Pembaca

26 Oktober 2024

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih. Penganan ini dikenal punya cita rasa khas dan keunikan dalam penyajian. Bubur dimasukkan ke dalam gentong, diolah di dalam gentong, dan ia pun dijual bersama gentongnya. Biasanya, pembeli menyajikannya untuk jamuan makan besar,  semacam gala-dinner, atau prasmanan di acara-acara pernikahan yang relatif besar, di Bangkalan.


Akan tetapi, dalam pengalaman saya, Sobih sangatlah berbeda. Sobih adalah kampung Colt. Dalam lawatan saya ke sana, ke rumah Pak Mu’din, di setiap halaman dan/atau garasi orang yang saya lewati jalan di depannya, selalu tampak ada Colt-nya. Lebih-lebih ketika saya sudah tiba di rumah Pak Din. Di halamannya yang luas, banyak sekali Colt ‘berserakan’, mulai dari yang bagus, yang siap diperbaiki, yang rusak dan tinggal kabinnya saja. Colt di sana rata-rata pikap.

Kunjungan saya ke Sobih bermula dari acara Taneyan Perna yang digagas oleh Masyarakat Lumpur, Bangkalan. Saya dapat jatah memberikan materi di sesi kedua, 6 Oktober 2024 lalu. Saya membawa Colt dari rumah, ke Bangkalan. Lalu, Erwien menawarkan saya untuk berkenalan dengan salah satu montir Colt senior yang kini sudah gantung kunci, yaitu Pak Din. Rasa penasaran itulah yang mengantarkan saya ke rumah beliau, di Sobih,

Sayangnya, 7 Oktober malam, saat saya pergi ke sana untuk pertama kali, Erwien tidak ikut karena anaknya sedang sakit. Saya dijemput Mirza di Basel, keponakan Pak Din.

“Pak Din, saya mohon mobil saya disentuh,” begitulah kira-kira percakapan pembuka saya.
“Rusak apanya?”
“Tidak ada yang rusak. Mobil ini saya bawa dari rumah dalam keadaan normal, kecuali bensin yang sering banjir.”
“Oh, iya. Terus mau dibagaimanakan?”
“Pokoknya, mobil saya ini ingin disentuh oleh tangan senior, tangan yang sudah puluhan tahun memperbaiki Colt. Putar saja baut-baut klep-nya, atau delconya, terus kencangkan lagi, kenderokan dan kencangkan sesuai pengetahuan Bapak. Itu saja sudah cukup.”


Pak Din ketawa, misem-misem. Nafasnya sudah mulai memberat. Usianya yang sepuhlah penyebabnya. Ia bercerita, bahwa ia sudah ngoprek Colt sejak tahun 1974. “Sekarang anak saya yang kerja,” kata dia bermaksud putranya yang bernama Ros (Kak Ros kata Erwien, mungkin mau menirukan Upin-Ipin).

Kepada beliau saya juga bercerita bahwa cara yang saya lukan kali ini bukan yang pertama, tapi yang kesekian kali. Jika saya kenal dengan bengkel senior, seperti Pak Mawi atau Haji Fathor, saya selalu begitu. Saya bawa Colt ke dia dalam keadaan normal dan minta sentuhan tangannya, kendorkan, kencangkan, atau kendorkan lagi, diukur dan dikalibrasi berdasarkan pengetahuan dia. Begitulah cara saya mendapatkan sensasi dengan mobil tua.

Setelah dua minggu lebih ngekos di sana, mobil akhirnya saya ajak pulang, Jumat pagi, 25 Oktober 2024. saya naik bis dari rumah dan dijemput Erwien di SPBU Tangkel, lalu pergi ke Sobih bersama si Brownies-nya. Kami ngobrol lama dengan Ros dan Pak Din sampai selesai shalat jumat. Setelah itulah baru saya berpamitan.

Kami shalat jumat di Masjid Baiturrohman, Karengan, Sobih. Perjalanan ke masjid sangat berkesan. Saya dibonceng Pak Din. Alam Sobih ternyata sangat asri. Banyak pohon durian di sana. Pohon pulai yang besar dan tinggi menjulang juga banyak. Suasana desanya menenteramkan, sangat berbeda dengan kesan Bangkalan yang selama ini kering kerontang di pikiran saya.

Dari Sobih, saya mampir dulu di Kwanyar, menyambangi Haji Syaiful, bos Primavista. Dia menyuguhi saya sate Sekar Timbul, tetap disuguhi meskipun saya bilang baru saja selesai makan. Apa boleh buat, saya embat. Ke Kwanyar rasanya tak lengkap kalau tidak ziarah ke Sunan Cendana Ali Zainal Abidin—cucu Sunan Drajat.

Pukul 14.06, saya pulang sendirian. Jalanan amat sesak. Hampir maghrib saya baru tiba di rumah karena berhenti dulu untuk menunaikan shalat asar di Tentenan. Perjalanan sendirian dari dari Sobih ke Kwanyar hingga ke rumah itu relatih jauh. Jarak tempuh sekali jalan sekitar 145 km. Untungnya, membawa Colt ada sensasi sendiri, jadi relatif menyenangkan, tidak terlalu membosankan.









18 September 2024

Kebenderan ka Benderan

Arti daripada judul di atas adalah kebetulan pergi ke Benderan

Berdua saja dengan Dalil, perjalanan saya ke Sreseh untuk menghadiri acara Maulid Puisi yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Sreseh menjadi asyik saja. Tak ada rasa bosan karna kami saling berbincang. Tanpanya, bisa jadi saya tidak akan pergi naik mobil, paling ngebis.

“Yang menghubungi saya untuk bicara tema Nabi di dalam puisi dalam sesi diskusi kali ini adalah Tajullail. Kamu kenal dia?”
“Tidak,” jawab Dalil tanpa dalil.
“Tapi dia teman Nuris, lho!”


“Oh, mungkin teman pondoknya dulu, karena Nuris mondok di Paramaian sebelum ke Sidogiri lalu kenal saya.”

Jadi paham sekarang, bahwa Dalil kenal Nuris dan Nuris kenal Tajul tapi Dalil tidak kenal Tajul karena seperti inilah skema hubungan pertemanannya. Gara-gara acara ini, kami berempat sama mengenal satu sama lain. Inilah salah satu hal yang paling saya suka dari kegiatan sastra. Saya bertemu dengan orang baru adalah sebuah kebahagiaan, meskipun pada saat yang sama, dalam setiap pertemanan akan hadir masalah baru juga.

Perjalanan menjadi seru ketika Nuris bergabung dari Camplong. Rencana naik bis pun gagal dan akhirnya saya bawa Colt. Hitung-hitung, ini saat yang tepat menguji temperatur mesin yang selama beberapa hari ini bermasalah. Sejauh ini, saya sudah terlanjur berburuk sangka kepada cylinder head sebagai biang masalahnya. Ternyata, masalahnya ada di Pegadaian, eh, di radiator (saya tidak menduganya karena tampak baik-baik saja). Setelah dikorok, panas hilang. Suhu mesin menjadi normal.

Menjelan azan maghrib, kami tiba di Benderan, desa Labang, kab. Sampang. Ini desa unik karena masuknya harus lewat akses Blega yang notabnene Kabupaten Bangkalan. Sreseh ini, secara administratif, masuk area Sampang. Perjalanan kami dari rumah kira-kira 3 jam lebih sedikit, dengan jarak 94 km (berdasarkan Google Maps karena spidometer saya putus) dan mestinya tidak sampai segitu bahkan dengan lari pelan saja, dengan kecepatan rata-rata 60-70 km/jam misalnya. Pertama, salah satu penundanya adalah rehat di warung karena saya kelaparan; yang kedua adalah rusaknya jalan akses dari Blega ke Benderan (termasuk juga ke Modung) yang mirip “polisi tidur semua, itu pun polisinya sudah pada bangun”, sehingga versneling alias percepatan mobil hanya bisa digunakan antara 1 dan 2 saja.

ACARA DI BRAGA, BENDERAN

Acara Komunitas Sastra Sreseh diselenggarakan dengan berpindah-pindah tempat. Akan tetapi, selama tiga tahun terakhir ia selalu ditempatkan di rumah Pak Ubaidillah dan Masu’di Said. Tempat dan seting lokasi sepertinya memang mendukung untuk acara sastra: ada kobhung, halaman luas, dan rumah yang asri. Tidak dinyana pula acara bakal dihadiri banyak orang. Menimbang penduduk desa setempat yang hanya dihuni 1700 orang (dengan DPT sekitar seribu lebih sedikit), desa Labang tampak lengang. Namun, ketika acara akan dimulai, bahkan saat sedang berlangsung, hadirin terus berdatangan. Saya bertanya dalam hati: Kok bisa mereka banyak sekali? Apakah mereka makhluk halus yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui ataukah mereka makhluk istimewa yang turun dari langit tanpa menapak jalan bergunduk-gunduk pelosok desa?

Suasana jadi istimewa sekali karena ternyata ada paduan suara dan pembacaan Syaraful Anam sebelum acara, didahului pembacaan puisi oleh beberapa orang santri yang datang dari Lanbunlan (yang dua kiainya [kiai Ghozali dan Kiai Barizi merupakan kiai paling produktif menulis kitab di Indonesia] dan juga datang dari pondok pesantren Paramaian, sebuah pondok sangat tua yang ada di Sresesh.  

Dalam pada itu, saya bicara soal sosok Nabi Muhammad saw di pelbagai puisi, baik itu di dalam Burdah, Barzanji, Daybai, serta yang lain. Saya juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad juga disanjung oleh Rainer Maria Rilke dan beberapa penyair non-muslim lainnya. Mengapa? Kok bisa? Karena ibarat kata, kita punya banyak ‘otang tengka’ kepada beliau saw yang sulit sekali dapat ditebus karena begitu besar jasanya pada keadilan dan kemanusiaan. Untuk ini, saya menyebut conton soal perbudakan, human trafficking, adanya perintah zakat, dan sebagainya. Tak lupa saya menyebut Wulidal Huda, puisi karya Ahmad Syauqi sang raja penyair yang sedang saya terjemahkan.

Acara bubar pukul 23.00 dan saya pun pamit pulang beberapa menit sesudah itu. Perjalanan ke timur relatif lancar dan suhu mesin saya kira malah tidak efektif karena terlalu dingin. Saya cek di panel digital hanya bergerak di kisaran angka 65-72, tidak sampai ke suhu ideal, 82 derajat celcisu. Sementara di panel manual, jarum temperatur hanya berada di bawahnya strip terbawah. Wah, payah juga, nih!

“Sepertinya, saya harus pasang thermostat lagi, nih!” kata saya pada Dalil yang memang tidak bertanya, cuman mengisi waktu kosong dan kebosanan saja.

Dalam perjalanan pulang, jalan sudah lengang. Suasana sangat syahdu. Jibril, putra Nuris, relatif mereda batuknya ketimbang tadi saat berangkat. Masalah tinggal satu: yaitu mobil-mobil yang menggunakan lampu sangat terang, jauh melebihi yang butuhkan mata pengemudinya.
“Mereka menggunakan ini karena pertimbangan wattnya rendah dan mereka ada duit untuk membeli, padahal kan rumusnya tidak begitu!” kata saya berceramah kepada Dalil disertai rasa mangkel karena sering kesilauan.
“Betapa ruwetnya mereka-mereka yang semaunya saja menyalakan lampu utamanya ini, disorot ke muka lawan arah serta merta mereka seakan tidak merasa berdosa telah menyakiti mata-mata silinder dan si rabun ayam yang terkena paparan cahaya berlebihan itu…”

Jalan kian sepi. Laju mobil tetap biasa. Meskipun saya mengatakannya secara serius, tapi kami pura-pura tertawa. Toh begitu, kan, suka-suka manusia: sulit melibatkan tindakan berpikir untuk hal-hal yang remeh dan sederhana.


24 Juni 2024

Takziah dan Silaturahmi: Lumajang, Jember, Situbondo

JUMAT, 21 JUNI 2024

Perjalanan selalu dihitung dari alasan roda bergerak. Jika niatnya adalah untuk maksiat, jangankan pahala, bahkan rukhsah safar pun tak boleh. Begitu juga sebaliknya, kita akan dapat pahala dan manfaat jika dari awal sudah dibetulkan niat.

Berangkat pukul 15.34 di hari Jumat, perjalanan kami benar-benar terasa melambat karena butuh waktu 30 menit hanya untuk sampe ke Batujaran, rute yang biasanya 15 menit saja dari rumah. Tapi, hal itu saya maklumi mengingat sopir yang saya ajak kali ini adalah baru pertama kali membawa Colt ini. Jadi, kata saya, wajarlah dia berlaku begitu, mungkin sedang ‘berkenalan’ dengan mobil tua.

Akan tetapi, perjalanan ternyata tetap begitu-begitu saja hingga Tanah Merah. Jalan benar-benar sangat ramai. Entah karena masih tersisa aroma lebaran atau entah karena mau libur Sabtu-Ahad. Maklum, hari itu adalah tanggal 14 Dzulhijjah yang artinya baru empat hari lebaran Iduladha berlalu. Pukul 19.15 kami masih di Tanah Merah, padahal hitungan normalnya, hanya butuh 3 jam dari rumah ke akses Suramadu dengan kecepatan kisaran 70 km/jam.

Supaya tidak perlu memandu arah jalan bagi sopir yang baru atau sangat jarang melintasi kota Surabaya, biasanya, jika datang dari arah Madura, saya mengarahkannya lewat MERR, lewat Jalan Soekarno-Hatta. Meskipun jarak melewati rute ini lebih jauh sekitar 4 kilometer ketimbang lewat Tugu Pahlawan, saya tetap memilihnya karena pertimbangan mudah: belok kiri di perempatan Jalan Kenjeran; belok kanan di lampu merah pertama, sudah deh, sudah sampe pintu tol Tambak Sumur.
 
Dengan rute seperti itu dan kecepatan seperti itu, kami mencapai desa Sembon Lor, Jatiroto, Lumajang, sekitar pukul 23.00. Kusnan menyambut kami dengan bakso, padahal saya bilang sebelumnya agar tidak perlu disiapkan apa pun kecuali bantal karena saya sangat capek dan memang sudah makan bekal yang dibawa.

SABTU, 22 JUNI 2024

“Aduh, Nan. Kok sebanyak ini?” kata saya padanya melihat ikan dan makanan yang tersaji, besok paginya.
“Ini hasil tangkapan saya tadi malam.”
“Masa iya?”
“Iya, saya tiap hari nangkap ikan di sungai.”

Kusnan dan keluarganya beruntung tinggal di situ, dekat sungai besar yang ikannya masih banyak. Airnya muncrat sendiri dari perut bumi, tanpa perlu menggunakan mesin untuk mengeluarkannya. Tanah di sekeliling subur sekali. Inilah keindahan surgawi itu.

Pagi itu di Jatiroto, saya sudah menyelesaikan empat rumah tangga untuk disambangi. Ada yang didasari takziyah, ada yang sekadar silaturahmi. Pukul 9, saya pamit, bergerak ke selatan, menuju ke Krai. Saya takziyah ke pamanda Kiai Sambah Baqis Muhtadi di PP Bustanul Ulum. Di sana, saya disambut putranya, Ubet dan Faruk, dan juga Paman Naufal dan Paman Abdul Adhim.

Sempat tidur karena mengantuk, tiga jam lamanya di sana, kami pun bergerak ke timur, menuju Rambipuji. Jalanan di sisi selatan (tapi bukan Jalur Lintas Selatan, ya), yaitu ruas Lumajang-Jember via Yosowilangun memang relatif lebih kecil daripada jalan Nasional di Lumajang – Tanggul – Jember. Pantas saja kalau jalannya berasa lebih ramai meskipun volume kendaraannya tidak sebanyak di jalan nasional.

Tiba-tiba, di Rawatamtu, terdengar bunyi ledakan: Dhuwaaas! (sengaja memang ditulis begitu, bukan ‘dhar’ atau ‘dhuwar’ karena yang terdengar di telinga saya memang begitu). Dikira ban, ternyata selang bawah radiator—yang masuk ke waterpump—yang lepas. Ditunggulah beberapa jenak supaya suhu radiator tidak terlalu panas ketika saya tuangi air. Caranya, saya tuang sedikit demi sedikit agar mesin/radiator tidak rusak diakibatkan oleh perubahan suhu permukaan yang sontak berubah, dari panas ke dingin. Dengan cara bertahap, radiator dan mesin aman.

Meskipun hanya 40 menitan, tapi gangguan seperti ini jelas memangkas waktu tempuh. Makanya, rencana saya yang semula mampir dulu ke bibinda di Dukuhmencek, harus ditunda ke besok. Sore itu, kami lanjut ke Karangharjo agar acara malam harinya saya sudah siap, tidak terlalu capek. Kami tiba di sana pukul 17.00 kurang sedikit. Itupun terbilang singkat karena kami dipandu lewat Seputih, lewat perkebunan, bukan lewat Sempolan.  

Bebeda dengan dua titik persinggahan sebelumnya, acara saya ke Karangharjo berbeda. Malam hari, saya bermalam di PP Al Falah, Karangharjo, Silo, Jember. Bersama kiai-kiai setempat, saya menghadiri acara malam tutup tahun pelajaran alias Imtihan Al Falah. Panitia mendapuk saya berbicara tentang posisi anak muda dalam fase perubahan mentalitasnya, serta  acaman trans-nasional yang akhirakhir ini begitu getol masuk ke Nusantara. Saya hanya mengantarkan ke permasalahan saja, karena Kiai Hodri Ariev-lah yang pakar di bidang ini. Makanya, beliualah yang saya persilakan berbicara panjang lebar.

AHAD, 23 JUNI 2024

Setelah terlanjur pamit pulang kira-kira pukul 9 pagi, sementara oleh-oleh sekarung sudah masuk ke bagasi, termasuk pisang dan kopi, eh, gak jadi. Gangguan datang tiba-tiba. Kunci kontak bermasalah. Awalnya, terputusnya arus diperkirakan berhulu di soket ke relay, ternyata memang soket relaynya yang bermasalah dan juga kunci kontaknya. 


Gara-gara ini, ada tambahan waktu sayajam hingga azan duhur berkumandang hingga akhirnya kami bisa pulang. Semua itu tak luput bantuan Pak Fauzi, seorang montir yang rumahnya dekat pondok, yang mengaku pernah melihat Colt Pariwisata milik saya ini di YouTube. Wah, tidak disangka! Kata saya. Saat dia bekerja, saya bisa meneruskan leyeh-leyeh dengan tuan rumah, enak sekali.


Dari Karangharjo, mobil bergerak kembali ke kota Jember, ke Dukuhmencek, nyambangi bibi kami di sana, bertemu sepupu (putranya), dan juga shalat duhur-asar di masjidnya, Masjid Hasanul Islam. Meskipun sebentar, tapi semua tugas terlaksana. Tepat pukul 13.30, kami pamit pulang, lanjutkan perjalanan ke Besuki via Arak-Arak Bondowoso. Hamdalah, perjalanan pulang lancar jaya.

Tujaun kami adalah Pondok Pesantren Al Ishlah. Lokasinya ke utara alun-alun Besuki, tidak begitu jauh. Ke situ, kami takziyah ke Fahrurrozy. Dia adalah saudara sepupu tiga kali saya yang jarang sekali bertemu setelah kami sama-sama lepas dari pondok.

Mampir di PP Nurul Jadid untuk nyambangi anak wedok yang ditagetkan sebentar, dari maghrib ternyata saya baru bisa pulang pukul 21.00 Akhirnya, kami pulang lewat Gerbang Tol Gending, padahal semula direncanakan lewat arteri saja. Pertimbangannya adalah kejar waktu tayang karena Senin pagi kami sudah harus sampai di rumah, istrihat sebentar sebelum kembali mengajar.

Dalam perjalanan pulang, kami masih singgah di Bakso Cak To, yang lokasinya kumpul dengan kafe Jungkir Balik, tepat perisi di sebelah barat Gelora Delta Sidoarjo. Benar-benar sebatas makan bakso, kami lanjutkan perjalanan pulang ke Madura lewat Pasar Turi, Kapasan, Kenjeran, Suramadu.

Hamdalah, kami tiba di rumah menjelang subuh. Perjalanan melelahkan ini tercatat menempuh 875 kilometer. Jika bensin 1:10, berarti tinggal hitung kasar saja angkanya, pasti mirip-mirip dengan itu. Jika lebih irit lagi, dan iritnya pasti tak seberapa, berarti sekitar 800 ribuan.

Momen mengesankan bawa Colt itu adalah adanya sapaan orang-orang yang masih mengenali mobil saya, antara lain Faruk yang melaporkan papasan di Jember dan Puger yang menyatakan melihat Colt saya melintas di depan Utama Raya, Banyuglugur. Nah, jika saja saya naik Avanza putih, mana mungkin mereka tahu kalau saya ada di dalamnya? Itulah salah satu keunggulan naik Colt yang warna dan stikernya tidak pernah berubah selama 16 tahun lamanya. 

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...