Hari ini, saya, bersama ibu,
istri, serta seorang saudara sepupu, pergi takziyah (melayat) ke rumah H.
Muzakki di Desa Jampareng Laok, Kecamatan Pasongsongan. Letak rumah duka
sebetulnya tidak terlalu jauh. Jalan rusak menjadi penyebab lamanya waktu
tempuh.
Hari ini Selasa. Haji Muzakki
bin Sadin wafat 4 hari yang lalu. Dia adalah mitra usaha almarhum ayah saya.
Sepeninggal mendiang ayah, Haji Muzakki masih sering datang ke rumah, bukan
untuk urusan usaha pertanian, melainkan
sekadar bersilaturrahmi saja.
Hubungan yang dibangun bersama ayah saya tetap dipertahankannya bersama
saya, meskipun kini bukan urusan bisnis lagi. Hampir setahun lamanya dia datang
terakhir kali. Sementara saya hanya sekali diajak ayah ke sana, dulu.
Putri almarhum, Munifah, pernah
tinggal dan bersekolah di tempat kami. Karena faktor inilah, salah satunya,
membuat kami merasa perlu merawat hubungan tersebut, juga menjadi alasan
takziyah hari ini. Di samping itu, kami sekaligus berziarah karena Hj. Munifah baru
datang dari tanah suci Makkah, tadi malam. Dia bekerja di sana sebagai TKW bersama
suaminya sejak beberapa tahun lalu, dan memang berencana pulang dalam
bulan-bulan ini.
Setiba di situ, capek terasa,
terutama tangan dan pergelangann karena memegang stir tanpa power steering di
jalan berbatu-batu. Setelah saya ajak keluarga almarhum untuk tahlil, kopi pun
disuguhkan. Basa-basa terjadi. Makanan dihidangkan. Setelah itu, seperti biasa,
kami pamit pulang.
Sebelum memasukkan gigi perseneling,
saya sudah mencatat odometer. Saya ingin tahu persis, seberapa jauh dan
seberapa lama perjalanan kali ini. Kami pun berangkat. Saya tidak mencatat
angka itu sewaktu berangkat karena walaupun jarak dan rute yang ditempuh itu
sama, namun tadi kami masih sempat mampir 3 kali. Jadi, masa tempuh tidak sama.
Beberapa meter dari rumah
almarhum, Colt langsung menempuh ujian berat, medan tanah berbatu dan pasti
licin di musim hujan.
“Mobil ayahmu, dulu, harus
diseret (diderek) sejauh beberapa puluh meter,” kata Ibu.
“Ya, maklum, Bu, itu Hiace yang
tak berani jalan licin dan pantang lumpur. Colt Titos tidak takut medan berat
seperti itu.”
Rupanya, jalan batu itu
sepanjang 900 meter jauhnya. Kami mencapai “jalan hitam” (jalan beraspal) dan
kami butuh waktu tempuh 10 menit lebih untuk ini. Saya hanya mempergunakan gigi
1 pada perseneling, tidak bisa lebih dari itu. Setelahnya, di hadapan kami
adalah jalan aspal sempit dengan rerimbun semak di kanan kiri. Beberapa bagian
kerakalnya berlepasan. Di bagian lain malah terbentuk “kubangan kerbau” yang
sangat berbahaya bagi kendaraan dengan bumper rendah seperti sedan. Diperlukan
waktu 20 menit persis untuk melewati jalan beraspal sepanjang 3,2 kilometer ini.
Dari titik pertemuan jalan
kolektor itu, kami mengarah ke Ganding, kota kecamatan terdekat masyarakat
setempat. Jaraknya 8,2 kilometer (dari Partelon Ganding ke rumah saya hanya 4
kilometer saja dengan jalan aspal yang mulus). Mobil berjalan ogah-ogahan.
Di tengah perjalanan, saat kami
tiba di rumah Syakir, sepupu 3 kali, ada pemandangan unik. Di situ, ada cegatan
“amal untuk perbaikan jalan”, bukan cegatan “amal untuk pembangunan masjid”
sebagaimana lazim dijumpai. Konon, masyarakat setempat membangun jalan itu
sendiri. Dana dan tenaga oleh mereka sendiri. Mereka sudah capek menunggu
perbaikan jalan yang tak kunjung dimulai. Padahal, jalan kolektor yang
menghubungkan Ganding dan Rubaru juga Pasongsongan itu relatif banyak dilewati
kendaraan. (lebih lengkap ada di sini)
Tak jauh dari tumah Syakir,
terdapat Bukit Canggur. Setelah itu, kami menghadapi tanjakan-tikungan yang populer
dengan “Sa’im”. Itu merupakan tanjakan mengular dengan tikungan tajam. Dulu,
sebelum jalan diaspal, sering terjadi mobil mogok, umumnya bak terbuka, tidak
kuat nanjak. Beberapa kali terjadi kecelakaan yang berujung pada korban jiwa.
Di malam hari, tak ada seorang pun yang lewat karena tempat itu sama sekali
sepi, tak ada rumah penduduk sama sekali. Kini, banyak sudah yang mulai lewat
di sana di malam hari karena jalan relatif lebih baik.
Selepas Sa’im, kini kami jumpai
daerah Perigi. Di hadapan adalah jalan menurun. Pemandangan indah terbentang di
depan mata. Kami sedang menuruni jalan bagian selatan perbukitan yang membujur timur-barat
di tengah Pulau Madura.
Jika tadi kami berangkat dari
Jampareng Laok pada pukul 11:12, kini kami tiba di rumah pada pukul 12.25.
Berdasarkan catatan odometer, Colt T-120 ini telah menempuh jarak 16,3
kilometer dalam kurun waktu 73 menit tanpa henti. Waktu itu, tentu akan jauh
lebih singkat andai jalan yang kami lewati sudah diperbaiki kelak.