Pembaca

22 Desember 2020

Colt: Antara Ikatan Selera dan Persaudaraan

Berawal dari sebuah posting bertema suku cadang di blog ini, pertemanan saya dengan Pak Bambang akhirnya bisa direalisasikan di dunia nyata beberapa tahun sesudahnya. Kami janjian bertemu secara jasmaniah di sebuah perhelatan kendaraan-kendaraan tua di Jakarta, tahun 2019 yang lalu. Kala itu, saya bertemu dengan para sesepuh penggemar Colt, seperti Pak Bambang, Pak Iman, Pak Broto (termasuk Mas Angga meskipun muda tetap sesepuh karena dia termasuk perintas Colt di media sosial, sejak dari Yahoo!Groups sampai Facebook; meskipun akhir-akhir ini kurang aktif).

 

Dalam satu obrolan, entah lewat SMS, telepon, atau Messenger, Pak Bambang menyatakan diri ingin berkunjung ke tempat saya, di Madura. Saya bilang, jarak dari Cikupa, Tangerang (kediaman beliau) itu nyaris 1000 kilometer kurang satu kilo, atau malah lebih 1 kilometer, ke tempat saya. Intinya, perjalanan yang harus ditempuh sangat jauh dan karena itu mobil harus sehat. Tentu saja, saya sebut jauh karena kendaraan penempuhnya adalah mobil tua, bukan mobil anyar, yang mungkin tak masalah bagi bis-bis Jakarata yang ulang-alik ke Sumenep setiap hari itu.

 

Saya kira, rencana itu adalah rencana jangka sangat panjang, yang boleh jadi tidak terealisasi. Tapi, ternyata Pak Bambang menyatakan siap segera berangkat touring ke Madura dalam beberapa waktu ke depan. Pernyataan ini kira-kira disampaikan beliau setengah tahun yang lalu. Dalam komunikasi tingkat lanjut, Pak Bambang menyatakan akan ke Madura bareng kawannya, Pak Broto. Lalu, beliau pun mulai memastikan perkiraan tanggal, yakni Libur Natal dan Tahun Baru alias akhir tahun.

 

Percakapan selanjutnya mulai menjurus dan fokus. Kunjungan 3 mobil dari Banten itu diperkirakan tiba tanggal 27 Desember 2020. Lalu kira-kira satu minggu yang lalu, beliau mengubah jadwal, memajukan jadwal perjalanan, menjadi tanggal 21 Desember. Saya setujui saja, toh saya juga tak punya jadwal apa-apa di tanggal-tanggal itu. Dan ternyata, ketika hari H – 3. Dipastikan lagi bahwa rombongan ternyata ada banyak, bukan 3 mobil dari yang dikabarkan sebelumnya, melainkan menjadi 15 mobil dengan perkiraan 25-30 penumpang. Bandung bergabung; Malang dan Blitar bergabung juga. Probolinggo ada satu. Ngawi dan Jogja masih terlunta-lunta.

 

Kaget? Tentu saja. Saya tidak begitu siap menyambut mereka, terutama terkait akomodasi karena ini bukan acara kopdar atau jambore, ini kunjungan biasa. Dan tentu saja, saya tidak menyiapkan panitia. Saya hanya minta bantuan istri dan santri serta beberapa orang untuk menindak lanjuti penyambutan mereka.

 

foto oleh Eko Sumoautogarage
Apa yang diangakan memang terkadang harus disampaikan kepada orang lain. Ini adalah prinsip dan pengalaman saya. Bukan berarti hal itu hendak pamer atau malah berandai-andai, melainkan merupakan salah satu cara agar orang lain tahu dan ikut mendoakan.  Saya kira, dalam hal ini, saya dan beliau punya kesamaan.

Maka, kemarin lusa, hari Ahad pagi, 20 Desember, rombongan Tangerang (Pak Bambang dan Pak Broto dan Pak Iwan) berangkat pagi hari dari Cikupa. Siangnya, mereka ketemuan di Kertajati, untuk selanjutnya masuk ke tol Trans-Jawa dengan 2 rombongan dari Bandung Kang Ebod/Akbar dan Koko Obeh serta Kang Arie dari Tasik. Entah bagaimana cerita lanjutan perjalanan mereka, tentu saja saya tidak tahu karena saya hanya memantau dari ponsel, lewat SMS dan telepon. Intinya, mereka berangkat kesiangan menuju Surabaya yang semula direncanakan Senin pagi. Singkat cerita, mereka lantas bergabung dengan rombongan dari Malang, Blitar, dan Probolinggo yang sebelumnya bermalam di rumah Mas Eko Blues, di Surabaya (Pak Huri yang datang dari Probolinggo nginap di Blega).

 

Sore hari pukul 4, tanggal 21 Desember alias kemarin, mereka berangkat dari Bangkalan setelah kopdar tipis dengan Erwien dan entah siapa lagi. Mas Sugeng saja yang ikut dari Bangkalan. Sementara Subki yang dari Kwanyar malah tiba duluan di tempat saya, di Guluk-Guluk, pada saat mereka baru berangkat.

 

Hingga pada akhirnya....

 

Pada pukul 20.50, atau kira-kira segitu, mereka jumpa saya di Kaduara, tempat saya menunggu, di gapura perbatasan Sumenep-Pamekasan. Kami lalu melakukan konvoi menuju Guluk-Guluk. Tentu saja, iring-iringan ini tidak begitu mengganggu lalu lintas karena malam hari dan kami berjalan wakar, normal. Yang pasti, kami jelas mengganggu konsentrasi orang-orang yang ada di pinggir jalan karena kebanyakan mobil yang melintas adalah mobil tua tapi masih sangat mempesona.

 

Tadi malam (malam selasa), 21 Desember, mereka tiba di kediaman saya di Guluk-Guluk, langsung makan, sebagian mandi. Saya siapkan acara curhat dan bagi-bagi pengalaman, serta kesan-kesan. Acara dilaksanakan di perpustakaan sekolah karena tempatnya lumayan luas. Sungguh, acara yang singkat itu, dan mungkin kurang cocok waktunya karena terlalu malam, masih terasa gayeng. Hal itu saya saksikan dari tanda-tanda alam: tidak ada satu pun peserta yang menguap, tidak ada yang ngantuk.

 

Hal yang sangat di luar dugaan saya adalah cinderamata dari mereka. Saya tidak menyangka sama sekali kalau pigura foto yang mereka serahkan itu adalah sebuah sandal karena biasanya pigura berisi foto atau lukisan. Sungguh kejutan yang sangat berarti karena sandal yang dibingkai itu adalah sandal lawas, selop Lily. Dan ia merupakan sandal kesukaan saya. 

foto oleh Eko Sumoautogarage

 

Tadi pagi, esok harinya, mereka meninggalkan tempat saya pada pukul 10.00. Mereka meninggalkan kesan yang mendalam. Dan begitu juga, saya berharap, apa yang saya persiapkan dan saya sambutkan untuk mereka dapat meninggalkan kesan mendalam. Sebab, semua yang kita lakukan saat ini, besok hari, segera akan menjadi kenangan. Adapun kisah-kisah baik manusia memang jarang dibaca ketika mereka masih hdiup, melainkan justru setelah mereka tiada.

 

Terima kasih, kawan-kawan.
Simak video kedatangan dan kepulangan!





10 Desember 2020

Darjo Lagi, Darjo Laaagi

Ahad, 6 Desember 2020
___________________

“Saya ikut, bisa?” tanya Agus
“Bisa, muat, kok.”
“Kalau bawa ayam dan kurung?” tanya dia lagi.

Saya tidak menjawab hingga dia mengirimkan foto kurung ayam tersebut di kotak pesan, dan saya iyakan. Tapi, astaganaga, ternyata kurung ayam itu sangat besar, di luar ekspektasi. Saya kira kurung ayam yang bisa diangkat dengan tangan sebelah, ternyata sangat besar. Salah tadi, waktu kirim foto tidak disertakan benda pembanding. 

Daripada membuat kecewa, saya angkut saja kurung ayam itu di atas mobil. Untungnya, mobil saya ada rak atapnya.  

Perjalanan ke Sidoarjo kali ini rasanya memang harus naik Colt. Meskipun ide awalnya mau sewa Elf, tapi akhirnya rencana itu gagal karena salah seorang panitianya berharap agar saya bawa Colt.

“Boleh saya parkir nanti di dekat panggung, sebagai bagian dari properti panggung?”, tanya saya sema beliau, Selasa lalu, pamit lebih dulu.

“Oh, tentu, biar Colt Anda tampil bersama Anda karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari proses kreatif Anda!” Kalimat yang diucapkan Mas Ribut Wijoto memang tidak persis seperti yang saya tulis, tapi kira-kira tidak jauh-jauh amat melencengnya. 

Saya pergi ke Sidoarjo dalam rangkat pentas. Saya bawa rombongan untuk teatrikalisasi puisi, puisi dialog, dan musikalisasi puisi, serta saya sendiri untuk orasi.  Tentu, tidak muat kalau sebelas orang naik Colt semua. Maka, saya bawa satu mobil angkutan lagi, Suzuki CAMRY, eh, Carry. Bersebelas kami berangkat ke Sidoarjo di hari Ahad pagi. 

Hujan mengguyur menjelang kami lewati perbatasan Pamekasan-Sampang. Dan gerimis jatuh terus-menerus, sesekali deras. Di satu sisi, saya agak cemas karena perjalanan di tengah hujan itu sangat berisiko: rem, pandangan mata, pemantauan pergerakan lalu lintas, dll. Tapi, ada keunggulan di sisi lain: bagi mobil non-AC seperti mobil kami, ini menguntungkan karena udara kabin tidak terlalu pengap. 

Kami shalat duhur-asar di Dumajah, di masjid Baiturrohman. Masjid ini—untuk saat ini—agaknya merupakan masjid yang paling ramai disinggahi di jalur selatan Madura. Ia dijadikan favorit perhentian rombongan. Letaknya kira-kira 6 km dari pertigaan Tangkel, pertigaan akses Suramadu arah Sumenep. 

Kami tiba di masjid itu pada 11.30, shalat jamak taqdim, makan siang juga di situ (karena kami memang bawa bekal dari rumah). Bawa bekal ini adalah kebiasan orang dulu yang saya hidupkan kembali demi menghemat biaya perjalanan dan demi menjamin kehalalan makanan. Agak ribet, sih, tapi sekarang saya sudah biasa. 
Rombongan dua mobil berjalan beriringan. Saya yang di posisi depan memandu mobil belakang yang disopiri oleh yang pertama kali masuk kota Surabaya di siang hari. Keberaan handy talky sangat membantu kami. 

Kami masuk Kenjeran. Di Perempatan Kaliondo—yang kalau kanan ke Sidotopo—kita ambil kiri, ke Jalan Kapasari, lalu belok kanan lagi ke Kalianyar, terus Jagalan, terus melintasi Tembaan, selatan Tugu Pahlawan, ke Pasar Turi, dan tembus di tol. Ini bukan rute biasa yang saya lewati. Rute ini saya tempuh hanya demi menunjukkan kepada pengemudi satunya, yang saya ajak untuk mengangkut santri-santri yang akan pentas teatrikalisasi puisi, karena rute ini merupakan rute paling mudah dari Suramadu untuk mengakses jalan tol. 

Hujan yang terus mengguyur bikin kabin yang mestinya panas karena siang, berganti pengap karena semua kaca tetap harus ditutup rapat. 

Tiba di Sidoarjo, jam menunjuk pukul 14.30, hampir asar. Hamdalah, Lia Zen mengizinkan kami untuk sekadar leyeh-leyeh di lantai tiga kafe Jungkir Balik-nya, sekaligus mandi bagi mereka yang berani mandi dalam keadaan suhu alam diguyur hujan seharian. Dia bahkan menawari kami makan, tapi kami berterima kasih karena memang baru habis makan, baru dua jam yang lalu. 

Pentas Pertunjukan Puisi 

Malam itu, Malam Senin, 6 Desember 2020, saya didapuk untuk tampil dalam agenda “Jatim Art Forum” (JAF), sebuah program kerja Dewan Kesenian Jawa Timur. Rangkaian acara JAF ini berlangsung di beberapa tempat: teater di Gresik, musik di Malang, dan sastra di Sidoarjo (sebelumnya direncakan di Situbondo, tapi digagalkan karena tuan rumah tidak siap terkait suhu politik di sana yang kurang kondusif karena jelang pilkada). Sepertinya masih ada agenda lainnya, tapi saya tidak tahu. 

Acara malam itu sepenuhnya ‘milik saya’. Artinya, panitia menyerahkan sepenuhnya rangkaian acara untuk saya kelola. Panitia hanya meminta Dewan Kesenian Sidoarjo (Dakesda) untuk menyambut dan menyiapkan tempat. Dakesda sendiri tampil dengan Techno Poem atau Puisi Elektronik. Ribut Wijoto dan Rafif membacakan puisi; Amelia membaca narasi; dan Sony memainkan musik latarnya, house mix, musik jedag-jedug yang mengiringi pembacaan puisi. 

Setelah mereka, saya tampil. Saya orasi dan membacakan beberapa puisi. Terus, setelah itu, tiga orang santri membacakan dialog puisi yang berisi percakapan benda-benda dapur, secara dialogis. Alur dituturkan oleh seorang  narator. Konsep pertunjukan ketiga adalah musikalisasi puisi. Agus Salim Faradilla yang membawakan tiga puisi karya saya: dua bertema kopi, satu lagi bertema meditasi. Puncakanya, lima orang santri eks Sanggar Kotemang MA 1 Annuqayah yang mementaskan teatrikalisasi puisi, mengangkat tema kehidupan santri dengan judul Lirik Santri. 

Sehabis pentas, saya bertemu dengan Alek Subairi dan Mashuri. Kami juga bertemu dengan Kholil, santri Prajjan yang dulu sempat kenalan di pondok Nazhatut Thullab, yang datang bela-belain nyepeda motor dari Kenjeran Surabaya sejauh 40-an kilometer ke Sidoarjo demi menonton acara pertunjukan ini. Saya juga bertemu dengan Mas Zamroni dan Mbak Ida, dua penggiat Kampoeng Sinaoe di Buduran yang sangat tekun. 

Malam itu, meskipun pentas yang semula direncanakan outdoor atau di luar ruangan oleh saya dan Pak Nasar harus dipindah ke dalam ruang, tetap membuat kami puas dan senang. Saya bahagia. Orang-orang yang saya ajak juga begitu, tapi tidak dapat menyembunyikan rasa lapar. 

Pertunjukan ini, terutama yang terakhir, mendapatkan apresiasi yang bagus. Salah satu buktinya, menurut saya, diekspresikan oleh Bu Iffa Tsuraya dengan cara mengajak kami memungkasi pasca-acara dengan makan rawon Al-Abror, rawon yang konon sudah berdiri sejak 1945. Kami makan lahap, maklum, lapar sehabis pentas. 

Kami pulang menjelang pukul 11 malam. Di jok depan, saya tidur dan tidak ingat apa-apa lagi. Cak Dong yang mengemudi. Mobil satunya hanya mengikuti, nempel terus. Entah bagaimana ceritanya saya baru terbangun setelah Cak Dong ngisi bahan bakar di lepas Jalan Suramadu, di Labang, sudah di Madura. Soalnya, ketika berangkat, saya yang memandu jalan menggunakan radio handy talky, tapi waktu pulang saya tidur sama sekali. 

Kami shalat jamak ta’khir di masjid yang sama saat kami shalat jamak taqdim, di Dumajah. Tak lama istirahat, habis shalat, kami lanjut ke timur. Saya sempat mengemudi dari situ hingga ke Jrengik. Tapi, saya tepikan kendaraan dekat SPBU Jrengik karena mata benar-benar tidak mampu melawan kantuk. Sementara cahaya lampu utama juga tidak mampu menerabas malam yang gelap serta guyuran hujan yang terus turun dari langit, sepanjang jalan, sepanjang malam. 

Kami tiba di rumah kira-kira 30 menit menjelang azan subuh. Setelah bongkar muatan, kami shalat subuh berjamaah. Apakah yang terjadi sesudahnya? Anda pasti tahu, tak perlu diceritakan. 

03 Desember 2020

Laras-Imbang di Bengkel Kenangan

Saya dulu sering ikut ayah saya ke bengkel ini, Surya Indah Mobil. Letaknya di kota Pamekasan. Biasanya, ke tempat ini, ayah saya membawa Colt T120 pikapnya untuk menyetel roda-rodanya, untuk melaraskankan roda depan dan mengimbangkan keempat rodanya. Orang menyebutnya laras-imbang atau spooring-balancing.

Hari ini, saya pergi lagi ke tempat ini. Lima hari yang lalu, saya baru mengganti keempat roda Colt saya, dari ban semi radial Bridgestone Techno R13, 165-80 ke ban standar Gajah Tunggal 5.50 – 13. Maka dari itu, saya membawanya ke tempat ini untuk menyetelnya kembali supaya seimbang dan setimbang.

Kata orang, ban standar lebih empuk, tapi rasanya biasa saja. Entah karena merek atau entah karena tak termakan sugesti atau entah karena apa, saya kurang tahu secara pasti karena ini “baru soal rasa”. Yang jelas, dengan ban standar, putaran kemudi yang semula harus menggunakan “power sepiring” kini berasa “power steering”, lebih ringan pengendaliannya saat memutar ban di saat parkir. Saya akan mencobanya dulu beberapa hari ke depan.

Saya memang sudah datang beberapa kali ke tempat ini dengan Colt saya. Tempat ini masih sama seperti dulu, hanya gudangnya yang dinaikknya. Lantainya lebih tinggi, begitu pula dengan atapnya. Entah dengan tarif, saya lupa. Pastinya naiknya tidak seberapa.

Kemarin, Rabu, 2 Desember 2020, saya masuk dan hanya ada satu mobil sedan yang sedang diperbaiki kaki-kakinya. Ada lagi satu Mobilio yang sedang dipasang kaca film. Selebihnya, petugas tidak ada satu pun yang bekerja. Maka, mobil saya pun digarapnya dalam waktu singkat, mungkin 40 menit saja. Ongkos mengimbang (Rp25.000 per roda (sebetulnya cukup roda depan saja; saya mengukur kemepat roda sekalian) dan ongkos melaras (spooring) Rp150.000.

Sebetulnya, masih banyak tempat untuk laras-imbang, tapi kenapa saya pergi ke bengkel ini? Hanya karena satu: tempat bengkel ayah saya dulu, dan ini salah satu cara untuk mengenang beliau, mengikuti kebiasan beliau yang menurut saya baik. Itu saja.


04 November 2020

Bred...Dreb...Breb... (Situbondo - Sumenep)


SABTU, 31 OKTOBER 2020 

Hari ini, dalam buku diari saya, jadwal undangan banyak sekali. Ada undangan pernikahan Ely Sofiana; ada selamatan adiknya Fayyadl; ada undangan maulid di rumah H. Bahrus, dan semua undangna ini berlokasi di dekat rumah, di Madura, juga pada jam yang hampir bersamaan, siang. Tapi, hari ini, saya berada di Situbondo dalam rangka menghadiri pernikahan pamanda Aydi Ma’mun dengan istrinya, Ning Jayyidah binti Kiai Kholil Muhammad. 

Sebelum berangkat kondangan ke PP Sumber Bunga (baca: sombher bhunga; sumber kebahagiaan) Sletreng, saya masih sempat kembali ke Asembagus, mengambil kunci ring dan pulpen serta buku agenda yang tertinggal kemarin sore, serta main ke rumah Mukhlis untuk makan lupis dan ngopi, dll. 

ketemu sama Om Faqih dari Buleleng

Baru pukul 10.00 kurang seperampat, kami berangkat. Pergi ke acara inilah inti perjalanan ke Situbondo kali ini, meskipun bertandang ke rumah famili jauh lebih banyak memakan waktu. Intinya, menghadiri walimatul ursy pernikahan Pamanda Aydi Makmun bin Kiai Ahmad Sufyan ini punya bonus yang besar, khususnya buat saya. Mampir-mampir seperti dalam kisah di atas itu adalah di antaranya. 


Rangkaian acara pernikahan Kiai Aydi Ma’mun bin Kiai Ahmad Sufyan di PP Sumber Bunga, Sletreng, Situbondo, berarakhir setelah azan duhur berkumandang. Kiai Kholil Muhammad memungkasi acara dengan doa penutup. Ini kejadian jarang terjadi karena posisi beliau, saat itu, adalah sebagai besan yang lazimnya tidak ‘ngisi’ acara—seperti sambutan yang biasanya diwakilkan kepada orang lain, bahkan meskipun tugas itu ‘hanya’ sebagai pembaca doa. Jika ini terjadi berarti ada sesuatu yang istimewa. Barangkali karena tuan rumah memposisikan Kiai Kholil ini sangat terhormat karena putra dari Kiai Muhammad bin Imam yang notabene merupakan ‘rekan seperjuangan’-nya Kiai Ahmad Sufyan. 

Undangan berhamburan untuk pulang, siap di pintu dengan berkat, menunggu  mobil-mobil mereka datang dan melintas dari parkiran. 

Saya segera berkordinasi dengan istri agar pulang belakangan saja. Capek kalau rebutan. Undangan banyak sekali soalnya. “Sekalian ambil bonus, salam-salaman sama kenalan atau famili yang bertemu,” kata saya. Kapan lagi bisa bertemu dengan banyak orang dan banyak famili jika bukan di acara pernikahan seperti ini?

 Tiba-tiba, ada Kiai Mustofa Badri, berkata,

“Mampir rumah.”

“Terima kasih, saya sungkan!” Saya tertawa.

“Ndak apa apa. Hari ini saya tidak pergi ke mana-mana.”

“Insya Allah.”

Terus, istri beliau yang berada di belakangnya, Nyai Hafsoh, bilang; “Colt-nya mau ditukar, tah?” timpal beliau saat mau naik ke mobilnya, Velfire. Saya tahu, ini guyon asli, bukan sindiran. Maka, saya balas saja dengan guyon setimbang.

“Mmmm... masih mau saya pikir-pikir dulu!”

Beliau berdua tertawa.  

Dari lokasi, kami lanjut ke Klatakan ketika undangan sudah tinggal beberapa saja. Kami menuju ke rumah ipar sepupu daripada istri saya, rumah pertama yang kemarin kami singgahi di Situbondo. Di situ, kami mengantar dua ipar sepupu yang hendak singgah dan berencana bermalam. Mereka berdua itulah yang sebelumnya bareng mobil saya dari Madura. Jika begitu, berarti saya hanya akan pulang bertiga; dengan istri dan keponakan istri saya. Jadi, Colt yang ketika berangkat membawa penumpang lima orang akan balik dengan hanya 3 penumpang. 

Hujan deras mengguyur saat saya tiba di Klatakan. Saya mengantuk, tidur terjadi tak terencana. Dan tak terasa pula waktu menunjuk hampir asar. Saya pamit, tapi tuan rumah melarang, meminta kami agar berangkat setelah reda. Saya berkelit, “Berdasarkan warna langit yang pucat, hujan tak akan reda meskipun hingga maghrib tiba...” 

Terpaksa juga kami berangkat saat hujan masih deras-derasanya. 

Anam, sepupu saya, yang sekarang membawa kendali. Kami mengolesi kaca dengan shampo agar tidak ngembun. Berhasil, pandangan serlah ke depan meskipun hujan deras mengguyur. 

Jalan tidak sepadat biasanya. Maklum, banyak sepeda motor yang tidak berjalan kalau hujan. Jadi, ‘lawan’ kami hanya mobil kecil dan truk. Anam masih bisa membawa kendaraan hingga kecepatan 60 km/jam. Saya kira, untuk mobil Colt yang remnya masih pakai tromol, kecepatan segitu adalah batas maksimal dalam karegori aman mengingat rem kadang ngawur jikalau terkena air saat melewati genangan. 

Sementara itu, mesin relatif normal. Bredbet masih ada meskipun tak seberapa. Artinya, tutup delco itu memang bermasalah, tapi rupanya masalahnya bukan cuman di situ. Pengapian ada masalah yang lain. Saya memang sudah beli kabel busi meteran, tapi tidak dipasang. Ini cuman buat jaga-jaga saja. Selagi mobil masih bisa berjalan agak normal, biarkan saja, deh. Perbaiki di rumah saja. 

Pukul 16.16 kami tiba di PP Badridduja, Kraksaan. Kami mampir sebentar saja di rumah Kiai Mustofa. Kami bertamu secara formal, duduk-duduk, bercakap-cakap. Saya bilang kepad tuan rumah agar tidak disiapkan makanan, terus terang saja, takut tidak termakan soalnya karena di samping kami baru makan di kondangan, kami juga bawa sangu berkat  yang berisi roti dan nasi. 

Selepas azan maghrib, kami shalat, lalu berangkat. Tujuan berikutnya adalah Leces. Saya hendak menyambangi Heri, kawan di pondok, dulu. Rencana ini di luar agenda. Awal dia meminta agak memaksa untuk mampir karena tadi sempat nyambung telepon di jalan, padahal saya hanya nanya nomor ponsel kawan bersama kami, Taufik, sama dia, eh, yang terjadi malah begitu: mampir ke Heri, ke Taufik justru tidak. 

Kami tiba di sana pukul 19.00. bagi kami, perhitungan ini, satu jam perjalanan sudah dianggap cepat mengingat perjalanan dari Kraksaan sampai lokasi masih gerimis. Alhamdulillah, senang sekali rasanya bisa mampir ke rumah kawan yang lama tidak bertemu dan pertemuan tersebut di luar perencanaan. Sebetulnya, minggu lalu (24 Oktober), ketika saya datang dari Jember dan lewat Leces, saya memang berencana mampir, tapi gagal, dan ternyata terjadi seminggu kemudian. 

“Satu atau setengah?”

Begitulah cara Heri menyapa saya. Ini adalah sapaan kunci, ucapan yang dia biasa ajukan kepada saya saat mau makan, dulu, di pondok. Maklum, Heri adalah mantan penjaga kantin nasi milik kiai. Porsi satu adalah porsi standar. Porsi setengah ada porsi sedang. Kalau lapar, maka porsinya jadi satu-setengah. Malam itu, Heri menjamu kami dengan goreng. 

Pukul 20.30, karena tema obrolan masih ngawur dan ngalor-ngidul, saya harus potong, dan kami mesti pulang. Rumah masih jauh, masih sekitar 265 kilometer dari situ. Kami arahkan mobil masuk ke pintu tol. 

Mobil langsung masuk tol pintu tol Probolinggo Timur yang biasa diseput “Clarak” oleh penduduk sekitar, Leces. Masih tetap Anam yang bawa.

“Cukup ndak ini sampai Pandaan?” tanya dia sambil menunjukkan jarum penunjuk bensin.
“Sepertinya cukup, tapi mungkin cuman sampai Gempol.”
 

Jalan tol sepi, dan ini malam minggu, bahkan orang-orang yang biasanya pergi ngapel pun mungkin juga pilih ngumpet di rumah karena suasana yang dingin karena hujan seharian. Kami tetap kendali diri, tidak ngebut. Laju mobil masih standar saja, tidak sampai 80 km/jam. Agaknya, hujan merata ke seluruh daerah di Jawa, bahkan mungkin Indonesia. 

Sampai di Pasuruan, kami turun di Pintu Tol Kejayan. Pasalnya, saya ragu, BBM agaknya harus diisi dulu. Kami lewat—katanya daerah—Wukir sampai ke dekat pintu masuk pondok Sidogiri. Tapi ternyata ada macet. Anam turun dari kabin, melihat kondisi jalan ke arah depan. 

“Sepertinya macet panjang. Tak ada kendaraan datang dari arah barat.

Gimana? Balik, ya!”

“Wah, kita sudah jauh keluar dari tol, masak balik lagi?”

“Ya, ketimbang macet lama di sini dan tidak tahu sampai kapan?”

“Terserah kamu dah.” 

Kami putar balik, isi bahan bakar dulu di SPBU Karangketug, balik lagi ke tol Kajayan, masuk, lalu ngejos langsung Pandaan. Mungkin kami telah kehilangan jarak percuma sekitar 7 km x 2, atau kurang sedikit. Tapi, tak apa-apa ketimbang kami nunggu macet terurai dan itu entah seberapa lama. Kini, kami tenang karena bahan bakar hampir penuh setelah diisi pertamax 300.000. 


Sampai di percabangan batas akhir tol Leces-Gempol, sempat terpikir untuk lanjut ke Perak saja, pulang ke Madura, sudah mulai bosan melihat hujan terus sepanjang perjalanan. Tapi, saya lantas ingat si Agus yang dari tadi maksa-maksa agar kami ngopi dulu di kedainya, Akui Kopi, di Pandaan. Lokasinya di sebelah barat Masjid Laksamana Cheng Ho. Akhirnya, kami ambil haluan kiri, mengarah ke Malang, menuju Pandaan demi turun di pintu tol Taman Dayu.
 

Kami tiba di Akui Kopi hampir pukul 23.00. Di situ kami cuman ngopi dan makan gorengan. Waduh, kalau pakai pertimbangan waktu dan jarak serta ongkos tol, kayaknya gak cucuk. Tapi karena tuan rumahnya merasa sangat senang atas kedatanngan kami, maka nilai secangkir kopi dan sepiring gorengan sudah beda level dan kastanya, naik ke maqam tertinggi. Sungguh luar biasa apa itu yang disebut silaturahmi. 

Dari situ, setelah jam lewat pukul nol-nol, saya pulang dan giliran saya yang gantian mancal. Jalan pulangnya lewat arteri. Jalan sepi dan menurun. Saya genjot saja sampai kecepatan 80-90 km  per jam. Jalanan tak basah lagi, tak berasa basah tepatnya. Tiba tiba, mobil sudah mencapai Kejapanan. Saya lanjut terus ke utara, masuk Porong, lewat tengah kota, masuk Sidoarjo, terus ke Jalan A Yani, terus ke Ngagel hingga tiba di Kenjeran. 

Saya berpikir, andai tadi kami lewat tol, masuk di Kejapanan, mungkin durasi waktu perjalanan agak lebih singkat ditempuh. Tapi, saya lalu ragu, toh malam -malam begini tidak  ada kemactean di kota Surabaya. Lampu merahnya bahkan cuman saya jumpai beberapa kali saja, entah 3 atau 4 kali, Lagi pula, lewat tengah kota itu bisa menghemat jarak sekitar 7 kilometer jika dibandingkan dengan jalan tol yang memutar. 

Anam menggganti posisi kursi pengemudi lagi di SPBU Galis. Kabar tersiar kalau ada kemacetan di sana ternyata sudah terurai. Dua tronton yang tidak kuat menanjak di situ ternyata dalam evakulasi, dan tak ada kemacetan. 

Singkat cerita, kami mengakhiri perjalanan 838 kilometer ini di halaman musalla rumah pada pukul 04.20, masih nutut ngimami shalat subuh. Kami tiba dalam keadaan tidak kurang suatu apa, hanya jarum bensin yang kurang sedikit dari garis tengahnya.

Bred...Dreb...Breb...Breb...Bet...

KAMIS, 29 OKTOBER 2020

Naik Colt itu memang enaknya malam hari, tidak terlalu panas. Tapi, hukum ini tentu tidak berlaku bagi Colt yang sudah dipasangi AC. Bagi saya, perjalanan di malam hari untuk jarak jauh memang lebih diutamakan. Di samping karena memang suhu udara tidak begitu panas, jalanan juga tidak begitu padat.

Akan tetapi, persoalan akan berlipat jika mobilnya bermasalah: bengkel tidak ada, toko suku cadang jelas tutup. Dan itulah yang sedang saya alami dalam perjalanan kali ini, perjalanan ke Situbondo. Masalah pertama yang muncul adalah bret-bet, yaitu masalah pada sistem karburasi yang menyebabkan putaran mesin tersendat-sendat.

Ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari cerita perjalanan sebelumnya, yakni perjalanan pulang dari Jember, seminggu yang lalu. Waktu itu, gejala bret-bet sudah tampak sejak lewat Surabaya, setelah isi pertalite di sekitar Sedarum, Pasuruan.

Karena sebelum berangkat sudah saya kop (menutup-melepas karburator—sambil ngegas tinggi—dengan tangan untuk menyedot kotoran di dalamnya) dan mesin berasa normal, berani saja saya melakukan perjalanan malam itu. Akan tetapi, ia menjadi masalah serius karena perjalanan kali ini lebih jauh dari perjalanan sebelumnya, sekitar 400 kilometer sekali jalan.

Bret-bet mulai berasa sejak di Ambat, kira-kira 45 kilometer dari rumah, masih wilayah kabupaten tetangga, Pamekasan. Awalnya. saya curiga hal itu disebabkan oleh bahan bakar yang tercampur air; lalu mencurigai filter udara; lalu mencurigai koil. Dugaan-dugaan ini keluar begitu saja sembari saya mengendalikan stir.

Pukul 01.30, saya berspekulasi untuk melepas filter udara di Gunung Gigir, jarak 110-an km dari rumah. Saat itu, kami sedang kena macet karena ada kecelakaan lalu lintas di Rompeng, Paterongan, Galis, Kabupaten Bangkalan.

Sebuah mobil masuk ke ekor tronton yang sedang parkir di tengah jalan, yang mungkin mogok atau entah apa, tapi saya lihat rambu-rambunya sudah lengkap. Bisa jadi truk baru mogok atau sopir mobil yang mengantuk dan tidak sigap. Sehabis melepas filter, rasanya saja lumayan, tapi ternyata tidak begitu ngefek saat mobil kembali harus menghadapi tarikan gas panjang.

Kami berhenti lagi di masjid Al Ibrohimy, Galis. Waktu itu pukul 1 lewat seperempat. Kami parkir di halaman masjid bukan untuk tahajud, tapi untuk membuang sisa BBM di karburator; berharap akan bebas bret-bret; ternyata tetap saja. Hati mulai galau, tapi mobil tetap harus berjalan.

Sampai Suramadu pukul 02.00; terdengar letupan di bawah jok saat digas panjang dan RPM tinggi. Saat itu, saya mulai  menaruh curiga pada adanya ketidakberesan pada sistem pengapian, bukan pada sistem karburasi sebagaimana tadi. Sebab itulah, di samping memang karena cari top-up kartu tol gak dapat, akhirnya kami putuskan untuk menghindari jalan tol sama sekali. Saya pikir, jika kami nanti benar-benar macet di jalan tol, tak tahulah hendak berbuat apa, apalagi malam-malam. Andai di siang hari pun, mau cegat siapa? Masa harus panggil derek? Alangkah ribetnya untuk urusan ‘sesepele’ ini. Kami lewat jalan arteri atau Jalan Nasional saja, sehingga andaipun benar-benar mogok dan harus diperbaiki, saya pikir akan lebih mudah diatasi.

Hampir masuk kota Pasuruan, kami menepi, mencoba ngompres koil, menggunakan kain yang dibasahi. Saya berspekulasi, jangan-jangan koil lemah atau mau mati, lemah saat kepanasan, jadi harus didinginkan. Tapi, ternyata, dugaan salah lagi: bretbet tak hilang juga. Hingga pada akhirnya, kami menunaikan shalat subuh dan istirahat di masjid Raudlatul Muttaqin,Banjarsari, masjid yang minggu lalu juga saya singgahi, tiga kilometer sebelum kota Probolinggo dari arah Surabaya. Di situ, kami istriahat dan shalat sekitar 30 menit.

Sambil lalu menunggu penumpang lainnya beres, iseng-iseng saya bukan jok, cek tutup delco. Dan alamaaak! Tak sengaja, ketemulah masalahnya. Ternyata, pentilnya (yang bisa naik turun karena ada per berpilinnya [spiral], yang berfungsi menyalurkan api dari koil dan mendistribusikannya ke untuk empat) sudah aus, bahkan nyaris habis sama sekali. 

“Ini masalahnya, ketemu!” Saya bilang sama Anam, saudara saya yang ikut bantu mengemudi dalam perjalanan kali ini. “Tapi ini masih setengah lima. Toko baru buka pukul 8 atau 9.” 

Apa yang bisa dilakukan? Hanya mengamplas sisi-sisinya sehingga ia lebih muncul ke permukaan. Saya juga mengamplas ke empat sumbu penyalur distributor. Pasang, start, dan jreng. Gas panjang, normal. Wah, betapa bahagia pagi itu. 

Dari situ, lewat kota Probolinggo, lanjut ke Gending sampai Kraksaanm perjalanan normal. Saya tarik gas sampai kecepatan 80 km/jam pun tetap normal. Sesekali tersendat masih ada, tapi tidak seperti tadi. Perjalanan lancar jaya hingga kami istirahat sejenak untuk menurunkan penumpang di Klatakan, lalu lanjut lagi sampai ke Asembagus untuk menurunkan istri di rumah bibinya. Sementara itu, saya lanjut ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo (P2S3) (), untuk sowan ke Kiai Afiduddin Muhajir, salah seorang ahli usul fikih di Jawa Timur. 

“Masih ada waktu untuk cuci muka,” kata saya dalam hati karena khadam kasih waktu pukul 9 untuk pertemuan kami. 

Dari pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore, saya habiskan waktu di Sukorejo, berjumpa dengan Ustad Mukhlis, main ke Ustad Suwandi dan Erfah, bertandang ke Ustad Shanhaji dan Aisiyah, main ke Maulidi dan Nyai Muyassirah, bahkan setempat pula bertemu secara tak sengaja dengan Widodo (kawan saya yang berasal dari Kebumen tapi saat ini jadi panwas kecamatan) saat shalat Jumat di Masjid Sabilul Muhtadin, yang terletak di pinggir Jalan Nasional. Saya juga sempat mengunjungi rumah Pak Zainul Walid, tapi beliaunya sedang ke kota. 

Sepulang dari Sukorejo, saya membeli tutup delco di Asembagus, tapi sialnya, stok kosong. Yang ada cuman milik L300.

“Pak, sepertinya bukan kayak ini!”

“Ndak, Mas. Memang ini punya Colt.”

“Beda, kok.”

“Wis biasa kayak ini kok.” 

Saya agak heran dengan penjaga toko itu, meyakinkan saya akan suatu barang yang memang sedang saya perbaiki. Masa saya yang salah? Karena dia ngotot, saya pun memabawanya dan setelah dipasangkan, benar-benar ndak bisa masuk, kegedean, juga posisi kabel yang berbeda. Akhirnya, tutup delco saya kembalikan, tapi si penjual ngasih saran. 

 “Copot saja pentilnya, pasangkan ke tutup yang ada.”

Akhirnya, ide si penjual saya terima karena saya tidak mau berlama-lama lagi mencari sesuatu yang belum pasti ketersediannya, khawatir malah besok tidak bisa pulang ke Madura gara-gara cari suku cadang dan ternyata tidak ada (belakangan saya tahu kalau ternyata pentil tutup delco itu bisa diganti dengna arang baterai).

Setelah mobil saya ujicoba dan benar-benar kembali normal seperti sedia kala, muncul rencana bertandang ke Man Ali di Ramban juga ke rekan Colt, saudara Yudik a.k.a Ghazie Putra di Bondowoso, malam itu juga. Tapi, rupanya, tubuh tidak bisa kompromi. Saya tepar hanya setelah shalat isya.

>> cerita perjalanan pulangnya klik di sini!

03 November 2020

Sowan Guru di Jatisari, Kondangan Maulidan ke Klakah

RABU, 21 OKTOBER 

Berangkat molor dari jadwal yang direncanakan itu masih mending ketimbang gagal setelah terjadwal pasti. Itulah yang saya alami dalam agenda perjalanan kali ini. Ya, perjalanan saya molor: dari yang semula direncanakan berangkat pukul 22.00, akhirnya bocor hingga pukul 23.30. Penyebab kemoloran adalah karena ada agenda yang molor, yakni menghadiri maulid nabi di desa tetangga yang ternyata juga molor. Jadi, molor satu dapat menyebabkan kemoloran yang lain.

Akan tetapi, beberapa jam sebelumnya, bahkan sempat terlintas oleh saya untuk menggagalkan agenda perjalanan ini karena kondisi tubuh yang kurang prima. Hingga pada akhirnya, saya pastikan berangkat setelah mendapat panggilan telepon dari Kiai, “Kamu jadi yang mau ke Jember?” tanya beliau di seberang telepon. “Jadi, Pak Kiai. Insya Allah nanti malam berangkat,” jawab saya dengan pasti, tak ragu lagi.

Kali ini, saya berangkat bersama adinda Sakdi. Dia ini teman mengemudi, bukan sopir yang saya sewa. Artinya, kami sepakat untuk bergantian pegang stir, nanti. Saya percaya diri kalau bareng sama dia karena dia bisa melek lama di belakang kemudi, nyaris tidak pernah saya lihat menguap, beda dengan saya yang mudah menguap.

Kami isi bahan bakar di SPBU Violet, Larangan Tokol, lepas kota Pamekasan. Oh, ya, di sekitar Sampang dan Pamekasan, hanya SPBU ini (dan SPBU Ambat) yang buka 24 jam yang saya tahu. Untungnya, premium tersedia di sana. Tak ada antrian seperti biasanya sehingga wajar jika awalanya saya mengira tak ada.

Tadi terlanjur bilang mau ngisi 250.000 ke petugas SPBU, tapi ternyata bensin sudah mau muntah pada angka pengeluaran 36 liter. Berarti, di tangki mobil masih tersisa 9 liter karena isi tangki colt itu 45 liter (kalau L300 bensin isinya 55 liter). 

“Stop, segitu saja, Mas!” kata saya.

Petugas melepas pelatuk nosel dan berhentilah semburan bensin kuning tersebut ke dalam tangki. Di layar tertera: Rp237.000 lebih sekian, tepatnya saya lupa. 

Saya masih tetap mengemudi hingga kami mampir di Masjid Baiturrahman, Dumajah. Di situ, saya tukar posisi, sudah ngantuk dan tidak tahan lagi. Dik Sakdi yang kini mengemudi sementara saya duduk di jok sisi kiri. Saat itu, jam menunjukkan angka pukul 02.00, dua jam setengah perjalanan dari rumah. Saya perkirakan, kami akan subuhan di Leces jika lewat tol atau di sekitar Nguling jika lewat arteri. Tapi, lewat tol penuh sepertinya menjadi keputusan terbaik karena saya punya target tiba sepagi mungkin di Klakah. Demi apa? Saya berencana ngajak anak-anak dan istri merasakan naik keretaapi Probowangi dari Klakah menuju Jember.

KAMIS, 22 OKTOBER 

Ternyata, kami shalat subuh di Ranuyoso. Tujuan ini tercapai, salah satunya, sebab kami menempuh seluruh ruas jalan di atas tol, dari Perak sampai Clarak alias Probolinggo Timur, ujung akhir tol yang ada saat ini. Entah berapa dana yang tersedot dari kartu e-toll, mungkin 70-an ribu atau berapa. Saya lupa tidak mencatatnya. Tanpa target waktu tertentu, saya tidak akan lewat jalan tol karena sensasi perjalanan dengan sendirinya akan berkurang. 

Di Klakah, saya menuju rumah Aak Abdullah dan bertemu dengan Adnan. Akhirnya, kamimalah ndak jadi naik kereta api karena—kata Adnan, si kawan saya yang ngurus pembelian tiket—ribet dan harus ngurus ini itu.
“Ini syaratnya!” kata dia sambil menunjukkan foto pengumuman yang tertera di pintu stasiun yang kala itu masih tutupan. (Namun, ternyata, belakangan diketahui kalau aturan tidak seketat itu. Syaratnya  penumpang cukup pakai masker, tidak perlu rapid test; barangkali papan pengumuman sisa lama dan belum dicabut juga sehingga wajar jika ada calon penumpang yang menganggapnya masih berlaku).
Untunglah, Aak ngajak kami naik boat atau perahu mesin di Ranu Klakah. Ini cukup menghibur dan melipur kekecewaan anak-anak saya yang gagal naik kereta api. 

Kami baru bergerak lagi, meninggalkan Klakah, melewati Randu Agung, jalur tengah, saat jarum jam menunjuk angka 10. Namun, saat kami sudah tiba di Mangli, ketika hendak sein kanan ke Jatisari, Jenggawah, ternyata Kiai Maltuf, guru kami yang hendak disambangi, berkabar kalau hendak pergi ke kota dan saya diminta datang sore saja. Maka, sein kanan pun diubah ke kiri, ke Dukuhmencek. Sementara, saya geletakkan dulu tubuh di rumah Alwalid, sepupu saya, sembari menunggu. Enaknya punya banyak tempat singgah. Hamdalah. 

Menjelang asar, kami menuju Jatisari.  Dan setelah muter-muter dan nanya beberapa kali, akhirnya ketemu juga itu pondok, Pondok Pesantren Jalaluddin ar-Rumi. Kami bertamu dan sowan ke Kiai. Ini adalah kunjungan saya yang pertama setelah sejak 2017 gagal melulu, tertunda tepatnya. Kiai menyuguhi kami makanan dan cemilan. Lalu, setelah mahritb, Kiai meminta saya agar berbagi cerita tentang pengalaman saya selama menjadi santri dan penulis. 

Saya pun bercerita kepada adik-adik santri. Sungguh, ini adalah salah satu pengalaman paling membahagikan, pengalaman seorang santri yang diminta kiai untuk menuturkan pengalaman belajarnya selama dulu menjadi santri kepada santrinya saat ini. Rasanya, tak ada yang lebih bahagia daripada saya, kala itu. 
“Pada awalnya, nama Jalaluddin ar-Rumi ini adalah nama daerah di Gang A, di Pondok Pesantren Nurul Jadid sana. Sebelum diberi nama ini, tempat kita mondok dulu, sempat terbersit usul agar nama yang terpilih adalah komplek Abu Nuwas...”

Para santri tertawa...

“Mungkin karena kami ini kan lucu-lucu,” sambung saya. Saya sampaikan kepada mereka bahwa Kiai Maltuf akhirnya memilih nama yang dipakai hingga saat ini: Jalaluddin ar-Rumi yang oleh masyarakat sekitar sekarang dikenal dengan sebutan “Ar-Rumi” saja. Saya jelaskan juga siapa itu Ar-Rumi, singkat saja, karena saya yakin mereka juga pasti sudah tahu.

Begitu gayeng obrolan kami sehingga tak terasa azan isya berkumandang. Rasanya singkat sekali. Ingin saya nyerocos terus tapi rasanya tidak pantas. Santri putri di sisi kanan dan santri putra di sisi kiri akhirnya bubaran. Shalat isya berjamaah dilaksanakan dan saya pamit pulang. Pak Kiai bahkan menawari kami bermalam di Jatisari, tapi saya matur kalau kami sudah terlanjur berjanji sama bibi untuk menginap di kediamannya saja, di Dukuhmencek. 

Sebelum bermalam di Dukuhmencek, Mangli, saya masih sempat kopdar ke Kancakona. Di sana, saya bertemu dengan Qomar, seorang perancang meubelair rumah tangga dan saya dihadiadinya kotak rak mobil. Ada juga Manamo, Ivan, Adil, dan banyak yang lain. Kami di situ sampai malam, ngobrol segala macam, sampai pukul 23.00. sebelum dikandangkan, mobil saya isi pertalite 150.000. Di Jember tak ada premium.

JUMAT, 23 OKTOBER 

Pagi hari Jumat, saya menyempatkan takziyah ke rumah Mas Fadol, tak jauh dari rumah Walid, tempat saya bermalam, sekaligus nyambangi Kak Faisol, tapi beliaunya konser ke Banyuwangi.

“Faisol itu kondangan terus kalau Maulid,” kata seseorang yang ada di situ. “Tadi malam kondangan konser di Kencong, eh, pagi ini sudah berangkat lagi ke Banyuwangi.”

Sekitar pukul 10.00, kami berangkat ke rumah Hanafi, sepupu dari istri. Rumahnya berada di kaki Argopuro, kampung terakhir sebelum perkebunan. Ia bersebelahan dengan tujuan wisata baru yang lagi naik daun, Kampung Durian, berlokasi di Pakis Atas, Kecatamatan Panti. Sungguh sangat sejuk dan asri alamnya. Ada empat sungai di sekitar rumahnya, bahkan salah satunya mengalir di bawah emperan rumahnya. 
“Kalau kamu masih mau ngambil batu-batu dari sungai dan bunga-bunga, aku pergi duluan,” kata saya sama istri yang masih kerasukan ngambil batu-batu dari sungai dan bunga-bunga liar yang elok-elok. Dia mau angkut itu ke rumah, ke Madura. Perasaan saya mulai was-was. Muatkah mobil yang sudah berisi delapan kepala dan barang bejibun ini jika ditambah batu dan bunga?

Karena saya mau menghadiri pertemuan IAA di PP Lembah Arafah, diputuskan, saya berangkat sendirian ke Kedungjajang dan menghadiri maulid di rumah Hj. Fatimah, Tegalrandu, pada malamnya. Sementara istri saya dan anggota yang lain bermalam di rumah Hanafi itu. 

Jam 14 saya diantar ke Pecoro, nyegat Ladju ke Kedungjajang. Tapi, acara IAA yang dilaksanakan di rumah Kak Fauzan sudah bubar setelah saya baru tiba. Tidak apa-apa, pikir saya. Saya pun ikut Kak Fauzan ke Klakah, kerumah patobin atau rumah kesepuhan yang saat ini ditempattinggali oleh saudaranya, Shima. Di rumah itu, rumah yang berlokasi di depan Pasar Mlawang, saya bernostalgia, mengingat masa-masa mondok dulu, masa di mana  saya sering main ke situ ketika hendak pulang ke Madura atau ada liburan pendek. 

Sehabis maghrib, barulah kami geser ke Tegalrandu. Ikut acara maulidan di rumah bibi Kak Fauzan, Hj. Fatimah. Dan di tempat itu pula saya bertemu Ibu yang berangkat terpisah dari Madura. Acara Maulidan di yang terletak dekat Ranu Klakah tersebut dimeriahkan oleh shalawat Banjari, entah dari pondok mana. Ceramah diisi oleh Gus Sef alias Ayyub Syaiful Rijal, dari Jember. Sementara saya berugas mendaraskan terjemah puisi Burdah di acara itu, juga membacakan puisi karya saya sendiri. Sungguh asyik. Tampaknya, atau sepanjang saya ingat, ini adalah pengalaman pertama saya: dapat tugas baca puisi di acara maulid Nabi.
Setelah di bertemu dengan Agung Widagdo, kawan lama yang rumahnya persis dekat satsiun kereta, eh, sebelum tidur, saya bertemu lagi dengan kawan satunya, Marsudi Utomo, kawan lama yang dulu memperkenalkan lagu-lagu Obiatuary dan Bulldozer kepada saya. Saya akhirnya tidur menjelang tengah malam di rumah Aak Abdullah. 

SABTU, 24 OKTOBER 

Pagi, saya sarapan nasi pecel, bertemu Adnan di pasar, lalu diajak main ke rumah Adenun. Dua orang ini adalah sahabat saya di pondok. Dari rumah Adenun, dia yang ngantar saya ke Kedungjajang, rumahnya Kak Fauzan: yaitu orang yang pertama mengundang saya untuk acara maulid, acara yang secara rentetan sama persis dengan tadi malam, acara Maulid Nabi. Tugas saya pun persis seperti tadi malam, penceramahnya juga persis yang tadi malam. Di sini pula saya akhirnya bertemu dengan Kak Fakhri, saudara kandung dari Kak Fauzan Adhima. 

Dari Kedungjajang, kami pulang pukul 14.00. Saya masih janjian dengan Aak dan Ibu, mampir di toko rumah H. Ahmad. Di tempat itu, kami tukar-tukaran barang yang mau diangkut agar tidak penuh di satu mobil dan kosong di mobil yang lain. Aak juga ngasih bekal masker dan disenfektan. Haji Ahmad  ngasih cemilan dan minuman yang diambilkan langsung dari rak tokonya yang berada persis di utara perempatan Jalan Gunung Ringgit dan Linduboyo itu.  

Setelah melewati Ranuyoso, saya merasakan ada yang asing pada ban. Ternyata,  ban rada kempos. Kayaknya ada bocor halus. Maklum, ban yang biasa diisi 32-33 psi itu harus dicekoki tekanan jhingga 50 psi karena begitu banyaknya barang yang saya bawa, termasuk batu-batu sungai dari Argopuro itu. Ternyata, begitu saya sentuh, velg panas. 
Wah, ini pasti ada masalah dengan rem atau handrem.
Dari bengkel tembel ban, saya maju sedikit, dekat perlintasan kereta api, di Malasan, Leces, masuk bengkel yang untungnya buka. Kami cek, master rem ternyata macet. Saya menduga ia kepanasan saat tadi dibawa ngerem panjang dari Pakis Atas sampai Pecoro sejauh 11 kilometer dan dari Klakah hingga Ranuyoso. Itu dugaan saja.

Singkat cerita, hampir mahrib, acara servis selesai. Kami melanjutkan perjalanan. Per beberapa kilo, saya berhenti untuk ngecek velg, aman, tidak panas lagi. Akhirnya, mobil dilajukan lebih cepat lagi dan kami berhenti di masjid Sabilul Muttaqin, Banjarsari, masjid andalah buat persinggahan.Dan eh, tak sengaja dapat rezeki. Saya bertemu dengan putra guru saya, Gus Fayyadl yang juga baru datang dari perjalanan.

“Mari, saya foto dulu,”  kata beliau, “Mau laporan ke abah saya.”
Tentu saja saya sangat senang diajak foto bareng, apalagi mau dilaporkan kepada ayah beliau, yakni guru saya sendiri, yakni Kiai Maltuf Siraj.
Dari situ, kami pulang dan kami bergantian mengemudi dengan Dik Sakdi. Kami masuk Gempol, masuk jalan tol. Sakdi masih seperti sebelumnya, suka turun di pintu tol terakhir, Perak, di Kilometer Nol, bukan di Pasar Turi seperti biasanya saya lakukan. Entah mengapa beliaunya sudak masuk Sidotopo dulu untuk masuk ke akses jalan Kenjeran dan Suramadu. Saya juga tak paham. 

Kami tukaran nyetir lagi di Dumajah setelah makan. Lalu kami lanjutkan perjalanan pulang ke arah timur, ke rumah setelah makan. Kami sampai dalam keadaan selamat. Perjalanan menempuh 806 kilometer berarkhir di halaman rumah, pukul 1 30 dini hari.


23 September 2020

Tes Radiator Baru ke Sidoarjo


Hari ini, saya mendapatkan tugas ngetes radiator ‘baru’ dari Pak Bambang. Mengapa beliau? Karena radiator saya yang lama, yang sudah berusia 40 tahun, yang sudah ‘busuk’, yang tidak bisa diberdayakan lagi karena tetap panas meskipun sudah disogok dan dibersihkan, dioprek oleh beliau. Sarang tawonnya diganti yang ‘baru’ (saya tidak tahu, apakah benar-benar baru atau bekas tapi rada baru). Belakangan saya tahu, bahwa sarang tawon radiator 'baru' yang saya pakai ini adalah 'mantan' radiator kijang super, tiga lapis. 

Keputusan untuk mengganti radiator dengan yang baru, dengan memodifikasi isinya dengan entah milik L300 atau Kijang, pokoknya yang tiga lapis, secara mantap saya teguhkan setelah mengalami keadaan yang sungguh enggak enak di tengah perjalanan. Gara-garanya ya panas mesin yang hampir mbleduk. Ini salah satu pengalaman saya yang lain

Sebagaimana kita tahu, panas mesin adalah penyakit umum Colt, dan juga nyaris untuk semua mesin kolong (mesin tengah) mobil yang lain. Pasalnya, radiator ada di tengah, tidak berhadap-hadapan langsung dengan semburan angin dari lawan arah (alias dari depan) pada saat melaju. Karena itu, raditor harus sehat. Saya bahkan menyiasatinya dengan memasang bilang penangkis angin (selebar plat nomor kendaraan) di bawah radiator, ditempelkan pada labrang—atau entah apa namanya, itu, lho, balok besi yang menghubungkan roda depan, antara roda kanan dan kirinya. Harapannya, angin yang datang dari arah depan tidak lolos ke belakang, melainkan sebagiannya naik ke atas, menabrak radiator.

Walhasil, kemarin saya coba ke Prenduan, jarak 7,5 kilometer. Hasilnya bagus. Suhu mesin naik tidak sampai satu strip, padahal tanjakannya lumayan, sejauh 5-6 kilometer. Hari ini, saya mencobanya tidak tanggung-tanggung, langsung ke Sidoarjo. Jarak tempuh sekali jalan sekitar 160 kilometer. Hasilnya sama, suhu mesin tetap aman, sekitar 75-80 derajat celicius untuk tanjakan Gunung Gigir, Bangkalan, ruas jalan paling menanjak kalau dari arah Sumenep.

Namun, ada pertanyaan tersisa! Apakah mesin semakin dingin berarti semakin baik?  Saya kira tidak karena suhu mesin tidak sama dengan suhu tubuh manusia. Mesin juga butuh panas tertentu sehingga kerja dan kinerjanya berjalan maksimal. Ini yang kiranya perlu dicatat dan diperhatikan. Konon, suhu ideal Colt itu berada di kisaran 80 derajat celcius.

Setelah pulang dan tiba di rumah, saya nelpon Pak Bambang.
Aman, Pak. Suhu mesin stabil. Meskipun berjalan di terik siang, masuk kota Surabaya yang tersedat dalam kemacetan, suhu tetap stabil, hanya bergerak di sekitar 75 derajat celcius. Mentoknya hanya di 80 derajat celcius."

"Jadi, nyobanya berapa kilometer? 10 kilometer?" tanya beliau.
"Eits, jangan salah: tapi 320 kilometer," kata saya yang ditutup dengan tertawa bersama-sama, itung-itung menaikkan imun tubuh dengan cara berbahagia. 

 


Kita tunggu jawaban para suhu dan pakar soal ini.


13 Agustus 2020

Pergi ke Pare, Sowan Guru


Kemarin, Rabu, 12 Agustus, 2020, saya pergi ke Pare. Kami (saya dan beberapa anggota penumpang lainnya) merencakan perjalanan ini sedikit dadakan. Ide muncul ketika secara tiba-tiba saya teringat Kiai Baidlawi, seorang kiai di Pare yang kepada saya dulu sempat mengaji. 

Saya lantas kontak sepupu saya, Habiburrahman, untuk ikut. Saya kasih waktu 12 jam untuk memutuskan. “Siap,” katanya!

Karena rencana saya mau bawa mobil, maka saya ajak yang lain. Eman-eman jika saya hanya pergi berdua saja. Hingga menjelang keberangkatan, banyak anggota yang mundur. Yang ikut tetaplah 4 penumpang, plus saya jadi 5 orang, bahkan saya sempat menghubungi satu penumpang lagi di tengah perjalanan. Ternyata memang tidak jodoh, gagal juga. Yang berangkat ke Pare tetap orang yang itu-itu juga. 

Saya janjian dengan Habib di Masjid Al-Hikmah, sebelah barat terminal Sampang, sekaligus shalat duhur dan asar di sana. Jam menunjukkan pukul 13.00 ketika kami berangkat lagi. Mungkin hanya 15 menit saya di situ. 

Jalan macet gila-gilaan. Saya merasa heran. Ada beberapa titik kemacetan yang terjadi, termasuk di Pasar Blega, Patemon—sebelum Galis, dan termasuk Tanah Merah. Tidak ada pasar tumpah, tidak ada hajatan, tidak ada perbaikan jalan, ini macet karena apa? Sampai saya tulis catatan ini, jawaban itu belum saya tahu. 

Di Patemon saya bahkan sempat memarkir mobil karena suhu mesin sudah sangat panas. Jarum temperatur naik sedikit dari angka setengah, sementara antrian masih mengular. Sebetulnya, perjalanan saya ini rada-rada nekat juga, sih, karena kondisi radiator sedang sekarat (bengkel sudah menyarankan agar diganti saja tapi saya belum dapat gantinya). 

Kira-kira satu batang rokok habis, barulah kami jalan lagi, dibarengkan dengan ketika kondisi lalu lintas sedang sepi. 

Selepas itu, hujan turun. Temperatur ikutan turun. Eh, kipas kaca mendadak macet. Stres sebentar, saya panik. Saya menepi sejenak di badan jalan akses Suramadu setelah bertahan beberapa menit tanpa kipas di bawah gerimis, dan tidak mampu. Saya cek, tidak ada sekring yang putus. Saya cek lagi. Ternyata yang bermasalah adalah "modul kontrol interval"  (perangkat elektrik yang saya pasang untuk mengatur jeda kipas kaca, misalnya menyala tiap 6 detik—ya, kayak mobil-mobil baru itu, lah...). Makanya, saya putus saja kabelnya, kemudian saya langsungkan (by pass) kabelnya, kembali ke pengaturan pabrik. Akhirnya, di antara gerimis yang makin menderas, kipas kaca normal lagi. Saya butuh waktu sekitar 3 menit untuk menyelesaikan ini.  

Pukul 15.45 kami masih mencapai Kedung Cowek, turun dari Jembatan Suramadu. Jalanan ramai karena sore itu jelas berbarengan dengan jam orang pulang kerja. Rencana sebelumnya adalah mampir di Peterongan, ngajak Haris, satu penumpang yang lain, untuk ikut ke Pare. Namun, karena skenario kemacetan tidak terduga, akhirnya saya putuskan lewat tol saja. Kami pun naik tol dari Warugunung menuju ke Jombang. 

Bakda maghrib kami sudah turun dari tol dan melintasi area pondok pesantren Tambak Beras, lanjut ke Pare. Rencana semula adalah mampir dulu di Tebuireng, namun seperti yang tadi sudah dijelaskan, skenario berubah, maka kami lanjut saja menuju Pare (di selatan stasiun Jombang, arah Pare, saya sempat berpapasan dengan sesama Colt: kami bertukar lampu dan bertukar klakson, tanda saling menyapa). 

Tepat pukul 19.00, beberapa menit setelah azan isya, kami tiba di kediaman Kiai Baidawi, Gedangsewu, Pare, Kediri. 

Gus Yazid, putra kiai, mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Kami masuk, duduk bersila. Tak perlu lama, Pak Kiai datang. Kami pun sowan. Waduh, senangnya hati ini. Teringat masa-masa mondok di sini, dulu. Ketika itu, saya cuman mondok kilatan dan sudah menikah tapi belum dikaruniai anak. Sementara saya di Pare, istri juga mondok di pondoknya, di Madura sana. Jadi, kami yang sudah menikah belajar berpisah selama beberapa hari untuk sama-sama tinggal di pondok yang berbeda. Sungguh ini pengalaman yang menakjubkan rasanya kalau dikenang kembali. 

“Kalau Habib yang dari Sumber Anyar itu? Di mana dia sekarang?”
“Abbasi dari Rubaru, tahu?” tanya Pak Kiai kepada Kak Fadlillah, kawan seperjalanan kami yang dari Rubaru. 
“Hatim, yang tempatnya tandus itu, dari Batu Putih, gimana kabarnya?”

Masih banyak nama lain yang disebut oleh Pak Kiai. Semua santri tersebut beliau ingat nama sekaligus tempat tinggalnya, bahkan santri yang pernah dikunjunginya beliau ingat dengan pohon yang tumbuh di depan rumahnya. Saya kaget karena ternyata kiai ingat kalau ada pohon sawo di rumah saya. Kata beliau, "Dulu, saya dikasih oleh-oleh buah sawo..."

Saya tertawa, tapi segera saya tahan. 

Betul, Pak Kiai ingat semua nama dan sekaligus alamat rumahnya. Salah satu anggota rombongan kami lantas nyeletuk kepada saya.
“Santri-santri apakah juga ingat sama kiainya? Cukup “ingat saja”, ndak perlu ingat dulu diajari apa saja! Ingat apa tidak, ya?”. Saya tidak menjawab karena itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi direnungkan saja. 
 
Kami di situ sebentar saja, mungkin 30 menitan, atau lebih sedikit, tapi rentang segitu rasanya sudah cukup puas mengobati kerinduan. Setelah sowan dan minta doa, kami pamit. Kak Nasa'i ngajak saya ke Kwagean. Katanya beliau ingin sowan sekaligus nostalgia dengan pondoknya (Oh, ya. Kak Nasai ini, dulu, termasuk santri awal di Fathul Ulum, di Kiai Hannan, saat santrinya masih berjumlah 50 orang dan sekarang tumbuh pesat bersama bangunan-bangunan megah dan besar. Jadi, kalau ada pembaca yang ingin manaqib Kiai Hannan, tanyakan sama Kak Nasai ini. Beliau  adalah salah satu narasumber yang kompeten).

Sayangnya, Kiai Hannan tidak bisa menerima tamu karena sedang ada rapat. Saya bilang kepada Kak Nasai, saya tidak siap bermalam untuk menunggu karena saya sudah terlanjur janjian dengan Haris, di Corogo, Peterongan. “Andai Sampeyan bilang dari awal kalau mau ke Kwagean, akan saya atur jadwal keberangkatannya.”
“Iya, mungkin lain waktu,” kata dia.
“Iya, sih. Ini kan rencana tambahan. Coba direncanakan dari awal, insya Allah bisa.”


Oke, kawan! Kita atur lagi, kapan-kapan!

Saya sungguh agak trauma dengan frasa ‘kapan-kapan’ ini. Sungguh, beberapa kali saya dengar kata ini dan juga saya ucap sendiri, tidak segera terbukti, mengingat sekarang kita semua sama-sama sibuk. Waktu berjalan berasa cepat, dan kita seolah mengerjakan sedikit hal saja dari banyak rencana. Maka, kesempatan menjadi sangat mahal harganya, apalagi "kesempatan silaturahmi", yaitu kesempatan yang secara sepintas tidak menghasilkan keuntungan finanasial, sudut pandang keuntungan yang oleh banyak orang justru dijadikan pegangan. Benar, frasa "kapan-kapan" serasa begitu manis diucapkan tapi sangat pahit kalau dicicip perlahan-lahan, belum lagi jika kapan-kapan itu akhirnya tidak terjadi lagi sampai ajal menjelang. 

Depan PP Al-Masruriyah & Madrasatul QuranKami putar haluan, kembali ke Jombang untuk selanjutkan menuju Corogo. Tiba di depan PP Tebuireng, saya menepikan kendaraan. Turun dari mobil, ambil kamera, cekrak-cekrek, dan berkirim Al-Fatihah untuk semua isi makbarah, termasuk kepada Kiai Yusuf Masyhar, pendiri Madrasatul Quran, tempat saya dulu sempat bermalam untuk belajar meskipun hanya beberapa bulan. Saya, kami tepatnya, tidak bisa masuk ke dalam karena maqbarah ditutup untuk umum. Maka, saya kirim doa dari tepi jalan raya, bersama deru kendaraan yang lalu lalang... selesai membaca, naik lagi, gas lagi.  

Kami tiba di rumah Haris saat dia sudah tidur, tertidur tepatnya, mungkin pukul 22.30 atau 22.45. Kami ngobrol sebentar dan giliran saya yang tertidur di serambinya. Saya kelelahan, maklum, saya nyetir terus dari Guluk-Guluk sampai Pare, lalu kembali ke Jombang. Sakdi, adik sepupu saya, membantu mengemudi saat mobil berjalan lurus di tol, kira-kira satu jam lamanya. Tapi, ini pun masih mending daripada saya tak dapat bantuan sama sekali. 

Tepat pukul 02.12, kami pamit pulang. Saya pegang kemudi lagi. Kali ini saya lewat jalan arteri (Andai keberangkatan tidak macet, pasti saya juga pilih jalan arteri).

Malam itu, ruas jalan Jombang – Surabaya sangat sepi, sehingga laju kendaraan bisa dipacu lebih leluasa dalam durasi yang lebih lama, tidak sebentar ngebut dan sebentar ngerem, kondisi yang menyebalkan. Perjalanan pulang tanpa tol sama sekali. Saya masuk lewat tengah kota: lewat Jalan A. Yani, Dharmo,  Ngagel, Gubeng, Kenjeran, Suramadu.
 
Kami berhenti rehat di  Masjid Baiturrahman, Dumajah, saat kiraah menjelang azan subuh sedang berkumandang. Maka, sekalian istirahat badan, istirahat ban, istirahat mesin, sekali kami istirahatkan pikiran dari kecamuk benda-benda duniawi, kami subuhan dulu. 

Habis itu, kami lanjut lagi ke Sampang. Jalan masih sepi. Pemandangan alam cantik sekali. Kami ngantar Habib pulang ke rumah Pondok Mertua Indah di Perumahan Selong, Sampang.  Kami sampai di halamannya sekitar pukul 6 kurang lebih.

Ra Ipung, iparnya, kayaknya baru tidur (karena mungkin semalam begadang), maka saya pulang. Kini saya ikutan tidur di jok belakang, mungkin dipengaruhi tuan rumah tadi. Kini, Sakdi yang ada di belakang kemudi, bawa Colt sampai Pamekasan. Saya benar-benar tidur lelap di jok belakang hingga akhirnya harus kembali ambil peran setelah seluruh penumpang ngisi nasi pecel Blitar. Dari situ, setelah ngisi hidangan badani, kami masih sempat ngisi hidangan ruhani: tahlilan di asta Kiai Ruham, kiai yang kuturunannya tersebar di jawa bagian timur dan Madura, nyaris sewilayah Tapal Kuda. 

Perjalanan dilanjutkan dan kami tiba di rumah menjelang pukul 9 pagi: hampir 22 jam perjalanan pergi pulang, 528 kilometer dilalui, bensin tidak kehitung. Saya rasa, inilah rihlah ilmiah sejati, study tour menurut versi yang lain, perjalanan sowan-sowan guru.

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...