Pembaca

29 Mei 2022

Takziyah ke Demangan, Bangkalan


27 MEI 2022

 

Mengantar ibu dan bibi untuk takziyah ke Demangan (ponpes Syaikhona Cholil), Bangkalan, Jumat lalu, saya sempat merencanakan jumpa kawan Erwien, di Bangkalan. Jika ke Demangan saya mau turut berduka cita atas wafatnya Kiai Fakhrillah Aschal, maka bertemu Erwien adalah bersuka cita untuk kesempatannya hendak kopdar triwulan di Batu (karena biasanya selalu gagal kopdar; dan entahlah untuk yang kali ini, saya gak tahu). Dua ungkapan berbeda itu sama-sama mengandung ‘unsur’ Bangkalan.

Saya berangkat selepas shalat Jumat, tepatnya pukul 13.11. Dalam perjalanan 130 kilometer ke arah barat itu sudah sesuai perkiraan: tiga jam sampai Tangkel dan tambah entah berapa menit lagi (biasanya 30 menit) lagi ke lokasi karena sangat bergantung pada padatnya arus lalu lintas yang biasanya cenderung tersendat-sendat.

Kami melakukan shalat ashar di Blega. Setelah itu, kami berangkat lagi, langsung menuju Demangan. Seperti dugaan saya sebelumnya, Jumat sore itu pasti macet, tak hanya di Madura, tapi di manapun. Pasalnya, rata-rata para perantau itu pulang (kampung) sehabis kerja kantoran di dalam sepekan, terutama mereka yang ‘melaju’, yang kerja di ibu kota atau di kota besar tapi keluarga dan anak tetap tinggal di desa. Yang demikian itu sangatlah banyak di sekitar kita.

Ke Demangan, kami takziyah untuk kewafatan Kiai Fakhrillah Aschal, putra keempat dari Kiai Abdullah Schal. Kami diterima oleh Nyai Muthmainnah, putri pertama Kiai Abdullah, di kediamannya yang notabene memang berhadap-hadapan dengan rumah duka sebab sore itu Kiai Fakhruddin, pengasuh pengganti, sedang bepergian ke Sidogiri. Di ruang tamunya yang luas, kami dijamu makan bahkan juga dipersilakan shalat di sana.

Sebetulnya, kehadiran kami ini kurang pas kalau disebut takziyah secara definitif karena yang diutamakan adalah kunjungan pada tiga hari pertama kewafatan. Masyarakat (Madura) bahkan punya kebiasaan hingga hari ketujuh kewafatan. Selepas itu, mereka beraktivitas kembali seperti hari-hari biasa. Nah, berkunjung di luar hari itu dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mereka.

Akan tetapi, di samping karena tidak semua orang punya waktu senggang untuk takziyah dan di sisi lain mereka juga merasa terpanggil untuk tetap menyampaikan rasa duka ataupun—sebagian mungkin—sekadar ‘setor muka’, maka akan tetap selalu ada  satu-dua orang yang datang selepas hari ketujuh, bahkan terkadang tetap banyak jumlahnya. Dan kami ini adalah di antara golongan itu. idak apa-apalah jika kunjungan ini tidak disebut takziyah sesuai defini dan konvensi. Kita pakai istilah lain agar tetap punya ganjaran, yaitu kunjungan silaturahmi.

Di belakang kami, ada dua mobil lagi, dua Avanza. Yang pertama adalah rombongan Dik Khalid dan Ubaid. Mobil kedua adalah rombongan Pamanda Bahrussalam dan umminya. Avanza kedua bahkan baru datang menjelang kami pulang.

Datang menjelang maghrib, pulang menjelang isya, kami terus ke Nilam, depan Bangplaz, ke rumah adik saya yang mengelola SD Assalam. Di situlah saya menelepon Erwien dan ternyata gagal ketemuan karena Erwien sedang dalam perjalanan menuju rumah kawannya sementara saya sudah siap untuk pulang.

Sebentar saja di sana, akhirnya kami pulang pada pukul 20.30. Pergi-pulang, 260 kilometer, saya di belakang kemudi sementara adik saya di sisi kiri. Oh, iya. di Madura, jalan rayanya sangat sepi di malam hari. Belum tiga jam, kami sudah sampai rumah, padahal jarak tempuhnya sama, 130-an kilometer;  kecepatannya juga sama, antara 60-80 km/jam. Jadi, ruwetnya lalu lintas di jalan sangat mempengaruhi lancar-tidaknya perjalanan, bukan semata-kata faktor kecepatan.


28 Mei 2022

Syawalan ke Pekalongan (Pergi)


4 Mei 2022

Syawalan tahun ini (1443H/2022M) dipenuhi keharuan. Ia adalah fase hidup saya yang untuk pertama kalinya menjalani puasa-lebaran-syawal hanya dengan anak-anak, tanpa istri, setelah 18 tahun kami hidup bersama. Agar tidak terlalu larut dalam kegalauan, akhirnya saya merancang bepergian pada saat-saat mestinya ada di rumah, yaitu pada tanggal muda bulan Syawal. Anggap saja ia “syawalan”: bertandang, silaturahmi, dari satu pintu ke pintu rumah teman lainnya.

Saya memilih Pekalongan. Wow, kok jauh?

Jawab; harapannya adalah agar saya bisa singgah di beberapa titik, ke rumah/orang yang lokasinya berada di jalur Pantura, jalur yang sangat jarang saya lewati naik mobil, juga agar bisa sowan ke Kanzus Sholawat, ke Habib Luthfi bin Yahya. Saya bahkan merancang untuk larat ke barat, mentok di Tegal atau Losari lalu pulang lewat selatan, lewat Kebumen, dst. Tetapi, karena satu target utamanya (yaitu sowan Abah Habib Luthfi bin Yahya) tidak belum kesampaian (saya sempat sowan pada dua kunjungan sebelumnya), rencana menambah rute perjalanan pun gagal. Saya (dan yang lain) memilih untuk putar haluan, balik kanan, pulang, meskipun sebelum berangkat kami memang sudah sepakat untuk menerima kenyataana yang dihadapi, seperti apa pun itu.

Saya bersyukur karena perjalanan kali ini masih menyimpan banyak alhamdulillah-alhamdulillahnya, seperti bertemu dengan kawan-kawan yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Pada akhirnya, saya sadar, bahwa bepergian di tanggal muda bulan Syawal itu sangat mungkin akan bernasib begitu. Banyak kawan yang ternyata pulang kampung atau mudik ke rumah istrinya, atau entah ke mana. Saya kira, orang mudik itu hanya orang Jakarta, ternyata tidak.

“Kamu, sih, yang berpikiran bahwa orang itu di rumah saja kalau lebaran, soalnya kamu cuman melihat kamu sendiri yang selalu begitu, gak kemana-mana,” tegur salah seorang paman saya, menyalahkan timing dalam melakukan perjalanan saat saya berkisah kepadanya sepulang dari Pekalongan.

***

Berangkat berlima (Anam, Miftah, Abdullah—dipanggil Cak Badi, dan seorang santri, Atiq), saya keluar dari pekarangan rumah pukul 22.00, 4 Mei 2022 (malam Kamis, 4 Syawal). Mobil tercatat telah bertolak dari pekarangan rumah Anam—yang jaraknya 9 kilometer dari rumah saya; dia juga pernah bareng saya keliling Jawa di bulan Oktober 2021 yang lalu—pada pukul 22.30. Mobil cus sampai Sampang di bawah kendali saya sendiri.

Selepas Sampang, saya tidur dan Anam yang mengganti. Saya tidak tahu apa saja yang terjadi di perjalanan kecuali terbangun saat mobil berasa pelan. Dari bangku belakang, saya perkirakan, lajunya sekitar 60 km / jam saja, sangat jarang menyentuh 80 km per jam (sebab hal itu bisa diketahui tanpa harus melihat speedometer karena buzzer-nya akan berbunyi nit-nit-nit). Yang ajaib, begitu lowongnya jalan raya hingga nyaris membuat saya tak percaya kalau kami sedang melintasi Jalan Nasional yang biasanya ruwet oleh seliweran kendaraan-kendaraan besar.

“Ini di mana?”
“Lamongan.”
“Oh, sepi sekali, saya kira di hutan apa gitu.”
“Iya, dari tadi memang seperti ini.”

Seperti itulah percakaan yang terjadi di antara kami, hanya sesekali saja, kecuali Anam dan Cak Badi yang ngobrol sepanjang jalan karena mereka berdua duduk di depan, bertandem. Yang lain di tengah dan di belakang, tidur atau main ponsel.

Memilih ruas jalan arteri di saat jalanan sepi adalah keberuntungan. Tak ayal, perjalanan malam itu terasa sangat menyenangkan. Kami tak perlu merogoh kocek buat membayar tol, lebih-lebih karena saya mengingat tanggal 22 Syakban yang lalu (seminggu sebelum Ramadan [25 Maret 2022]) waktu menghadiri Jumat Kliwonan di Kanzus Sholawat, di Pekalongan. Kala itu, nyaris semua rute yang kami lewati adalah tol Trans-Jawa. Top up 800.000 ribu tak cukup untuk pergi-pulangnya. Saya merasa, betapa besar biaya untuk membayar ongkos “rasa nyaman di perjalanan”, padahal itu pun juga membosankan.

Azan subuh sudah lewat setengah jam ketika kami melipir ke Masjid An-Nur, di Bancar, dekat perbatasan provinsi, untuk shalat. Rencana singgah ke rumah kemenakan (Fawaid) yang kebetulan mudik ke Jenu pun digagalkan karena waktunya tidak pas, masih kepagian saat kami melintasi kota Tuban.



Sementara yang lain meregangkan otot dengan telentang, saya meminta Atiq membeli air panas di warung seberang jalan karena bubuk kopi dan lain-lainnya kami bawa sendiri dari rumah. Jujur, saya ogah membeli kopi di warung makan, kecuali memang jika tidak benar-benar terdesak. Kasusnya, sering dijumpai hanya kopi sesat yang tersedia, kopi yang bahan bakunya hanya sedikit persen biji asli, selebihnya adalah daun dan kulit buah kopinya. Jadinya, ia sejenis “kopi jadi-jadian”, kopi hantu-lah!

Sebetulnya, saya membawa pemanas air DC 12 Volt, tapi butuh durasi lama untuk memanaskan air hingga 75 derajat celcius (apalagi lebih dari itu, sampai 85 derajat misalnya [standar panas air kopi menyeduh kopi], pasti lebih lama lagi). Saya bahkan juga bawa inverter, dari DC 12v ke AC 220v. Tapi, ia saya gunakan untuk hal lain. Makanya, saya cenderung memilih beli di warung saja. Bekal makanan pokok pun bahkan kami bawa sendiri, terutama abon, serundeng, dan lauk-pauk lainnya. Air minum satu galon. Lontong juga kami bawa, tapi tak seberapa.

Itulah salah satu tips berhemat biaya perjalanan. Jatah anggaran singgah di warung makan bisa lebih besar daripada biaya BBM, lho, jika kita pergi bersama rombongan. Cobalah sesekali dihitung, pasti bengkak dananya. Masalah berikutnya, saya berkomitmen untuk tidak sembarangan mampir di warung makan sebelum memastikan (atau memperkirakan) bahwa si pengelola warung itu tidak jorok, paham najis-mutanajjis, ngerti masalah-masalah seputaran kehalalan makanan. Bagi saya, ini prinsip sebagai bentuk ikhtiar (upaya untuk berhati-hati). Maka, daripada repot mencari warung yang spesifikasinya begitu, saya putuskan untuk membawa sendiri saja dari rumah: aman dan murah. Tentu saja,

Catatan: Tentu saja, Anda tidak perlu sama dengan saya. Ini cuman komitmen dan sikap.

Setelah singgah di sebuah mushala kecil di tepi jalan, di Pati, untuk makan, kami menuju Kerjasan, Kudus, untuk nyambangi kakak sepupu yang sedang mudik. Ini tak terhitung kali bagi saya. Ada satu hal penting di sana.

Di Kerjasan, terdapat sebuah rumah bersejarah. Posisinya berada di belakang SD Muhammadiyah 1 Kudus, atau sebelah utaranya Madrasah Tsanawiyah NU Banat, atau di sebelah baratnya Madrasah Aliyah Qudsiyyah. Itulah rumah asal (‘patobin’ menurut istilah [sebagian] Kiai Muhammad Syarqawi, pendiri PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Suemenp. Beliau asli Kudus, namun hijrah ke Madura. Saat ini, yang menempatinya adalah salah satu keturunannya, kerabat kami juga. Kakak sepupu saya berjodoh di sana. Dengan begitu, beliau menjadi perekat hubungan kekerabatan kami yang entah berapa puluh tahun lamanya terpisah dan bahkan sempat tidak diketahui.

Selesai mandi dan sepeminuman teh, kami melanjutkan perjalanan. Nah, di situlah kemacetan mengular. AC mobil yang hanya engkel di depan dan menyala sesekali saja terpaksa harus menyala besar dan terus-terusan. Rupanya, begitulah cara menguras bahan bakar, he, he, he… Dari Demak hingga Semarang, kondisinya jalan begitu saja. Kalau enggak macet, ya, tersendat. Singkat cerita, kami baru tiba di Pekalongan sekitar pukul 14.00. kami tetap memilih rute arteri, non-tol, bahkan sempat pula mencoba jalan lingkar alas Roban yang biasa dilewati truk-truk berat itu.

Duapuluh Empat Jam di Pekolongan

Tiba di Pekalongan, kami disambut oleh Wisnu dan Robin. Mereka mengajak saya ke kediaman Habib Bidin (menantu Habib Luthfi, pimpinan Az-Zahir) untuk rehat dan/atau mandi. Saat itulah, saat membongkar isi tas untuk mencari sabun, barulah saya sadar bahwa ponsel NOKIA 8118 (reborn) saya tak ada.

“Waduh! Ketinggalan di Kudus!”

Meskipun ponsel pasti aman, tapi ini mengkhawatirkan. Pasalnya, hampir semua nomor kontak teman-teman—yang rencana mau saya sambangi dalam perjalanan pulang nanti—ada di sana. Masih untung saya sempat login ke Facebook di ponsel android-nya Anam (karena verifikasi kode login dikirim ke ponsel via SMS) sehingga saya masih bisa menggunakan Messenger untuk berkomunikasi.

“Kalian sudah dapat izin, kok, enak saja nyelonong?”
“Iya, tidak apa-apa, memang diperkenankan.”

Di Az-Zahir, ada banyak tamu juga di situ. Sepertinya, mereka mau syawalan, sowan, atau entah apa. Tapi, kami tak lama di sana, segera pindah ke Kanzus untuk melihat situasi, lalu lanjut ke ndalem tengah (utama), siapa tahu Habib Luthfi muncul dan kami bisa sowan kepadanya. Akan tetapi, melihat banyaknya tamu yang ‘keleleran’ di lantai bawah, ciut juga nyali ini. Rasa pesimis muncul. Satu-satunya harapan tersisa adalah modal pengalaman pertama saya di bulan Oktober tahun lalu: pertama kali nyampe, tapi langsung bisa sowan dua kali di dalam satu hari.

Demikianlah pengalaman saya (kami) selama 24 jam di Pekalongan: Kamis jelang asar tiba, Jumat jelang asar pulang. Seperti tamu-tamu yang lain (kalau tidak salah juga ada dua orang menteri), kami belum ketibaan rezeki berjumpa dengan Habib Luthfi. Tapi, ia tak membuat kami berkecil hati. Bulan depan, atau entah kapan, insya Allah kami kembali lagi, di acara Jumat Kliwonan, atau Maulidan, atau tidak dalam rangka apa pun selain sowan.

Catatan: Oh, iya. Saat sedang rehat di gedung Kanzus Sholawat, saya sempat dikunjungi Fauzi Amrullah, kawan lama yang sekian waktu tidak pernah bersua. Katanya, dia mengetahui bahwa saya berada di situ berkat komentar-komentar saya di Facebook. Ini menyenangkan sekali. Media sosial yang cenderung hanya buat main dan buang-buang waktu terasa sekali manfaatnya. Dia membawa serta dua orang putranya. Satu di antaranya telah mondok di Kediri.


Syawalan ke Pekalongan (Pulang)


Jumat, 6 Mei 2022


Dalam perjalanan pulang, kami putuskan untuk lewat di jalur yang sama dengan saat kami datang. Rencana awalnya, saya akan melebar sedikit ke selatan, melipir ke Kediri. Bahkan, ada pula ide lewat Cepu/Blora untuk mengobati rasa penasaran karena gagal dilewati saat berangkat. Tapi, semua jadwal banyak berubah gara-gara dua hal: pertama karena tujuan sowan akhirnya tertunda dan ponsel saya yang ketinggalan di Kudus. Dua hal ini membuat gairah turun drastis dan akhirnya rencana tersebut kami gagalkan tunda.

“Lain waktu saja,” kata saya pada semua!

Semula, saya memang merancang rute lewat Bojonegoro. Jadi, rute Babat ke utara dicoret, ganti ke Babat ke barat, lewat Cepu. Kisah-kisah mistis di sepanjang jalan itu juga saya kantongi, termasuk kisah tentang keanehan Todanan dan kendaraan yang tersesat—atau disorientasi dalam istilah lainnya yang meskipun tidak benar-benar sepadan—masih kuat melekat dalam ingatan. Andaipun kami gagal lewat di rute itu manakala berangkat, mungkin akan dilewati di saat pulang. Ternyata, rencana itu tidak jadi.

Pulang bakda ashar dari Pekalongan, kami lewati arteri. Sebetulnya, saldo etoll masih cukup bahkan hingga Warugunung, Sidoarjo. Tetapi, tapi kami pilih jalan Pantura saja, jalan Deandels, jalan panjang 1000km yang punya penuh cerita.

Saya mengamati kota-kota kecil yang dulu sangat akrab saat masih sering naik bis malam dan belum ada Trans-Jawa. Rumah-makan yang besar, yang dulu terkenal, baik persinggahan bis ataupun truk, masih ada yang bertahan dan sebagiannya sudah gulung tikar. Tol panjang yang membuat seluruh pulau Jawa nyaris bersambung dari Anyer hingga Probolinggo (saat ini—dan mungkin terus berlanjut sampai Banyuwangi) adalah satu aktor dari sekian banyak yang berdampak pada perubahan besar sosial-ekonomi ini, bahkan perubahan psikologis manusia juga mungkin.

Semua itu telah berubah, dan mungkin memang gilirannya berubah. Tapi, saya melihatnya sebagai perubahan non-alamiah, tidak seperti batang pohon pisang yang tumbang karena telah berbuah, melainkan perubahan yang sengaja diciptakan oleh manusia. Barangkali, perubahan itu disengaja untuk mencapai target tertentu meskipun—bisa jadi—dampaknya tidak setimpal dengan yang dibayangkan atau direncanakan sebelumnya. Apalah daya kita? Kita menjadi bagian dari perubahan meskipun tidak bisa ikut mengubah. Sebab itu, maka kita harus mengambil sikap dan berkomitmen dalam posisi ini, harus punya sikap.

Dengan modal kontak melalui Messenger, di luar dugaan, gayung bersambut. Hari itu, Jumat sore, 6 Mei 2022, saya bisa singgah di rumah Rifqie Fairuz di Pegandon. Rumahnya sedikit masuk dari Pantura, pertigaan Petebon, kira-kira 4 kilometer ke selatan. Dengan jarak yang sama, dari rumah Fairuz, jika diarahkan ke selatan lagi maka akan kita jumpai—kata dia—pintu Tol Kendal. Tapi, tetap seperti tadi, kami tetap lewat arteri. 



Tak lama di sana, hanya seseruputan kopi dan secuil cemilan yang dilumat di dalam mulut dalam keadaan tergesa-gesa, kami gas lagi menuju perumahan Permata Puri, tepatnya di rumah Marwini yang berlokasi Jalan Watuwila V DX (baca: D sepuluh), nomor 12-A (wah, repot sekali, ya, banyak kode dan nomor-nomornya), Ngaliyan, Semarang. Saya tidak ingat, kala itu, kami masuk dari Kalikangkung atau dari Krapyak.
 
Setelah dijamu bakso dan mandi, kami berangkat lagi. Tujuan berikutnya—yang semula adalah cus Madura—kini bertambah, yaitu rumah Mas Gunawan. Orang ini saya kenal di Jogja, di Kafe Basabasi, dan bermula dari komen-komenan di Facebook. Rumah beliau ada di Manyaran yang secara jarak sangat dekat dari Ngaliyan. Ketersesatan oleh Google Maps-lah yang membuatnya jauh. Sejauh ini, saya memang nyaris tidak menggunakan aplikasi tersebut kecuali bersama orang yang sedang menggunakannya, dan sejauh ini—sesuai keterbatasan pengalaman saya—Google Maps masih belum bisa membedakan kelas jalan di tingkat bawah, seperti di kelas residental atau kelas kolektor, atau seperti III, apalagi subkelas-nya, seperti IIIa, IIIc, dll. Entah lebar jalan itu 2,1 meter atau 2,5 meter, misalnya, kita enggak tahu.


Kami dipandunya blusukan ke jalan-jalan yang sangat sempit, menanjak curam, nurun terjal. Intinya, saya sempat cemas, khawatir mobil tidak kuat. Semarang adalah kota yang kontur jalannya dipenuhi naik-turun seperti itu.

Kami rumah beliau, kami duduk dijamu tempe kemul. Masih banyak sekali toples cemilan sisa lebaran di atas meja. Setelah ngeteh dan ngopi dan berfoto bersama, barulah kami lanjut pulang, eh, setelah dikasih oleh-oleh segepok juga ding. Oleh beliau, kami diarahkan pulang lewat sisi utara kota Semarang, sepertinya area pelabuhan Tanjung Mas. Soalnya, saya melihat banyak sekali genangan air.

‘Ini kota pantas kalau rawan banjir,’ kata saya dalam hati. Letaknya—konon—sangat mirip dengan Amsterdam yang posisinya lebih rendah dari laut. Jika tanggul tidak kokoh, bencana pasti mudah mengancam. Rob pasti datang saat laut pasang.

Dalam perjalanan ke Kudus, saya menjalin komunikasi dengan Mas Fawzy Agus. Karena sudah malam, maka akhirnya kami janjian bertemu di dekat Menara saja, di sebuah jalan tempat mangkal gerobak kuliner agaknya, tidak di rumah beliau, di Jekulo. Kami diajak makan tahu khas Kudus, entah tahu apa namanya, tahu-tahu enaaak aja di mulut. Yang pasti, tahu tersebut berasa manis dan banyak bumbunya. Saya perkirakan, kemampuannya bisa nyetok energi kami sampai Madura atau Surabaya.

Dan sama seperti saat ketemu Mas Gunawan, pertemuan dengan mas Fazwy Agus pun tak begitu lama, sebatas makan dan ngobrol sewajarnya. Sebetulnya, rencana pertemuan ini sudah dirancang tahun lalu, di Tangerang, saat saya bertandang ke rumah Pak Bambang dan Pak Broto. Tapi, karena ada hal penting yang tak dapat ditinggalkan, kata beliau, pertemuan saya dengan Mas Fawzy akhirnya gagal, tapi sukses setahun berikutnya.

Selepas Kudus, saya tidur. Kalau tak salah ingat, kami keluar dari Jekulo pada saat pukul 23.00 lebih. Entah siapa yang mengemudi, saya tidak tahu. Sepertinya Anam dan mungkin sesekali diganti Cak Badi (Abdullah). Mobil berjalan ke arah timur dan suasana jalan tidak ramai. Barangkali, orang-orang sudah banyak yang kembali ke Jakarta karena mereka memanfaatkan semua ruas jalan tol Trans-Jawa yang pada malam itu telah diterapkan untuk penggunaan 4 lajur: semuanya ke arah barat.

Menjelang Subuh, kami masuk Babat, lewat depan pondok tua yang legendaris, PP Langitan. Kami masih lanjut terus ke timur, lewat Lamongan, dan baru shalat Subuh di daerah Gresik, sebelum masuk Tol Kebomas. Sialnya, si Agus minta jemput. Dia ingin ikut ke Madura tapi nginap di Sidoarjo.

“Ini kalau ke Sidoarjo bukan mampir lagi namanya, tapi sengaja pergi ke...”
“Kan cuman dekat?”
“Dekat-dekat apanya? Dari Kebomas biasanya di Dupak lanjut Kenjeran, lha, ini harus nambah lagi 30 kilometer ke selatan. Jauh, lho, belum lagi nanti baliknya, tambah 30 kilometer lagi.”
“Ya, tak apa-apa, kan cuman lewat tol.”
“Masalahnya, kita ngejar waktu pagi agar bisa lewat Tanah Merah karena hari ini adalah hari Sabtu. Tahu sendiri, kan? Sabtu itu jadwalnya pasar Tanah Merah, pasar paling macet di Madura.”

Percakapan ini terjadi setelah shalat subuh. Tapi, saya lantas tertidur lagi dan saat itu Anam yang mengemudi. Rupanya, percakapan si Agus berlanjut dengan si Anam dan tahu-tahu saya dibangunkan saat mobil hanya berjarak duaratusan meter menjelang di pintu Tol Sidoarjo. Wah, ya, sudah, lanjut saja.

Pasar Tanah Merah memang menakutkan di hari Sabtu, tapi tidak bisa disebut sebagai Black Sabbath, lho. Kalau lagi apes karena kita melintas di pada pukul 8 pagi, misalnya, bisa saja kita terjebak satu jam, bahkan lebih. Aneh sekali karena pasar ini sudah punya jalan lingkar. Entahlah, pasar Tanah Merah memang punya misteri tersendiri. Beberapa kali periode bupati di bangkalan terlewati, kemacetan di pasar ini tetap tak bisa teruraikan. Makanya, untuk menghindarinya, kami berencana lewat Sukolilo (“Klelah” kata orang Bangkalan), lewat arsenal Batu Porron, tembus Kwanyar, lanjut terus ke timur, lewat Modung, dan barulah nongol dari arah selatan Pasar Blega.

Secara jarak, rute yang saya sebut di atas hanya menghemat 2 kilometer, tapi setidaknya diuntungkan karena aman dari kemacetan. Namun, rencana itu gagal setelah dikasih tahu oleh H. Syaiful Bahri, si kawan dari Kwanyar yang kami singgahi, bahwa jalan ke Modung sangat rusak dan hancur. Durasi waktu bakal impas kalau lewat di sana.

Kami langsung sein kiri begitu mobil lepas dari ruas Jembatan Suramadu, lewat Sukolilo, Labang, dan tembus di Pasaw Kwanyar. Ternyata, pasar juga sedang ramai-ramainya, awut-awutan juga.

“Jangan parkir di sini, gak bisa!” kata H. Syakur, salah seorang penderek H, Syaiful, orang yang hendak kami tuju, memandu mobil. “Ke dalam saja,” lanjutnya. Ia mengarahkan kami parkir ke rumah tuannya itu, masuk gang. Akibatnya? Tahu kan akibatnya? Kami pun jadi rehat, telentang-telentang, tidur-tiduran, dan bangun-bangun sudah disiapkan hidangan, “waduh” tapi campur “waw”! Terjadilah efek depan, perut jadi kenyang, efek yang gak ada samping-sampingnya sama sekali. “Pinter benar ini orang,” kata saya dalam hati, “Tahu kalau kami memang niat mau sarapan di jalan pulang, nanti, tapi ternyata disiapkan lebih dulu sebelum kami tiba di warung makan...”

Di hari ke-6 bulan Syawal itu (7 Mei 2022), jalanan Madura ramai sekali, lebih-lebih di pasar yang hari pasarannya jatuh satu hari sebelum Hari Raya Ketupat, ya, seperti hari itu di Tanah Merah. AC mobil —yang biasanya menyala sesekali saja—pun dengan ‘terpaksa’ harus nyala terus-menerus, dari Sidoarjo tadi bahkan hingga kami sampai tiba di rumah. Itulah tiga kata kunci: lancar, nyaman, selamat, tiga hal yang telah mampu melupakan kami akan jauhnya jarak yang sudah ditempuh dengan mobil yang sepuh, sertanya juga melupakan banyaknya liter bahan bakar yang kami beli...





Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...