Pembaca

02 Agustus 2023

Ke Jember, Situbondo, Probolinggo Dibayar Tunai



Rencana dua bulan yang lalu, dari Jogja langsung ke Jember yang gagal, akhirnya dapat dibayar tunai sebulan setelahnya: 26 Juli 2023 

Saya berangkat pukul 21.30, malam Kamis itu, setelah mengatur ulang rencana perjalanan karena perubahan mendadak. Pasalnya, tiga anak yang sedianya mau ikutan ke Jember, kok, mendadak mengundurkan diri dan memilih masuk sekolah saja. Dua anak terakhir ikut-ikutan yang tertua. Maka, anggota rombongan pun berubah, yaitu saya, istri, anak termungil, dan seorang santri. Adapun pembantu pengemudi—yang notabene nanti bakal dominan—adalah Cak Badi.

Cak Badi ini baru kedua kalinya bareng saya. dia menggantikan Anam yang agaknya mau undur diri setelah menikah. Saya memang pilih-pilih untuk diajak tandem menggunakan Colt karena meskipun bisa mengemudi, tapi tidak semuanya punya passion untuk menjalakan Colt T120 ini. Cak Badi adalah satu di antara yang sedikit itu karena dia memang punya Colt di rumahnya.

Cak Badi bergabung dari Pakamban, dari lokasi yang dekat dengan rumahnya. Konon, pengalaman kali ini, yaitu perjalanan ke Jember, Situbondo, dan Paiton, adalah pengalaman pertamanya sejak 10 tahun terakhir. Sejauh ini, rute-rute mengemudinya rute barat, seperti ke Kediri atau Salatiga, tidak seperti pada umumnya orang Pakamban yang aksesnya cenderung ke Probolinggo-Jember mengingat banyak sekali orang Pakamban yang merantau ke area Tapal Kuda, khususunya Kraksaan dan Paiton. 

“Biar saya dulu yang nyetir,” kata saya kepada Badi, sembari tetap duduk di belakang kemudi, “sampai batas ngantuk!” 
Ketika mencapai Jrengik, saya mulai mengantuk dan saya serahkan stir kepadanya dan saya pun tidur lelap. Saya bangun persis ketika mobil masuk ke ruas Jalan Kedungcowek, selepas Jembatan Suramadu.
“Wah, dari tadi, saya enggak bangun sama sekali, ya?" tanya saya pada Cak Badi, mengonfirmasi.
"Sepertinya enggak."

Saya cek jam digital di ponsel saat kami melewati gerbang tol Dupak III, ruas tol yang dibangun paling lama, yaitu koneksi Ujung Perak-Gempol (kalau tidak salah sudah terhubung sejak tahun 1986). Sehabis menggesek kartu, saya melirik jam: pukul 01.00 percis. Dengan kata lain, sudah 3,5 jam perjalanan kami dari rumah.

Dengan berjalan santai di bawah kendali Cak Badi, Dupak III – Kejapanan, sejauh 45,3 km, ditempuh 34 menit. Lalu, dari Kejapanan ke GT Probolinggo Timur, dengan bentang jarak tol 153 km, perjalanan ditempuh kurang lebih 65 menit. Kami tiba di Leces pada pukul 02.38. Tapi, seperti dikhawatirkan, Leces ternyata macet, meskipun tipis-tipis. Untuk melewati kota kecil itu, kami buang waktu sekitar setengah jam lamanya. Kemacetan kali ini disebabkan oleh perbaikan jalan, bukan kemacetan penyerobotan yang biasanya terjadi manakali ada banyak truk pasir yang melintas dan lelet saat tanjakan. 

Sampai Jatiroto, jalanan masih lancar. Rencana semula mampir di Masjid An-Nur yang lampu-lampunya meriah pun digagalkan dan kami memilih Masjid Asasut Taqwa yang terletak tak jauh di sebelah timurnya (saya penasaran, kedua masjid yang sama-sama besar ini hanya berjarak 318 meter kalau ditarik lurus berdasarkan perhitungan satelit Wikimapia). Akan tetapi, karena azan subuh masih belum berkumandang dan hanya ada satu orang takmir yang tampak bersih-bersih di dalamnya, kami lanjutkan perjalanan ke timur. Akhirnya, kami pun parkir di halaman Masjid Al-Baiturrohman, Pecoro, subuhan di sana.
Perjalanan dilanjutkan ke Ajung, menuju rumah Paman Baidawi. Ancer-ancer dikasih tahu: “jalan dulu sampai perermpatan besar Mangli, lalu belok kanan ke arah Jenggawah.” Benar! Setelah 5,5 km, ada masjid eksotis yang letaknya tepat di jalan raya, di samping sungai pula, yaitu Masjid Baitul Ijabah Klompangan. Sudah sampai situ? Belum, dari masjid tersebut, kami ambil kanan, masuk ke jalan kecil, ke arah barat sejauh 2,3 km, menyusuri sungai yang tampak sangat rapi dan sepertinya buatan Belanda, seperti dam-dam di daerah Lumajang pada umumnya. Nah, setelah ‘ketemu’ Masjid Darussalam , maka itu tandanya lokasi tujuan tidak jauh lagi, hanya 300-an meter di selatannya, 300 meter tepatnya ke titik kordinat MI Khairiyatul Amin, titik tujuan kami di Jember. 

Dari pukul 6 sampai pukul 4 sore kami di sana. Paman Baidawi merupakan paman dari istri saya. Hari itu, kami beranjangsana. Mereka mengajak saya ke Puslit Kopi dan Kakao yang terletak tak begitu jauh dari rumah beliau. Kami naik kereta kayu, mengelilingi perkebunan kopi dan cokelat, melewati hutan karet dan tentu saja sembari membeli buah tangan untuk dibawa pulang ke Madura. 

*** 

Sore hari, setelah upacara pamitan dan foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Hari itu, Kamis, 27 Juli 2023 itu (atau 9 Muharram 1445 H), saya targetkan singgah ke empat tempat. Sementara hari sudah sore dan baru satu tempat yang berhasil disambangi. Kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi bibi saya, Zainah, di Dukuh Mencek, yang rumahnya bersebelahan dengan Masjid Hasanul Islam

Menjelang azan maghrib, saat sudah tarhim, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Situbondo: kunjungan takziyah ke Paman Masrur (Malung) yang wafat Selasa, 18 Juli lalu. Rencana semula, kami mau takziyah pada hari ketujuh, yaitu Senin, 24 Juli. Entah kenapa, halangan datang silih berganti sehingga saya gagal berangkat. Beruntung, akhirnya takziyah terlaksana meskipun mundur 3 hari dari rencana semula. Kami pun disambut putra almarhum dan juga istrinya, di Dawuhan, di rumah duka, yang lokasinya terletak di belakang toko Griya My Moon Store, 1 km persis utaranya lampu merah Alun-Alun Kota Situbondo. Ancer-ancernya adalah; 1000 meter dari lampu merah Alun-Alun Kota Situbonda, ke arah utara, Jalan Sucipto, lalu masuk ke kiri, melewati jembatan kecil, masuk ke gang sempit di antara dua gedung nan tinggi. Nah, di situ kita akan tiba di lokasi.
Dari kota Situbondo, kami lanjut ke Klatakan, ke rumah Ummah. Namun, sebelum itu, kami singgah sejenak di Panarukan, ke rumah Malik, ipar Man Malung. Di sana, saya nyekar di makamnya beliau (Man Malung) untuk membacakan tahlil khususon almarhum dan seluruh isi maqbarah. Oh, iya, Ummah ini istri Kak Arif (ipar Man Malung juga) yang kebetulan juga dia sepupu dua kali dengan Kak Arif dan sepupu persis dengan mendiang istri saya, Nyai Makkiyah. 

Kami tiba di sana hampir pukul 22.00. Ealah, saya masih rujakan mangga sebelum tidur demi memenuhi keinginan istri yang sejak tadi cari rujak manis tapi gak dapat-dapat. Hamdalah, empat titik dapat disinggahi semua dalam satu hari. 

JUMAT, 28 JULI 2023 

Pagi sekali, pukul 06.30, kami bergerak ke arah barat, menuju PP Nurul Jadid. Paiton adalah tujuan akhir saya, yaitu untuk menghadiri rapat wali santri karena putri kami, Fatimah, menjadi santri baru di pondok pesantren tersebut, di wilayah kepengasuhan Al-Mawaddah, asuhan Nyai Hamidah Abdul Wafie (pengarang Shalawat Nahdliyyah yang terkenal itu).

Hampir sehari penuh saya ada di Nurul Jadid, mengikuti acara pengelana tatib dan arahan pengasuh (KH Zuhri Zaini) sampai pukul 11.30, lalu shalat jumat, bercengkerama dengan putri saya, lalu ikut sesi kedua, yaitu parenting yang diampu oleh Ning Raudhlatul Aniq hingga selesai. Sebetulnya, materi inti berakhir pada 15.03, tapi sesi ini-itunya membuat acara benar-benar rampung menjelang pukul 16.00. 
Habis itu, saya antar anak ke pondoknya dan saya ajak dia takziyah ke Kiai Hefni Mahfudh yang ketika itu, secara kebetulan, putranya (Lora Roiq; pengganti beliau) sedang bepergian, sementara Nyai Nur sedang ada acara pesantren sehingga kami pun gagal bertamu. Demikianlah takdir bekerja, padahal rencana kali ini adalah kedua kalinya. Sebelumnya, pada hari raya Iduladha, saya juga hendak takziyah, padahal sudah tinggal beberapa langkah lagi ke Asrama Zaid bin Tsabit di wailayah kepengasuhan beliau itu, tapi rencana gagal karena saya balik arah sebab satu dan lain hal. 

“Sudah, ya! Ayah pulang saja.”
“Baik,” kata anak saya. 
“Nanti, kapan-kapan, dijenguk lagi. Jangan terlalu sering dijenguk. 

Anak kembali ke pondok, saya ke arah mobil yang diparkir di rumah Ustad Mannan yang lokasinya persis di pojokan Pos II, pintu gerbang akses ke PP Nurul Jadid sektor selatan. Di rumah Ustad Mannan—yang merupakan khadim Kiai Malthuf dan Nyai Hamidah Wafie di awal-awal beliau merintis pondokan santri di tahun 90-an—inilah saya berjumpa dengan Syaiful Khair yang notabene teman sepondok, dulu, dan saat itu sedang mengemudikan mobil rombongan dari Madura untuk tujuan yang sama. 

Menjelang azan maghrib, kami pulang. Jalanan ramai sekali, seperti biasanya, tapi tidak seramai tadi siang yang konon macet karena adanya kedatangan rombongan jemaah haji (tentu saja, yang bikin macet bukan yang datang dari haji, melainkan kirab atau pawainya). Kabarnya, bahkan bis-bis yang sedang menjalankan rute ke arah timur sempat tidak angkut penumpang karena dipastikan terjadi kemacetan besar di sekitar Pantai Bentar. 

Dalam pada itu, Om Washil bersama kami. beliau ikut kami dari Paiton, nyusul dari Situbondo. Beliau duduk di depan dan saya duduk di tengah. Kami mampir di RM Bu Sasmito untuk mengisi bahan bakar penumpangnya dan di SPBU Curah Sawo Gending untuk bahan bakar minyak mobilnya.  

Perjalanan berlangsung khidmat tanpa kendala.  Kami masuk tol Grati, akses jalan tol favorit kalau dari arah timur karena gerbang tol itulah yang paling dekat dengan arteri. Di Sidoarjo, kami keluar, mampir dulu—seperti sudah biasa, tak afdal rasanya kalau tidak mampir—di Warung Bakso Cak To atau Jungkir Balik yang letaknya tepat di sebelah barat Stadion Delta. Sayangnya, Mbak Lia dan Cak To sedang tidak di tempat karena Cak To sakit (semoga Allah memberikan kesembuhan untuknya). Hanya sepeminuman, eh, sepemakanan bakso, kami putar balik dan lanjut ke Madura.

Dari Sidoarjo ke Madura, mobil tidak singgah-singgah lagi. Bung Om Washil turun di Warung Asela karena sepeda motornya dititip di sana, kemudian kami lanjut ke Sumenep. Dari itu, saya menggantikan posisi pengemudi hingga tuntas perjalanan di rumah menjelang pukul 02.00, berakhir di angka 4777/1 (saat pergi 3932/3) yang artinya perjalanan kami, kali ini, adalah 844, 8 kilometer. 



01 Agustus 2023

Semalam di Jogja

Catatan Perjalanan ke Jogja, 22-23 Mei 2023


Perjalanan ke Jogja kali ini terbilang buru-buru. pasalnya, meskipun perjalanan telah lama dirancang, tapi digagalkan dua hari menjelang hari H. Yang menjadi sebabnya adalah; anak saya mendadak demam dan ibunya keberatan kalau ikutan berangkat. Maka, saya putuskan untuk ngebis saja. Akan tetapi, menjelang malam keberangkatan, si ibu mengambil keputusan untuk ikut karena suhu tubuh putranya mendingan. 

“Besok pagi tidak apa-apa kalau mau berangkat,” katanya.

Terburu-buru membuat saya lupa ngecek merata (pengecekan inti sudah), dan ternyata knalpotnya agaknya sedikit bocor sehingga kalau lepas gas, terdengar letupan. Begitu juga, Cak Badi—yang akan menyetir, menggantikan Cak Anam yang biasa bareng saya dan sekarang uzur karena persiapan menikah—harus dihubungi mendadak. Untung saja bisa. Selamatlah rencana perjalanan ini dari kegagalan.

Pagi itu, Kamis, pukul 09.30, kami bertolak dari rumah, jos langsung menuju masjid Baiturrohman di Dumajah, pukul 12.40 Pada beberapa kali trip, titik ini memang sengaja dibuat persinggahan saya, persinggahan pertama ketika berangkat. Pasalnya, letaknya yang dekat dengan akses Suramadu dan secara waktu telah mencapai perjalanan 2,5 atau 3 jam dari rumah dalam kecepatan 70-80 km jam. Jadi, secara teori mengemudi, posisi ini memang tepat untuk dibuat tempat rehat. 

Sedianya, sesuai rencana awal, andaikan kami bisa berangkat bakda subuh persis, maka rencananya adalah mampir ke Masjid Raya Syeikh Zayed di Surakarta alias Solo dengan perkiraan shalat jamak duhur-ashar di sana. Akan tetapi, berangkat bakda subuh persis memang cenderung tidak persis, bahkan cenderung sampai matahari terbit (sebab itu, banyak dari keluarga besar saya yang suka menjadwalkan keberangkatan beberapa menit sebelum azan subuh dalam keadaan sudah punya wudu). Penjadwalan seperti ini ternyata lebih efektif untuk menghindari molor. Dan kali ini, berangkat bakda subuh tidak mungkin karena persiapan kami belum selesai. Perjalanan dimulai pukul 10.00.  

Perjalanan di terik siang membuat hati kacau di Surabaya. Macet jalanan minta ampun, entah kenapa sebabnya. Pendingin kabin hasil rangkaian sendiri tidak mampu menenteramkan tubuh, hanya sekadar mampu membuat tidak keringatan. Ya, maklum, banyak kebocoran di sela-sela pintu dan membuat suhu udara luar (yang mungkin bisa mencapai 35-376 derajat celcius masuk ke dalam) dan juga faktor evaporator AC yang tunggal, hanya di depan, sementara untuk sampai ke kursi belakang saya menggunakan kipas angin yang dipasang di plafon tengah.

Sebelum masuk tol Dupak, saya melipir di masjid Nurul Yaqien (pukul 14.10) yang jaraknya hanya berapa puluh meter ke akses pintu masuk. Si bontot mau pipis. Harus diakui, bahwa keberadaan masjid-masjid di tepi jalan itu, salah satunya, adalah untuk orang singgah buat air kecil karena kalau menunggu SPBU belum tentu rimbanya, apalagi di jalan tol. Yang juga harus diakui juga adalah; ada pula yang benar-benar hanya singgah untuk pipis, jangankan sampai shalat tahiyatal masjid, ngasih uang ke kotaknya saja tidak. 

Karena keberangkatan berubah, maka jadwal lain-lain juga berubah. Perjalanan sepenuhnya lewat tol sampai Colomadu (Kartasura), padahal sebelumnya dirancang keluar-masuk: masuk Warugungun, keluar Bandar; masuk Caruban, keluar Sragen, lalu lewat arteri, lewat kota Solo, ke Masjid Zayed). Di tol, kami hanya singgah satu kali di tempat istirahat di Saradan, Madiun (jika tidak salah 627). Sebagai hiburannya, saya bawa rombongan yang untuk pertama kalinya ke Jogja itu—kecuali dua anak saya yang lain—ke masjid Al-Aqsha, Klaten. Pukul 19.50, kami bertolak menuju Jogja, ke Kafe Main-Main untuk makan malam dan tiba pukul 20.45.

Dipandu oleh GPS oleh Mas Mukhlas, kakak sepupu Zulfa (istri saya), Colt ini kembali menapaki jalan 
Lingkar selatan (ringroad) setelah terakhir Agustus tahun lalu, 2022, saat menghadiri kopdar ICJ di Pantai Cemara.  Sepertinya, Colt ini sudah akrab dengan aspal Jogja sehingga tidak perlu ragu-ragu, bahkan andai tanpa GPS, seakan ia sudah dapat mengendus jejak dan tapaknya di jalan-jalan kota Jogja. 

Setelah masuk lewat Jalan Imogiri Timur, belok kanan di Perempatan Jejeran, kami pun tiba di rumah Kak Mukhlas yang beruntung bisa menempati kediaman Mbah Juned (karena istri beliau merupakan cucunya) yang letaknya berada di belakang masjid  At-Taawun, Kanggotan, Plered, Bantul. 

Pagi Jumat, acara kami adalah silaturahmi, tidak lebih. Istri maunya istri adalah diantar ke Malioboro, tapi ternyata gagal karena si kecil rewel. Maka, setelah jumatan di Masjid At Ta’awun  yang terletak persis di timur rumah Mas Mukhlas ini, saya pun berangkat ke lokasi acara tanpa rombongan karena kerewelan tersebut masih berlanjut. Tak apalah, ia harus diterima sebagai takdir karena kita sudah ikhtiar.

Dalam perjalanan ke desa Pulesari di Sleman, kami menyusuri jalan terdekat menurut GPS. Saya tidak tahu menahu jalan itu karena ia adalah pertama kalinya. Akan tetapi, sebelum mencapai lokasi yang ditargetkan pukul 16.00, saya manfaatkan waktu untuk singgah-singgah lebih dulu, antara lain ke Pak Benta di Gamping yang baru buka kedai angkringan SGS dan lapangan futsal, di belakang rumahnya. Habis itu, persinggahan kedua adalah pool PO Putra Remaja, menjumpai Mas Hanif yang janji ngasih suvenir (kami terhubungan kembali dengannya saat saya dalam perjalanan naik bis ini dari Jambi tujuan Solo, awal bulan Mei lalu). 

Saya menghadiri undangan anak-akan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang mengadakan Kemah Literasi Nasional. acaranya ditempatkan di balai desa Pulesari, Sleman. Sesi sore itu, saya datang bersama Puthut E.A. Kami ngobrol bergantian: saya dulu, baru dia. Tapi, saya tidak langsung pulang sehabis acara, malainkan menunggu Mas Puthut sampai rampung bicara. Eh, gak tahunya, tiba-tiba ada Gus Syukron Maksum datang. Maka, pulang pun gagal, jadilah kami ngobrol sampai menjelang isya. 

“Ayo mampir ke rumah saya dulu,” kata Gus Syukron menawarkan kami mampir ke rumah mertuanya, mengingat dia dari Jambi—yang tempo hari pondok pesantrennya (PP Jari Nabi) itu—baru saya kunjungi. 
“Makasih, tidak mungkin rasanya, Gus, karena saya harus pulang malam ini.”

Turun dari Pulesari, saya mencari jalan akses ke Jalan Magelang yang paling dekat. Meskipun dengan begitu jaraknya sedikit memutar, tapi jalannya lebih terang dan lebih bagus. Maka, saya tidur di jok tengah, sementara Anta—yang ikut kami sejak dari Plered—duduk di depan bersama Cak Badi sang pengemudi. Tertidur lelap karena kelelahan, saya terbangun setelah mobil sudah parkir di halaman rumah Mas Mukhlas. Saya pulas sepanjang 40 km. Jarak segitu adalah jarak total ring-road Jogja yang pernah saya hitung melalui odometer Honda Aastrea Prima di tahun—jika tidak salah—2002 yang silam. 

“Loh, kok sudah mau pulang?” tanya Mas Mukhlas. 
“Serius mau pulang?” Mbak Aini menambahkan. 
“Iya, kami ini masih mau lanjut ke Karangharjo untuk acara besok malam. Besok siangnya masih rencana mampir di Ajung, di Paman Baidawi.” 

Diiringi suasana hari, kami meninggalkan Kanggotan malam itu, menuju Jember. Masih ada 530 kilometer di depan yang harus kami tuntaskan untuk titik persinggahan berikutnya. Tapi, kami singgah sebentar di Kafe Main-Main sekadar untuk ngisi termos dengan kopi, baru lanjut lagi pada pukul 10.00. Kami bertemu dengan Pak Edi dan Imam Rofiie, tapi tidak ada Kang Din yang sedianya mau jumpa saya pula di sana.  
 
Sementara itu, si kecil nangis terus. Suasana menjadi kacau balau saat istri saya berkata.
“Sepertinya saya tidak sanggup kalau harus ke Jember.”
“Ya, tidak apa-apa, kita putar haluan.”
“Terus, bagaimana dengan janjian orang Jember?”
“Pikir saja nanti di perjalanan, toh kita masih punya kesempatan waktu. Siapa tahu Aqil—anak kami yang bontot—jadi mendingan dan kita lanjut.”
“Iya, amin, semoga saja.”

Mobil bergerak dan Cak Badi tetap mengemudi hingga SPBU Kertonatan, Kartasura. Kini, giliran saya yang mengemudi. Masuk GT Colomadu pukul 23.44 dan sengaja saya bawa berlari konstan antara 85-90 km / jam hingga masuk GT Warugunung pada pukul 03.13. Dengan kecepatan rata-rata begitu, yang tentu saja terbilang lambat untuk mobil MPV yang berjalan di jalan tol, jarak 253 kilometer ternyata bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 29 menit tanpa rehat sama sekali. 

Mobil terus bergerak tanpa henti hingga akhirnya  saya ngisi BBM lagi di SPBU Tangkel bukan karena habis, melainkan sekadar untuk kalibrasi konsumsi BBM. Hasilnya adalah 1 liter untuk 12,7 km. Data ini masih saya ragukan (karena terlalu irit) mengingat mobil terbilang bermuatan berat karena membawa 6 orang dan barang berjibun serta RPM selalu tinggi. Entah tadi ngisinya kurang penuh atau bagaimana, saya tidak mencermatinya lagi. Yang pasti, jarak dari Kertonatan ke Tangkel itu 294 kilometer, sedangkan pertalite yang dihabiskan adalah 232.000. Suatu saat, kalibrasi harus dilakukan berkali-kali untuk mendpatkan angka yang lebih pasti.  

Kami tiba di Masjid Baiturrohman, Dumajah, masjid yang kami singgahi pertama saat berangkat, untuk shalat subuh. Mobil dan anggota rombongan terus pulang ke timur, sedangkan saya kembali ke barat, naik bis untuk melanjutkan perjalanan ke Jember. 











Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...