Pembaca

09 Januari 2018

Serasa Menjadi "Hunter"


Saya sudah melewati jalan menurut panjang Ketawang, kira-kira seperempatnya, ketika dari arah utara tampak Panther ijo Royal tampak terengah menanjak. Di belakangnya ada Hiace. Seorang ibu menyunggi keranjang berjalan di atas aspal karena ruang jalannya sudah habis. Tangannya yang melambai membuat saya ragu: saya harus mengalah, ngerem, dan membiarkan Panther terus berlalu.

Tiba-tiba, saat kami sudah begitu dekat, sebuah motor Shogun tuwek menyalip, dengan gaya menggunting, lalu terus meluncur ke bawah. Kaget saya bukan alang kepalang. Hati deg deg ser. Sopir Panther tak kalah kaget, bahkan sampai harus ngerem dalam posisi menanjak. Ternyata, pengemudinya Fahmi Amin. Saya melihatnya jelas karena ia terpaksa berhenti di tanjakan, hampir diseruduk mobil Hiace yang di belakang.
foto hanya pemanis, tidak berhubungan dengan cerita
Saya tersenyum, memberikan isyarat yang intinya bahwa "barusan itu anak ngawur banget, kayak setan. Enggak ikut berzina tapi berpotensi membuat sesama kendaraan ‘berzina’ antar bumper depan dan bumper belakangnya."

Lanjut...

Colt saya menggelinding cepat, mengikuti jalan menurun. Kali ini, lajunya tidak seperti tadi. Jika tadi cuma 40 km/jam, kini 60-65 km/jam. Bedanya, sekarang saya nawaitu mengejar kedua anak berseragam madrasah pondok yang saya kenal itu. Mereka harus diberi pelajaran di luar kelas.
Sayangnya, sebelum Gurmate, sebuah sepeda motor keluar dari mulut jalan, membonceng rumput, dan mengambil posisi di tengah, bahkan agak ke sisi kanan karena jalan sebelah kirinya penuh cekungan dan sangat bergelombang. Kami terpisah jauh dengan kedua anak itu sekarang.

Selepas Gurmate, saya menyalip sepeda motor dan melajukan Colt kembali. Jalan rusak dan bergelombang, hajar saja, saya tak peduli. Menjelang SDN Sumber Payung, jarak antara kami semakin dekat. "Entar saya pepet, saya hentikan!" Batin saya, mulai geram.

Lagi-lagi, sehabis SDN, ada jalan ke kanan. Dari situ, tiba-tiba nyelonong sepeda motor, kembali memisahkan jarak Colt saya dan sepeda motor tadi. Saya sudah mulai pesimis. Ganding tak jauh lagi, yang artinya kemungkinan tak terkejar itu sudah semakin tinggi.

Untungnya, kejutan datang: Deus ex Machina.

Di selatan jembatan besar Sumber Payung, sebuah truk besar Mercedes Benz tipe 1917 mundur. Akibatnya, semua kendaraan, dari dua arah, terhenti karena bodi truk yang panjang tersebut melintangi jalan. Walhasil, saya langsung pepet sepeda motor itu ke tepi kiri, buka pintu dan menyamperinya. Tanpa perlu babibu, saya langsung menginterogasinya. Saat itulah saya merasa kayak Rick Hunter yang dapat menangkap penjahat kaliber apapun dalam waktu kurang dari satu jam (sesuai jatah durasi tayang di serial televisi).

"Kamu ini bikin malu. Pake seragam madrasah, kelakuan gak berakhlak di jalanan. Enggak malu kamu?
Mereka menundukkan kepala, tanpa sepatah kata.
"Awas, jangan ulangi lagi. Saya laporkan nanti sama kepala madrasahmu!”
“Tapi, saya ini tadi kepepet.” Dia masih berkelit.
“Kepepet? Kepepet gimana wong saya pelan saja, kok.
Tiba-tiba, muncul seorang lelaki bersepeda motor matik. Ia menghampiri kami. Dia lalu berkata dan menghakhiri cerita di pagi Kamis itu.
“Heh, dari tadi saya ada di belakang kalian, kok. Jadi, saya tahu persis kelakuanmu di jalan.”
Adegan selesai. 

TAMAT

------------------------------------
peristiwa ini terjadi pada hari Kamis terakhir, 28 Desember 2017

04 Januari 2018

Colt dan Stereotip


Stereotip adalah penilaian yang dikumpulkan dari asumsi-asumsi dan/atau dugaan yang dirujuk dari pandangan umum dan (biasanya) tidak akurat. Ia juga dapat disebut sebagai jalan pintas untuk membuat kesimpulan yang sumbernya adalah intuisi, hanya “ngarang-ngarang” atau utak-atik-gatuk, untuk selanjutnya disematkan kepada orang/kelompok tertentu.


Ketika Anda nonton film Carok yang puncak ceritanya adalah duel maut satu-lawan-satu antara dua orang laki-laki bersenjatakan celurit, disaksikan oleh banyak orang secara langsung di sekelilingnya sehingga pertarungan itu mirip sabung ayum (cuma yang ini diperankan oleh manusia), Anda membuat kesimpulan: orang Madura (tempat kejadian carok sering terjadi) dipersepsikan sebagai masyarakat yang temperamental dan berani saling bunuh hanya demi seorang perempuan, biasanya karena cemburu. Jika begitu hasilnya, maka sebuah film telah berhasil membuat stereotip (dan biasanya cenderung negatif)  tentang orang Madura. Tentang steretoip  (sekadar menyebut contoh) yang juga dilekatkan oleh orang Jawa terhadap orang Madura ini pernah secara luas dibahas oleh Romo Sindhunata saat beliau menulis resensi di Majalah Basis, edisi Desember 1995, untuk buku “Accros Madura Strait”. Menurutnya, stereotip ini terbangun berdasar etnologi warisan kolonial Belanda.

Stereotip ternyata tidak hanya dicapkan kepada orang/kelompok, tapi juga terhadap mobil. Hal itu saya alami ketika sedang memarkir Colt di sebuah toko busana. Pak Jukir tua tiba-tiba menghampiri ketika saya hendak masuk ke dalam kabin seraya berkata.

“Enak, ya, kalau mobil tua seperti ini. Ndak usah bayar pajak pun enggak bakal diurus sama petugas!”

“Enak saja Sampeyan!” Sontak saya memberikan perlawanan. “Saya disiplin bayar pajak, Pak, juga taat berlalu lintas.”

“Oh, begitu, tah? Kiraian ndak usah bayar pajak kalau mobil kayak gini.”
“Ah, Sampeyan ini!”

Rasanya, ingin sekali saya tukar karcis parkir yang biasanya 2 ribu perak itu dengan selembar uang 50.000 supaya stereotip di dalam pikiran pak jukir itu kembali ke jalan yang lurus. Setelah mikir-mikir, enggak jadi, nanti malah muncul stereotip tandingan: sopir Colt biasanya sombong.

Betapa kejamnya stereotip!


Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...