Pembaca

29 Mei 2022

Takziyah ke Demangan, Bangkalan


27 MEI 2022

 

Mengantar ibu dan bibi untuk takziyah ke Demangan (ponpes Syaikhona Cholil), Bangkalan, Jumat lalu, saya sempat merencanakan jumpa kawan Erwien, di Bangkalan. Jika ke Demangan saya mau turut berduka cita atas wafatnya Kiai Fakhrillah Aschal, maka bertemu Erwien adalah bersuka cita untuk kesempatannya hendak kopdar triwulan di Batu (karena biasanya selalu gagal kopdar; dan entahlah untuk yang kali ini, saya gak tahu). Dua ungkapan berbeda itu sama-sama mengandung ‘unsur’ Bangkalan.

Saya berangkat selepas shalat Jumat, tepatnya pukul 13.11. Dalam perjalanan 130 kilometer ke arah barat itu sudah sesuai perkiraan: tiga jam sampai Tangkel dan tambah entah berapa menit lagi (biasanya 30 menit) lagi ke lokasi karena sangat bergantung pada padatnya arus lalu lintas yang biasanya cenderung tersendat-sendat.

Kami melakukan shalat ashar di Blega. Setelah itu, kami berangkat lagi, langsung menuju Demangan. Seperti dugaan saya sebelumnya, Jumat sore itu pasti macet, tak hanya di Madura, tapi di manapun. Pasalnya, rata-rata para perantau itu pulang (kampung) sehabis kerja kantoran di dalam sepekan, terutama mereka yang ‘melaju’, yang kerja di ibu kota atau di kota besar tapi keluarga dan anak tetap tinggal di desa. Yang demikian itu sangatlah banyak di sekitar kita.

Ke Demangan, kami takziyah untuk kewafatan Kiai Fakhrillah Aschal, putra keempat dari Kiai Abdullah Schal. Kami diterima oleh Nyai Muthmainnah, putri pertama Kiai Abdullah, di kediamannya yang notabene memang berhadap-hadapan dengan rumah duka sebab sore itu Kiai Fakhruddin, pengasuh pengganti, sedang bepergian ke Sidogiri. Di ruang tamunya yang luas, kami dijamu makan bahkan juga dipersilakan shalat di sana.

Sebetulnya, kehadiran kami ini kurang pas kalau disebut takziyah secara definitif karena yang diutamakan adalah kunjungan pada tiga hari pertama kewafatan. Masyarakat (Madura) bahkan punya kebiasaan hingga hari ketujuh kewafatan. Selepas itu, mereka beraktivitas kembali seperti hari-hari biasa. Nah, berkunjung di luar hari itu dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mereka.

Akan tetapi, di samping karena tidak semua orang punya waktu senggang untuk takziyah dan di sisi lain mereka juga merasa terpanggil untuk tetap menyampaikan rasa duka ataupun—sebagian mungkin—sekadar ‘setor muka’, maka akan tetap selalu ada  satu-dua orang yang datang selepas hari ketujuh, bahkan terkadang tetap banyak jumlahnya. Dan kami ini adalah di antara golongan itu. idak apa-apalah jika kunjungan ini tidak disebut takziyah sesuai defini dan konvensi. Kita pakai istilah lain agar tetap punya ganjaran, yaitu kunjungan silaturahmi.

Di belakang kami, ada dua mobil lagi, dua Avanza. Yang pertama adalah rombongan Dik Khalid dan Ubaid. Mobil kedua adalah rombongan Pamanda Bahrussalam dan umminya. Avanza kedua bahkan baru datang menjelang kami pulang.

Datang menjelang maghrib, pulang menjelang isya, kami terus ke Nilam, depan Bangplaz, ke rumah adik saya yang mengelola SD Assalam. Di situlah saya menelepon Erwien dan ternyata gagal ketemuan karena Erwien sedang dalam perjalanan menuju rumah kawannya sementara saya sudah siap untuk pulang.

Sebentar saja di sana, akhirnya kami pulang pada pukul 20.30. Pergi-pulang, 260 kilometer, saya di belakang kemudi sementara adik saya di sisi kiri. Oh, iya. di Madura, jalan rayanya sangat sepi di malam hari. Belum tiga jam, kami sudah sampai rumah, padahal jarak tempuhnya sama, 130-an kilometer;  kecepatannya juga sama, antara 60-80 km/jam. Jadi, ruwetnya lalu lintas di jalan sangat mempengaruhi lancar-tidaknya perjalanan, bukan semata-kata faktor kecepatan.


3 komentar:

  1. Kangen ngobrol Ra. Coba ada di Bangkalan, saya siap menemani ngopi barang 1-2 jam.

    BalasHapus
  2. Perjalanan nan jauh, tapi penuh makna. Semoga bisa apanggi dalam suatu kesempatan.

    BalasHapus

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...