sekali toples cemilan sisa lebaran di atas meja. Setelah ngeteh dan ngopi dan berfoto bersama, barulah kami lanjut pulang, eh, setelah dikasih oleh-oleh segepok juga ding. Oleh beliau, kami diarahkan pulang lewat sisi utara kota Semarang, sepertinya area pelabuhan Tanjung Mas. Soalnya, saya melihat banyak sekali genangan air.
‘Ini kota pantas kalau rawan banjir,’ kata saya dalam hati. Letaknya—konon—sangat mirip dengan Amsterdam yang posisinya lebih rendah dari laut. Jika tanggul tidak kokoh, bencana pasti mudah mengancam. Rob pasti datang saat laut pasang.
Dalam perjalanan ke Kudus, saya menjalin komunikasi dengan Mas Fawzy Agus. Karena sudah malam, maka akhirnya kami janjian bertemu di dekat Menara saja, di sebuah jalan tempat mangkal gerobak kuliner agaknya, tidak di rumah beliau, di Jekulo. Kami diajak makan tahu khas Kudus, entah tahu apa namanya, tahu-tahu enaaak aja di mulut. Yang pasti, tahu tersebut berasa manis dan banyak bumbunya. Saya perkirakan, kemampuannya bisa nyetok energi kami sampai Madura atau Surabaya.
Dan sama seperti saat ketemu Mas Gunawan, pertemuan dengan mas Fazwy Agus pun tak begitu lama, sebatas makan dan ngobrol sewajarnya. Sebetulnya, rencana pertemuan ini sudah dirancang tahun lalu, di Tangerang, saat saya bertandang ke rumah Pak Bambang dan Pak Broto. Tapi, karena ada hal penting yang tak dapat ditinggalkan, kata beliau, pertemuan saya dengan Mas Fawzy akhirnya gagal, tapi sukses setahun berikutnya.
Selepas Kudus, saya tidur. Kalau tak salah ingat, kami keluar dari Jekulo pada saat pukul 23.00 lebih. Entah siapa yang mengemudi, saya tidak tahu. Sepertinya Anam dan mungkin sesekali diganti Cak Badi (Abdullah). Mobil berjalan ke arah timur dan suasana jalan tidak ramai. Barangkali, orang-orang sudah banyak yang kembali ke Jakarta karena mereka memanfaatkan semua ruas jalan tol Trans-Jawa yang pada malam itu telah diterapkan untuk penggunaan 4 lajur: semuanya ke arah barat.
Menjelang Subuh, kami masuk Babat, lewat depan pondok tua yang legendaris, PP Langitan. Kami masih lanjut terus ke timur, lewat Lamongan, dan baru shalat Subuh di daerah Gresik, sebelum masuk Tol Kebomas. Sialnya, si Agus minta jemput. Dia ingin ikut ke Madura tapi nginap di Sidoarjo.
“Ini kalau ke Sidoarjo bukan mampir lagi namanya, tapi sengaja pergi ke...”
“Kan cuman dekat?”
“Dekat-dekat apanya? Dari Kebomas biasanya di Dupak lanjut Kenjeran, lha, ini harus nambah lagi 30 kilometer ke selatan. Jauh, lho, belum lagi nanti baliknya, tambah 30 kilometer lagi.”
“Ya, tak apa-apa, kan cuman lewat tol.”
“Masalahnya, kita ngejar waktu pagi agar bisa lewat Tanah Merah karena hari ini adalah hari Sabtu. Tahu sendiri, kan? Sabtu itu jadwalnya pasar Tanah Merah, pasar paling macet di Madura.”
Percakapan ini terjadi setelah shalat subuh. Tapi, saya lantas tertidur lagi dan saat itu Anam yang mengemudi. Rupanya, percakapan si Agus berlanjut dengan si Anam dan tahu-tahu saya dibangunkan saat mobil hanya berjarak duaratusan meter menjelang di pintu Tol Sidoarjo. Wah, ya, sudah, lanjut saja.
Pasar Tanah Merah memang menakutkan di hari Sabtu, tapi tidak bisa disebut sebagai Black Sabbath, lho. Kalau lagi apes karena kita melintas di pada pukul 8 pagi, misalnya, bisa saja kita terjebak satu jam, bahkan lebih. Aneh sekali karena pasar ini sudah punya jalan lingkar. Entahlah, pasar Tanah Merah memang punya misteri tersendiri. Beberapa kali periode bupati di bangkalan terlewati, kemacetan di pasar ini tetap tak bisa teruraikan. Makanya, untuk menghindarinya, kami berencana lewat Sukolilo (“Klelah” kata orang Bangkalan), lewat arsenal Batu Porron, tembus Kwanyar, lanjut terus ke timur, lewat Modung, dan barulah nongol dari arah selatan Pasar Blega.
Secara jarak, rute yang saya sebut di atas hanya menghemat 2 kilometer, tapi setidaknya diuntungkan karena aman dari kemacetan. Namun, rencana itu gagal setelah dikasih tahu oleh H. Syaiful Bahri, si kawan dari Kwanyar yang kami singgahi, bahwa jalan ke Modung sangat rusak dan hancur. Durasi waktu bakal impas kalau lewat di sana.
Kami langsung sein kiri begitu mobil lepas dari ruas Jembatan Suramadu, lewat Sukolilo, Labang, dan tembus di Pasaw Kwanyar. Ternyata, pasar juga sedang ramai-ramainya, awut-awutan juga.
“Jangan parkir di sini, gak bisa!” kata H. Syakur, salah seorang penderek H, Syaiful, orang yang hendak kami tuju, memandu mobil. “Ke dalam saja,” lanjutnya. Ia mengarahkan kami parkir ke rumah tuannya itu, masuk gang. Akibatnya? Tahu kan akibatnya? Kami pun jadi rehat, telentang-telentang, tidur-tiduran, dan bangun-bangun sudah disiapkan hidangan, “waduh” tapi campur “waw”! Terjadilah efek depan, perut jadi kenyang, efek yang gak ada samping-sampingnya sama sekali. “Pinter benar ini orang,” kata saya dalam hati, “Tahu kalau kami memang niat mau sarapan di jalan pulang, nanti, tapi ternyata disiapkan lebih dulu sebelum kami tiba di warung makan...”
Di hari ke-6 bulan Syawal itu (7 Mei 2022), jalanan Madura ramai sekali, lebih-lebih di pasar yang hari pasarannya jatuh satu hari sebelum Hari Raya Ketupat, ya, seperti hari itu di Tanah Merah. AC mobil —yang biasanya menyala sesekali saja—pun dengan ‘terpaksa’ harus nyala terus-menerus, dari Sidoarjo tadi bahkan hingga kami sampai tiba di rumah. Itulah tiga kata kunci: lancar, nyaman, selamat, tiga hal yang telah mampu melupakan kami akan jauhnya jarak yang sudah ditempuh dengan mobil yang sepuh, sertanya juga melupakan banyaknya liter bahan bakar yang kami beli...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar