Pembaca

17 Januari 2019

Pergi Santai, Pulang Tegang (4)


RABU, 19 DESEMBER: Pulang ke Madura 

5456/7 posisi berangkat, Sampang


Mesin mobil baru mati untuk kedua kalinya di Tangkel, Bangkalan. Saya isi bensin lagi, tangki dipenuhkan sekalian, karena saya yakin nanti bakal langsung dipakai jalan lagi ke kota, ke rumah sakit.

6362/9 posisi sampai rumah
Dari Tangkel, saya pegang kemudi lagi. Mobil saya lajukan dengan kecepatan seperti tadi, 70-80 km/jam. Jalan lurus dari Bangkalan ke Sampang dan Pamekasan, rasanya begitu panjang, sangat monoton. Nyatanya, dari Tangkel sampai ke halaman rumah itu hanyalah 119 kilometer saja, tapi malam itu begitu jauh rasanya. Mungkin karena perasaan campur aduk, antara lelah jasmani dan kegalauan hati yang bercampur jadi satu.

Puji syukur. Kami tiba di rumah pukul 04.20, beberpa menit setelah azan subuh. Tentu saja, kami senang karena perjalanan lancar selama 9 jam 20 menit untuk hampir 400-an kilometer. Tapi, saya tidak bisa istirahat, tidak bisa tidur, karena mobil harus menyala lagi. Bersama kami menuju rumah sakit.

TAMBAHAN:

Total jarak perjalanan: 876 kilometer

Alhamdulillah, di hari itu, anak tertua saya menjalani operasi usus buntu yang sudah terlanjur pecah. Anak saya tidak gemar beli makanan ringan, tidak suka makan sembarangan, tapi kok seperti ini? Kami terima saja kenyataan ini sebagai bagian dari perjalanan hidup. Hari ini, anak saya sudah masuk sekolah lagi, sudah mengikuti aktivitas seperti biasanya.

Oh, ya, malam harinya, setelah anak saya didampingi istri dan ipar, saya berangkat lagi ke Situbondo naik bis, untuk memenuhi janji saja, hadir di acara Muktamar Sastra. 

Terima kasih untuk doa dan waktu untuk membaca.

Pergi Santai, Pulang Tegang (3)

SELASA, 18 DESEMBER 2018: Jember - Situbondo

Bermalam di Jember, malam Selasa itu, sangat memuaskan. Meskipun saya hanya tidur sebentar tapi kami telah bercengkerama begitu lama. Senang pula karena bibi Zaynah menerima kami dengan bahagia dan beliau memang sudah lama tidak pulang ke Madura.

Hampir pukul 9 pagi, kami baru bergerak pulang, meninggalkan Jember menuju Situbondo lewat Bondowoso. Perjalanan di hari ketiga ini lancar jaya. Kami menempuh jalan kolektor, dari arah Dukuh Mencek ke arah Patrang. Ancer-ancernya adalah RS Soebandi. Dari sana, kami ambil kiri, menuju ruas jalan utama Jember-Bondowoso.

Yang agak berat bagi saya adalah karena istri sedang kumat asam lambungnya. Maka dari itu, rencana mampir dulu di rumah Paman Hasan dan Paman Ali yang terletak di Bondowoso, gagal sudah. Kalau memang sudah bukan suratan, ya, mau apa? Jalani saja. Sedih juga, sedih dua-duanya:

Lepas duhur, kami masuk p[ekarangan rumah bibi, terget kami selanjutnya di hari ketiga ini, rumah Bi Azizah yang terletak di Lamongan, Arjasa, Situbondo. Apa sambutan beliau? “Wah, apa ini kok kayak ini? Enggak mau, ah. Jelek banget!” Begitulah komentar beliau secara ceplas-cepolos begitu melihat dua karung besar plus satu vas bunga nongkrong di atas atap Colt saya. lalu, beliau pun tertawa.

Kami menurunkan semua barang bawaan, termasuk  juga jok tengah yang musti dilepas karena tadi, dalam perjalanan, anak nomor tiga pipis dan kencingnya ke tempat duduk. Jadi, kami harus mencucinya agar najis kencing—yang kata hadis termasuk najis yang paling rawan—tidak menyebar kemana-mana. Bongkar sangat lama karena barang bawaan kami bejibun, mirip TKI baru pulang dari Malaysia.

Saya segera memejamkan mata karena sorenya ditargetkan segera merapat ke Pesantren Sukorejo untuk menghadiri kegitan Muktamar Sastra yang digagas oleh PP Salafiyah Syafiiyah, LTN NU Jatim, dan TV dan dilaksanakan di pondok yang didirikan oleh Kiai Syamsul Arifin itu. Pondok ini bersejarah. Pengasuh kedua, Kiai As’ad Syamsul Arifin, baru-baru ini dikukhkan sebagai pahlawan Nasional. pada tahun 1984, pondok itu juga ditempati Muktamar NU yang ke-27, muktamar yang krusial, muktamar yang memutuskan penerimaan asas Pancasila.

Menjelang asar, saya dapat kabar dari Madura, dari adik, bahwa anak saya kambuh sakitnya. Dia minta ke dokter. Dan adik saya siap mengantarkannya. Perasaan sudah mulai tidak enak karena kami terpaut jarak yang jauh. Adik saya memastikan kesanggupan, maka lumayan bikin hati saya sedikit tenang.

Sesuai skenario, habis asar, saya tetap berangkat untuk menghadiri acara pembukaan Mutakmar. Kami ketemu dengan Pak Zainul Walid, ketemu Mukhlis di Asembagus yang kala itu kebetulan juga ada Lefand dan Mas Sosoawan Leak. Di pondok, saya bertemu dengan Pak Sururu dari TV9 dan Marsuki dari Antara.

Baru saja kami nyeruput kopi, mungkin dua atau tiga tegukan, baru saja mulai haha-hihi karena juga bertemu dengan Om Faqih dari Bali dan rekan-rekan dari Sumenep, mendapak ada telepon dari ibu, masuk. Sebelum diterima, saya sudah tercekat. Saya keluar arena, pergi ke halaman, dan tanpa basabasi, ibu berkata begitu singkatnya:

“Cepat pulang. Sekarang juga! Anakmu masuk ICU!”

Kegembiraan, gairah, harapan, langsung melorot ke titik terbawah. Lemas rasanya diri ini. Tapi, apa boleh buat, baru saja saja sampai, secepatnya harus pulang. Maka, dengan kata-kata yang rasanya berat sekali akan keluar dari kerongkongan, kepada mereka, kepada para panitia, saya mohon maaf, saya harus pulang, cepat-cepat.

Tanpa menunggu mereka merespon, sambil lalu membayangkan pesan Kiai Azaim setahun yang lalu agar saya terlibat sebagai tuan rumah untuk acara ini, sambil membayangkan diskusi panel yang akan diselenggarakan besok siang, sambil membayangkan rentetan acara yang lain yang bakal terlewat, saya melangkah kaki, keluar, menuju mobil, menyalakan mesin, dan bergerak ke luar area pondok.


Colt bergerak cepat ke Arjasa lamongan, tempat istri dan semua anak dan rombongan berada. Ditingkahi gerimis, seluruh perabotan dan barang bawaan kembali dimasukkan ke dalam mobil (padahal belum ada 4 jam kami mengeluarkannya). Dua karung besar kembali naik ke atas atap, diikat ke rak. Di dalam sudah penuh. Jok dalam keadaan basah juga dimasukkan, meskipun cuman disandarkan, tidak dibaut, karena kami buru-buru.

Setelah shalat maghrib dan berkemas, berbarengan dikumandangkannya azan isya, saya pancal Colt T120 lungsuran 1980 yang berdasarkan data odonya sudah menempuh 460.000 ribu kilometer di atas Bumi ini. Cemas juga, sih, takut mogok atau macet. Kami sedang berkejaran dengan waktu. Tapi, saya juga berpikir rasional, tidak mungkin saya memkasa mobil tua ini bekerja lebih berat lagi dari yang sewajarnya ia tanggung.

Perjalanan agak tegang karena pikiran saya terbagi dua: ke arah depan dan ke anak saya. untung ada sopir pendamping yang meskipun tidak terbiasa bawa Colt lebih-lebih dengan sistem percepatan dengan kromis yang kronis, bisa dipaksakan juga mengemudi. Alasannya cuma satu: hemat waktu.

Di tengah perjalanan, mungkin Bletok atau Bungatan, pengemudi digantikan oleh Makki yang sedari rumah tugas dia cuma duduk di sisi kiri. Untung juga ngajak orang yang bisa nyetir, kata saya dalam hati. Lumayan dia bisa bantu saya rehat, “tidur-tidur ayam” merem melek. Perjalanan alhamdulilah lancar tanpa kendala.

Di Pasuruan, arah jalan diubah. Kami harus muter-muter lewat pinggiran karena ada haul, seperti Haul Kiai Hamid. Dan pada saat itulah diputuskan untuk lewat tol saja mumpung saldo masih ada. Begitulah, kami ‘terpaksa’ masuk tol malam itu.

Pergi Santai, Pulang Tegang (2)


SENIN, 17 DESEMBER 2018

Seperti yang dijanjikan sebelumnya oleh Kiai Kholil—melalui pesan kepada iparnya, Khatir—bahwa akan ada layanan antar ke “surganya kopi” jika saya sudi ke Jember, maka pagi itu, Senin, 17 Desember, dituntutlah peneguhannya. Kiai Kholil rupanya hendak mengajak kami ke Puslit (maksudnya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) yang terletak di Jenggawah.

Berangkatlah kami pagi itu ke kebun kopi Puslit, dua mobil. Ternyata, situasi di sana berbeda dengan yang saya bayangkan. Rupanya, Puslit membikin kantornya sekaligus sebagai toko tempat mereka menjual produk kopi dan cokelat, sekaligus kebun, sekaligus tempat wisata untuk anak-anak, sejenis eduwisata atau apa namanya.

Saya bayangkan andai saja “kereta kelinci”-nya pakai lori, lokomotif penarik kereta tebu dan pakai rel beneran, bukan jalan beraspal dan keretanya Toyota Kijang yang dibungkus pakai kayu, pasti seru meskipun tentu biayanya sangat besar kalau seperti itu. Tapi, apakah itu mustahil? Lepas dari sana azan zuhur. Kami berpisah. Keluarga Kiai Kholil kembali pulang dan kami meneruskan perjalanan, wisata silaturrahmi ke rumah Kiai Jauhari di Pace, Jember daerah timur bagian selatan, masuk wilayah Silo.

Sempat dua kali saya harus berhenti untuk nanya arah jalan (sengaja tidak pakai GPS karena nuansanya biar lebih klasik, tanya-tanya sama manusia, bukan langsung kepada satelit, juga menguji instink kesopiran). Meskipun saya pernah sampai ke sana, meskipun kami tahu Kiai Imam Tanthowi—putranya—tidak sedang di tempat, tapi kami lanjut saja.  Saya ingin bawa anak istri sampai ke sana,  agar mereka tahu, setidaknya mereka pernah merasakan, bahwa perjalanan kami ini, ke sana ke mari dengan maksud silaturrahmi, pernah dilakaukan oleh orangtuia mereka, dengan arapan membekas dan pikiran dan masuk ke dalam pemahamana mereka, menjadi pembekajarabn.




Selama perjalanan, kami terus kontak dengan anak sulung di rumah. Kabarnya masih sakit, tapi
mendingan. Makan masih sulit, tapi masih bisa. Ya, kaar ini membuat kami sedikit lega meskipun juga berat di perasaan karena dia hanya sendirian, besama teman yang menjaganya, di rumah. Betapa tidak enak tinggal di rumah dalam keadaan sakit.

Untung, ada Mahmud Zain yang antar kami ke sana. Mahmud nunggu di Karangharjo. Kami melewati perkebunan kopi, yang tenu saja akan bingung andai saja kami jalan di malam hari. Jarak ke sana, dari kota, sekitar 30 kilometer, melewati jalan dan kontur yang tidak rata.

Setelah sowan sama Bu Nyai yang sakit karena Mbah Kiai sedang mijil, kami pun pamit pulang sebelum asar. Maklum, jadwal padat. Kami harus ke Mangli sebelum maghrib sebab isya nanti akan lanjut ke Kancakona, untuk hadir di acara diskusi.

Bahagia tak terkira karena akhirnya saya dan seluruh anggota keluarga, terutama si kecil, tak pernah sampai ke sana. syukur dipanjatkan karena bibi sehat dan Walid masih seperti dulu kata. Hal yang menakjubkan terjadi sehabis maghirb. Saya disambangi seorang kawan bernama Juky dari Mangli dan seorang lagi dari Kencong, Adi Juni, bersama pamannya. Rupanya, mereka sengaja datang ke sana untuk menjemput sekaligus mengawal saya ke kafe Kancakona. Jadilah 3 colt berangkat dari sana bersama-sama setelah isya.

Acara diskusi  “Seni Mencatat” yang diselenggarakan oleh IAA Jember dan diletakkan di Kancakona Kopi ini sekaligus Kopdar Jember Colt Lover (JCL). Colt saya diajak parkir di SPBU Kebonsari, Jl Letjend Suprap   to. Kami bertemu dengan sekitar 6 mobil Colt di sana. acara intinya adalah salaman, perkenalan, foto-foto. Setelah itu, kami berangkat dalam bentuk karnaval, menuju lokasi acara.

Kejutan terjadi di kafe. saya bertemu denga Badri Khairun, seorang kawa yang hanya kenal di Facebook da baru kali itu berjumpa. Saya juga bertemu dengan Komaruddin, kawan sebangku di kampus dulu, yang tak pernah ketemu sekitar 20 tahun lamanya. Betapa menakjubkan media sosial ketika semua yang tidak pernah kita bayangkan 20 tahun yang silam itu terjadi begitu saja.

Pergi Santai, Pulang Tegang (1)


AHAD, 16 DESEMBER 2019: Berangkat ke Jember

Setelah beberapa jam mengalami pertarungan antara keputusan pergi atau tidak, akhirnya saya dan seluruh anggota keluarga berangkat ke Jawa pada hari Ahad, pukul 14 lewat, 16 Desember 2018. Pergulatan batin itu berlangsung sejak malam sebelumnya yang mestinya kami harus berangkat Sabtu sore, 15/12. Saya kira, ini adalah keputusan final.

Mengapa bertarung dengan keputusan? Karena paginya, pagi Ahad, saat kami sudah siap dan barang-barang sudah dikemas, bahkan sebagiannya sudah masuk ke dalam mobil, ada telepon dari pengurus pondok bahwa anak tertua kami mengalami sakit perut, minta dijemput pulang (bukan sekadar dijenguk). Terpaksa, saya menjemputnya ke pondok yang tak jauh jaraknya. Saya langsung membawanya ke Puskesmas terdekat, Guluk-Guluk.

Setelah dipastikan “tidak apa-apa” oleh dokter, setelah dia tidur dan saya menanyakan keadaannya lalu dijawabanya mendingan, setelah bermusyawarah, akhirnya kami berangkat juga, lengkap, kecuali dia saja, anak tertua, yang tetap tinggal di rumah.

Hingga masuk kota Pamekasan, saya tidak sadar kalau hari-hari itu adalah masa liburan. Saya cuma membatin, ‘jalanan kok ramai sekali, ya!’. Setelah kami mencapai kota Sampang butuh waktu lebih dari dua jam, padahal biasanya kurang dari itu, barulah saya menyadarinya. Pantesan!

Saat kami melaksanakan shalat asar di Masjid Jamik Kota Sampang, 3 rombongan mikrobus juga masuk, berbarengan, penumpangnya turun untuk salat. Dua orang sopirnya langsung mendekat
“Wah, masih ada mobil kayak ini, dant erawat.”
Senang saja saya dip[uji begitu, terus terang saja, deh.Mobil lawas kalau dirawat ya enak juga dipakai ke mana-mana, timpal satunya.

Hari sudah maghrib saat kami asuk Kedung Cowek, melewati Kemjerang dan tembus Jalan Pahlawan, teurs ke tol. Rencana lewat tengah kota, Jalan A Yani, digagalkan karena perkiraan saya, arus lalu lintas pasti macet berdasarkan tanda-tandanya. Mkanya, saya putuskana lewat tol saja.

Kami lewat tol sampai Gempol, tidak berusaha mencoba tol sampai Pasuruan karena tarifnya masih relatif mahal dan saya kira juga tidak efektif bagi mobil tua macam Colt T120 ini. Laju di tol tetap 70 km/jam, di jalan umum juga segitu, jadi, buat apa? Yang membedakan paling-paling cuman kalau di tol itu kita bisa menyaksikwan sawah-sawah—kayak numpak sepur—sedangkan di luar tol hanya melihat toko dan rumah. Beda cerita kalau yang saya bawa ini sejenis Innova atau Caravelle, misalnya.

Pukul 10 malam, kami baru tiba di Masjid Sabilul Muttaqin, Tongas, masjid andalan para pelintas ke arah timur. Masjid yang berada di dekat Warung Kencur dan hanya 2 kilometer menjelang pintu masuk kota Probolonggo ini sangat melimpah airnya: termasuk tujuan utama orang mampir di masjid ini. Di sekitar masjid juga banyak warung, minusnya cuma satu: tempat parkir yang sangat dekat dengan jalan dan sempit. Kami mandi, makan-makan—karena memang disedikan tempat untuk makan agar pengunjung tidak makan di emperan masjid.

Sambil lalu, saya menghubungi Kiai Kholil, tempat tujuan kami nanti, di Jenggawah, bahwa kami akan datang tengah malam, datang bukan pada waktu yang tepat. Kenapa begitu? Saya akan jelaskan nanti saja kalau sudah bertemu.

Hampir 3 jam perjalanan kami dari Tongas ke Notonegero, Jenggawah. Durasi itu termasuk sesat jalan masuk sehingga saya harus balik lagi beberapa kilometer. Suasana malam seperti itu sangat sulit mencari gang masuk. Singkat cerita, menjelang pukul 2, kami tiba setelah menempuh perjalanan 301 kilometer.

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...