SABTU 13 MARET 2021, saya berangkat ke Jogja, pagi sekali, pukul 07.00 dari rumah karena mau mampir di Sampang untuk menghadiri undangan. Kami mau hadir di acara akad nikah sekaligus pesta pernikahan putri daripada adik ipar lelaki saya (nah, ini gimana cara menjelaskannya, rada mbulet). Pukul 08.32, kami sudah sampai di lokasi, Panggung, Sampang. Pukul 9 lewat beberapa menit, saya masuk terop meskipun hadirin dapat diitung pakai jari.
Usai acara, saya ketemuan dengan para penumpang di Masjid Jamik Sampang. Maklum, yang mau ikut saya ke Jogja (Mat Umam [sepupu], Sakdi [sepupu tiga kali], Khatir [sepupu tiga kali]) tidak diundang di acara itu, jadi mereka berangkat belakangan. Sedangkan para penumpang saya (sepupu perempuan dan istrinya, paman dan istrinya) justru tidak mau ke Jogja. Jadi, kami tukar mobil di sana.
Tepatnya tidak ingat, sepertinya pukul 13.00 lewat sedikit, kami bertolak dari kota Sampang. Saya yang pegang kemudi. Kami sepakat, kami mau shalat jamak di Jogja atau entah di mana.
Masuk kota Surabaya, saya masuk SPBU Kedinding untuk isi pertalite, Rp212.000, tidak penuh. Kenapa saya isi sejumlah itu?
“Biar kayak Wiro Sableng, Mbak,” kata saya kepada petugas SPBU begitu dia narik nosel pompa dan mengarahkannya ke mulut tangki. Alasan lainnya adalah; dana saya memang tipis sebab saya memang tidak bawa duit. Ongkos sudah dijanjikan bakal diganti penyelenggara diskusi buku Joko Pinurbo, di Kafe Main-Main, Sorowajan.
Hujan menadadak deras manakala kami keluar dari SPBU. Genangan air bahkan mampu menutupi permukaan jalan. Hujannya ternyata tidak main-main meskipun tujuan pertama kami ke Jogja adalah berdiskusi di Kafe Main-Main. Pasti, hingga berani menempuh perjalanan ke Jogja, kira-kira 500 kilometer sekali jalan, baik penyelenggara dan lebih-lebih kami, sungguhlah tidak niat main-main.
Hujan makin gila saat kami sampai di ujung jalan Kapasan. Jarak pandang sangat pendek. Dan kami—saya tepatnya—mengalami sial. Begitu putar balik ke jalan Gembong dan bersiap masuk ke Jalan Wasada dengan cera nyisir kiri, eh, malah terperosok ke Pasar Atom, salah masuk ke pintu parkiran. Sempat mutar-muter di dalam karena cari jalan keluar, akhirnya saya bisa keluar ke pintu barat.
“Rp10,000,” kata petugas. Kata-katanya terdengar tidak jelas karena hujan sangat deras, mungkin juga karena itu adalah bayaran untuk orang bingung dan salah masuk, dan sama sekali saya tidka parkir.
“Tapi, saya tidak parkir, Bu, cuman salah masuk,” kata saya berkelit, namun tetap menyerahkan uang.
Begitulah, saya ikuti jalan ke barat, ke Jalan Demak, lalu masuk tol, ke arah selatan. Singkat cerita—karena kisah perjalanan di tol itu memang harus singkat-singkat sebab nyaris tidak memberikan nuansa apa-apa—saya pun ambil kiri di Bundaran Tol Waru (bundaran tol yang percabangan jalannya sangat banyak dan ruwet, sering bikin orang salah jalan), lalu turun dari belakang setir begitu keluar dari pintu masuk tol Waru Gunung, akses masuk ke Tol TransJawa.
Kini Khatir yang ambil kemudi. Jam menunjukkan pukul 4 sore lebih. Mobil berjalan dalam kecepatan antara 75 km/jam dan hanya sesekali melewati 80 km/jam. Tujuannya adalah agar alaram kecepatan tidak cerewet.
Ini adalah pengalaman keempat saya naik Colt dari Sumenep ke Jogja, tapi merupakan pengalaman pertama untuk perjalanan yang sepenuhnya lewat Tol TransJawa (Pertama di awal tahun 2018, kedua pertengahan 2019, dan yang ketiga di akhir tahun 2019). Perjalanan kali ini memakan biaya paling mahal karena harus bayar tol sebesar Rp252.000 (untuk rute Warugunung - Colomadu dan tarif serupa untuk rute Kebakkramat - Pasar Turi: sama jaraknya, kira-kira 250 kilometer). Yang berasa ‘naif’, meskipun perjalanan memang menjadi lebih singkat, tapi saya tak punya cerita apa-apa selama di perjalanan.
Apa yang mau diceritakan? Hanya tegalan, padi, gedung-gedung dan gudang di kejauhan. Itu saja pemandangannya.
Dengan kecepatan 80 km/jam, mobil dan kendaraan lain nyaris semua menyalip kami secara was-wis- wus. Hanya sekelas tronton atau truk gandeng yang mampu kami salip. Saya tidak minder karena kami tidak sedang balapan. Saya sayang sama mesin yang sudah berputar di atas bumi selama 40 tahun ini untuk digeber lebih cepat dari itu, meskipun jelas masih sangat mampu.
Di tempat istirahat 575 B (Paron, Ngawi), kami melipir untuk pipis dan shalat. Di situ, kami makan bekal. Di situ pula, saya sempat ngobrol dengan seorang bapak (yang sayangnya saya lupa namya). Beliau, menurut pengakuannya, langsung teringat masa nostalgianya semasa dulu menjadi guru di sebuah pelosok di kabupaten Sampang, di mana akses ke tempat itu ditempuh dengan angkutan pedesaan Colt T120.
“Angkutannya seperti ini...” kata beliau sambil ngelus-ngelus mobil saya.
Sakdi ambil alih kemudi. Kami pun melanjutkan perjalanan dan satu jam berikutnya kami sudah tiba di gerbang tol Colomadu, Kartasura, suatu hal yang pasti sulit dilakukan andai lewat jalan arteri. Ini saja keunggulannya. Lalu, kami isi bensin di SPBU Wirogunan, dekat dengan pertigaan Kartasura, yang sebetulnya mungkin masih mampu dibuat jalan sampai ke Klaten atau bahkan Jogja. Kami masuk Janti pada 21.39 dan tiba di Sorowajan, Jogjakarta, pada pukul 21.48.
Selama di Jogjakarta
Secara penanggalan Masehi, saya berada tiga hari di Jogja, yakni sejak Sabtu tanggal 13 Maret hingga Senin tanggal 15 Maret. Tapi, praktiknya, aktivitas utama saya dimulai sejak Ahad pagi dan berakhir senin siang, jadi hitungannya cuman sehari setengah. Malam Ahad itu, tak lama setelah saya tiba, saya disambangi Mas Puthut EA. Kami ngobrol asyik di kafe, sampai larut, sampai yang punya kafe pulang duluan.
AHAD pagi, saya nyantai di kafe Main-Main, lalu makan di Leha-Leha yang lokasinya berdampingan. Agaknya, kedua kafe yang dimiliki oleh orang yang sama ini, meskipun berdampingan, tapi punya segmen pasar tersendiri. Kafe kedua (Leha-Leha) merupakan perpaduan kafe dan rumah makan karena hidangan beratnya prasmanan. Sepertinya, yang leha-Leha diperuntukkan buat keluarga, yang jomblo di Main-Main saja. Saya, kami tepatnya, diberi kekuasaan “keleluasaan untuk ngapain aja” di kedua kafe tersebut, mau makan atau minum atau kedua-keduanya oleh Imam Rofiie. Apakah Imam adalah pemilik kafe? Bukan, dia hanya operatornya. Yang punya bernama Pak Edi. Dan dialah yang ngundang saya datang ke kafe ini untuk suatu acara. Di kafe itu, saya bertemu Munir, suami Vebri. Nah, Vebri ini merupakan cucu ibu kost saya di purbakala dulu.
Sesudah pergi ke toko kain yang ternyata tutup—saya tidak ingat kalau hari itu adalah hari Minggu dan toko-toko pada tutup—siang kami kembali ke kafe. Orang-orang mulai berdatangan. Kami pun mengikuti acara bedah buku Joko Pinurbo yang berjudul “Sepotong Hati di Angkringan”, buku yang berisi refleksi hidup keseharian di masa pandemi dalam bentuk potongan-potongan kisah pendek puisi.
Hadirin tidak banyak. Pengunjung tidak membeludak, masih terkendali. Saya bertemu dengan beberapa kawan lama di sana: ada Jumaldi Alfi, Rusmansyah Khameswara, Mas Hairus Salim, Iqbal Aji Daryono, Usman Arrumy, dan banyak yang lain. Kami ngobrol gayeng bahkan hingga usai acaranya.
Magrib datang dan gerimis turun. Malamnya, selepas makan dan bertemu dengan Prof Abdul Gaffar Karim beserta istri, saya pergi ke rumah Pak Farid Mustofa di Rejodani. Di situ saya bertemu Irul. Kami ngobrol sampai malam. Sungguh, hari Ahad ini sangat menyenangkan bagi kami.
SENIN PAGI, 15 Maret, kami mulai aktivitas dengan kembali ke toko Niagara di Jalan Kusumanegara dan lanjut ke toko Maju Jaya di dekat Pojok Beteng. Cuman itu saja pergerakan jasmaniahnya. Selebihnya, kami berkemas, kembali ke penginapan yang terletak persis di samping kafe. Saya sempat ngajak istri saya ke kontrakan Imam untuk rehat karena dia kurang sehat.
Siang, pukul 13.00, kami berangkat ke Sate Kambing Sor Talok, Trirenggo, Bantul. Pak Edi yang ngajak saya ke sana. Kami bawa dua mobil karena dari sana, nantinya, kami akan lanjut pulang. Warung ini ternyata istimewa. Lokasinya pinggir jalan, pinggir sawah. Makanannya sangat berat: sate, gule, tongseng, tapi semua bahan saya cek daging kambing muda yang segar.
Kejutan datang sebelum pulang: saya ketemuan dengan Pak Milan, santri Kiai Faruq yang entah beberapa kali kami janjian tapi tidak pernah bertemu. Saya juga sempat bertemu dengan Om Pangapora yang baaaaru saja datang dari Madura, langsung ke Sor Talok juga.
Sekitar pukul 16.00, kami meninggalkan Bantul, menyusuri Jalan Parangtritis, beda dengan saat datang karena kami masuk dari Jalan Imogiri Timur. Sampai di ringroad selatan, terpikir untuk melipir ke Gamping. Andai terjadi, saya bakal ketemu dengan Mas Benta, Pak Joni, juga pak herbalis Tomy. Tapi, sayang seribu sayang, waktu tak memungkinkan. Saya berdoa agar harapan ini dikabulkan di lain kesempatan.
Kami lanjut pulang. Titik persinggahan pertama adalah ke Sanggir, Paulan, Colomadu, tempat Mbah Darmo. Dia minta saya agar mampir, padahal sudah saya bilang kalau saya keburu pulang.
“Enggak apa-apa, bentar saja,” kata dia di telepon.
“Tapi, enggak usah makan, ya, Om.”
“Tenang, ngobrol saja.”
“Iya, sepeminuman teh saja, soalnya kami habis makan, nih.”
“Oke, ditunggu.”
Kami tiba di sana menjelang maghrib, ngobrol seperlunya, foto-foto sepuasnya. Mas Darmo menyediakan gitar dan bas, tapi saya malas memainkannya, hanya sesuai petunjuknya, sepukul dua pukul saja. Kami malah lebih tertarik pada stop kontak, buat ngecas.
Begitu kami hendak pulang, tiba-tiba saya ingat Mas Sosiawan Leak yang 10 hari yang lampau baru datang dari ke rumah saya, di Madura. Saya ingat kata beliau, “Saya sudah 4 kali ke sini, Panjenengan belum sama sekali ke rumah saya di Solo. Mampirlah kalau sedang ke Jogja”. Terngiang-ngingat oleh ucapan itu, mumpung posisi kami sedang di Solo, akhirnya saya putuskan singgah di kediamannya, di Mojosongo.
Kami masuk lewat lewat persimpangan Kerten, serong kanan ke Jalan Letjen Suprapto, terus ke Jalan Pelangi Utara 2. Trek ke rumah Mas Sosiawan Leak agak sulit karena masuk gang rada sempit dan kontur jalannya menurun, curam. Saya bahkan sempat ragu untuk naik, di perjalanan pulang.
Istri saya mendadak ngedrop di rumah beliau. Sementara, tuan rumah masih belum keluar. Pintunya tertutup. Seorang ibu yang rumahnya berada persis di samping Mas Sosiawan mempersilakan kami. Ia “sangat Solo”: mempersilakan duduk dengan bahasa sangat lembut, menyediakan teh, bahkan ngasih obat untuk istri saya yang asam lambungnya naik. Belakangan, saya tahu, beliau adalah Bu Joko yang dengan begitu suaminya bernama Pak Joko.
Setelah kami semua bertamu sekadar setengah jam, kami pamit. Dan seperti biasa, tuan rumah tidak segera memperbolehkan.
“Maaf, Mas, maaf, Bu. Kami ini mau hadir ke undangan walimah, besok pagi. Jadi, kami harus pulang. Semoga lain waktu bisa kemari lagi.”
“Saya kira mau bermalam,” balas mereka.
“Terima kasih atas penawaran.”
Kami pun pulang. Sakdi yang membawa mobil, menyusuri Jalan Mayor Achmadi, tembus ke jalan lingkar, dan akhirnya kami masuk ke akses Jalan Raya Solo Sragen, belok kiri di Kebak Kramat. Kami isi bahan bakar dulu Rp150.000 supaya nanti tidak perlu isi lagi di perjalanan karena bakal repot kalau kehabisan BBM di jalan tol. Tahu sendiri, kan? Di sepanjang 250-an kilometer dari Karanganyar ke Pasar Turi itu tidak setiap tempat istirahatnya tersedia SPBU.
Begitulah, seperti pada kisah perjalanan berangkat, perjalanan lewat jalan tol ini tidak menorehkan cerita apa-apa, lebih-lebih jika dilalui di malam hari. Semua pemandangan menjadi gelap, bahkan sawah dan ladang pun nyaris tidak kelihatan. Yang tampak hanyalah lampu ekor kendaraan yang berwana merah atau bias cahaya kendaraan lawan arah dari ruas seberang.
Sebetulnya, sempat terlintas untuk mampir ke rumah Mas Fadli dan Mas Alwi di Ngawi, tapi karena kondisi istri yang tidak memungkinkan, juga waktu yang kurang tepat karena tengah malam, serta tuntutan waktu tiba sepagi mungkin di Madura, akhirnya saya putuskan untuk lewat tol saja. Kami melakukan rehat di tempat istirahat 678 A (area Kabupaten Jombang) hanya sekadar melepas jenuh dan pipis. Tidak lama, kami lanjut lagi menuju Surabaya.
Dari situ, Khatir mengemudi hingga Dumajah, Bangkalan. Kami shalat mabrib-isya di Masjid Baiturrahman, lalu berangkat lagi pukul 03.00 (lebih beberapa menit). Saya ambil kemudi dari sana karena saya sangat malas mengemudi di jalan lurus mulus seperti jalan tol itu. Biasanya saya cepat mengantuk, karena itulah saya ambil ruas jalan arteri saja.
Azan subuh berkumandang saat kami isi bensin di Camplong. Sebetulnya, tangki BBM masih cukup sampai Pamekasan, tetap langkah ini saya ambil buat jaga-jaga karena SPBU 24 jam di Madura itu tidak benar-benar 24 jam. Kadang, meskipun ada petugasnya, kalau malas, mereka tidak melayani, seperti yang sebelumnya kami alami di SPBU Banyuanyar, Kota Sampang.
Kami subuhan di Trasak, pada pukul 04.50, sudah agak terang tanah. Kami lanjut lagi setelah itu, menuju rumah dan tiba dalam keadaan tak kurang suatu apa. Hamdalah ala nikmatillah wa ala nikmatil iman wal Islam wal Colt wal tanpa mogok.
Catatan: saya tidak menghitung konsumsi bahan bakar. Tapi, berdasarkan perkiraan, sepertinya hampir 100 liter karena jarak sekitar 1000 kilomer pergi-pulang. Anggaplah 1:10, biaya pertalite sekitar 750.000. Lewat tol sepertinya lebih boros.