Pembaca

02 September 2022

COLT JOGJA ISTIMIWIR: Ke Jogja via Cemorosewu

PERGI


Sudah hampir 24 jam jalan ditempuh, tapi kami belum sampai juga di Jogja. Perjalanan dimulai tadi malam, kira-kira pukul 20.30. Pada jam sekitar itulah saya keluar dari halaman rumah, sendirian. Mengemudi sendiri, apalagi pergi sendirian, itu sungguh berat, lebih-lebih jika itu dilakukan setelah bertahun-tahun terbiasa pergi berdua.

Selama beberapa bulan, sejak kewafatan istri saya, bahkan saya tidak mau pergi membawa Colt ini. Saya selalu terbayang sosoknya manakala melihatnya melalui spion tengah, dia yang terbiasa duduk di sana, di kursi tengah. Malam itu, saya menguatkan diri, meyakinkan diri ini, bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar sendiri.

Saya memilih rute pantai utara Madura demi menjemput Khathir yang posisinya di Rubaru. Supaya tidak terlalu membuang jauh jarak dan kilometer, saya menentukan poin kencan: di rumah Qudsi yang posisinya sebelah barat rumah Khatir dan di utara rumah saya. Khatir datang ke situ sementara saya tidur lebih dulu sebelum dia datang.

Pukul 13.30, kami bertolak. Khatir langsung pegang kemudi karena menyatakan diri masih melek di saat saya telah terus-terusan menguap. Jalan pantura Madura, kalau malam, kayak jalan pribadi saja, atau seperti jalan tol yang sudah di-booking oleh presiden: kosong plong dan kami nyaris tidak berpapasan dengan kendaraan roda empat kecuali hanya dalam hitungan jari tangan saja.

Azan subuh belum berkumandang saat kami sudah lewat Arosbaya dan sudah mendekati Sebaneh, lima kilometer di utara kota Bangkalan. Lanjutlah kami ke Perumahan Nilam, ke rumah adik saya, perempuan, shalat di masjid perumahan. Kami istirahat di sana, sebentar.

Sebetulnya, jauh hari sebelum itu, saya janjian sama Erwien yang rencananya juga mau ke Jogja dengan tujuan yang sama: menghadiri undangan ultah CJI yang ke-7. Namanya aral tak tentu datang, namanya uzur tak dapat ditebak, Erwien gagal dan saya berangkat duluan, mendahului teman-teman Madura lain yang konon akan berangkat 24 jam sebelum acara.

Setelah makan di rumah adik itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bungurasih, menjemput Anam Ibnu Achmed yang datang dari Malang dan ingin bergabung dalam trip ke Jogja kali ini. Anam langsung mancal mobil dan dia mengarahkannya ke pintu tol Warugunung. Saya duduk di tengah, tidur dengan pulas.

Kami keluar di Kertosono lalu menyusuri Jalan Nasional menuju Nganjuk. Tujuannya adalah Loceret, ke rumah Zuk. Lokasinya tak begitu jauh dari pusat kota, hanya sekitar lima kilometer saja.  


Pelukis ini menghadiahi saya sebuah lukisan. Saya sangat terharu karena tanpa perlu dijelaskan, saya dapat meraba makna lukisan itu, tak perlu kurator untuk mengenal bagian detil pada lukisan itu. Sebab, intinya, ia adalah lukisan tentang seorang perempuan yang mengenakan mukena dengan sebuah kitab di atas meja: perempuan itu pasti Nyai Makkiyah dan kitabnyan pasti Dalailul Khairat.

Kami meninggilkan Loceret pada saat orang-orang mulai berangkat Jumatan. Rukhsah safar kami manfaatkan untuk menjamak duhur dan asar di Takeran, titik persinggahan kami berikutnya. Saya, untuk pertama kalinya, siang itu bertandang ke rumah Mochtar Han yang tinggi pintu depan rumahnya dua kali tinggi saya. Ngeri kaaali, bah! 



Lama sekali kami ngobrol di sana. Bahkan, beliau ngundang teman-temannya untuk bercanda gurau dengan saya, antara lain Gus Hilmi (dari Joresan), Pak Rudi, dan Mas Jarwo, seseorang polisi yang katanya sering piket di perbatasan kabupaten. Untung saja beliau tidak pernah kenal saya sebelum ini karena, misalnya, kenal sehabis pasang kertas tilang ke mobil saya yang ketahuan melanggar marka, umapanya, eh, umpamanya (niru logat Kiai Zainuddin MZ).

Sambutan Mas Hanafi ini luar biasa, sudah dibawain oleh-oleh dan mengisi penuh tanki bensin Colt saya yang memang selalu kehausan dan senantiasa merindukan SPBU, mereka mengantar kami hingga ke perbatasan Magetan – Karanganyar, di Cemorosewu.

Trek yang kami lewati siang itu memang menjadi incaran saya sejak dulu. Trek itu cukup menantang, meskipun tidak terlalu berat bagi Colt yang percepatannya masih standar (4 maju, 1 mundur). Jalannya menanjak dan penuh tikungan. Kami melewati Magetan, Sarangan, Cemorosewu, Karang Pandan, dan berakhir di Palur: pertigaan akses jalan raya dari Sragen dan Tawangmangu. Trek ini sangat menakjubkan, dipenuhi bukan hanya tanjakan dan turunan, tapi juga kafe dan kedai-kedai makanan. Sore saja kabutnya sudah minta ampun. Lampu 'daymaker' jadi tak begitu berguna di sini. Untung saja Colt saya masih punya senjata andalan: lampu jauh berwarna kuning.

Turun dari ketinggian 1800 mdpl, kampas rem mulai menguarkan aroma hangus. Untunglah Mas Hanafi masih ngajak singgah sejenak di kafe Lagonder. Di situlah mobil diistirahatkan dan pikiran saya ditenangkan. Hari ini benar-benar menyenangkan sekali. 

Saya duduk, menyapukan pandangan, takjub, bahagia. Meskipun tampak ada yang kurang, saya tetap harus bersyukur dan terus bertafakur: bahwa sebanyak apa pun terima kasih diucapkan, tak pernah cukup bahkan untuk sekadar membalas satu tarikan nafas saja; sedalam apa pun merenung, bahkan pikiran kita tak mampu mencapai pemahaman akan  keindahan ciptaan segala sarwa ini, termasuk bulu-bulu alis yang tumbuh rapi di atas dasar warna kulit seorang perempuan yang bersih sekali.

* * *

Pukul 20.05, kami mencapai Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang sering dikira Universitas Negeri Solo. Bu Siti Muslifah menjemput ke TKP karena, kata dia, ngirim "share location" ke saya itu percuma (karena saya tidak pakai WhatsApp), makanya harus dijemput dan dikawal menuju rumahnya. “Tidak pake WA tapi bikin repot orang!” Sepertinya beliau bilang begitu, menggerutu. Ataukah itu hanya suara sizofreniak? Ha, ha, ha. “Ya, memang, tugas saya itu merepotkan orang lain, Bu,” seru saya, tapi dalam hati (berseru di dalam hati itu kayak apa, ya?). “Tapi, cuman itu yang merepotkan, yang lain insya Allah banyak memudahkannya, semoga.”

Kami duduk dan ngobrol lama. Han Gagas datang belakangan karena sibuk dengan penutupan lomba Agustusan. Kami bicara masalah kos-kosan, biaya hidup dan segala penghuninya yang ada di sana. Perubahan banyak terjadi. Gaya hidup, biaya hidup, semuanya jauh berbeda ketimbang masa kami, dulu, masih menjadi mahasiswa. Itulah salah satu tema permbicaraan kami, bukan masalah-masalah pelik, apalagi masalah politik.

“Yang depan ini, sana, sananya lagi,” kata Bu Siti sembari menunuk-nunjuk lokasi asrama, “kos putri semua...”
“Saya ingin residensi di sini saja,” kata saya. Residensi di sini pasti lebih menarik daripada di Eropa, batin saya. Ha-ha-ha, kami lantas tertawa bersama-sama.

Sebetulnya, Mbah Darmawan Budi Suseno meminta saya bertandang ke rumahnya, di Kafe Matoa, Colomadu, tapi saya minta maaf karena hari sudah malam. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Jogja pukul 23.00 dalam keadaan mengantuk, tapi, eh, malah sudah ditungguin Edi Mulyono dan Binhad Nurrohmat di Kafe Lehaleha ... Untuk sementara, capeknya durasi 27 jam perjalanan, 554 kilometer, sejenak kami lupakan...

“Apa tidak capek?” tanya mereka.
“Capek, ya, jelas,” kata saya. “Namun untuk menguranginya, saya ciptakan kebahagiaan sebelum dan selama perjalanan. Bahagia akan membuat capek kita kalah, dan rasa itu jadi tak berdaya, gantian kita yang berjaya.”

SEHARIAN DI JOGJA

Seharian, Sabtu 27 Agustus, saya cuman duduk-duduk di Kafe Leha-Leha, menerima kawan-kawan yang datang silih berganti, udah kayak dokter saja. Sorenya baru diajak makan oleh Batul dan Mahrus dan diminta berkunjung ke rumahnya. Bakda Maghrib, barulah kami pergi ke Parangtritis.
Malam itu, bersama rombongan dari Banten, saya nginap di sana. Sementara yang lain banyak yang mengingap di Gamping, di rumah Pak Benta yang secara tempat parkir memang memungkinkan karena halamannya luas.

Ahad, 28 Agustus, barulah saya mengikuti acara Colt. Pak Bambang dapat hadiah kulkas tapi beliau tidak datang karena kurang sehat. Seorang ibu, saya lupa namanya, malah dapat doorprize sebuah mobil Colt Bagong. Beliau sangat bahagia dan terharu. Saya dapat jatah memberikan sambutan di tempat itu, pada sesi awal acara.

Sebetulnya, saya hanya berandai-andai… andaikan acara silaturahmi seperti ini dibuat lebih fokus pada perseduluran dan perbengkelan, rasanya juga tak akan kalah bermanfaat, semisal ada sesi berbagi pengalaman dan tips mengingat Colt itu adalah mobil tua yang walaupun perkasa namun kerja kesehariannya kayak kerja rodi saja. Dan yang jadi pertanyaan bagi saya, mengapa di acara-acara kopdar seperti ini selalu ada pentas dangdutnya?

Saya bukan anti-Dangdut, tapi jelas saya (secara pribadi) harus berkeberatan atas kegiatan yang mengundang syahwat. Apakah itu karena faktor pribadi saja? Tentu saja tidak!  Sebab, saya tidak menontonnya. Apa yang saya pilih adalah karena visi dan cara saya bersikap  yang semua itu saya ketahui dan saya pelajari dari nenek-moyang dan guru-guru saya. 





 











 

 

 

 

PULANG

“Kalau nanti kemaleman, nanti aku kesiangan nyampe di Jombang.”
“Emang kenapa?”
“Soalnya, habis dari Jombang, kami mau ke Surabaya dan diperkirakan tiba di sana pukul 9 pagi. Jam segitu, warung Ayam Gringging Lombok sudah buka. Aku mau ditraktir teman makan.”
“Ah, gampang, pasti nutut, Kok.”
“Loh, tapi mobilku kan tidak bisa ngebut terus-terusan di tol, beda cerita kalau aku bawa mobilmu itu...” Saya menunjuk sebuah mobil yang parkir tak jauh dari tempat saya duduk: Toyota Fortuner, GR
“Jangan itulah, soalnya anakku masih senang banget. Gimana, mau Venturer saja?”

Hati saya goyah. Pikiran bimbang, antara mengiyakan atau tidak. Hampir saja saya iyakan, tapi untung saya segera ingat, bahwa jika Colt saya ditinggal di Jogja, maka yang harus menanggung repotnya tetaplah saya karena tidak sembarang orang boleh mengemudikannya, lagi-lagi saya yang harus mengembalikan si Venturer untuk menjemput si Colturer.

“Oh, maaf, gak jadi. Biar aku pulang nanti saja, tetap naik Colt.”
“Ya, deh, tapi tunggu sebentar lagi.”

Setelah mengulur-ulur waktu, akhirnya kami diperkenankan untuk pergi meninggalkan Kafe Main-Main, menjelang waktu—mungkin—pukul duabelas malam dan kalaupun kurang, tak seberapa.

Malam itu, kami melewati jalan Solo yang mulai sepi. Yang membedakan, di Jawa, malam pun masih banyak sepeda motor, beda dengan di Madura. Jalan 70 km / jam pun sudah cukup kencang sebetulnya. Kecepatan segitu sangat saya sukai asal stabil, daripada lari sampai 90 atau 100 km / jam tapi sering ngerem dan/atau menghindari rintangan yang mengharuskan kita ngerem sampai mengkeret. Inilah salah satu alasan saya kenapa tidak membeli Venturer dan pilih Colturer saja, biar tidak ngebut dan terpaksa jalan pelan saja.

Anam—yang kala itu pegang kendali—sempat kebingungan di dekat terminal Tirtonadi. Rupanya ada perbaikan (atau pembuatan) jalan melingkar, dekat terminal. GPS menuntun ke arah yang tidak benar, entah karena stress atau karena sinyal yang lemot. Walhasil, setelah beberapa kali salah, kami tidak jadi lewat Taman Jurug yang tembus ke Palur sebagaimana dikehendaki, tapi lewat by pass yang mecungul tak jauh dari pintu tol Karanganyar.

Dan perjalanan lewat tol tak perlulah diceritakan karena sudah pasti begitu-begitu saja, lebih-lebih trip ke Jogja sudah saya jalani berkali-kali. Sebetulnya, saya agak ragu karena kami buat target masuk pagi ke Jombang, yakni demi melalap penganan nostalgia, yaitu ketan urap Merdeka. Tapi, untunglah, perjalanan lancar dan tanpa kendala.

Mobil parkir sejenak di Ngawi untuk pipis lalu saya yang ganti mengemudi. Adapun laju kendaraan saya bawa dengan kecepatan konstan 95 km / jam, sampai di Masjid Moeldoko, pintu keluar Kertosono. Jalan arteri kami susuri dengan kondisi jalan yang ternyata sudah tidak menarik lagi. Sepeda motor bagai laron mencari cahaya. Semua alat transportasi berroda dua ini berseliweran di tengah kegelapan, bikin kepala langsung puyeng rasanya.

Sungguh, saya jadi ingat Ben Sohib yang bilang, bahwa sepeda motor di Indonesia itu, mengingat rangkanya, cc-nya, dan kondisi jalannya, sangatlah tidak pantas dibawa ke jalan raya. “Itu cukup beredar di komplek-komplek saja. Itu cuman alat, bukan alat transportasi. Jaminan keamanan dan keselamatannya sangat-sangat tidak terpenuhi.” Begitu katanya, kurang-lebihnya. Saya mikir, agaknya dia banyak benarnya mengingat data yang menunjukkan bahwa hampir 70 persen kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa itu memang selalu melibatkan sepeda motor. Tapi itu konon, saya lupa datanya ambil di mana.

“Subuh-subuh begini orang pada mau ke mana, ya?” tanya saya pada Anam.
“Ya, pada mau ngantor, Kak.”
“Kok berangkatnya subuh?”
“Kantor mereka jauh. Wong waktu saya mau berangkat ke Surabaya itu, waktu saya nunggu bis di depan Taspen (Malang) itu kan habis subuh, sepeda motor udah sangat banyak. Orang Malang yang  kerja di Pandaan dan sekitarnya itu ya berangkat jam-jam segitu.”
“Ooo...”

Setelah shalat subuh di masjid dekat pondok, kami masuk pondok Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, dalam keadaan ketan urap sudah siap dihajar. Gus Binhad menyuguhkannya untuk kami, sedangkan pondok menyuguhi kami dengan pemandangan paling menyenangkan: lalu-lalang santri mau belajar. Dua kenikmatan ini berpadu di pagi hari.

Kami minta izin segera pergi karena ngejar jam tayang pukul 9 di Surabaya. Namun, dalam praktiknya, dalam perjalanan pulang lewat jalan Nasional/arteri, kami masih singgah ke makam sahabat kami, Haris, di Corogo. Dia meninggal setahun yang lalu, kira-kira sebulan sebelum istri saya. Tempat istirahatnya ditempatkan di pemakaman uumum, di sebelah utara kampung, yang posisinya berada tak jauh di belakang kantor Samsat Jombang (berhadap-hadapan dengan Pabrik Pei Hai).

Di Surabaya, kami singgah di Ayam Gringging Lombok yang ada di Waru. Waktunya sudah telat, sudah jam 10 soalnya. Dan mestinya, yang bayar ini adalah Doni Bemo, kawan saya yang pertama kali hendak mentraktor, eh, traktir saya.. Tapi karena hari itu dia berhalangan (namun berjanji akan menunaikan janji di lain kesempatan), akhirnya saya yang bayar karena liur terlanjur meleleh dan hasrat kuliner terlanjur meronta-ronta.

Perjalanan ke Madura, dari situ (setelah menurunkan Anam di pintu keluar Terminal Purabaya karena dia harus segera ke Malang), tinggal berdua saja: saya dan Khatir. Kami melewati kota Surabaya via Ngagel, tembus Kedungcowek, dan terus lanjut ke timur, pulang dan tiba di rumah dengan selamat.

Biasanya, setelah saya tulis catatan perjalanan, ada saja yang bertanya: habis berapa bensinnya?
 

Ah, sudahlah, jangan tanya-tanya. Dulu, jika saya melak



ukan kalkulasi, saya bikin perhitungan yang presisi, bukan cuman pakai ukuran tangki penuh ke tangki penuh selanjutnya lalu dibagi angka jarak tempuh. Biasanya, saya memakai perhitungan pakai jeriken demi pengukuran yang pasti, apakah Colt ini bisa berjalanan 1:11 atau 1:12,5 (data terbaik), atau malah 1:8.  Akan tetapi, cara macam itu nyaris tidak pernah saya lakukan lagi. Jalan saja, habis isi lagi; jalan lagi, tidak mogak bisa dibuat berjalanan normal, apalagi sudah terbukti bisa melibas tanjakan Sarangan di Magetan, Puncak di Bogor, dan Bedugul di Bali, itu sudah lebih dari cukup untuk bersyukur dan menyenangkan diri ini.

 

dapat posisi samping panggung, jejer doorprize


 

 

29 Mei 2022

Takziyah ke Demangan, Bangkalan


27 MEI 2022

 

Mengantar ibu dan bibi untuk takziyah ke Demangan (ponpes Syaikhona Cholil), Bangkalan, Jumat lalu, saya sempat merencanakan jumpa kawan Erwien, di Bangkalan. Jika ke Demangan saya mau turut berduka cita atas wafatnya Kiai Fakhrillah Aschal, maka bertemu Erwien adalah bersuka cita untuk kesempatannya hendak kopdar triwulan di Batu (karena biasanya selalu gagal kopdar; dan entahlah untuk yang kali ini, saya gak tahu). Dua ungkapan berbeda itu sama-sama mengandung ‘unsur’ Bangkalan.

Saya berangkat selepas shalat Jumat, tepatnya pukul 13.11. Dalam perjalanan 130 kilometer ke arah barat itu sudah sesuai perkiraan: tiga jam sampai Tangkel dan tambah entah berapa menit lagi (biasanya 30 menit) lagi ke lokasi karena sangat bergantung pada padatnya arus lalu lintas yang biasanya cenderung tersendat-sendat.

Kami melakukan shalat ashar di Blega. Setelah itu, kami berangkat lagi, langsung menuju Demangan. Seperti dugaan saya sebelumnya, Jumat sore itu pasti macet, tak hanya di Madura, tapi di manapun. Pasalnya, rata-rata para perantau itu pulang (kampung) sehabis kerja kantoran di dalam sepekan, terutama mereka yang ‘melaju’, yang kerja di ibu kota atau di kota besar tapi keluarga dan anak tetap tinggal di desa. Yang demikian itu sangatlah banyak di sekitar kita.

Ke Demangan, kami takziyah untuk kewafatan Kiai Fakhrillah Aschal, putra keempat dari Kiai Abdullah Schal. Kami diterima oleh Nyai Muthmainnah, putri pertama Kiai Abdullah, di kediamannya yang notabene memang berhadap-hadapan dengan rumah duka sebab sore itu Kiai Fakhruddin, pengasuh pengganti, sedang bepergian ke Sidogiri. Di ruang tamunya yang luas, kami dijamu makan bahkan juga dipersilakan shalat di sana.

Sebetulnya, kehadiran kami ini kurang pas kalau disebut takziyah secara definitif karena yang diutamakan adalah kunjungan pada tiga hari pertama kewafatan. Masyarakat (Madura) bahkan punya kebiasaan hingga hari ketujuh kewafatan. Selepas itu, mereka beraktivitas kembali seperti hari-hari biasa. Nah, berkunjung di luar hari itu dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mereka.

Akan tetapi, di samping karena tidak semua orang punya waktu senggang untuk takziyah dan di sisi lain mereka juga merasa terpanggil untuk tetap menyampaikan rasa duka ataupun—sebagian mungkin—sekadar ‘setor muka’, maka akan tetap selalu ada  satu-dua orang yang datang selepas hari ketujuh, bahkan terkadang tetap banyak jumlahnya. Dan kami ini adalah di antara golongan itu. idak apa-apalah jika kunjungan ini tidak disebut takziyah sesuai defini dan konvensi. Kita pakai istilah lain agar tetap punya ganjaran, yaitu kunjungan silaturahmi.

Di belakang kami, ada dua mobil lagi, dua Avanza. Yang pertama adalah rombongan Dik Khalid dan Ubaid. Mobil kedua adalah rombongan Pamanda Bahrussalam dan umminya. Avanza kedua bahkan baru datang menjelang kami pulang.

Datang menjelang maghrib, pulang menjelang isya, kami terus ke Nilam, depan Bangplaz, ke rumah adik saya yang mengelola SD Assalam. Di situlah saya menelepon Erwien dan ternyata gagal ketemuan karena Erwien sedang dalam perjalanan menuju rumah kawannya sementara saya sudah siap untuk pulang.

Sebentar saja di sana, akhirnya kami pulang pada pukul 20.30. Pergi-pulang, 260 kilometer, saya di belakang kemudi sementara adik saya di sisi kiri. Oh, iya. di Madura, jalan rayanya sangat sepi di malam hari. Belum tiga jam, kami sudah sampai rumah, padahal jarak tempuhnya sama, 130-an kilometer;  kecepatannya juga sama, antara 60-80 km/jam. Jadi, ruwetnya lalu lintas di jalan sangat mempengaruhi lancar-tidaknya perjalanan, bukan semata-kata faktor kecepatan.


28 Mei 2022

Syawalan ke Pekalongan (Pergi)


4 Mei 2022

Syawalan tahun ini (1443H/2022M) dipenuhi keharuan. Ia adalah fase hidup saya yang untuk pertama kalinya menjalani puasa-lebaran-syawal hanya dengan anak-anak, tanpa istri, setelah 18 tahun kami hidup bersama. Agar tidak terlalu larut dalam kegalauan, akhirnya saya merancang bepergian pada saat-saat mestinya ada di rumah, yaitu pada tanggal muda bulan Syawal. Anggap saja ia “syawalan”: bertandang, silaturahmi, dari satu pintu ke pintu rumah teman lainnya.

Saya memilih Pekalongan. Wow, kok jauh?

Jawab; harapannya adalah agar saya bisa singgah di beberapa titik, ke rumah/orang yang lokasinya berada di jalur Pantura, jalur yang sangat jarang saya lewati naik mobil, juga agar bisa sowan ke Kanzus Sholawat, ke Habib Luthfi bin Yahya. Saya bahkan merancang untuk larat ke barat, mentok di Tegal atau Losari lalu pulang lewat selatan, lewat Kebumen, dst. Tetapi, karena satu target utamanya (yaitu sowan Abah Habib Luthfi bin Yahya) tidak belum kesampaian (saya sempat sowan pada dua kunjungan sebelumnya), rencana menambah rute perjalanan pun gagal. Saya (dan yang lain) memilih untuk putar haluan, balik kanan, pulang, meskipun sebelum berangkat kami memang sudah sepakat untuk menerima kenyataana yang dihadapi, seperti apa pun itu.

Saya bersyukur karena perjalanan kali ini masih menyimpan banyak alhamdulillah-alhamdulillahnya, seperti bertemu dengan kawan-kawan yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Pada akhirnya, saya sadar, bahwa bepergian di tanggal muda bulan Syawal itu sangat mungkin akan bernasib begitu. Banyak kawan yang ternyata pulang kampung atau mudik ke rumah istrinya, atau entah ke mana. Saya kira, orang mudik itu hanya orang Jakarta, ternyata tidak.

“Kamu, sih, yang berpikiran bahwa orang itu di rumah saja kalau lebaran, soalnya kamu cuman melihat kamu sendiri yang selalu begitu, gak kemana-mana,” tegur salah seorang paman saya, menyalahkan timing dalam melakukan perjalanan saat saya berkisah kepadanya sepulang dari Pekalongan.

***

Berangkat berlima (Anam, Miftah, Abdullah—dipanggil Cak Badi, dan seorang santri, Atiq), saya keluar dari pekarangan rumah pukul 22.00, 4 Mei 2022 (malam Kamis, 4 Syawal). Mobil tercatat telah bertolak dari pekarangan rumah Anam—yang jaraknya 9 kilometer dari rumah saya; dia juga pernah bareng saya keliling Jawa di bulan Oktober 2021 yang lalu—pada pukul 22.30. Mobil cus sampai Sampang di bawah kendali saya sendiri.

Selepas Sampang, saya tidur dan Anam yang mengganti. Saya tidak tahu apa saja yang terjadi di perjalanan kecuali terbangun saat mobil berasa pelan. Dari bangku belakang, saya perkirakan, lajunya sekitar 60 km / jam saja, sangat jarang menyentuh 80 km per jam (sebab hal itu bisa diketahui tanpa harus melihat speedometer karena buzzer-nya akan berbunyi nit-nit-nit). Yang ajaib, begitu lowongnya jalan raya hingga nyaris membuat saya tak percaya kalau kami sedang melintasi Jalan Nasional yang biasanya ruwet oleh seliweran kendaraan-kendaraan besar.

“Ini di mana?”
“Lamongan.”
“Oh, sepi sekali, saya kira di hutan apa gitu.”
“Iya, dari tadi memang seperti ini.”

Seperti itulah percakaan yang terjadi di antara kami, hanya sesekali saja, kecuali Anam dan Cak Badi yang ngobrol sepanjang jalan karena mereka berdua duduk di depan, bertandem. Yang lain di tengah dan di belakang, tidur atau main ponsel.

Memilih ruas jalan arteri di saat jalanan sepi adalah keberuntungan. Tak ayal, perjalanan malam itu terasa sangat menyenangkan. Kami tak perlu merogoh kocek buat membayar tol, lebih-lebih karena saya mengingat tanggal 22 Syakban yang lalu (seminggu sebelum Ramadan [25 Maret 2022]) waktu menghadiri Jumat Kliwonan di Kanzus Sholawat, di Pekalongan. Kala itu, nyaris semua rute yang kami lewati adalah tol Trans-Jawa. Top up 800.000 ribu tak cukup untuk pergi-pulangnya. Saya merasa, betapa besar biaya untuk membayar ongkos “rasa nyaman di perjalanan”, padahal itu pun juga membosankan.

Azan subuh sudah lewat setengah jam ketika kami melipir ke Masjid An-Nur, di Bancar, dekat perbatasan provinsi, untuk shalat. Rencana singgah ke rumah kemenakan (Fawaid) yang kebetulan mudik ke Jenu pun digagalkan karena waktunya tidak pas, masih kepagian saat kami melintasi kota Tuban.



Sementara yang lain meregangkan otot dengan telentang, saya meminta Atiq membeli air panas di warung seberang jalan karena bubuk kopi dan lain-lainnya kami bawa sendiri dari rumah. Jujur, saya ogah membeli kopi di warung makan, kecuali memang jika tidak benar-benar terdesak. Kasusnya, sering dijumpai hanya kopi sesat yang tersedia, kopi yang bahan bakunya hanya sedikit persen biji asli, selebihnya adalah daun dan kulit buah kopinya. Jadinya, ia sejenis “kopi jadi-jadian”, kopi hantu-lah!

Sebetulnya, saya membawa pemanas air DC 12 Volt, tapi butuh durasi lama untuk memanaskan air hingga 75 derajat celcius (apalagi lebih dari itu, sampai 85 derajat misalnya [standar panas air kopi menyeduh kopi], pasti lebih lama lagi). Saya bahkan juga bawa inverter, dari DC 12v ke AC 220v. Tapi, ia saya gunakan untuk hal lain. Makanya, saya cenderung memilih beli di warung saja. Bekal makanan pokok pun bahkan kami bawa sendiri, terutama abon, serundeng, dan lauk-pauk lainnya. Air minum satu galon. Lontong juga kami bawa, tapi tak seberapa.

Itulah salah satu tips berhemat biaya perjalanan. Jatah anggaran singgah di warung makan bisa lebih besar daripada biaya BBM, lho, jika kita pergi bersama rombongan. Cobalah sesekali dihitung, pasti bengkak dananya. Masalah berikutnya, saya berkomitmen untuk tidak sembarangan mampir di warung makan sebelum memastikan (atau memperkirakan) bahwa si pengelola warung itu tidak jorok, paham najis-mutanajjis, ngerti masalah-masalah seputaran kehalalan makanan. Bagi saya, ini prinsip sebagai bentuk ikhtiar (upaya untuk berhati-hati). Maka, daripada repot mencari warung yang spesifikasinya begitu, saya putuskan untuk membawa sendiri saja dari rumah: aman dan murah. Tentu saja,

Catatan: Tentu saja, Anda tidak perlu sama dengan saya. Ini cuman komitmen dan sikap.

Setelah singgah di sebuah mushala kecil di tepi jalan, di Pati, untuk makan, kami menuju Kerjasan, Kudus, untuk nyambangi kakak sepupu yang sedang mudik. Ini tak terhitung kali bagi saya. Ada satu hal penting di sana.

Di Kerjasan, terdapat sebuah rumah bersejarah. Posisinya berada di belakang SD Muhammadiyah 1 Kudus, atau sebelah utaranya Madrasah Tsanawiyah NU Banat, atau di sebelah baratnya Madrasah Aliyah Qudsiyyah. Itulah rumah asal (‘patobin’ menurut istilah [sebagian] Kiai Muhammad Syarqawi, pendiri PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Suemenp. Beliau asli Kudus, namun hijrah ke Madura. Saat ini, yang menempatinya adalah salah satu keturunannya, kerabat kami juga. Kakak sepupu saya berjodoh di sana. Dengan begitu, beliau menjadi perekat hubungan kekerabatan kami yang entah berapa puluh tahun lamanya terpisah dan bahkan sempat tidak diketahui.

Selesai mandi dan sepeminuman teh, kami melanjutkan perjalanan. Nah, di situlah kemacetan mengular. AC mobil yang hanya engkel di depan dan menyala sesekali saja terpaksa harus menyala besar dan terus-terusan. Rupanya, begitulah cara menguras bahan bakar, he, he, he… Dari Demak hingga Semarang, kondisinya jalan begitu saja. Kalau enggak macet, ya, tersendat. Singkat cerita, kami baru tiba di Pekalongan sekitar pukul 14.00. kami tetap memilih rute arteri, non-tol, bahkan sempat pula mencoba jalan lingkar alas Roban yang biasa dilewati truk-truk berat itu.

Duapuluh Empat Jam di Pekolongan

Tiba di Pekalongan, kami disambut oleh Wisnu dan Robin. Mereka mengajak saya ke kediaman Habib Bidin (menantu Habib Luthfi, pimpinan Az-Zahir) untuk rehat dan/atau mandi. Saat itulah, saat membongkar isi tas untuk mencari sabun, barulah saya sadar bahwa ponsel NOKIA 8118 (reborn) saya tak ada.

“Waduh! Ketinggalan di Kudus!”

Meskipun ponsel pasti aman, tapi ini mengkhawatirkan. Pasalnya, hampir semua nomor kontak teman-teman—yang rencana mau saya sambangi dalam perjalanan pulang nanti—ada di sana. Masih untung saya sempat login ke Facebook di ponsel android-nya Anam (karena verifikasi kode login dikirim ke ponsel via SMS) sehingga saya masih bisa menggunakan Messenger untuk berkomunikasi.

“Kalian sudah dapat izin, kok, enak saja nyelonong?”
“Iya, tidak apa-apa, memang diperkenankan.”

Di Az-Zahir, ada banyak tamu juga di situ. Sepertinya, mereka mau syawalan, sowan, atau entah apa. Tapi, kami tak lama di sana, segera pindah ke Kanzus untuk melihat situasi, lalu lanjut ke ndalem tengah (utama), siapa tahu Habib Luthfi muncul dan kami bisa sowan kepadanya. Akan tetapi, melihat banyaknya tamu yang ‘keleleran’ di lantai bawah, ciut juga nyali ini. Rasa pesimis muncul. Satu-satunya harapan tersisa adalah modal pengalaman pertama saya di bulan Oktober tahun lalu: pertama kali nyampe, tapi langsung bisa sowan dua kali di dalam satu hari.

Demikianlah pengalaman saya (kami) selama 24 jam di Pekalongan: Kamis jelang asar tiba, Jumat jelang asar pulang. Seperti tamu-tamu yang lain (kalau tidak salah juga ada dua orang menteri), kami belum ketibaan rezeki berjumpa dengan Habib Luthfi. Tapi, ia tak membuat kami berkecil hati. Bulan depan, atau entah kapan, insya Allah kami kembali lagi, di acara Jumat Kliwonan, atau Maulidan, atau tidak dalam rangka apa pun selain sowan.

Catatan: Oh, iya. Saat sedang rehat di gedung Kanzus Sholawat, saya sempat dikunjungi Fauzi Amrullah, kawan lama yang sekian waktu tidak pernah bersua. Katanya, dia mengetahui bahwa saya berada di situ berkat komentar-komentar saya di Facebook. Ini menyenangkan sekali. Media sosial yang cenderung hanya buat main dan buang-buang waktu terasa sekali manfaatnya. Dia membawa serta dua orang putranya. Satu di antaranya telah mondok di Kediri.


Syawalan ke Pekalongan (Pulang)


Jumat, 6 Mei 2022


Dalam perjalanan pulang, kami putuskan untuk lewat di jalur yang sama dengan saat kami datang. Rencana awalnya, saya akan melebar sedikit ke selatan, melipir ke Kediri. Bahkan, ada pula ide lewat Cepu/Blora untuk mengobati rasa penasaran karena gagal dilewati saat berangkat. Tapi, semua jadwal banyak berubah gara-gara dua hal: pertama karena tujuan sowan akhirnya tertunda dan ponsel saya yang ketinggalan di Kudus. Dua hal ini membuat gairah turun drastis dan akhirnya rencana tersebut kami gagalkan tunda.

“Lain waktu saja,” kata saya pada semua!

Semula, saya memang merancang rute lewat Bojonegoro. Jadi, rute Babat ke utara dicoret, ganti ke Babat ke barat, lewat Cepu. Kisah-kisah mistis di sepanjang jalan itu juga saya kantongi, termasuk kisah tentang keanehan Todanan dan kendaraan yang tersesat—atau disorientasi dalam istilah lainnya yang meskipun tidak benar-benar sepadan—masih kuat melekat dalam ingatan. Andaipun kami gagal lewat di rute itu manakala berangkat, mungkin akan dilewati di saat pulang. Ternyata, rencana itu tidak jadi.

Pulang bakda ashar dari Pekalongan, kami lewati arteri. Sebetulnya, saldo etoll masih cukup bahkan hingga Warugunung, Sidoarjo. Tetapi, tapi kami pilih jalan Pantura saja, jalan Deandels, jalan panjang 1000km yang punya penuh cerita.

Saya mengamati kota-kota kecil yang dulu sangat akrab saat masih sering naik bis malam dan belum ada Trans-Jawa. Rumah-makan yang besar, yang dulu terkenal, baik persinggahan bis ataupun truk, masih ada yang bertahan dan sebagiannya sudah gulung tikar. Tol panjang yang membuat seluruh pulau Jawa nyaris bersambung dari Anyer hingga Probolinggo (saat ini—dan mungkin terus berlanjut sampai Banyuwangi) adalah satu aktor dari sekian banyak yang berdampak pada perubahan besar sosial-ekonomi ini, bahkan perubahan psikologis manusia juga mungkin.

Semua itu telah berubah, dan mungkin memang gilirannya berubah. Tapi, saya melihatnya sebagai perubahan non-alamiah, tidak seperti batang pohon pisang yang tumbang karena telah berbuah, melainkan perubahan yang sengaja diciptakan oleh manusia. Barangkali, perubahan itu disengaja untuk mencapai target tertentu meskipun—bisa jadi—dampaknya tidak setimpal dengan yang dibayangkan atau direncanakan sebelumnya. Apalah daya kita? Kita menjadi bagian dari perubahan meskipun tidak bisa ikut mengubah. Sebab itu, maka kita harus mengambil sikap dan berkomitmen dalam posisi ini, harus punya sikap.

Dengan modal kontak melalui Messenger, di luar dugaan, gayung bersambut. Hari itu, Jumat sore, 6 Mei 2022, saya bisa singgah di rumah Rifqie Fairuz di Pegandon. Rumahnya sedikit masuk dari Pantura, pertigaan Petebon, kira-kira 4 kilometer ke selatan. Dengan jarak yang sama, dari rumah Fairuz, jika diarahkan ke selatan lagi maka akan kita jumpai—kata dia—pintu Tol Kendal. Tapi, tetap seperti tadi, kami tetap lewat arteri. 



Tak lama di sana, hanya seseruputan kopi dan secuil cemilan yang dilumat di dalam mulut dalam keadaan tergesa-gesa, kami gas lagi menuju perumahan Permata Puri, tepatnya di rumah Marwini yang berlokasi Jalan Watuwila V DX (baca: D sepuluh), nomor 12-A (wah, repot sekali, ya, banyak kode dan nomor-nomornya), Ngaliyan, Semarang. Saya tidak ingat, kala itu, kami masuk dari Kalikangkung atau dari Krapyak.
 
Setelah dijamu bakso dan mandi, kami berangkat lagi. Tujuan berikutnya—yang semula adalah cus Madura—kini bertambah, yaitu rumah Mas Gunawan. Orang ini saya kenal di Jogja, di Kafe Basabasi, dan bermula dari komen-komenan di Facebook. Rumah beliau ada di Manyaran yang secara jarak sangat dekat dari Ngaliyan. Ketersesatan oleh Google Maps-lah yang membuatnya jauh. Sejauh ini, saya memang nyaris tidak menggunakan aplikasi tersebut kecuali bersama orang yang sedang menggunakannya, dan sejauh ini—sesuai keterbatasan pengalaman saya—Google Maps masih belum bisa membedakan kelas jalan di tingkat bawah, seperti di kelas residental atau kelas kolektor, atau seperti III, apalagi subkelas-nya, seperti IIIa, IIIc, dll. Entah lebar jalan itu 2,1 meter atau 2,5 meter, misalnya, kita enggak tahu.


Kami dipandunya blusukan ke jalan-jalan yang sangat sempit, menanjak curam, nurun terjal. Intinya, saya sempat cemas, khawatir mobil tidak kuat. Semarang adalah kota yang kontur jalannya dipenuhi naik-turun seperti itu.

Kami rumah beliau, kami duduk dijamu tempe kemul. Masih banyak sekali toples cemilan sisa lebaran di atas meja. Setelah ngeteh dan ngopi dan berfoto bersama, barulah kami lanjut pulang, eh, setelah dikasih oleh-oleh segepok juga ding. Oleh beliau, kami diarahkan pulang lewat sisi utara kota Semarang, sepertinya area pelabuhan Tanjung Mas. Soalnya, saya melihat banyak sekali genangan air.

‘Ini kota pantas kalau rawan banjir,’ kata saya dalam hati. Letaknya—konon—sangat mirip dengan Amsterdam yang posisinya lebih rendah dari laut. Jika tanggul tidak kokoh, bencana pasti mudah mengancam. Rob pasti datang saat laut pasang.

Dalam perjalanan ke Kudus, saya menjalin komunikasi dengan Mas Fawzy Agus. Karena sudah malam, maka akhirnya kami janjian bertemu di dekat Menara saja, di sebuah jalan tempat mangkal gerobak kuliner agaknya, tidak di rumah beliau, di Jekulo. Kami diajak makan tahu khas Kudus, entah tahu apa namanya, tahu-tahu enaaak aja di mulut. Yang pasti, tahu tersebut berasa manis dan banyak bumbunya. Saya perkirakan, kemampuannya bisa nyetok energi kami sampai Madura atau Surabaya.

Dan sama seperti saat ketemu Mas Gunawan, pertemuan dengan mas Fazwy Agus pun tak begitu lama, sebatas makan dan ngobrol sewajarnya. Sebetulnya, rencana pertemuan ini sudah dirancang tahun lalu, di Tangerang, saat saya bertandang ke rumah Pak Bambang dan Pak Broto. Tapi, karena ada hal penting yang tak dapat ditinggalkan, kata beliau, pertemuan saya dengan Mas Fawzy akhirnya gagal, tapi sukses setahun berikutnya.

Selepas Kudus, saya tidur. Kalau tak salah ingat, kami keluar dari Jekulo pada saat pukul 23.00 lebih. Entah siapa yang mengemudi, saya tidak tahu. Sepertinya Anam dan mungkin sesekali diganti Cak Badi (Abdullah). Mobil berjalan ke arah timur dan suasana jalan tidak ramai. Barangkali, orang-orang sudah banyak yang kembali ke Jakarta karena mereka memanfaatkan semua ruas jalan tol Trans-Jawa yang pada malam itu telah diterapkan untuk penggunaan 4 lajur: semuanya ke arah barat.

Menjelang Subuh, kami masuk Babat, lewat depan pondok tua yang legendaris, PP Langitan. Kami masih lanjut terus ke timur, lewat Lamongan, dan baru shalat Subuh di daerah Gresik, sebelum masuk Tol Kebomas. Sialnya, si Agus minta jemput. Dia ingin ikut ke Madura tapi nginap di Sidoarjo.

“Ini kalau ke Sidoarjo bukan mampir lagi namanya, tapi sengaja pergi ke...”
“Kan cuman dekat?”
“Dekat-dekat apanya? Dari Kebomas biasanya di Dupak lanjut Kenjeran, lha, ini harus nambah lagi 30 kilometer ke selatan. Jauh, lho, belum lagi nanti baliknya, tambah 30 kilometer lagi.”
“Ya, tak apa-apa, kan cuman lewat tol.”
“Masalahnya, kita ngejar waktu pagi agar bisa lewat Tanah Merah karena hari ini adalah hari Sabtu. Tahu sendiri, kan? Sabtu itu jadwalnya pasar Tanah Merah, pasar paling macet di Madura.”

Percakapan ini terjadi setelah shalat subuh. Tapi, saya lantas tertidur lagi dan saat itu Anam yang mengemudi. Rupanya, percakapan si Agus berlanjut dengan si Anam dan tahu-tahu saya dibangunkan saat mobil hanya berjarak duaratusan meter menjelang di pintu Tol Sidoarjo. Wah, ya, sudah, lanjut saja.

Pasar Tanah Merah memang menakutkan di hari Sabtu, tapi tidak bisa disebut sebagai Black Sabbath, lho. Kalau lagi apes karena kita melintas di pada pukul 8 pagi, misalnya, bisa saja kita terjebak satu jam, bahkan lebih. Aneh sekali karena pasar ini sudah punya jalan lingkar. Entahlah, pasar Tanah Merah memang punya misteri tersendiri. Beberapa kali periode bupati di bangkalan terlewati, kemacetan di pasar ini tetap tak bisa teruraikan. Makanya, untuk menghindarinya, kami berencana lewat Sukolilo (“Klelah” kata orang Bangkalan), lewat arsenal Batu Porron, tembus Kwanyar, lanjut terus ke timur, lewat Modung, dan barulah nongol dari arah selatan Pasar Blega.

Secara jarak, rute yang saya sebut di atas hanya menghemat 2 kilometer, tapi setidaknya diuntungkan karena aman dari kemacetan. Namun, rencana itu gagal setelah dikasih tahu oleh H. Syaiful Bahri, si kawan dari Kwanyar yang kami singgahi, bahwa jalan ke Modung sangat rusak dan hancur. Durasi waktu bakal impas kalau lewat di sana.

Kami langsung sein kiri begitu mobil lepas dari ruas Jembatan Suramadu, lewat Sukolilo, Labang, dan tembus di Pasaw Kwanyar. Ternyata, pasar juga sedang ramai-ramainya, awut-awutan juga.

“Jangan parkir di sini, gak bisa!” kata H. Syakur, salah seorang penderek H, Syaiful, orang yang hendak kami tuju, memandu mobil. “Ke dalam saja,” lanjutnya. Ia mengarahkan kami parkir ke rumah tuannya itu, masuk gang. Akibatnya? Tahu kan akibatnya? Kami pun jadi rehat, telentang-telentang, tidur-tiduran, dan bangun-bangun sudah disiapkan hidangan, “waduh” tapi campur “waw”! Terjadilah efek depan, perut jadi kenyang, efek yang gak ada samping-sampingnya sama sekali. “Pinter benar ini orang,” kata saya dalam hati, “Tahu kalau kami memang niat mau sarapan di jalan pulang, nanti, tapi ternyata disiapkan lebih dulu sebelum kami tiba di warung makan...”

Di hari ke-6 bulan Syawal itu (7 Mei 2022), jalanan Madura ramai sekali, lebih-lebih di pasar yang hari pasarannya jatuh satu hari sebelum Hari Raya Ketupat, ya, seperti hari itu di Tanah Merah. AC mobil —yang biasanya menyala sesekali saja—pun dengan ‘terpaksa’ harus nyala terus-menerus, dari Sidoarjo tadi bahkan hingga kami sampai tiba di rumah. Itulah tiga kata kunci: lancar, nyaman, selamat, tiga hal yang telah mampu melupakan kami akan jauhnya jarak yang sudah ditempuh dengan mobil yang sepuh, sertanya juga melupakan banyaknya liter bahan bakar yang kami beli...





15 Februari 2022

Keunggulan dan Kelemahan Menggunakan Kipas Radiator Elektrik


dinamo tidak center, agak tidak kena puli
Mobil saya menggunakan kipas pendingin raditor elektrik. Yang dicangkok adalah kipas milik Suzuki Karimun. Kenapa pilih ini? Karena bentuknya paling pipih, paling ramping, dan paling gratis (he, he, he). Harga bekas di pasaran sekitar 600-700. Barunya di atas satu juta lebih sedikit. Punya Pak Joko pakai punya Camry, bentuknya mirip, sama-sama tipis.

 

Keunggulan kipas ini jelas akan mengurangi beban mesin meskipun entah seberapa kian persennya. Beban mesin berkurang karena puli-nya tidak lagi terbebani oleh baling-baling yang mengangkut angin. Jika pagi hari, kita bisa berjalan sampai 4 kilometer dan kipas elektrik belum sempat menyala juga (itu kalau Anda tidak pakai thermostat). Jadi, bunyi mesin semakin halus, tidak berisik. 

modul penetas telur untuk menghidupkan relay ke kipas
Keunggulan lainnya adalah; saya telah melepas kipas tambahan atau extra fan—yang sebelumnya dipasang di depan radiator untuk jaga-jaga dalam memberikan bantuan pendinginan buat radiator mana tahu ada kemacetan panjang dan kita ingin menyalakan AC (saya pakai AC). Kipas elektrik ternyata cukup mengatasi dalam keadaan idle. Dan inilah tujuan utama dari pemasangan kipas elektrik ini. Catatan: Tapi, ini berlaku di (kemacetan) di Madura saja, tapi saya kurang yakin kalau kemacetannya ala di Jakarta yang secara auranya sangat panas: aspalnya panas, udaranya panas, dan orang-orangnya juga mudah panas.

Adapun kelemahannya; temperatur mesin akan naik secara signifikan (bahkan hingga nyaris 90 derajat; jarumnya nyaris mencapai setengah pada Colt) jika kita injak gas secara stabil dalam kecepatan 90 km / jam selama beberapa menit, anggaplah selama 10 menit. Situasi ini akan merepotkan jika kita sering bepergian jauh dan melewati jalan tol. Kok bisa? Karena RPM mesin sangat tinggi sementara RPM kipas tetap segitu saja, beda dengan kipas bawaan Colt yang akan berputar cepat sesuai putaran RPM mesin.

Untuk mengatur pada suhu berapa kipas harus menyala, kita bisa atur pada modul yang aslinya buat penetas telur (inkubator). Bahkan, kita bisa nyetel sambil berjalan. Kalau pakai sensor panas yang biasanya dipasang di dekat thermostar, biasanya pilihannya cuman ada dua: menyala pada suhu 76,6 derajat atau 82 derat. Kalau yang ini, dan harganya cuman 60 ribu, bisa dinyalakan bahkan sejak 50 derajat (tapi tentu buat apa menyalakan kipas di suhu seperti itu?


Untuk sementara, saya masih bertahan menggunakan kipas elektrik. Alasannya; karena saya tidak terbiasa ngebut di atas 100 km / jam (rata-rata 60-70 di jalan arteri; atau 80-90 di jalan tol). Tapi, saya pun jarang lewat jalan tol panjang (kecuali ke Jakarta tempo hari dan atau ke Jogja. Tapi, bosan juga, sih, kalau terus-terusan seperti ini. Saya harus cari cara yang lain lagi.

 

kipas kondensor pakai Avanza

 

Langkah terakhir, saya menggeser plat nomor yang sebelumnya sedikit menutupi gril bumper depan. Saya juga memasang bilah karet (yang biasa buat ngepel lantai itu) di bawah labrang depan. Fungsinya adalah untuk menangkap angin yang datang dari arah depan agar bisa langsung nyembur ke radiator.

Dengan cara ini, ternyata masalah berhasil diatasi. Catatan: Saya belum mencobanya dalam kecepatan tinggi (100 km/jam) yang konstan dan lama, hingga satu jam, misalnya.


Yang perlu diingat, karena kipas kondensor AC saya menggunakan punya Avanza (strumnya lumayan besar) dan kipas radiatornya menggunakan punya Karimun (juga besar), maka benarlah ia memang meringankan beban mesin, tapi di sisi lainnya memberi beban tambahan pada dinamo ampere. Sementara dinamo ampere saya pakai punya Carry (atau mungkin Zebra, dah lupa). Supply-nya jelas kurang kalau kita gunakan pada malam hari. Nah, untuk menyiasatinya, kita harus pakai lampu LED karena lampu pijar itu benar-benar sangat boros dan sangat menyedot daya. Tapi, ya, itu, lampu LED juga punya kelemahan di bidang penerangan pada musim hujan, bahkan yang warnanya kuning sekalipun, tetap tak seberfungsi lampu pijar.


Itulah beberapa kekurangan dan keunggulan perangkat yang dipasang pada Colt dan menggunakan perangkat pabrik di luar Mitsubishi. Silakan Anda pilih yang sesuai dengan selera Anda.

13 Februari 2022

Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape IV)

SENIN, 7 FEBRUARI

 

Pagi sekali, rencananya bahkan sehabis subuh, kami pulang. Tapi, saya ingat, ini hari Senin. Saya harus mulang kitab dulu (melalui sambungan telepon kalau sedang berada di tempat yang jauh). Maka, setelah pukul 06.30, setelah tugas, saya pamit. Eh, malah tak boleh sama tuan rumah. “Makan dulu,” katanya. Itu sudah saya duga dan biasanya emang begitu. Dalam hal ini, pepatah “tamu bagaikan mayat” berlaku. Artinya, tamu harus mau dititah tuan rumah.


Setelah makan, obrolan masih berlanjut. Waduh. Akhinya, saya baru bisa pamit pukul 08.30, banyak waktu molor dari yang direncanakan sejak awal. Biarlah, saya pasrah, padahal sudah saya bilang, bahwa saya buru-buru karena malam nanti ada undungan menghadiri Haul Gus Dur di Sumenep.


Meskipun masih harus mampir di Klathakan untuk ambil titipan dari Ummah untuk saudaranya di Madura, saya bawa mobil santai saja. Ruwet pikiran melihat seliweran orang begitu banyak yang serampangan. Untuk menghemat waktu, saya cuman numpang pipis saja saya di sana, tak mau disuguhi kopi, lalu melanjutkan perjalanan.


Mulai dari Bletok, barulah saya bisa melaju agak kencang, lebih cepat dari tadi, kira-kira 70-80 (padahal sebelumnya cuman 60) karena jalan sudah mulai rada lengang, mungkin karena gerimis. Di satu sisi, gerimis membuat jalan lengang, tapi jalan jadi berbahaya. Kalau terang, semuanya jadi enak, pandangan juga serlah, tapi lalu lintasnya ramai. Paling enak kalau lewat jalan tol, gerimis pun masih bisa kencang. Enak pun ternyata masih ada “tapi”-nya juga: tapi di tol itu membosankan dan harus membayar mahal. Apa-apa itu ternyata ada plus-minusnya.


Cling!


Hingga akhirnya, saya teringat sesuatu dan saya menepi di ruas jalan tempat istirahat, di atas Binor, atasnya PLTU Paiton.


Kenapa?”

Mau nyuting odometer, ini mobil mau sampai 500.000. Saya mau pinjam ponselnya,” kata saya sama Kak Fadlillah.


Akhirnya, saya mulai menjalankan mobil lagi, pelan saja. Odomter mobil bergerak dari angka 499.997/2 dan mencapai angka 500.000 saat mobil berada di sisi selatan PLTU Paiton. Horeee. Saya senang sekali, tapi senang untuk apa sebenarnya. Saya yakin, angka itu bukanlah angka sejati. Odometer pernah mengalami putus. Di kepemilikan sebelumnya, bisa jadi hal yang sama juga terjadi, bahkan bisa saja pernah direset, pernah di-nol-kan ulang. Tapi, mana saya peduli. Apa pun dan bagaimanapun, pada momen itu, saya tetap mencatatnya sebagai sebuah momen penting dalam kesejarahan mobil ini di bawah kepemilikan saya selama 13 tahun terakhir.

 

Di Pajarakan, saya dikontak Iyok Fakhrud. Dia bilang baru saja berpapasan. Saya man tahu dia naik apa. Sebelumnya juga begitu, sempat diberhentikan Subhan di Lubawang, sebelah barat Besuki. Itulah salah satu keuntungan mobil tua yang warnanya tak pernah diganti dan ada stiker khusus yang memudahkan orang mengenalnya: font besar bertulis “Pariwisata” di atas kaca depan. Semua ini tak akan terjadi andai saya naik Avanza Hitam atau mobil orang kebanyakan lainnya.


Perjalanan terus saya lanjutkan karena badan masih terasa mampu. Hujan mengguyur secara gila saat kami lewat Tongas, bahkan sampai Bangil. Mobil-mobil berjalan sangat lambat sambil menyalakan lampu utama. Kali ini, saya memang tidak lewat tol karena jalanan terbilang sepi. Eman-eman uang 80 ribu dikeluarkan untuk sesuatu yang tidak penting-penting amat (beda dengan saat berangkat karena lewat tol memanglah dibutuhkan).


Di Tangkel, sehabis adzan asar, saya berhenti sejenak untuk mengambil kiriman dari adik kandung kepada ibu di rumah (saya tidak masuk ke rumahnya karena butuh jarak 20 kilometer pergi-pulang dan itu jelas makan waktu jika dilakukan, sementara saya ngejar waktu untuk hadir ke acara di Sumenep pada malam harinya). Selagi nunggu kiriman, tiba-tiba seorang anak muda bernama Dayat menghampiri saya. Oh, rupanya dia juga punya Colt. Katanya, dia melihat Colt saya dari jarak agak jauh sedang parkir, maka dari itu ia kemudian mampir.


Jalan lagi, sebentar saja, saya shalat zuhur-asar di Masjid Baiturrohman,Dumajah. Di situ, saya ketemu dengan Kiai Fauzan Badruddin. Di mana-mana kok ketemu kenalan, kata saya dalam hati. Betapa banyaknya orang baik di dunia ini.


Tak lama di sana, kami lanjut lagi, tapi berhenti lagi di Sampang karena sudah tak tahan lapar. Depot Al-Ghozali, di Tanglok, lepas kota Sampang, adalah tempat jujukan. Kami makan rawon di sana. Tak lama juga, makan, bayar, pergi lagi. Kami lanjut ke timur.


Setelah menurunkan ‘paket’ dari Klathakan di pertigaan Sumber Anyar, masih ada waktu tersisa untuk menjamak shalat maghrib-isya di Masjid Nurul Falah, selatan SPBU dekat Talang Siring. Sama seperti sebelum-sebelumnya, setiap kami singgah hanya benar-benar sesuai waktu yang dibutuhkan, tak ada santai-santai dulu. Seperti itu pula pada persinggahan terakhir: habis shalat, langsung berangkat. Kami tiba di rumah beberapa menit setelah azan isya. Sambil menurunkan semua barang di mobil, saya menyeduh kopi. Tapi, hanya beberapa kali sesapan, Innova Reborn berwarna putih masuk ke halaman. Ini pertanda Om Mamak yang datang.


Oleh-oleh sudah masuk rumah. Mainan sudah diberikan ke anak. Cucian sudah diletakkan di tempatnya. Saatnya saya pergi lagi, menghadiri undangan haul. Kepada panitia sudah saya wanti-wanti sebelumnya, jauh hari: Saya cuman mau datang, duduk di kursi hadirin. Saya tidak mau menjalankan tugas lebih dari itu. Dan kebetulan, kala itu, saya memang capek, habis nyetir dari Situbondo. Makin kuatlah alasan saya.


Kami pergi ke Sumenep dengan Innova Reborn. Tujuannya adalah Kafe Tanean, sebuah kafe baru yang sangat besar, dekat Asta Pangeran Katandur. Di dalam kabinnya yang senyap, saya merasakan sedikit perbedaan dengan Colt yang baru saja saya rasakan. Empuknya tak seberapalah bedanya. Sini ada menangnya, sana ada menangnya juga. Sini menang senyap, sana menang murah. Terus, saya cari perbedaan-perbedaan lainnya. Apa, ya, kira-kira? Maksud saya, perbedaan prinsip antara Colt dengan Innova? Lalu, saya temukan hasilnya: Lari dengan kecepatan 80 kpj di atas Innova itu masih asyik buat ngobrol macam-macam, bahkan obrolan serius, politik kebangsaan misalnya. Tapi, dengan kecepatan yang sama, di atas Colt T120, kita tidak bisa ngobrol terlalu ngelantur karena sopir harus mikir soal kepakeman rem, kelimbungan bodi, serta kemungkinan pelimpasan stir. Itu dia bedanya.


Eh, sebentar, tapi, saya ingat cerita di atas. Sepanjang jalan naik Innova, dari Guluk-Guluk sampai Sumenep, bahkan andai dilanjutkan sampai ke Jakarta, tak ada satu pun yang menyapa, tak ada orang kasih lampu atau isyarat klakson, tak ada yang kenal. Kenapa? Ia tak ada identitas. Di jalanan, ia terlalu banyak kawan sejenisnya.


Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape III)

AHAD, 6 FEBRUARI


Pagi hari Ahad tak ubahnya Sabtu malamnya, masih lanjut ngobrol, tempat yang sama, seolah-olah itu kelanjutan tadi malam yang dipisahkan oleh fase tidur sebentar. Masih di tempat Hariri, kali ini datang tambahan: Pak Muqiet dan Pak Taufiq. Mereka menemani saya ngobrol pagi itu. Betapa terhormatnya sampai-sampai saya merasa rikuh. Obrolannya tidak serius, melainkan haha dan hihi. Itulah tema kesukaan kami semua.


Setelah disuguhi sarapan yang lebih tampak sebagai prasmanan besar di malam hari atau gala dinner, saya pamit, tapi masih dicegat oleh Pak Muqiet.


Tolong mampir ke rumah meski sebentar.”

Tapi, saya agak terburu-buru,” kelit saya.

Sebentaaar saja, berdiri di depan pintu pun tidak apa-apa. Yang penting, kunjungi rumah kami, sebentar saja supaya kami juga dapat berkah yang dibawa tamu.”





Undangan dipenuhi dengan syarat tak lebih dari secangkir kopi. Sewaktu kami ngobrol (lagi) di kediaman mantan Wakil Bupati Jember tersebut, eh, ternyata, di belakang, mobil saya dicucikan. Seorang lelaki paruh baya tampak menyemprotkan air dan mengelap bodi mobil. Waduh, ini jebakan, tapi asyik juga, sih. Rupanya, begitulah cara beliau membuat kejutan.


Dari Karangharjo, saya menuju Sempolan, pertigaan jalan raya Jember-Banyuwangi. Saya ikat janji dengan Kak Fadlillah di sana. Pas! Kami bertemu dan hanya sebentar dalam selisih waktu. Sebetulnya, saya juga ingin mampir di Suren untuk bertandang ke rumah Lora Miftah, tapi kata kabar tersiar, beliau kurang sehat dan masih butuh istirahat. Jadi, rencana bertemu dengan beliau gagal ditunda.


Dari situ, kami meluncur ke timur, menuju perkebunan pinus di Garahan untuk menghadiri kopdar Triwulan Komunitas Colt Jember (JCL). Istilahnya, sekalian mampir mumpung saya memang hendak melintasi Gumitir.


Kopdar Colt JCL ini, kabarnya, dilaksanakan tiap tiga bulan sekali. Tapi, selama dua tahun terakhir kosong karena pandemi. Untuk kopdar pertama setelah lama diem-dieman, mereka buat pengumuman di Facebook. Saya menyatakan bersedia hadir karena memang ada rencana ke Jawa. Hukum “sekalian” dan “mumpung” pun berlaku. Eman-eman jika datang untuk satu kepentingan padahal bisa nambah untuk kepentingan yang lain. Maka, saya ikut pepatah: “sekali ngegas dua-tiga kota terlampaui”.


Dalam acara itu, hadir teman-teman Jogja, Kediri, Malang, juga Surabaya. Lainnya saya kurang tahu. Tapi, yang paling banyak jelaslah yang dari Jember dan Banyuwangi, kebanyakan mobil bak terbuka. Acara resminya sebetulnya tidak lama, satu jam tak sampai. Tapi, orang-orang tidak segera bubar. Sebagian menyelenggarakan rapat untuk acara mendatang, sebagian lagi mandi, atau bersepada, atau main ATV (memang ada persewaannya, termasuk anak saya ikut main). Sebagian lagi entah pada ngapain saja. Entahlah.


Sekitar pukul 13.00 lewat, saya meninggalkan lokasi, berbarengan dengan beberapa mobil yang keluar. Rombongan Jogja sudah pergi dari tadi. Saya belok kiri, yang lain belok kanan.


Tak jauh dari tempat itu, Colt langsung menghadapi tanjakan mengular, Gunung Gumitir. Ini jalan memang paling asyik suasananya. Tapi, sekarang tidak seserem dulu. Waktu kecil, saya sering lewat jalan ini, ketika kendaraan tak seramai sekarang. Dulu, kalau malam, mobil-mobil yang mau melintasi hutan ngumpul lebih dulu di Garahan. Setelah ada beberapa, baru mereka konvoi lalu mulai jalan bersama-sama. Kenapa begitu, adakah mereka takut hantu hutan atau takut perampok, wallahu a’lam.


Lepas hutan, masuk Kalibaru. Dari spion kanan, tampak ada dua Colt yang membuntuti. Saya sein kiri supaya mereka menyalip, namun mereka tetap di belakang. Akhirnya, saya paham. Rupanya, mereka mengawal, mengiringi. Dan ketika saya telah tiba di tempat persinggahan, Majlisus Sa’adah, Wadung, Glenmore, untuk menyambangi sepupu saya, tiba-tiba Colt station berhenti juga (yang pikap lanjut). Loh, ternyata, yang nongol adalah Mas Agus Supriady (beliau ini beberapa kali membeli buku sama saya). Maka, terjadilah perbincangan sekejap. Lain waktu, saya ingin bincang lebih lama dengan dia, tidak di tepi jalan, tapi di suatu tempat yang lebih nyaman. Kapan itu? Saya tidak tahu.


Cik, aku cuman mau numpang tidur sejenak, ndak usah repot-repot,” kata saya pada si sepupu yang perannya saat itu adalah sebagai tuan rumah. Itu ucapan serius, bukan basi-basi.

Iya, Kak, silakan,” jawab si Locik yang bernama asli Yazid lebih datar lagi.


Tapi setelah kurang lebih satu jam tidur, saya bangun dan tiba-tiba saya melihat makanan yang sudah disediakan. Basa-basi gagal, ternyata saya diperlakukan sebagai tamu beneran. Ya, terlanjur ada, diembatlah itu si nasi dan si ikan dan si lauk-pauk lainnya.


Dan seperti yang sudah saya sampaikan di awal kedatangan, sesuai S.O.P, saya langsung pamit pergi, melanjutkan perjalanan ke timur. Masih ada dua titik persinggahan yang harus disamperi, padahal rencana pulang ke Madura adalah malam nanti? Mungkinkah?


BustanulMakmur II itu masuk ke utara, Kak,” kata Yazid yang saya panggil Locik.

Ke utara di mana?”

Pokoknya, nanti setelah sampai Genteng, Kak Izi bakal ketemu dengan tiga lampu merah. Nah, setelah lampu merah yang ketiga itu ada jalan masuk ke utara, belok kiri. Letaknya di belakang kampus Ibrohimi.”

Baik, pasti ketemu.”


Tujuan ke Bustanul Makmur adalah untuk mengunjungi Rifki dan adiknya, Afthon Dhani. Kedua saudara ini adalah sepupu persis almarhumah istri saya (juga famili saya). Keduanya sedang menjalani guru tugas dan desainer di pondok yang didirikan oleh Kiai Saifuddin tersebut. Sore itu, Dhani sedang ngajar dan Kiki sedang keluar. Saya menunggu. Setelah bertemu Dhani, baru Kiki datang menjelang maghrib. Kejutan baru terjadi. Ternyata Kiki—panggilan Rifki—baru pulang dari Bustanul Makmur Pusat. Dia mengatakan bahwa saya sempat dirasani Gus Endi. Terpancing oleh itu, akhirnya kami pergi ke sana.


Maka, bertemulah kami di Bustanul Makmur Pusat yang ternyata memang merupakan kediaman Gus Endi. Saya bertemu beliau di Buleleng, dua tahun lalu, di rumah sepupu beliau, pamanda Ahmadul Faqih Mahfudz (yang secara nasab merupakan sepupu Gus Endi dari jalur ayahnya; merupakan paman saya dari jalur ibu saya yang nyambung melalui embah putrinya. Tapi, Gus Endi ternyata bukan paman saya karena beliau berada di jalur nasab yang berbeda). Di sana, kami juga bertemu dengan Gus Imdad dan Gus Nawal serta seorang temannya dari Jember. Pertemuan yang kurang tepat secara waktu—karena habis maghrib—itu sangat gayeng sehingga sempat membuat saya lupa diri, lupa bahwa masih ada satu titik tersisa yang harus disingghi.


Karena saya tidak menggunakan Google Maps, maka saya tidak bisa memperkirakan jarak. Makanya, saya terkaget-kaget karena ternyata rute Genteng – Banyuwangi itu sangat jauh, lebih-lebih malam itu gerimis dan jalan sangat padat, ditambah rutenya tidak akrab. Begitu membosankan, tapi saya jalani saja dengan santai. Bonusnya adalah salah jalan di Banyuwangi. Saya sempat muter-muter beberapa kali dan baru berhasil mengakses kembali Jalan Nasional ke arah Ketapang setelah buang jarak dan buang waktu kurang lebih 15 menit lamanya. Itu buang-buang jika mengingat saya sedang kejar waktu ingin sowan ke Kiai Fadlurrahman, tapi itu juga tambahan pengalaman sebab akhirnya saya jadi tahu tempat-tempat yang semua tidak pernah saya lewati.


Terus, bagaimana cara saya agar tahu jalan masuk ke pondok pesantren asuhan Kiai Fadol (panggilan masyarakat terhadap Kiai Fadlurrahman Zaini) itu sementara congap (pertigaan jalan masuk)-nya sangat tersembunyi? Yang saya lakukan adalah menelepon adik agar mengecek jarak dari Pelabuhan Ketapang ke congap yang mengarah ke pondok beliau, PP Al-Abror Ar-Robbaniyun.


18 kilometer,” katanya.

Pas?”

Iya.”


Saya pun menginjak gas tanpa ragu dan baru kembali memperhatikan pergerakan odometer mobil setelah odo mencapai 17 km. Setelahnya, barulah saya mencari jalan masuk ke arah kanan, ke timur, ke arah pondok, eh, ternyata masih larat juga. Masih untung ada tukang sate yang menyelamatkan. Saya bertanya kepadanya. Kata dia, saya kelewatan sekitar hampir satu kilometer. Barangkali, tukang sate itu sudah lama sekali tidak bertemu dengan orang yang bertanya lokasi karena orang-orang pada pakai aplikasi (setelah tiba di rumah dan menulis catatan perjalanan ini, saya cek di Google Maps melalui PC, ternyata jarak dari pintu pelabuhan Ketapang ke congap itu cuman 16 kilometer. Adik saya sepertinya salah paham karena angka 18 kilometer tersebut adalah jarak dari pintu pelabuhan ke pondok Nurul Abrorar-Robbaniyyin, bukan ke congap).


Sowan ke Kiai Fadlurrahman Zaini di malam itu gagal. Kata petugas, sepertinya waktu sudah kemaleman untuk bertamu. Jam menunjuk 21.30. Memang iya, sih. Mereka memberi saran agar kami bermalam. Saya berterima kasih karena itu tidak mungkin. Tak apa-apa, semoga lain waktu kami bisa ke situ. Sebelum pergi, sempat terlintas kenangan terakhir di tempat itu bersama mendiang istri saya, melintasi khayalan. Saya ingat sowan terakhir kami dua tahun yang lalu. Di sana, kami disambut dengan penuh kehangatan (dan ...ah, tapi saya jadi sedih).


Perjalanan diteruskan ke Arjasa setelah kami singgah sejenak di sebuah kedai, di Galekan. Menghubungi nomor Moeftin Nadzir tapi tak aktif, ya sudah, lanjut saja. Hujan lumayan deras. Sempat saya gelagapan di dalam hutan Baluran. Saya deja vu, ingat kejadian serupa 12 tahun yang lalu. Tapi, kali ini lebih mencekam karena dua kali lampu depan mati mendadak lalu hidup kembali. Kak Fadlillah mengaku cemas atas kejadian itu (tapi ia sampaikan setelah tiba di Madura). Mungkin, mati lampu dianggap isyarat kurang baik. Tapi, bagi saya tidak karena saya tahu persoalannya. Kejadian mati lampu mendadak memang sudah terjadi sebelumnya, beberapa kali, tapi belum ketemu masalahnya. Baru setiba di Asembagus lah saya tahu. Ternyata, penyakitnya adalah penjepit sekring tabung goyah, bukan relay lampu yang karatan seperti yang saya duga sebelumnya.


Akhirnya, saya tiba di Arjasa dalam keadan penat tak berdaya. Rencana mau lanjut malam itu juga digagalkan. Sebetulnya, saya bisa tidur sejenak, bangun, dan langsung berangkat. Tapi, bukan itu alasannya, bukan capeklah alasan terbesarnya, melainkan karena saya tak ingin pagi esoknya anak saya bangun dan menemukan saya tak ada lagi dari sisinya.


Besok saja, Kak,” kata saya pada Kak Fadlillah.

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...