Saya berangkat pukul 21.30, malam Kamis itu, setelah mengatur ulang rencana perjalanan karena perubahan mendadak. Pasalnya, tiga anak yang sedianya mau ikutan ke Jember, kok, mendadak mengundurkan diri dan memilih masuk sekolah saja. Dua anak terakhir ikut-ikutan yang tertua. Maka, anggota rombongan pun berubah, yaitu saya, istri, anak termungil, dan seorang santri. Adapun pembantu pengemudi—yang notabene nanti bakal dominan—adalah Cak Badi.
Cak Badi ini baru kedua kalinya bareng saya. dia menggantikan Anam yang agaknya mau undur diri setelah menikah. Saya memang pilih-pilih untuk diajak tandem menggunakan Colt karena meskipun bisa mengemudi, tapi tidak semuanya punya passion untuk menjalakan Colt T120 ini. Cak Badi adalah satu di antara yang sedikit itu karena dia memang punya Colt di rumahnya.
Cak Badi bergabung dari Pakamban, dari lokasi yang dekat dengan rumahnya. Konon, pengalaman kali ini, yaitu perjalanan ke Jember, Situbondo, dan Paiton, adalah pengalaman pertamanya sejak 10 tahun terakhir. Sejauh ini, rute-rute mengemudinya rute barat, seperti ke Kediri atau Salatiga, tidak seperti pada umumnya orang Pakamban yang aksesnya cenderung ke Probolinggo-Jember mengingat banyak sekali orang Pakamban yang merantau ke area Tapal Kuda, khususunya Kraksaan dan Paiton.
“Biar saya dulu yang nyetir,” kata saya kepada Badi, sembari tetap duduk di belakang kemudi, “sampai batas ngantuk!”
Ketika mencapai Jrengik, saya mulai mengantuk dan saya serahkan stir kepadanya dan saya pun tidur lelap. Saya bangun persis ketika mobil masuk ke ruas Jalan Kedungcowek, selepas Jembatan Suramadu.
“Wah, dari tadi, saya enggak bangun sama sekali, ya?" tanya saya pada Cak Badi, mengonfirmasi.
"Sepertinya enggak."
Saya cek jam digital di ponsel saat kami melewati gerbang tol Dupak III, ruas tol yang dibangun paling lama, yaitu koneksi Ujung Perak-Gempol (kalau tidak salah sudah terhubung sejak tahun 1986). Sehabis menggesek kartu, saya melirik jam: pukul 01.00 percis. Dengan kata lain, sudah 3,5 jam perjalanan kami dari rumah.
Dengan berjalan santai di bawah kendali Cak Badi, Dupak III – Kejapanan, sejauh 45,3 km, ditempuh 34 menit. Lalu, dari Kejapanan ke GT Probolinggo Timur, dengan bentang jarak tol 153 km, perjalanan ditempuh kurang lebih 65 menit. Kami tiba di Leces pada pukul 02.38. Tapi, seperti dikhawatirkan, Leces ternyata macet, meskipun tipis-tipis. Untuk melewati kota kecil itu, kami buang waktu sekitar setengah jam lamanya. Kemacetan kali ini disebabkan oleh perbaikan jalan, bukan kemacetan penyerobotan yang biasanya terjadi manakali ada banyak truk pasir yang melintas dan lelet saat tanjakan.
Sampai Jatiroto, jalanan masih lancar. Rencana semula mampir di Masjid An-Nur yang lampu-lampunya meriah pun digagalkan dan kami memilih Masjid Asasut Taqwa yang terletak tak jauh di sebelah timurnya (saya penasaran, kedua masjid yang sama-sama besar ini hanya berjarak 318 meter kalau ditarik lurus berdasarkan perhitungan satelit Wikimapia). Akan tetapi, karena azan subuh masih belum berkumandang dan hanya ada satu orang takmir yang tampak bersih-bersih di dalamnya, kami lanjutkan perjalanan ke timur. Akhirnya, kami pun parkir di halaman Masjid Al-Baiturrohman, Pecoro, subuhan di sana.
Perjalanan dilanjutkan ke Ajung, menuju rumah Paman Baidawi. Ancer-ancer dikasih tahu: “jalan dulu sampai perermpatan besar Mangli, lalu belok kanan ke arah Jenggawah.” Benar! Setelah 5,5 km, ada masjid eksotis yang letaknya tepat di jalan raya, di samping sungai pula, yaitu Masjid Baitul Ijabah Klompangan. Sudah sampai situ? Belum, dari masjid tersebut, kami ambil kanan, masuk ke jalan kecil, ke arah barat sejauh 2,3 km, menyusuri sungai yang tampak sangat rapi dan sepertinya buatan Belanda, seperti dam-dam di daerah Lumajang pada umumnya. Nah, setelah ‘ketemu’ Masjid Darussalam , maka itu tandanya lokasi tujuan tidak jauh lagi, hanya 300-an meter di selatannya, 300 meter tepatnya ke titik kordinat MI Khairiyatul Amin, titik tujuan kami di Jember.
Dari pukul 6 sampai pukul 4 sore kami di sana. Paman Baidawi merupakan paman dari istri saya. Hari itu, kami beranjangsana. Mereka mengajak saya ke Puslit Kopi dan Kakao yang terletak tak begitu jauh dari rumah beliau. Kami naik kereta kayu, mengelilingi perkebunan kopi dan cokelat, melewati hutan karet dan tentu saja sembari membeli buah tangan untuk dibawa pulang ke Madura.
***
Sore hari, setelah upacara pamitan dan foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Hari itu, Kamis, 27 Juli 2023 itu (atau 9 Muharram 1445 H), saya targetkan singgah ke empat tempat. Sementara hari sudah sore dan baru satu tempat yang berhasil disambangi. Kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi bibi saya, Zainah, di Dukuh Mencek, yang rumahnya bersebelahan dengan Masjid Hasanul Islam.
Menjelang azan maghrib, saat sudah tarhim, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Situbondo: kunjungan takziyah ke Paman Masrur (Malung) yang wafat Selasa, 18 Juli lalu. Rencana semula, kami mau takziyah pada hari ketujuh, yaitu Senin, 24 Juli. Entah kenapa, halangan datang silih berganti sehingga saya gagal berangkat. Beruntung, akhirnya takziyah terlaksana meskipun mundur 3 hari dari rencana semula. Kami pun disambut putra almarhum dan juga istrinya, di Dawuhan, di rumah duka, yang lokasinya terletak di belakang toko Griya My Moon Store, 1 km persis utaranya lampu merah Alun-Alun Kota Situbondo. Ancer-ancernya adalah; 1000 meter dari lampu merah Alun-Alun Kota Situbonda, ke arah utara, Jalan Sucipto, lalu masuk ke kiri, melewati jembatan kecil, masuk ke gang sempit di antara dua gedung nan tinggi. Nah, di situ kita akan tiba di lokasi.
Dari kota Situbondo, kami lanjut ke Klatakan, ke rumah Ummah. Namun, sebelum itu, kami singgah sejenak di Panarukan, ke rumah Malik, ipar Man Malung. Di sana, saya nyekar di makamnya beliau (Man Malung) untuk membacakan tahlil khususon almarhum dan seluruh isi maqbarah. Oh, iya, Ummah ini istri Kak Arif (ipar Man Malung juga) yang kebetulan juga dia sepupu dua kali dengan Kak Arif dan sepupu persis dengan mendiang istri saya, Nyai Makkiyah.
Kami tiba di sana hampir pukul 22.00. Ealah, saya masih rujakan mangga sebelum tidur demi memenuhi keinginan istri yang sejak tadi cari rujak manis tapi gak dapat-dapat. Hamdalah, empat titik dapat disinggahi semua dalam satu hari.
JUMAT, 28 JULI 2023
Pagi sekali, pukul 06.30, kami bergerak ke arah barat, menuju PP Nurul Jadid. Paiton adalah tujuan akhir saya, yaitu untuk menghadiri rapat wali santri karena putri kami, Fatimah, menjadi santri baru di pondok pesantren tersebut, di wilayah kepengasuhan Al-Mawaddah, asuhan Nyai Hamidah Abdul Wafie (pengarang Shalawat Nahdliyyah yang terkenal itu).
Hampir sehari penuh saya ada di Nurul Jadid, mengikuti acara pengelana tatib dan arahan pengasuh (KH Zuhri Zaini) sampai pukul 11.30, lalu shalat jumat, bercengkerama dengan putri saya, lalu ikut sesi kedua, yaitu parenting yang diampu oleh Ning Raudhlatul Aniq hingga selesai. Sebetulnya, materi inti berakhir pada 15.03, tapi sesi ini-itunya membuat acara benar-benar rampung menjelang pukul 16.00.
Habis itu, saya antar anak ke pondoknya dan saya ajak dia takziyah ke Kiai Hefni Mahfudh yang ketika itu, secara kebetulan, putranya (Lora Roiq; pengganti beliau) sedang bepergian, sementara Nyai Nur sedang ada acara pesantren sehingga kami pun gagal bertamu. Demikianlah takdir bekerja, padahal rencana kali ini adalah kedua kalinya. Sebelumnya, pada hari raya Iduladha, saya juga hendak takziyah, padahal sudah tinggal beberapa langkah lagi ke Asrama Zaid bin Tsabit di wailayah kepengasuhan beliau itu, tapi rencana gagal karena saya balik arah sebab satu dan lain hal.
“Sudah, ya! Ayah pulang saja.”
“Baik,” kata anak saya.
“Nanti, kapan-kapan, dijenguk lagi. Jangan terlalu sering dijenguk.
Anak kembali ke pondok, saya ke arah mobil yang diparkir di rumah Ustad Mannan yang lokasinya persis di pojokan Pos II, pintu gerbang akses ke PP Nurul Jadid sektor selatan. Di rumah Ustad Mannan—yang merupakan khadim Kiai Malthuf dan Nyai Hamidah Wafie di awal-awal beliau merintis pondokan santri di tahun 90-an—inilah saya berjumpa dengan Syaiful Khair yang notabene teman sepondok, dulu, dan saat itu sedang mengemudikan mobil rombongan dari Madura untuk tujuan yang sama.
Menjelang azan maghrib, kami pulang. Jalanan ramai sekali, seperti biasanya, tapi tidak seramai tadi siang yang konon macet karena adanya kedatangan rombongan jemaah haji (tentu saja, yang bikin macet bukan yang datang dari haji, melainkan kirab atau pawainya). Kabarnya, bahkan bis-bis yang sedang menjalankan rute ke arah timur sempat tidak angkut penumpang karena dipastikan terjadi kemacetan besar di sekitar Pantai Bentar.
Dalam pada itu, Om Washil bersama kami. beliau ikut kami dari Paiton, nyusul dari Situbondo. Beliau duduk di depan dan saya duduk di tengah. Kami mampir di RM Bu Sasmito untuk mengisi bahan bakar penumpangnya dan di SPBU Curah Sawo Gending untuk bahan bakar minyak mobilnya.
Perjalanan berlangsung khidmat tanpa kendala. Kami masuk tol Grati, akses jalan tol favorit kalau dari arah timur karena gerbang tol itulah yang paling dekat dengan arteri. Di Sidoarjo, kami keluar, mampir dulu—seperti sudah biasa, tak afdal rasanya kalau tidak mampir—di Warung Bakso Cak To atau Jungkir Balik yang letaknya tepat di sebelah barat Stadion Delta. Sayangnya, Mbak Lia dan Cak To sedang tidak di tempat karena Cak To sakit (semoga Allah memberikan kesembuhan untuknya). Hanya sepeminuman, eh, sepemakanan bakso, kami putar balik dan lanjut ke Madura.
Dari Sidoarjo ke Madura, mobil tidak singgah-singgah lagi. Bung Om Washil turun di Warung Asela karena sepeda motornya dititip di sana, kemudian kami lanjut ke Sumenep. Dari itu, saya menggantikan posisi pengemudi hingga tuntas perjalanan di rumah menjelang pukul 02.00, berakhir di angka 4777/1 (saat pergi 3932/3) yang artinya perjalanan kami, kali ini, adalah 844, 8 kilometer.