Pembaca

27 Maret 2015

Silaturrahmi dalam Rangka Silaturrahmi: 97 Kilometer = Rp 0,-


“Sudah, Kak, Sampeyan berangkat saja. Saya sama adik.”
“Adikmu di mana?”
“Masih di Pondok Bata-Bata, nanti akan ke sini untuk menjemput saya.”

Saya berangkat berdua, namun bukan dengan istri, tapi dengan keponakan. Hari itu kami mau pergi ke rumah saudara ‘3 popo’ (sesaudara kakek) yang belum pernah saya kunjungi sama sekali sebelum ini, di Ambunten, pesisir utara Kabupaten Sumenep. Kebetulan, di hari Selasa (17 Maret 2015) tak ada kegiatan. Penentuan hari itu untuk perjalanan saya putuskan beberapa hari sebelumnya.

Colt bergerak pelan. Suspensi terasa begitu empuk sebab pujian Affan, keponakan saya yang duduk menyebelah di kursi depan. Saya meneguhkan pujiannya dengan menjelaskan bahwa mobil ini baru saja ganti karet bodi.

“Pantesan lebih empuk dari Pajero yang pernah saya naiki.”
Bagi saya, pujian Affan itu tidak penting. Yang utama adalah bahwa wajahnya sumringah naik Colt meskipun udara kabinnya jelas panas karena tanpa pendingin. Nikmati suhu yang panas tapi asli daripada dingin tapi palsu, Nak!



Titik pertama yang dituju adalah rumah Kak Wasik di Daramista (transit pertama). ‘Pantum’ (jarum penunjuk) bensin ada di garis bawah. Ini ditaksir cukup untuk membawa mobil hingga ke kota. Mobil saya jalankan pelan saja, 50-60 km/jam. Kami tiba di rumah Wasik menjelang pukul 10.00. Dia dan istrinya masih ada di kandang sapi belakang  ketika saya panggil-panggil salam. Kami lalu dipersilakan duduk, disediakan teh dan gorengan.Lama juga ternyata kami bertukar basa-basi sebab baru pukul 11.00 kami dapat izin pulang setelah dilayani mi goreng telor.

“Kok jadi merepotkan begini?” keluh saya sebagai bumbu bicara.
“Kebetulan ada. Kalau nggak ada, nggak bakal kami suguhkan,” balas dia berdiplomasi.

Saya membeli tahu 3 papan (nama satuan yang dapat dibagi menjadi 54 atau 64 kerat untuk dijual eceran) yang kemudian dimasukkan ke dalam 3 bak yang sudah saya sediakan. Tiga bak ini saya siapkan untuk oleh-oleh. Saya jadi rikuh karena Wasik tak mau jika saya tukar tahunya dengan uang yang sudah saya siapkan.

Kami pun berangkat kembali. Udara panas di luar merembes ke dalam. Lagu-lagu dari Wadi Asshafi dan Asma’ Munawwar-lah yang berusaha mendinginkannya. Saya merasa ‘tumben’ dengan perjalanan kali ini, tidak mengalami goncangan batin sebagaimana biasanya. Tak ada gangguan serius di jalan berupa pengguna lalin yang sembarangan, memotong jalur, dan berkendara serampangan. Hanya ada satu pengecer minuman yang berhenti tanpa sein. Hanya itu gangguannya, juga beberapa hambatan lalu lintas berupa perhentian di tengah jalan karena ada amal masjid (Saya berdoa semoga masjid yang mereka bangun kelak menjadi masjid yang megah makmum dan jamaahnya, bukan masjid yang megah tapi dalam shalat 5 waktunya hanya terisi 2-3 orang saja).

Kami tiba di kediaman K. Mut’am menjelang duhur. Jauh hari sebelumnya saya sudah kencan dengan Haris Santoso, salah seorang guru SMAN 1 Ambunten, untuk pergi ke sana bersama-sama. Begitu saya tiba di luar pagar sekolahnya yang bersisian dengan jalan, saya panggil dia dari TOA mobil yang ada di balik bumper. Seorang lelaki lebih tua tampak tersenyum setelah mendengar ada mobil tua yang bisa bicara, bahkan bisa panggil-panggil salam.

Silaturrahmi itu kini benar-benar terjadi. K. Mut’am bertutur tentang kehidupan, pengalaman, mondok, cari ilmu, mendidik anak, dan banyak hal tentang hidup. Saya, Affan, Haris, mendengarkannya dengan saksama. Kisah-kisah bagaimana ia memilih jalan sebagai musisi gambus, pengalaman memberikan pelatihan elektronik dasar untuk anak-anak desa, bahkan hingga kehidupan religius, semua itu ditukarceritakan dengan saya dan dua orang lain. Kami asyik dalam wicara hingga tak terasa waktu sudah lewat pukul 14.00.

Perbincangan begitu seru dan tak terpisah jeda kecuali saat disajikannya ‘hidangan khas desa yang mewah’; sayur marunggai, tongkol, dan sekian banyak lauk yang lain. Itulah suguhan ‘khas desa’ yang melimpah ruah karena banyak sekali jenisnya. Mengapa bisa begini? Sebagian orang desa masih banyak yang percaya, tamu itu tidak boleh disembarangkan karena ia membawa rezekinya sendiri yang dititipkan Tuhan melalui dapur tuan rumahnya jauh hari sebelum dia datang.

* * *

Tujuan berikutnya adalah K. Suhail, adik K. Mut’am, namun sebelum pergi ke sana, saya melaju ke SPBU dulu untuk isi bensin sebab perut sopir dan perut penumpang sudah terisi duluan, maka tangki Colt juga harus diisi agar tidak cemburu. Setelah isi bensin 100 ribu, dari stasiun pengisian bahan bakar umum itu mobil saya arahkan ke Masjid Tingkat, Masjid Annur, Ambunten, sebab kami belum shalat Duhur. Agak buru-buru, mobil lebih cepat dipacu.

Sehabis shalat, saya mengintip rumah Amir yang berada persis di seberang masjid. Pintunya tertutup. Andai ada orang duduk di luar, barangkali saya mampir di situ sebentar. Tapi, biarlah, toh akhir Pebruari lalu saya sudah main ke situ.  “Lain kali saja,” begitu batin saya. Maka, kami pun melanjutkan perjalanan ke Kampung Pandan, tempat K. Suhail tinggal, tak jauh dari masjid yang terletak di Ambunten Tengah itu.

Menjelang adzan ashar kami tiba di sana, disambut dengan kopi gelas besar. Dalam hati, saya langsung membuat perkiraan, “Pertemuan ini bakal lama kalau tanda berakhirnya pertemuan adalah ketika kopi habis dan tinggal ampasnya.”

Seperti tadi, K. Suhail pun menuturkan kisah-kisah hidup dan peri kehidupan, termasuk bagaimana ia terlibat dalam dunia seni musik, khususnya gambus; bukan sekadar hobi, bukan karena profesionalisme, melainkan lebih dari itu. Menurutnya, pilihan ini adalah bentuk dan cara berkomunikasi. Tak hanya seputar musik, kami juga menyimak kisah ‘pergolakan’ batinnya atas sikap politik, sejarah, budaya, dan banyak hal yang asasi dalam hidup, menyangkut sikap dan sudut pandang. Jika tadi K. Mut’am rasan-rasan soal rendahnya penghargaan pemerintah (atau bahkan masyarakat) terhadap seniman dan budayawan, K. Suhail menjelaskan tentang pernak-pernik tradisi yang membentuk peradaban Islam hingga menjadi unik dan diterima di berbagai lapisan masyarakat. Wawasan yang luas membuat beliau mampu berdiskusi tentang apa pun, termasuk perihal tayub dan pakem-pakemnya yang berubah, saronen, kejung, burdah, ba’-gar-bis, hingga tradisi ‘sintung’ yang eksotik dan kini di ambang punah.

Sebagaimana K. Mut’am, K. Suhail juga masyhur sebagai mutrib (musisi dan vokalis sekaligus). Jika tampil untuk pentas, beliau tidak mau asal-asalan. Salah satu buktinya adalah bahwa untuk ‘string section’ beliau memainkan 5 orang atau lebih pemain biola, suatu hal yang jarang ditemukan pada kelompok gambus mutakhir tanah air yang umumnya memasrahkan bunyi string tersebut pada keyboard saja.

***


Setelah disugui ikan bakar, kami pamit. Bersalaman, sesudah itu kami pulang dalam keadaan kenyang lahir batin. Tak ada pelajaran yang lebih berharga daripada kisah-kisah teladan, dalam apa pun bentuknya, baik itu tentang konser, tentang tayub, tentang politik, asalkan semuanya bermuara pada keimanan. Itu kesimpulan yang saya

Hari sudah sore. Matahari turun. Haris masih membuntuti kami dengan sepeda motor. Kata Haris, tadi sebelum berangkat, saya diminta bertandang ke rumah Faqih Ali, kenalan saya yang kebetulan juga temannya, sesama guru di SMA Ambunten. Faqih tinggal di Tambak Agung. Jika tadi kami ke Ambunten lewat Keles, maka sekarang kami pulang lewat Rubaru. Haris mengawal perjalanan kami ke sana.

Sebetulnya, bertandang ke rumah Faqih tidak terjadwal sebelumnya, dan karena itu saya tidak bawa oleh-oleh. Ini terjadi gara-gara komentar tak sengaja yang saya tulis pada status Facebook-nya beberapa hari yang lalu, pemberitahuan bahwa saya akan ke Ambunten pada hari Selasa: ‘komentar berakibat tandang’.
Sebelum tiba di Sungai Tambak Agung, kami belok kiri, masuk beberapa puluh meter. Colt diparkir di dekat kediaman Kiai Fadli. Rumah Faqih ada di belakang kediaman kiai yang merupakan wakil talqin tariqah Qadiriyah Naqsyabandiah tersebut.

Disambut bapak mertuanya yang sepuh, Bapak Muhammad Nur Sayuthi, kopi sudah tersedia setelah kami shalat ashar berjamaah di sebuah mushalla. Tempat itu konon dibangun di atas petilasan Empu Supo, seorang ahli keris—yang konon menurut si empunya cerita—merupakan pesuruh Sunan Kalijaga. Orang Tambak Agung meyakini kalau sebagian mereka adalah keturunan empu ini.

“Ini adalah ‘Pa-(gerbusan)’ Empu Supo,” kata Faqih seraya menunjuk sebuah batang kayu besar seukuran dekapan tangan anak kecil yang telah dibolongi bagian tengahnya. Alat tersebut adalah ‘seropong’ besar yang berfungsi sebagai penyembur angin, semacam pompa, untuk menggelorakan api buat menempa besi. Menurut Arief ‘Ayik’ Wibisono, seorang teman di Pamekasan, Empu Supo merupakan empu dari era Majapahit akhir. Dia mengabdi pada Sunan Ampel, pencipta keris Sengkelat yang bahan asalnya dibawa oleh sang Sunan. Keris tersebut akhirnya diberikan kepada Prabu Brawijaya, di mana pada akhirnya sang empu mengabdi di sana. Kata dia, petilasan Empu Supo itu banyak, salah satunya di Tambak Agung.

“Mohon jangan lebih dari kopi. Kami sudah kenyang,” pesan saya kepada Faqih.

Faqih tersenyum. Memang, di banyak tempat—jika bukan semuanya—di Madura, tuan rumah belum merasa sah jika belum menyuguhi tamunya dengan makanan (baca: nasi). Benar ternyata, baru seseruputan kopi, tiba-tiba Faqih membawa nasi, lauk, air, dan perlengkapan makan lainnya.

“Bagaimana ini Faqih, kok tidak sesuai perjanjian? Tadi ‘kan saya sudah bilang kalau kehadiran kami jangan bikin repot kayak gini...” Ini suara saya.
“Wah, kami sangat kenyang,” Affan menimpali.
“Ibu ingin menghormat tamu katanya,” jawab dia.

Nah, jika itu alasannya, kami tak bisa mengelak. Apa pun yang terjadi, kami makan lagi. Pagi sampai sore ini, perut saya sudah 5 kali kemasukan; nasi di rumah (08.30), mi di K.Wasik (10.30), nasi di K. Mut'am (13.15), ikan bakar di K.Suhail (16.00), dan sekarang nasi Faqih (17.20). Tak masalah, telan saja pelan-pelan.

Setelah berjamaah maghrib, kami izin bertolak, pulang menuju Rubaru untuk menjemput istri dan anak. Pak Suyuti bahkan ngotot ngamplopi kami. Saya berkelit seperti melepas pamor dalam beladiri. Pak Sayuti lebih sakti, ia menggunakan jurus bahwa amplop itu sebagai sedekah (yang juga ada dasar kepercayaan sebagai tolak bala) dan saya tak bisa menangkisnya lagi.

Saya pulang dengan perasaan sensasi 80-an, yaitu masa di mana orang-orang tidak sesibuk sekarang, leluasa bertandang ke rumah famili dan teman sehingga silaturrahmi benar-benar bermakna silarurahmi, bukan silaturrahmi dalam rangka yang lain; dalam rangka pinjem duit, dalam rangka tim sukses mencari dukungan, dan dalam-rangka dalam rangka lainnya.

Dalam perjalanan pulang, saya teringat hadits dari Sahabat Anas r.a.yang menyebutkan bahwa Rasulullah berpesan, “Siapa ingin dilapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, maka hendaknya bersilaturrahmi” (HR. Bukhori-Muslim; Riyadus Shalihin, bab Birrul Walidain wa Silatul Arham, hadits no.8). Kami tiba di rumah Khatir setelah berpisah dengan Haris di halaman. Dia pulang duluan karena kami berdua masih perlu duduk-duduk dulu walaupun sebentar.

Di Bunbarat (Rubaru), Khatir masih sempat menawari kami makan malam sebelum dia saya berikan penjelasan seputar suguhan yang sudah kami makan sejak pagi menjelang siang tadi. Semua sudut dan rongga-rongga perut sudah penuh. Dia lalu maklum dan hanya menyediakan kopi saja sebelum akhirnya kami pulang selepas adzan isya.

Masih dengan kecepatan yang sama seperti tadi ketika berangkat, Colt berjalan dengan tenang karena semua penumpang sudah kenyang. Bensin masih di atas strip terbawah. Jalan tidak seramai tadi. Apalagi malam, bahkan sejak berangkat, saya tak membunyikan klakson sama sekali karena tak ingin orang mendengar kebisingan untuk sesuatu yang memang tidak benar-benar perlu mereka dengarkan. ‘Minta perhatian orang lain’ sebagaimana tugasnya dijalankan oleh klakson jika itu siang hari dapat diperankan oleh kombinasi lampu dekat dan lampu jauh secara bergantian untuk keadaan malam hari. Toh, dengan berjalan pelan, mobil masih mampu dikendalikan tanpa harus minta perhatian orang lain. Kita sendiri yang mestinya lebih hati-hati, itu pendapat saya. Pendapat Anda tentu tidak harus sama sebab juga bergantung dengan medan dan tabiat pengguna jalan di mana Anda berada. Di malam hari begini, dengan lampu Halogen 45 w-55 w untuk lampu dekat dan 90 w-130 w untuk lampu jauh kiranya sudah cukup menerangi jalan, lebih dari cukup bahkan. Karena itu, saya hanya menggunakan lampu jauh (lampu atas) sebatas 2-3 detik saja, khawatir lensa kristal pemantulnya terbakar. Tak ada rasa takut daya tekor sebab aki sudah dipersenjatai 80 amper bekas tukar tambah dengan aki milik Innova diesel.

Setiba di rumah, kepada Affan saya bilang, “Kita sudah berapa kali makan, bahkan oleh-oleh dan bensinnya pun kita tak mengeluarkan uang. Puji syukur kepada Tuhan. Tadi, waktu berangkat, uang saya 10.000. Kini tersisa 5 ribu karena 5 ribunya saya masukkan kotak amal. Rezeki yang nyata sudah terbukti; 97 kilometer, makan 3 kali, oleh-oleh, bertemu dengan banyak orang, kita tak keluarkan duit sama sekali. Itu yang nyata, sedang yang tak tampak kita buktikan di akhirat nanti...”

Sambil memasukkan Colt ke garasi, terlintas sesuatu di dalam pikiran: Nyatanya, rezeki yang dianugerahkan Tuhan untuk orang yang pergi bersilaturrahmi itu bukanlah sekadar rezeki material dan iming-iming janji panjang umur. Sesungguhnya, yang kerap lupa kita syukuri adalah adanya kesempatan itu sendiri, yaitu kesempatan bersilaturrahmi; sebuah rezeki yang bahkan orang sekaya apa pun jika tak memilikinya tidak akan pernah mampu melaksanakannya.




7 komentar:

  1. Catatan perjalanan yang penuh dengan makna kehidupan dan amat sangat menyenangkan untuk dibaca. Mengalir ke relung hati pembaca dan menggugah kesadaran akan pentingnya silaturrahmi.

    BalasHapus
  2. Perjalanan yang asyik, meskipun agak melelahkan karena tulisannya panjang. Mau berhenti di tengah rasanya sayang. Mungkin akan membantu pembaca tidak berada di perasaan saya berhenti, tapi agak lelah dengan dibuat bersambung. Tulisan bersambung itu memandu psikologis pembaca untuk layak berhenti sejenak dengan bacaan itu. Tulisan bersambung sama dengan seorang nenek tua yang bertanya pada seorang kiai apakah dengan secangkir kopi bisa mengantarnya ke surga. Kiai menjawab bahwa niat nenek untuk memberi, meski hanya dengan secangkir kopi yang akan dinilai oleh Allah sebagai amal ke surga. Satu lagi Ra, sangat ingin saya menikmati keempukan Titosdupolo-epon. Uki, Antara

    BalasHapus
  3. Adu, tadi komentar belum diedit terus coba-coba dipublish. Ternyata banyak salah. Ini perbaikannya (bukan ralat).

    Perjalanan yang asyik Ra, meskipun agak melelahkan karena tulisannya panjang. Mau berhenti di tengah rasanya sayang. Mungkin akan membantu pembaca tidak berada di perasaan sayang berhenti dan kelelahan, jika tulisan ini dibuat bersambung. Kayaknya tulisan bersambung itu memandu psikologis pembaca untuk layak berhenti sejenak dengan bacaan itu. Pembaca tidak tervelenggu oleh perasaan sayang tadi. Tulisan bersambung sepertinya sama dengan seorang nenek tua yang awalnya ragu-ragunya, bahkan gelisah apakah sedekahnya yang hanya secangkir kopi yang ia miliki itu diterima oleh Allah dan berhak atas sorganya. Kiai yang menjadi tempatnya curhat menjawab bahwa niat nenek untuk memberi, meski hanya dengan secangkir kopi yang akan dinilai oleh Allah sebagai amal dan insya bisa ke surga. Si nenek lega. Sama dengan leganya pembaca (khususnya saya) yang berhenti barang lima sampai 10 menit untuk mengikuti sambungan tulisan berikutnya. He hee...
    Di tulisan perjalanan ini, muncul letupan-letupan tak terkira. Misalnya pada kalimat, "Mohon jangan lebih dari kopi....." atau "Kenyang lahir batin," dan lainnya. Asyik betul.
    Satu lagi Ra, sangat ingin saya menikmati keempukan Titosdupolo-epon, apalagi bisa ke Ambunten segala.
    Tapi, jangan-jangan komentar saya juga terlalu panjang Ra?????
    Uki, Antara

    BalasHapus
  4. @Anak Pantai: semoga, terima kasih banyak, Faqih

    @Uki: iya, itu juga sudah pernah saya lakukan pada beberapa catatan perjalanan sebelumnya. Catatan perjalanan dengan colt ini sudah terbit jadi buku, Mas, tapi sayang hanya dicetak terbatas dan sangat terbatas. Ini diantara catatan perjalanan bersambung itu

    http://titosdupolo.blogspot.com/2010/08/etape-i-guluk-guluk-probolinggo-sabtu.html

    BalasHapus
  5. Engghi Ra. Saya juga mulai mencatat lintasan-lintasan di pikiran yang tampaknya sederhana, tapi pasti ada hikmah yang bisa dipetik di dalamnya. Sayang kalau melayang begitu saja. Mudah-mudahan April saya bisa ke Annuqayah untuk menunaikan janji seperti yang Ra Faizi ceritakan mengenai santri yang pemulung di sana. Salam. Uki, Antara

    BalasHapus
  6. Olahan bahasanya yang bagus dan menarik,,, amoun klo kesenior satu ini.

    Saya tdak bisa berkomentar.
    Hanya rasa kagun saja.

    BalasHapus
  7. @Elman: terima kasih sudah sudi membaca
    Salam Colt
    M. Faizi

    BalasHapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...