Pembaca

18 Mei 2009

Tilang Berhadiah

Setiap kali melihat anak muda berperilaku serampangan di jalan raya, atau berjalan biasa tetapi tidak menggunakan lampu di malam hari, atau tiba-tiba berbelok tanpa didahului lampu sein, berhenti mendadak tanpa lampu rem, atau, intinya, ugal-ugalan di jalanan raya, ingin rasanya saya menjadi pak polisi. Lalu, saya akan memberi tindakan dan penyadaran mereka semua itu. Ini adalah keinginan bawah sadar. Saya baru sadar sekarang dan tahu alasannya, mengapa sejak kecil dulu saya suka menonton filem serial di TVRI, Chip’s, Hunter, sampa filem kartun Police Academy.

Namun, sejak pukul 09:15 (14 Mei 2009) keinginan itu pupus sudah. Peristiwa ini bermula ketika si Titos yang saya kemudikan dengan penumpang 4 orang, diberhentikan oleh sebuah operasi lalu lintas di Jalan Panglegur, Pamekasan, seberang jalan RSUD. Seorang petugas menyetopnya, menanyakan surat-surat, dan seterusnya. Kira-kira, percakapan itu begini modelnya.

“Surat-surat?” pintanya.

Saya memberinya SIM dan STNKB.

“Taksi, ya?”

Saya menautkan alis, “Bukan, Pak. Ini plat hitam. Pribadi.”

Saya hendak turun tetapi petugas itu menyentak sabuk keselamatan, dan copot karena memang tidak terpasang. Maklum, saya membukanya karena saya hendak turun dari mobil sebelum petugas tersebut menghampiri.

“Nah, ini! Anda tidak memasang sabuk keselamatan! Mari ikut saya.”

Petugas itu melangkah, menjauh, membawa SIM dan STNKB saya lalu menyerahkannya kepada petugas yang lain. Saya memaklumi perwira polisi tersebut untuk menuduh saya berlaku demikian karena dia tentu mengambil pandangan umum, bahwa rata-rata pengemudi di sini masih tidak terbiasa menggunakan sabuk keselamatan. Akan tetapi, tentu saya tidak terima jika dibilang saya tidak menggunakan sabuk keselamatan karena dalam kenyataannya saya memakainya dan baru melepas beberapa detik sebelum dia mendatangi saya.

“Lho, saya kan mau turun dari mobil, Pak, tentu sabuk ini harus dilepas dulu agar saya bisa keluar.”

“Alaaah! Alasan. Pintar-pintarnya Anda bikin alasan. Sopir-sopir di sini suka begitu.”

“Wah, tidak begitu. Saya jujur, Pak.”

Maka, kami pun adu mulut. Saya menahan diri untuk terus berbicara pelan, namun petugas berinisial DH itu tetap temperamental (saya masih sopan dalam menulis untuk tidak menyebutnya “membentak-bentak”).

“Malu sama peci haji Anda!” Perwira itu melihat muka saya. Ya, kebetulan, saya menggunakan peci haji ketika itu, bukan peci hitam nasional sebagaimana biasanya saya pakai setiap hari. “Alasan Anda itu biasa, modus operandi sopir-sopir di sini,” tambahnya.

Barulah, kala itu saya benar-benar tidak dapat menahan rasa marah.

“Pak, kalau soal tilang jangan bawa-bawa peci, Pak!”

Wajah saya, mungkin jika Anda melihatnya, akan bersemu merah. Saya terus mengikuti pak perwira yang terus menghindar ketika saya desak dan saya tanya, mengapa dia menuduh saya tidak menggunakan sabuk keselamatan padahal saya melepasnya justru karena hendak turun dari mobil, untuk menghormatinya?

Sejujurnya, membicarakan safety belt (sabuk keselamatan) sebagai salah satu bentuk upaya keselamatan berkendara sungguh ambigu. Sabuk keselamatan yang “dipasang sendiri” di mobil-mobil tua, atau mobil baru sekali pun tetapi bukan built- in dari pabrikan, seperti pada Suzuki Carry atau Mitsubishi L300, lebih bersifat simbolis, tak ada gunanya. Fungsi sabuk keselamatan adalah menahan badan secara otomatis dari benturan dengan stir atau dashboard jika terjadi hentakan/tabrakan. Tapi sabuk-sabuk keselamatan yang dipasang sendiri, seperti pada Colt T-120 ini, pada umumnya tidak memiliki fungsi seperti itu karena sabuk keselamatan tersebut tidak berpegas. Sebetulnya ini kenyataan yang lucu, tapi nyata dan menegangkan.

“Anda itu harus minta maaf!” Tiba-tiba suaranya meninggi.

Agar tidak membuat urusan jadi panjang walaupun saya bisa menjelaskan alasan yang masuk akal, saya mengalah, tetapi saya katakan “sorry” kalau harus berdamai dengan membayar uang.

“Saya minta maaf, Pak. Saya mengaku salah.”

Petugas tersebut tidak mempedulikan saya. Wajahnya tetap berasa masam. Namun, pada akhirnya, saya membuat-buat anggapan sendiri, bahwa dengan tidak ditanggapi kembali, berarti permintaan maaf saya telah dikabulkan meskipun dengan berat hati.

Saya menghampiri petugas lain yang sedang berdiri di depan sebuah sedan berwarna putih-bitu dan bertuliskan “patroli” itu. Bersamanya, berdiri sepasang pria-wanita yang kelihatannya punya masalah dengan SIM.

“Mana STNK saya?” Saya meminta.

“Bagaiamana kata Bapak?”

“Sudah beres,” pungkas saya sekenanya.

Maka, petugas itu memilih satu STNK di antara surat-surat “siap ditilang” yang menumpuk, berjejer di atas kap mobil sedan patroli itu.

“Ini. Hati-hati di jalan!”

* * *

Hari itu, STNK saya tidak jadi ditahan. Saya pergi dengan wajah sumringah namun tetap membawa perasaan dongkol karena tuduhan tak bertanggung jawab dan penyebutan songkok yang dihubung-hubungkan dengan ketidakdisiplinan tadi. Hukum formal memang selalu diambil berdasarkan pengalaman kebanyakan. Saya paham soal ini. Namun, mengapa petugas tadi marah-marah tanpa alasan kepada saya? Ini yang saya cari jawabannya.

Memang benar, ternyata bukan saya saja yang merasa tidak terima diperlakukan seperti itu di muka umum, bahkan istri saya dan beberapa penumpang perempuan lain yang duduk di kursi belakang dan menyaksikan cekcok itu secara langsung juga merasa dilecehkan. Ya, kami semua tidak rela diperlakukan begitu oleh perwira polisi tersebut.

Saya mengajak mereka buru-buru pergi karena khawatir akan terjadi cek-cok dan adu tensi tinggi lagi. Dengan gaya suami siaga yang bijak, saya bilang, “Mungkin si bapak petugas itu sedang dirundung masalah dengan istrinya sebelum pergi bertugas. Akibatnya, ya, emosinya tumpah di jalanan..”

Masuk gigi 1, lepas kopling, tancap gas, dan kami melaju. Titos menderu…

Saya tiba di tujuan dalam keadaan pikiran masih cpaek, namun juga bersyukur karena daftar tilang saya masih nihil. Akan tetapi, begitu saya merogoh saku baju, kedapatan uang 20.000. Saya hitung ulang semua uang: lengkap, kap, kap! Lalu, milik siapakah uang 20.000 yang tak jelas itu? Saya menduga, uang-bernasib-malang ini milik pelalu-lintas lain yang melanggar yang tidak mau ditilang dan mereka memilih nyogok, berdamai dengan uang duapuluh ribu.

Astaghfirullah. Siapakah tuan pemilik uang syubhat ini?

Saya membatin, “Apakah milik muda-mudi tak berhelem, ya? Ataukah punya sopir colt pick up yang muatannya berjibun itu-kah? Entahlah, yang pasti, saat saya ambil SIM/STNKB dari meja kap sedan mobil polisi itu memang tergeletak bersama SIM/STNKB kendaraan-kendaraan lain yang kebetulan juga terkena pasal pelanggaran.

Waduh…

Saya serahkan uang itu kepada seseorang sambil berkata, “Terserah mau dibagaimanakan,” kataku sambil menyerahkan uang itu. “Tapi, jangan sampai perutmu, perut istrimu, dan perut anak-anakmu, kemasukan makanan dari uang yang tak jelas nasabnya ini.”

“Kalau masuk ke telinga?” tawarnya.

“Maksudnya?” Saya balik bertanya.

“Dibelikan pulsa, misalnya, buat nelepon?

Semakin pusing kepala saya mendengarnya.


Catatan Tersisa:

1. Image Colt T-120 adalah omprengan. Jadi, mobil plat hitam pun dikira ngompreng.

2. Barangkali, saya juga disepelekan karena perwira itu melihat SIM-ku yang “masih A” dan saya dianggap baru belajar mengemudi (meskipun sudah 3 kali bikin SIM A). Menyesal saya tak ambil SIM B-2 saja biar dikira sopir bis/tronton.

3. Bukan hanya kanker yang berbahaya, cara pandang bahwa pengemudi lebih rendah derajatnya daripada aparat polisi itu juga tak kalah berbahaya.

4. Lain kali, kalau mau ke kota aku bawa Grandis atau Mazda RX-ku saja, ah, meskipun DURNO! :)

03 Mei 2009

Berkhayal: Reli Paris-Dakar



Setelah kalah-menang dalam beberapa etape sebelumnya, pada etape terakhir reli gila Paris-Dakar ini aku dan Titos berhasil menyentuh finish pertama. Beruntung, Titos mendapat kesempatan kupacu cepat tancap melesat hingga tak tersisa lagi apa itu pedal gas untuk dilibas!


Akibat mengemudi dengan Titos dengan cara membabi buta, korban-korban pun berjatuhan:


Pertama, TATRA

Kedua, LIAZ, dan yang teLaaakhir

V...O...L...V...O... !!!



Bahkan, sebelumnya, saudara sekandung lain ayah lain ibu pun, Mitsubishi Pajero, sang penakluk Paris-Dakar bertahun-tahun, harus juga didahului.


Kawan-kawan, dalam kesempatan ini saya minta maaf.

Waktu itu aku buru-buru bukan karena ingin menyalip kalian semua,

tapi karena kebeles pipit, dan ingin segera tiba di kamar kecil di kota Dakar.



Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...