Pembaca

25 Januari 2025

Takziyah ke Batuputih, Bedah Buku di Gapura


Hari ini, saya melakukan perjalanan ke Gapura. Tujuannya adalah menghadiri acara bedah buku yang diselenggarakan oleh TKSCI dan Kedai ZWZ. Kegiatan ini menarik karena bedah buku yang biasanya diselenggarakan oleh pondok pesantran atau kampus atau komunitas literasi, namun yang ini adalah komunitas Toyota Kijang Super Community Indonesia, chapter Sumenep.

Perjalanan dari Guluk-Guluk (rumah saya) ke Gapura nyatanya bisa ditempuh langsung lewat jalur utama. Tapi, kali ini, rute saya memutar, lewat Manding, Batuputih, Tengedan, dan baru ke Gapura. Saya pergi takziyah ke rumah Ustad Rusdi yang istrinya (Fitri Amalia) wafat dua bulan yang lalu dan saya belum sempat menyambang ke sana. Kami melakukan tahlil bersama usai shalat duhur di mushallanya. Selepas itu, saya juga pergi takziyah ke PP Al-Iftitahiyah untuk kewafatan Fairuzah el Faradis, putri Kiai Baqir yang tinggal di Somber Tombet, Batu Putih.

Selesai dua kali takziyah itu, saya melanjutkan perjalanan ke timur hingga tiba di Balai Desa Tengedan, lalu ikut jalan ke selatan. Jalannya kecil tapi bagus dan mulus, juga sepi. Nyaris tak ada bagian jalan yang rusak ditemui. Pemandangan alamnya juga bagus. Aspalnya seperti masih baru. Perjalanan lancar sampai ke lokasi saat azan asar belum berkumandang.

Komunitas TKSCI ini, dalam pada itu, bekerja sama dengan Mas Faisal, si pemilik kedai, yang kebetulan juga anggota komunitas. Mereka tidak sedang kopi darat, melainkan memang sengaja menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang kebetulan buku itu adalah karya saya (Tirakat Jalanan). Mereka juga mengundang banyak komunitas yang kebetulan berterabaran di sekitar Gapura. Antara lain yang hadir adalah perwakilan Isuzu Panther Community Indonesia (IPCI) Madura Raya, DSTD (Driver Sumenep Timur Daja), HCS (Honda Civic Sumenep). Selain komunitas kendaraan, yang unik, mereka juga mengundang unsur yang lain, seperti GP Ansor, Komunitas Pejinak Unggas, dan entah komunitas apa lagi.

Yang tak kalah menariknya, acara yang dimulai setelah azan ashar itu dihadiri juga oleh tokoh-tokoh agama setempat, seperti Kiai Hafidi, Kiai Muhaimin, dan juga Kiai Dardiri Zubairi. Hadirin putra ditempatkan secara terpisah dengan hadirin putri meskipun rata-rata mereka adalah anggota keluarganya. Ada juga satu dua orang yang merupakan peserta umum, seperti ibu bidan Rini. Acara tadi sore itu 'rancak bana', gado-gado sekali.

Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pokok-pokok penting pemikiran saya tentang ketertiban di jalan raya yang sejatinya memang ada landasannya di dalam Islam. Bagaimana kita dapat dengan mudah menemukan hadis pendukungnya jika memang mau. Akan tetapi, untuk bisa menjelaskan secara detil, dalam buku itu, saya harus menawarkan tata tertib berlaku lintas dari sudut pandang akhlak dan juga berlandaskan pijakan hukum yang diadopsi dari qawaidul fiqhiyah.

 

Acara selesai sekitar pukul 16.45 dan hadirin bubar setelah shalat di tempat dan/atau sebagian lainnya segera pulang karena hendak shalat di rumah. Saya pulang setelah lewat pukul 17.00 dan mampir di rumah mertua di Giring, Manding. Setelah maghrib, barulah saya melanjutkan perjalanan pulang ke Guluk-Guluk bersama adek bayi dan istri.




28 Desember 2024

Bepergian Sambil Jualan

Senin Malam Selasa, 23 Desember 2024

Rute perjalanan malam hari berhasil ditempuh hingga Sukorejo, Situbondo, sejauh 385 kilometer sekali jalan (masuk tol Waru, keluar Gending, Rp 121.000). Tidak ada kendala berarti di jalan. Kami tiba di Asembagus menjelang zuhur meskipun berangkat dari rumah jam 21.30 kemarin harinya karena kami masih mampir di beberapa titik.


Perjalanan kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya karena kali ini saya sambil lalu jualan buku. Sebelum berangkat, saya memposting beberapa buku karya saya di Facebook. Ternyata, umpan termakan, gayung bersambut. Puluhan buku laku dalam perjalanan pergi dan pulang. Yang paling banyak dibeli adalah buku Tirakat Jalanan, sebuah buku yang mengupas tata cara dan aturan tertib di jalan raya berdasarkan analogi hukum qawaidul fiqhiyyah. Kebetulan pula, di sampul buku terbitan Diva Press tersebut ada ilustrasi Colt milik saya.

Dalam perjalanan pergi, saya memilih lewat tengah kota Surabaya karena beberapa alasan. Satu alasan terpentingnya adalah karena sudah tengah malam, yang artinya kota Surabaya sudah tidak begitu ramai sehingga jelas tidak akan ada ketersendatan dalam arus lalu lintas. Dan ini ternyata benar. Saya masuk tol dari Bundaran Waru dan turun di Gerbang Tol Gending. Gerbang Tol Kraksaan hampir jadi, tapi belum bisa digunakan, padahal targetnya adalah segera dipakai untuk mengurai tambahan arus lalu lintas menjelang Tahun Baru).

Sementara dalam perjalanan pulang, saya tidak lewat tol sama sekali, melainkan lewat arteri. Saya menyusuri jalan lama, jalan yang biasa kami lewati sebelum ada tol. Sebetulnya, lewat arteri tidak secara signifikan memperlama durasi perjalanan mengingat laju kendaraan saya baik di tol maupun di jalan nasional sama saja, sama-sama 70-an atau 80 km/jam. Yang membedakan hanyalah karena di Pasuruan yang banyak sekali lampu merahnya itulah yang kadang bikin hati kurang legowo kalau sedang tidak sabar. 


Saat perjalanan berangkat, saya berhenti di Kraksaan dan Tanjung, Paiton, untuk melayani pembeli. Keduanya adalah famili saudara saya sendiri. Di Kraksaan, buku-buku saya diborong pengasuh PP Badridduja, masih dapat bonus nasi pecel juga. Pembeli lainnya adalah Nurkhaliq Barir. Adapun perjalanan pulangnya, saya sempat mampir di pertigaan Gudang Garam Paiton dan RM Tongas Asri. Pembelinya adalah Nur Hasyim dan Hamada. Keduanya tidak saya kenal sebelumnya melainkan hanya berinteraksi di Facebook karena postingan saya bersifat publik sehingga bisa diakses oleh orang yang berada di luar jaringan pertemanan saya.

Meskipun agenda acara saya di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo bukanlah acara bedah buku (karena sudah diseleggarakan sebelum sebelumnya, yakni 25 November 2024), namun buku-buku saya dibeli oleh banyak santri dan mahasiswa Ma’had Aly atas bantuan Lora Akhul Adib dan Ustad Mukhlis. Terima kasih saya ucapkan kepadanya.

Saat perjalanan pulang, mobil saya diserempat mobil lain di area sekitar Probolinggo. Karet spionnya tersangkut di cat pintu depan kiri mobil saya, bahkan menggores hingga sebagian pintu tengah. Kejadiannya begitu singkat, yakni saat sebuah sedan nyelonong, menerobos, mengejar sisa waktu lampu hijau sehingga spion kanannya mengenai bodi Colt saya. Sedan tersebut bahkan sempat pula nyenggol pijakan kaki sepeda motor yang membuat pengendaranya oleng, nyaris terjatuh. Si sedan kemudian lari dari tanggung jawab, sementara kami bertahan karena lampu lalu lintas sudah menyala merah. Dalam hati saya membatin, “Sudah benar kejadian hari ini. Kiranya, ini contoh terlampir bagaimana pelajaran bersabar di jalan raya itu harus dijalankan di tengah situasi banal dan kejam jalanan, di antara orang-orang yang cenderung semau-maunya dan arogan.”

Seperti biasa, jika siang lewat Sidoarjo, saya hampir pasti singgah di Bakso Cak To yang lokasinya persis di sebelah barat GOR Delta, pojok selatan, pojokan bundaran. Jika malam, maka biasanya cukup ngopi di tempat yang sama, yaitu Jungkir Balik yang secara tempat adalah satu atap yang sama. Siang itu pun, dalam perjalanan pulang, saya melakukan dua-duanya: beli bakso dan membawa pulang segelas kopinya.

Setibanya di Madura, saya mampir dulu di rumah saudara, di Bangkalan. Dia dan anaknya ikut serta pulang ke Sumenep. Dalam perjalanan ke timur inilah kondisi jalan yang nyaris semuanya diguyur hujan serta gerimis. Nyaris sepanjang 125 kilometer saya menyalakan kipas kaca. 


Sebetulnya, ada pembeli lainnya yang janjian dengan saya di Talang Siring, kira-kira 20 kilometer lagi sebelum tiba di rumah. Dia adalah dua bersaudara, Azizi dan Taufiqi, yang ternyata juga masih ada ikatan famili dengan saya. Sayangnya, kala itu, gerimis sejak dari Bangkalan bahkan sampai saya tiba di halaman rumah. Janjian kemudian diperbarui besok malamnya di Masjid Baitun Najah, Duko Temor, Larangan.

Sungguh, ini perjalanan sangat berkesan bagi saya.

 




09 Desember 2024

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024

 

Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM hingga kondisi minimal (jarum menunjuk garis terbawah) yang berakibat naiknya kotoran saat tangki BBM mengalami guncangan. Begitu kata analisa teman-teman.  



Dalam perjalanan dari Bangkalan ke Sidoarjo, beberapa kali mesin mati, termasuk di Tangkel. Saat di Suramadu sempat mati satu kali. Lalu di ujung Selatan Jalan A. Yani juga mati (beberapa kali momen yang lain juga mati, tapi saya tidak ingat di mana saya kordinatnya). Untunglah saya segera bisa mengarahkan mobil ke jalan tol dari pintu masuk Gerbang Tol Waru 3 sehingga mobil bisa melaju aman. Mesin mobil mati lagi hanya sekali, di pintu keluar GT Sidoarjo karena tujuan saya memang ke sana, ke kafe Jungkir Balik yang letaknya di sisi barat GOR DELTA. Tujuannya adalah memenuhi undangan si pemilik, Cak To dan Lia Zen.

Sebelum pulang, ketika mesin sudah tidak begitu panas, saya putar lebih dulu gasnya, dinaikkan. Dalam keadaan stasioner, mobil seperti lamsam, ‘Lumayan,’ begitu batin saya, namun perasaan berubah begitu saya jalankan. Saat gas dibejek dan saya mulai masuk ke jalan Pahlawan, spontan bretbet mulai lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk cari “jalan aman” saja, yaitu jalan yang tidak banyak bertemu lampu merah.

Meskipun pulang jam 23.15 (atau mungkin 23.30, lupa tidak melihat jam), saya harus memilih rute yang aman untuk mesin bretbet, yaitu ruas jalan yang sedikit lampu APILL atau lampu merah. Makanya, saya lewat Jalan Perak saja, ujung jalan tol: KM 0. Dari Perak Barat ke Perak Timur ada putar balik, begitu juga ketika masuk Jalan Jakarta.

Dengan cara seperti itu, saya hanya akan bertemu lampu merah di Nyamplungan (utara Makam Sunan Ampel) dan Sukolilo (orang Bangkalan menyebutnya Klelah) di utara Suramadu. Sisanya adalah bundaran dan belok kiri langsung. Hamdalah, cara ini efektif. Saat melintas di lampu merah Nyamplunan, lampu kebetulan berwarna hijau dan begitu pula di lampu merah Sukolilo (Bangkalan; lampu merah pertama kalau dari arah Suramadu) sudah berkedip kuning. Sementara di Tangkel dan Junok, saya hanya butuh belok kiri. Semua aman. Tiba di rumah saudara saya di Nilam, Bangkalan, perjalanan terbilang lancar dan tidak pakai acara mati mendadak di tengah jalan.

Besoknya, saya kop karburator dan semua urusan selesai, semudah itu. Besoknya saya pulang ke Sumenep. Total perjalanan kali ini kurang lebih 390 km (Nilam ke rumah = 132 km; Nilam ke Sidoarjo 60 km; muter di Bangkalan sekitar 5 km).


Takziyah ke Batuputih, Bedah Buku di Gapura

Hari ini, saya melakukan perjalanan ke Gapura. Tujuannya adalah menghadiri acara bedah buku yang diselenggarakan oleh TKSCI dan Kedai ZWZ. K...