4 Mei 2022
Syawalan tahun ini (1443H/2022M) dipenuhi keharuan. Ia adalah fase hidup saya yang untuk pertama kalinya menjalani puasa-lebaran-syawal hanya dengan anak-anak, tanpa istri, setelah 18 tahun kami hidup bersama. Agar tidak terlalu larut dalam kegalauan, akhirnya saya merancang bepergian pada saat-saat mestinya ada di rumah, yaitu pada tanggal muda bulan Syawal. Anggap saja ia “syawalan”: bertandang, silaturahmi, dari satu pintu ke pintu rumah teman lainnya.
Saya memilih Pekalongan. Wow, kok jauh?
Jawab; harapannya adalah agar saya bisa singgah di beberapa titik, ke rumah/orang yang lokasinya berada di jalur Pantura, jalur yang sangat jarang saya lewati naik mobil, juga agar bisa sowan ke Kanzus Sholawat, ke Habib Luthfi bin Yahya. Saya bahkan merancang untuk larat ke barat, mentok di Tegal atau Losari lalu pulang lewat selatan, lewat Kebumen, dst. Tetapi, karena satu target utamanya (yaitu sowan Abah Habib Luthfi bin Yahya) tidak belum kesampaian (saya sempat sowan pada dua kunjungan sebelumnya), rencana menambah rute perjalanan pun gagal. Saya (dan yang lain) memilih untuk putar haluan, balik kanan, pulang, meskipun sebelum berangkat kami memang sudah sepakat untuk menerima kenyataana yang dihadapi, seperti apa pun itu.
Saya bersyukur karena perjalanan kali ini masih menyimpan banyak alhamdulillah-alhamdulillahnya, seperti bertemu dengan kawan-kawan yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Pada akhirnya, saya sadar, bahwa bepergian di tanggal muda bulan Syawal itu sangat mungkin akan bernasib begitu. Banyak kawan yang ternyata pulang kampung atau mudik ke rumah istrinya, atau entah ke mana. Saya kira, orang mudik itu hanya orang Jakarta, ternyata tidak.
“Kamu, sih, yang berpikiran bahwa orang itu di rumah saja kalau lebaran, soalnya kamu cuman melihat kamu sendiri yang selalu begitu, gak kemana-mana,” tegur salah seorang paman saya, menyalahkan timing dalam melakukan perjalanan saat saya berkisah kepadanya sepulang dari Pekalongan.
***
Berangkat berlima (Anam, Miftah, Abdullah—dipanggil Cak Badi, dan seorang santri, Atiq), saya keluar dari pekarangan rumah pukul 22.00, 4 Mei 2022 (malam Kamis, 4 Syawal). Mobil tercatat telah bertolak dari pekarangan rumah Anam—yang jaraknya 9 kilometer dari rumah saya; dia juga pernah bareng saya keliling Jawa di bulan Oktober 2021 yang lalu—pada pukul 22.30. Mobil cus sampai Sampang di bawah kendali saya sendiri.
Selepas Sampang, saya tidur dan Anam yang mengganti. Saya tidak tahu apa saja yang terjadi di perjalanan kecuali terbangun saat mobil berasa pelan. Dari bangku belakang, saya perkirakan, lajunya sekitar 60 km / jam saja, sangat jarang menyentuh 80 km per jam (sebab hal itu bisa diketahui tanpa harus melihat speedometer karena buzzer-nya akan berbunyi nit-nit-nit). Yang ajaib, begitu lowongnya jalan raya hingga nyaris membuat saya tak percaya kalau kami sedang melintasi Jalan Nasional yang biasanya ruwet oleh seliweran kendaraan-kendaraan besar.
“Ini di mana?”
“Lamongan.”
“Oh, sepi sekali, saya kira di hutan apa gitu.”
“Iya, dari tadi memang seperti ini.”
Seperti itulah percakaan yang terjadi di antara kami, hanya sesekali saja, kecuali Anam dan Cak Badi yang ngobrol sepanjang jalan karena mereka berdua duduk di depan, bertandem. Yang lain di tengah dan di belakang, tidur atau main ponsel.
Memilih ruas jalan arteri di saat jalanan sepi adalah keberuntungan. Tak ayal, perjalanan malam itu terasa sangat menyenangkan. Kami tak perlu merogoh kocek buat membayar tol, lebih-lebih karena saya mengingat tanggal 22 Syakban yang lalu (seminggu sebelum Ramadan [25 Maret 2022]) waktu menghadiri Jumat Kliwonan di Kanzus Sholawat, di Pekalongan. Kala itu, nyaris semua rute yang kami lewati adalah tol Trans-Jawa. Top up 800.000 ribu tak cukup untuk pergi-pulangnya. Saya merasa, betapa besar biaya untuk membayar ongkos “rasa nyaman di perjalanan”, padahal itu pun juga membosankan.
Azan subuh sudah lewat setengah jam ketika kami melipir ke Masjid An-Nur, di Bancar, dekat perbatasan provinsi, untuk shalat. Rencana singgah ke rumah kemenakan (Fawaid) yang kebetulan mudik ke Jenu pun digagalkan karena waktunya tidak pas, masih kepagian saat kami melintasi kota Tuban.
Sementara yang lain meregangkan otot dengan telentang, saya meminta Atiq membeli air panas di warung seberang jalan karena bubuk kopi dan lain-lainnya kami bawa sendiri dari rumah. Jujur, saya ogah membeli kopi di warung makan, kecuali memang jika tidak benar-benar terdesak. Kasusnya, sering dijumpai hanya kopi sesat yang tersedia, kopi yang bahan bakunya hanya sedikit persen biji asli, selebihnya adalah daun dan kulit buah kopinya. Jadinya, ia sejenis “kopi jadi-jadian”, kopi hantu-lah!
Sebetulnya, saya membawa pemanas air DC 12 Volt, tapi butuh durasi lama untuk memanaskan air hingga 75 derajat celcius (apalagi lebih dari itu, sampai 85 derajat misalnya [standar panas air kopi menyeduh kopi], pasti lebih lama lagi). Saya bahkan juga bawa inverter, dari DC 12v ke AC 220v. Tapi, ia saya gunakan untuk hal lain. Makanya, saya cenderung memilih beli di warung saja. Bekal makanan pokok pun bahkan kami bawa sendiri, terutama abon, serundeng, dan lauk-pauk lainnya. Air minum satu galon. Lontong juga kami bawa, tapi tak seberapa.
Itulah salah satu tips berhemat biaya perjalanan. Jatah anggaran singgah di warung makan bisa lebih besar daripada biaya BBM, lho, jika kita pergi bersama rombongan. Cobalah sesekali dihitung, pasti bengkak dananya. Masalah berikutnya, saya berkomitmen untuk tidak sembarangan mampir di warung makan sebelum memastikan (atau memperkirakan) bahwa si pengelola warung itu tidak jorok, paham najis-mutanajjis, ngerti masalah-masalah seputaran kehalalan makanan. Bagi saya, ini prinsip sebagai bentuk ikhtiar (upaya untuk berhati-hati). Maka, daripada repot mencari warung yang spesifikasinya begitu, saya putuskan untuk membawa sendiri saja dari rumah: aman dan murah. Tentu saja,
Catatan: Tentu saja, Anda tidak perlu sama dengan saya. Ini cuman komitmen dan sikap.
Setelah singgah di sebuah mushala kecil di tepi jalan, di Pati, untuk makan, kami menuju Kerjasan, Kudus, untuk nyambangi kakak sepupu yang sedang mudik. Ini tak terhitung kali bagi saya. Ada satu hal penting di sana.
Di Kerjasan, terdapat sebuah rumah bersejarah. Posisinya berada di belakang SD Muhammadiyah 1 Kudus, atau sebelah utaranya Madrasah Tsanawiyah NU Banat, atau di sebelah baratnya Madrasah Aliyah Qudsiyyah. Itulah rumah asal (‘patobin’ menurut istilah [sebagian] Kiai Muhammad Syarqawi, pendiri PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Suemenp. Beliau asli Kudus, namun hijrah ke Madura. Saat ini, yang menempatinya adalah salah satu keturunannya, kerabat kami juga. Kakak sepupu saya berjodoh di sana. Dengan begitu, beliau menjadi perekat hubungan kekerabatan kami yang entah berapa puluh tahun lamanya terpisah dan bahkan sempat tidak diketahui.
Selesai mandi dan sepeminuman teh, kami melanjutkan perjalanan. Nah, di situlah kemacetan mengular. AC mobil yang hanya engkel di depan dan menyala sesekali saja terpaksa harus menyala besar dan terus-terusan. Rupanya, begitulah cara menguras bahan bakar, he, he, he… Dari Demak hingga Semarang, kondisinya jalan begitu saja. Kalau enggak macet, ya, tersendat. Singkat cerita, kami baru tiba di Pekalongan sekitar pukul 14.00. kami tetap memilih rute arteri, non-tol, bahkan sempat pula mencoba jalan lingkar alas Roban yang biasa dilewati truk-truk berat itu.
Duapuluh Empat Jam di Pekolongan
Tiba di Pekalongan, kami disambut oleh Wisnu dan Robin. Mereka mengajak saya ke kediaman Habib Bidin (menantu Habib Luthfi, pimpinan Az-Zahir) untuk rehat dan/atau mandi. Saat itulah, saat membongkar isi tas untuk mencari sabun, barulah saya sadar bahwa ponsel NOKIA 8118 (reborn) saya tak ada.
“Waduh! Ketinggalan di Kudus!”
Meskipun ponsel pasti aman, tapi ini mengkhawatirkan. Pasalnya, hampir semua nomor kontak teman-teman—yang rencana mau saya sambangi dalam perjalanan pulang nanti—ada di sana. Masih untung saya sempat login ke Facebook di ponsel android-nya Anam (karena verifikasi kode login dikirim ke ponsel via SMS) sehingga saya masih bisa menggunakan Messenger untuk berkomunikasi.
“Kalian sudah dapat izin, kok, enak saja nyelonong?”
“Iya, tidak apa-apa, memang diperkenankan.”
Di Az-Zahir, ada banyak tamu juga di situ. Sepertinya, mereka mau syawalan, sowan, atau entah apa. Tapi, kami tak lama di sana, segera pindah ke Kanzus untuk melihat situasi, lalu lanjut ke ndalem tengah (utama), siapa tahu Habib Luthfi muncul dan kami bisa sowan kepadanya. Akan tetapi, melihat banyaknya tamu yang ‘keleleran’ di lantai bawah, ciut juga nyali ini. Rasa pesimis muncul. Satu-satunya harapan tersisa adalah modal pengalaman pertama saya di bulan Oktober tahun lalu: pertama kali nyampe, tapi langsung bisa sowan dua kali di dalam satu hari.
Demikianlah pengalaman saya (kami) selama 24 jam di Pekalongan: Kamis jelang asar tiba, Jumat jelang asar pulang. Seperti tamu-tamu yang lain (kalau tidak salah juga ada dua orang menteri), kami belum ketibaan rezeki berjumpa dengan Habib Luthfi. Tapi, ia tak membuat kami berkecil hati. Bulan depan, atau entah kapan, insya Allah kami kembali lagi, di acara Jumat Kliwonan, atau Maulidan, atau tidak dalam rangka apa pun selain sowan.
Catatan: Oh, iya. Saat sedang rehat di gedung Kanzus Sholawat, saya sempat dikunjungi Fauzi Amrullah, kawan lama yang sekian waktu tidak pernah bersua. Katanya, dia mengetahui bahwa saya berada di situ berkat komentar-komentar saya di Facebook. Ini menyenangkan sekali. Media sosial yang cenderung hanya buat main dan buang-buang waktu terasa sekali manfaatnya. Dia membawa serta dua orang putranya. Satu di antaranya telah mondok di Kediri.
Cerita jejak Semarang ko terlewati..๐
BalasHapusOh, iya, ya... maap, he he
HapusBangga juga nama saya tertuang di racikan kyai faizi dalam seduhan blognya titosdupolo.. Oh ya... Maaf yai.. Sempat mencuri foto bersama titosdupolo tanpa izin๐
BalasHapusPokoknya renyah sekali bacanya
BalasHapus