Pembaca
20 Agustus 2010
Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)
Ini adalah catatan perjalanan kami ke Paiton, Kraksaan (Probolinggo), Besuki (St.Bondo), Kaliasat, Mangli, Rambipuji, Bangsalsari (Jember), Krikilan, Galean, Bajul Mati (Banyuwangi), Panji Kidul, Panarukan (Situbondo) pada tanggal 10 - 13 April 2010 yang lalu. Adapun tujuan perjalanannya adalah walimah, takziah, dan silaturrhmi. Kendaran yang digunakan adalah Mitsubishi Colt T-120, kendaraan sepanjang zaman yang memang sangat cocok untuk acara walimah, takziah, dan silaturrhmi dan terkenal “sedjak dahoele” kala.
Kisah ini penuh suka duka dan suka cita. Beberapa kali kami mengalami mogok, namun juga mendapat kehangatan dan kejutan yang diberikan tuan rumah, serta pengalaman perjalanan yang tidak dijual di tempat mana pun. Agar tidak terlalu panjang, kisah perjalanan ini dibagi ke dalam empat etape perjalanan: berikut yang pertama:
Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)
“Alhamdulillah, selamat!” batinku begitu hujan mengguyur deras ketika aku telah tiba di rumah. Ya, pagi itu, dengan mengendarai sepeda motor, aku pergi ke pantai Bato Kerbuy di Pasean, pantai utara di Kabupaten Pamekasan. Jaraknya kira-kira 40 kilometer dari rumahku. Hujan masih turun saat jam sudah menunjuk angka 1 siang. Karena khawatir bakal terlalu malam tiba di Paiton, Probolinggo (tujuan utama etape pertama), maka pada pukul 13:30 menit, kami putuskan untuk berangkat.
Bersama di dalam kabin colt T-120 ini adalah, depan; Lutfi si pengemudi dan Kholis; sepupu dua kali; Tengah, ibuku dan tanteku (duakali sepupu ibuku); belakang, aku sendirian bersama tumbukan barang bawaan, oleh-oleh yang hendak kami bawa; bantal, petis, kelapa, dan sebagainya. Sepintas, station wagon ini lebih mirip angkutan barang yang beratap. Sementara istri dan anakku tidaklah bersama kami. Mereka berangkat lebih awal bersama saudaranya dari Pamekasan, dua hari yang lalu. Namun, kami telah mengatur jadwal pertemuan di walimah, esoknya.
Sebelum berangkat, odometer kucatat: 4969. Dan bersama bacaan basmalah, mobil bergerak. Acara “mampir sana” dan “mampir sini” untuk membeli oleh-oleh dan bekal di perjalanan ternyata menyita banyak waktu. Tak terasa, matahari telah condong ke ufuk barat saat mobil masuk SPBU Tlanakan, Pamekasan. Setelah 37,5 liter masuk ke tangki bensin, uang 169.000 ribu dari dompet berpindah tangan ke kasir.
Titos du Polo membawa kami ke arah barat, mengejar matahari, memburu cahaya siang sebelum gelap dengan kecepatan rata-rata 70 KM/jam. Hujan telah reda. Kuperhatikan, jalan masih basah. Berarti, hujan tidak saja turun di desaku, melainkan nyaris di sepanjang jalan di patai selatan Madura. Lutfi, si pengemudi, selalu menurunkan pedal gas ketika buzzer di balik speedometer berbunyi: pertanda kendaraan telah melaju dalam kecepatan di atas 80km/jam, entah karena terganggu oleh bunyi alarm atau karena khawatir kondisi jalan yang licin. Menjelang maghrib, kami baru turun dari Jembatan Suramadu. Seratus empatpuluh enam kilometer telah berlalu.
Begitu memasuki jalan Kedung Cowek, persis setelah lampu merah menuju Jalan Kenjeran, gerimis kembali menebal: hujan. Lampu sore dinyalakan. Colt pun berseliwer dengan kendaran-kendaraan berbagai jenis, memasuki kota Surabaya yang ramai; Kapasan, Gembong Bungukan, Stasiun Kota, dan kami dihentikan oleh lampu lalin di Jalan Pahlawan. Di sinilah kesalahan terjadi. Sopirku melanggar marka jalan (sebagaimana dituduhkan).
Sebetulnya, sebelum memasuki Jembatan Suramadu, ibuku berpesan agar aku mengambil kemudi, menggantikannya hingga lepas Porong, mengingat si Lutfi ini tidak terbiasa masuk kota Surabaya. Aku mengajukan alasan, “Biarlah, Bu. Biar dia belajar mengemudi di dalam kota. Kalau saya yang mengemudi, maka mungkin dia tidak akan pernah berani menyetir di dalam Kota Surabaya!”. Dan tiupan peluit pak polisi membuatku langsung menyesal tidak menuruti anjurannya.
Beberapa menit habis untuk negoisasi “pelanggaran” atas kesalahan “ambil jalan terlalu ke kanan ketika hendak belok menuju jalan Tembaan”. Ya, selian di tempat ini, perempatan Siola juga menjadi tempat yang, konon, rawan bunyi peluit sejenis ini terdengar. Jika tadi uang di dompet berpindah tangan ke kasir SPBU, kini jatah camilan selama perjalanan untuk pengemudi kembali berpindah tempat ke tangan ke pak polisi. Aduh!
Mobil kembali bergerak, menyusuri Jalan Dupak. Gairah telah turun begitu banyaknya. Bagaimana pun, uang 30-50 ribu tetaplah angka yang besar bagi kami. Rasa-rasanya, soal pelanggaran lalu lintas itu, sekarang bukan zamannya “gaya teguran pertama.” Karena teguran pertama adalah pelanggaran. Kami telah berhati-hati dalam berkendara, tetapi salah mematuhi rambu lalu litans, tidak fatal sekali pun, tilang adalah akibatnya.
Saat masuk tol, gerimis tinggal sedikit. Hanya sisa-sisanya yang jatuh di kaca. Namun, suasana Maghrib yang turun bersamaan membuat warna aspal hot mix semakin hitam memekat.
“Nyalakan lampu, Lut,” perintahku.
“Ini sudah pakai lampu jauh ini.” Lutfi tersenyum.
Jalan yang terlampau gelap atau lampu utama yang terlalu suram?
Seperti malam gelap dan baru bermula, rupanya kesedihan itu belum berakhir. Masih terbayang-bayang dalam ingatan uang yang tadi melayang entah ke mana rimbanya, kini, saat menyusuri jalan buruk di tepian semburan lumpur Lapindo, tiba-tiba nyala mesin tersendat-sendat, pincang, lalu… Astaga! Di saat bersamaan, klakson-klakson mobil, bis, dan truk yang nyaring dari arah belakang memberondong tanpa ampun, menciptakan kakofoni. Makin teganglah seluruh penduduk colt T 120 ini. Kini, mesin benar-benar mati dan starter tidak berfungsi. Apa boleh buat, mobil pun didorong menepi.
* * *
Entah berapa lama kami terdiam di situ, tak tahu harus berbuat apa. Kami mengutak-atik kunci kontak, karena di situlah pusat kecurigaanku, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba, seperti novel Wiro Sableng, setelah sekira 30 menit kemudian, seorang lelaki bersepeda motor dan membawa tas besar menghampiri kami. Tanpa ba-bi-bu, dia menyapa, “Mogok, ya?
“Tadi pincang, lalu mati. Terus, kalau distarter, mesin menyala sebentar, dan langsung mati lagi, tidak bisa stationer..” Aku memberikan penjelasan.
“Hemm…,” ia bergumam.
Dengan cekatan, sang penolong yang belakangan diketahui bernama Pak Budi, membuka jok depan (Ini Colt T-120, bukan Fortuner. Jadi, letak mesin ada di bawah jok depan). Dengan gerakan cepat seolah-olah tidak butuh bantuan kami, kecuali memohan untuk pegang lampu senternnya, Pak Budi mengecek pengapian; karburator, dan tabung filter bensin. Beberapa saat lamanya, mesin menyala, dan tentu saja memutar kipas radiator dan menggerakkan dinamo ampere yang seolah-olah menyalakan lampu pijar di wajah kami. Ya, wajah kami mendadak binar: sebuah pertanada baik kalau kami tidak perlu bermalam di jalan. “Terima kasih, Pak Penolong.” Kekhawatiranku akan ditarip berlipat-lipat harga tidak terjadi. Tarip tetap bersahabat, yakni 50.000 untuk reparasi darurat.
Namun, suka cita itu tidak berumur lama. Baru saja berjalan beberapa puluh meter, mesin mobil kembali tersendat. Masih untung, saat tadi memperbaiki mesin, aku sempat mengantongi nomor ponselnya untuk jaga-jaga mana tahu, di lain waktu, aku membutuhkan bantuannya. Segera kupencet sederet angka pada keypad HP Nokia lawas 6310i-ku, memanggil kembali Pak Budi. Di seberang, dia berjanji akan segera datang ke TKP. Sambil menunggu, semua penumpang mencari mushalla untuk jama’ ta’khir Maghrib-Isya. Aku istirahat saja di mobil karena capek tak tanggung-tanggung. “Biarlah nanti shalat di Probolinggo saja,” pikirku.
Semangkuk bakso rasanya tak cukup mengganjal perut dan telah dilapar-sangat-kan oleh mogok. Pak Budi datang,.dalam hitungan menit, mobil beres. Ternyata, penyebab semua ini bukanlah karburator yang tersumbat, bukan platina yang aus, bukan tabung filter bensin yang kotor, bukan pula semua yang telah dicek oleh Pak Budi itu, melainkan kunci kontak yang rusak! Astaghfirullah. Kebetulan sekali, aku membawa kunci kontak serep. Namun, karena kekhawatiran yang berlebihan, akhirnya kubeli kontak milik Pak Budi yang ternyata ia bawa di dalam tas ajaibnya, Rp40.000.
Sejak kunci kontak itu diganti, mobil berjalan normal tanpa masalah lagi. Bangil-Pasuruan dilewati. Karena capek yang sangat, akhirnya kami istirahat sejenak di Tongas. Tak kulihat jam, barangkali saat itu jam 11 malam. Setelah isi bensin 100.000, kami melanjutkan perjalanan menyelesaikan etape pertama; Paiton Probolinggo.
Lewat jam 12 malam, kami tiba di pertigaan Tanjung, sekitar 1 kilometer sebelum tempat tujuan akhir. Kholis turun untuk berpindah angkutan. Ia naik bis menuju rumahnya di Bajul Mati, Banyuwangi. Sementara itu, rombongan langsung menuju PP Nurul Jadid.
Semua tahu, tidak lumrah bertamu tengah malam. Namun, jika kami tidak memanggil salam, entah apa yang akan terjadi. Ya, akhirnya, tuan rumah membukakan pintu untuk kami. Setelah shalat, aku menjatuhkan tubuh yang penat di atas kasur dan selimut yang tebal; nikmat.
Etape II: Paiton – Jember via alas Arak-Arak (Ahad, 11 April 2010)
Pagi itu, kami bangun. Sementara ibuku cabis (sowan) ke ibu-ibu nyai pengasuh Pondok Nurul Jadid (karena tempat ini merupakan pondokku, dulu), aku pergi ke maqbarah, cabis ke para guru-ku yang telah tiada. Baru pukul 8.30, aku berangkat ke kota kecil Kraksaan untuk menghadiri walimatul ursy di PP Al-Mashdiuqiyah. Colt diparkir. Sopir istirahat. Sementara diriku berangkat ke undangan bersama bapak kiai. Terasa mendapat kehormatan diajak duduk sekabin dengan beliau. Barangakali bapak kiai tahu, kasihan kalau aku membawa colt dan nanti mogok di lokasi pesta.
Di acara itu, aku bertemu dengan banyak saudara, baik yang datang dari Madura, maupun yang tinggal di sektiar Probolinggo dan Situbondo. Acara selesai menjelang azan Duhur. Kami pulang. Nah, di Kraksaan inilah aku bertemu kembali dengan istri dan anakku. Kami pun kembali ke Paiton.
Setelah berkemas-kemas, sekitar pukul 13.30, rombongan meninggalkan Paiton. Kini, aku, ibu, istri dan anakku telah duduk bersama di dalam kabin Titos du Polo. Sementara bibiku menetap di Paiton karena beliau akan pulang ke Madura lebih awal, bersama putrinya. Tujuan berikutnya adalah Besuki, ke rumah Helliyah, tetangga desa yang telah bertahun-tahun menetap di Jawa. Dari rumah Helliyah, ibuku mengajakku cabis (sowan) ke dalem Nyai Rum yang terletak tak jauh dari sana. Serentang masa layaknya bertamu, kami pulang. Tuan rumah menahan, tapi ibuku meminta izin sambil menjelaskan bahwa perjalanan kami masih panjang.
Menyusuri jalan pantura ke arah timur, akhirnya kami tiba di pertigaan Suboh, lalu belok kanan. Tujuan selanjutnya adalah Jember. Terus terang, gangguan kelistrikan semalam di Pasar Porong terus mengintai. Bagaimana pun, bayangan itu tetap menghantui pikiran ketika colt ini makin lamban menanjak, bersiap-siap memasuki alas Arak-Arak.
Kala itu, hari sudah sore. Mesin colt tua ini menderum, bertarung melawan tanjakan dan tikungan tanpa ampun. Sejatinya, aku tidak meragukan kapasitasnya melahap tanjakan, namun akselerasi mobil bermesin 1300-an cc kelihatannya mulai kecapekan. Alhamdulillah. Selamat. Hingga masuk kota Bondowoso pukul 4 sore lewat sekian, tak ada masalah apa-apa. Saat itu, muncul keinginan bertandang ke Jambianom, namun karena setelah tanya sana tanya sini tak ada yang tahu alamat rumah yang hendak kami tuju, perjalanan diteruskan ke Kalisat (Jember).
Menjumpai saudara Itqon setelah sebelumnya tak kesampaian, petang itu terwujud: pertemuan yang singkat tapi hangat. Selepas Isya, dari rumah Itqon kami menuju Mangli, rumah sepupuku, Alwalid. Ya, kami menuju ke sana, tempat bermalam yang telah terencana. Baru sadar; ternyata aku lupa tidak memperhatikan angka dalam odometer itu. Aku baru mencatatanya lagi setelah mobil diparkir di depan rumah sepupuku itu; 5417, sudah 448 kilometer jarak perjalanan.
Etape III: Jember – Banyuwangi – Situbondo via Alas Gumitir dan Alas Baluran (Senin, 12 April 2010)
Kantuk yang berat tidak bisa dilawan dengan segelas kopi. Jejak begadang semalam tetap menguasai seluruh sudut mataku. Kehidupan seolah baru bermula ketika ada panggilan makan menjelang pukul 9. Di luar dugaan, jadwal kunjungan silaturrahmi harus ditulis ulang; ke rumah Nyai Muflihah (seberang rumah Alwalid); ke dalem Nyai Rahema di Pecoro (Bangsalsari) juga ke Kiai Najmuddin (Rambipuji). Rencana ke Banyuwangi berngkat pagi pun berpindah jam ke habis Duhur. Tak apa-apa. Silaturrahmi harus tetap dijaga. “Jika bukan sekarang, tampaknya, sulit lagi berkunjung ke sanak saudara dalam waktu yang dekat ini,: batinku. Hampir 30-an kilometer jarak yang kami tempuh di sekitar Jember untuk silaturrahmi ini. Kami berangkat menuju Krikilan (Banyuwangi) pada odo di angka 5447.
Seusai mengisi bensin 100.000 di Sempolan (mungkin inilah SPBU terakhir di ujung timur Kabupeten Jember), colt pun kembali menerima tugas berat; melahap tanjakan-tanjakan seperti ular dengan lebih seratus kelokan; kelok kiri, kelok kanan. Menembus hutan Mrawan, siang itu, terasa indah. Ya, hampir 10 tahun aku tak lewat di jalan ini. Pohon-pohon besar, barangkali berusia puluhan atau ratusan tahun, tumbuh terawat di sini. Suasana dalam hutan selalu basah. Di setiap kelokan, anak-anak kecil dan ibu-ibu membantu kami para pelalu lintas memberikan aba-aba. Kami melemparkan koin 500 perak hingga lembar seribuan rupiah sebagai sedekah atas jerih payah mereka.
Keindahan pemandangan di hutan Gumitir-Mrawan ini telah membuatku lupa semua kenangan pahit di Pasar Porong. Kami menikmati pemandangan dengan hati lapang. Sensasi bertambah saat kami mencapai kelokan Wato Gudang; di mana tanjakan dan jalan menurun bertemu di sebuah puncak dengan tebing yang curam, mungkin ratusan meter kedalamannya. Di sekitar situ, kini banyak warung dan kedai kopi. Kuperhatikan ada beberapa kafe.
“Berhenti, ya?” ajakku sambil menoleh ke belakang.
“Jangan, nanti kemaleman. Katanya kamu keburu,” kata ibuku.
Ya, itu ajakan iseng saja. Tentu kami tidak bisa menyempatkan diri untuk singgah. Hitungannya, waktu terbatas karena target hari ini adalah takziyah ke Krikilan, mampir sejenak di Bajul Mati, kemudian melanjutkan perjalanan ke Situbondo untuk mengikuti pengajian Lailiyah.
Setelah turun di Kalibaru, jam menunjukkan pukul 15.30. Tak jauh dari sana, colt-ku sampai juga di Krikilan. Angka menunjukkan 5519; sejauh 72 kilometer kami telah meninggalkan Jember. Di sana, kami takziyah ta’khir untuk Ning Eny Halimiyyah, putri dari guru kami Kiai Abdul Wahid Zaini yang wafat beberapa waktu yang telah lewat.
Sungguh, Krikilan sangat menakjubkan. Panorama sore yang tak pernah berubah, selalu basah. Berkali-kalai aku datang ke daerah ini, selalu saja kabut dan udara dingin menjadi bagian dari suasananya. Secangkir kopi yang khas, kental dan panas, membuatku tak akan pernah melupakan sensasinya. Maka, setelah membacakan tahlil di maqbarah, kami menyudahi acara takziyah di sore itu, melanjutkan perjalanan ke arah Banyuwangi, menuju Galean di Bajul Mati. Malam mulai turun perlahan-lahan. Tak terasa, angka 5604 akhirnya tercapai pada pukul 18:32. Kami telah melahap 85 kilometer untuk tiba di tujuan.
Bertemu kembali dengan Kholis, bertemu kembali dengan seluruh keluarga di sana, merupakan keakraban lama tidak kami dapati. Ibuku, yang sejak sepeninggal ayahku belum pernah tiba lagi di sana, malam itu menemukannya kembali. Tapi, istirahat hanya sejenak karena perjalanan harus dilanjutkan. Kami tidak bisa bermalam karena rencana semula adalah mengikuti pengajian bersama Kiai Sufyan di Panji Kidul, Situbondo. Acara ini biasanya dimulai sekitar pukul 9 malam. Daripada terlambat, kami harus berangkat secepatnya.
Namun, saat hendak berangkat, kulihat handrem mengalami masalah. Saat kupaksakan berjalan, laju mobil terasa berat. Wah, masalah baru!
“Kita tidak bisa memaksakannya. Ada masalah dengan kampas rem,” kataku pada Lutfi.
“Bagaimana kalau kita paksa, jalankan saja, dicoba,” usulnya.
“Kita akan melewati Alas Baluran. Di sana, sepanjang 23 kilometer kita tidak akan bertemu dengan tempat pemberhentian. Apa berani?”
Tantangnku tidak diladeni
“Baiklah. Ngireng diperbaiki,” kata Lutfi menyetujui.
Di antara rasa kantuk dan capek, dibantu Moefti Nadhier (keponakan Kholis) dan seorang rekannya, kami bekerja sama memperbaiki roda kanan belakang. Beberapa saat lamanya ditemukanlah kesimpulan: karet master rem pecah dan harus ganti. Di mana ada toko onderdil buka malam-malam? Tapi, alhamdulillah, dalam kotak ajaibku, suku cadang itu ada, walaupun juga sudah nyaris tidak layak pakai. Sementara itu, ibu, istri serta anakku diistirahatkan di rumah saudara Kholis sambil menunggu perbaikan.
Selesai!
Kulihat mata Lutfi sangat merah. Ia pasti capek. Maka, tanpa menawarkan diri lebih dulu, langsung kuambli alih kemudi, membawanya melintasi Alas Baluran dengan pasti. Sedikit diburu waktu membuatku harus menambah kecepatan. Malam yang hitam, colt T 120 menderu di tengah hutan yang gelap. Keinginan untuk bisa mengikuti pengajian memberiku semangat lain agar terus bertahan dan membuang jauh-jauh bayangan kampas rem macet di tengah hutan.
Tanpa terasa, kami tiba di Panji Kidul pada angka 5669 ketika jam mendekati 11 malam. Acara Lailiyah baru saja selesai. “Badan datang terlambat tetapi niat sampai duluan.” Tak apalah. Akhirnya, kuhabiskan malam itu dengan berbincang-bincang bersama beberapa sanak famili yang juga mengikuti pengajian hingga menjelang pagi. Kantuk membuatku terlelap, tak lama, karena aku terbangun oleh azan subuh. Beruntung, aku bangun dan bisa shalat berjamaah bersama kiai.
Etape IV: Situbondo – Paiton – Guluk-Guluk (Selasa, 13 April 2010)
Pagi yang cerah, hari itu adalah hari terakhir perjalanan kami. Suasana di Panji Kidul, di pagi hari, selalu sepi. “Di mana kudapatkan kopi, ya?” batinku. Tak lama, sebelum aku berkemas-kemas, seorang santri datang menghampirku yang duduk sendiri, membawa secangkir kopi. “Berada di tempat ini bukan seperti di surga, hanya seolah-oleh berapa langkah kaki saja ke sana.” Apa yang terbayang dalam pikiranku, langsung tersedia saat itu pula. Subhanallah.
Sambil bermalas-malasan di emperan, aku menunggu ibuku dan istri yang juga menunggu hantaran buah tangan dari Arjasa. Setelah siap, barulah kami berangkat. Odometer menunjukkan 5703.
Di Panarukan, colt T parkir lagi. Kami tiba menjelang siang. Di sini kami hanya singgah sebentar, menikmati jamuan sebagai tamu, istirahat dan mandi untuk membersihkan tubuh. Sekitar jam satu siang lewat sekian, aku mengemudi lagi agar sopir utama dapat istirahat lebih lama. Kami meninggalkan halaman rumah Kiai Arif Zubairi dengan catatan angka 5716.
Gigi demi gigi dinaikkan. Di perseneling terakhir, pedal gas kuinjak rata agar putaran mesin stabil pada kecepatan 80-90 KM/jam. Mobil melaju melintasi Pasir Putih, Mlandingan, dan baru masuk pompa bensin di Besuki. Fulltank kudapat setelah menukarnya dengan 7 lembar uang kertas duapuluh ribuan. Perjalanan berlanjut ke Nurul Jadid untuk mengambil perlengkapan anakku yang tertinggal hari Ahad lalu. Ambil barang, putar balik, pulang.
Kami meninggalkan Nurul Jadid pada angka odo tertera 5777 (Panarukan–Nurul Jadid=61) saat kemudi dipegang kembali oleh Lutfi. Setelah itu, tak ada cerita lagi karena perjalanan monoton seperti biasa.
Berjalan ke arah barat di waktu sore membuat kami kesilauan karena berhadapan langsung dengan sinar matahari. Dalam etape terakhir ini, alhamdulilah cerita biasa saja: tak ada kejutan, tak ada mogok. Jalan pun juga lancar tanpa macet. Mesin bekerja secara normal.
Sambil mengenang peristiwa mogok Sabtu malam ketika berangkat, kami istirahat dan shalat sejenak di sebuah masjid yang gelap di dekat Pasar Porong. Jamaah shalat Isya’ mungkin sudah pulang. Masjid itu telah sepi.
Lutfi masih terus mengemudi hingga mobil masuk Pasar Turi. Aku memandu arah jalan, mendampingi di sisi kiri. Namun, persis di lampu lalulintas perempatan Kedung Cowek, kejutan kembali terjadi. Ketika membuntuti sebuah truk kosong, belok kiri dari arah Jalan Kenjeran ke akses Suramadu, serombongan polantas menghentikan mobilku. Saat itu, yang kuperhatikan justru seluruh isi kabin, para penumpang: ibu, istri, dan anakku yang tertidur pulas karena capek; oleh-oleh yang bertumpuk, wajah sopir yang kuyu, semua telah menggurat penglihatanku sebelum petugas itu mengucapkan “selamat malam” dan meminta STNKB ditunjukkan.
Lutfi, masih dengan gaya biasanya, diam saja. Ia begitu culun, hanya memandangku seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Dia tersenyum. Aku berimprovisasi, bersikap dingin untuk melihat bagaimana reaksi dia menghadapi sandiwara ini. Mengapa sandiwara? Ya, sebab dengan mata kepala sendiri aku melihat secara nyata bahwa saat menjalankan kendaraan, Lutfi benar-benar tidak melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Ia tidak menerobos lampu merah dan tidak pula menggunting marka jalan tanpa-putus. Kami berada persis di belakang truk dari arah 200-an meter sebelum traffic light. Tetapi, mengapa polantas itu mencegat colt T-120 dan tidak mencegat si Fuso? Spontan, saat itu pula, dalam benakku muncul praduga, “Ini pasti karena efek kontur wajahmu, duhai Colt T-120-ku!”
Seorang petugas mendekat, bersandar ke pintu kanan. Ia menyeru kami agar mematikan lampu utama tanpa perlu mematikan mesin. Untuk apa? Kami ikuti saja sambil menduga-duga untuk apa perintah tidak jelas juntrungnya ini. Samar, kutemukan jawabnya, tapi kusimpan dalam hati dan tidak perlu ditulis di sini.
Setelah “selamat malam” (dan seterusnya); “dari mana?” (dan seterusnya); “mau ke mana?” (dan seterusnya); “Anda melanggar marka jalan” (dan seterusnya); bapak petugas menutup hidangan malam itu dengan “tilang sebagai tawaran” dan bukan “satu-satunya pilihan”. Kok? Tidak tilang berarti tidak apa-apa, kan?
“Saya tidak melanggar, Pak!”
Aneh, baru sekarang kudengar Lutfi buka mulut. Tumben. Biasanya, lapar pun dia tidak ngomong. Berarti, tilang lebih menakutkan dairpada kelaparan.
“Anda memotong garis panjang..”
“Saya mengikuti truk itu, kok, Pak..”
“Truk yang mana?”
“Truk Fuso itu!”
“Tapi Anda melanggar dan harus ditilang.” Suara kali ini lebih tegas. “Sidangnya tanggal 26 April...” intonasinya terkesan mengancam.
“Mari, ikut!” Nah, kalau ini perintah, bukan tawaran.
Lutfi mengikuti polisi itu dan kembali dengan pilihan; “tilang atau….’
Sungguh memuncak emosiku kala itu. Capek dan ngatuk jadi satu. Kopi sudah dingin. Air minum tinggal setengah botol. Jarak rumahku masih 150 kilometer lagi. Aku berkata dengan nada meninggi, “Sudah, Lut. Minta tilang saja! Sudah. Tilang! Tilang saja! Kasih itu STNK-nya, Lut. Kita pulang! Soal sidang dan ambil STNK itu gampang. Ayo!”
Lutfi kembali ke belakang mobil, ke tempat para petuigas itu berkumpul. Sementara aku masih duduk di atas jok depan sambil menyandarkan bahu yang mulai terasa linu. Mata merah tanda kantuk yang sangat. Namun, tak lama, tiba-tiba Lutfi membuka pintu, masuk, memasukkan gigi satu, dan menjalankan mobil.
“Kena berapa?” tanyaku.
“Tidak kena.”
“Kok?”
“Tidak usah kata pak petugasnya..”.
Aku tesenyum, meskipun malam terasa kopi tubruk tanpa gula. Kami menyusuri Jembatan suramadu dengan hati gundah tak menentu. Dari jendela, angin malam menyeruak, masuk, mendinginkan pikiran, membawaku ke halaman rumah: kami pulang…
Sebelum tengah malam, sekitar pukul 23.30, kami tiba dengan selamat pada angka 6089 di odometer. Alhamdulillah. Semoga Colt T-120 ini (yang kali ini menempuh jumlah jarak perjalanan mirip namanya, “1.120”) tetap sehat agar bisa menjangkau tempat-tempat sanak kerabat yang belum dikunjungi. Tunggu kami datang kembali…
Langganan:
Postingan (Atom)
Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah
Malam Sabtu, 6 Desember 2024 Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...
-
Keluhan yang kerap dirasakan oleh pemilik colt T 120 adalah soal konsumsi bahan bakar. Mereka mengeluhkan ini karena soal boros. Mengapa? J...
-
Setelah beberapa kali membersihkan karburator sendiri dengan bantuan teman, akhirnya saya berhasil membersihkan karburator dengan tangan ...
-
Hampir semua ruas jalan di tempatku diaspal, dan mungkin lebih 80% di antaranya sudah menggunakan aspal hotmix. Mengutip perihal kemajuan in...