RABU, 21 OKTOBER
Berangkat molor dari jadwal yang direncanakan itu masih mending ketimbang gagal setelah terjadwal pasti. Itulah yang saya alami dalam agenda perjalanan kali ini. Ya, perjalanan saya molor: dari yang semula direncanakan berangkat pukul 22.00, akhirnya bocor hingga pukul 23.30. Penyebab kemoloran adalah karena ada agenda yang molor, yakni menghadiri maulid nabi di desa tetangga yang ternyata juga molor. Jadi, molor satu dapat menyebabkan kemoloran yang lain.
Akan tetapi, beberapa jam sebelumnya, bahkan sempat terlintas oleh saya untuk menggagalkan agenda perjalanan ini karena kondisi tubuh yang kurang prima. Hingga pada akhirnya, saya pastikan berangkat setelah mendapat panggilan telepon dari Kiai, “Kamu jadi yang mau ke Jember?” tanya beliau di seberang telepon. “Jadi, Pak Kiai. Insya Allah nanti malam berangkat,” jawab saya dengan pasti, tak ragu lagi.
Kali ini, saya berangkat bersama adinda Sakdi. Dia ini teman mengemudi, bukan sopir yang saya sewa. Artinya, kami sepakat untuk bergantian pegang stir, nanti. Saya percaya diri kalau bareng sama dia karena dia bisa melek lama di belakang kemudi, nyaris tidak pernah saya lihat menguap, beda dengan saya yang mudah menguap.
Kami isi bahan bakar di SPBU Violet, Larangan Tokol, lepas kota Pamekasan. Oh, ya, di sekitar Sampang dan Pamekasan, hanya SPBU ini (dan SPBU Ambat) yang buka 24 jam yang saya tahu. Untungnya, premium tersedia di sana. Tak ada antrian seperti biasanya sehingga wajar jika awalanya saya mengira tak ada.
Tadi terlanjur bilang mau ngisi 250.000 ke petugas SPBU, tapi ternyata bensin sudah mau muntah pada angka pengeluaran 36 liter. Berarti, di tangki mobil masih tersisa 9 liter karena isi tangki colt itu 45 liter (kalau L300 bensin isinya 55 liter).
“Stop, segitu saja, Mas!” kata saya.
Petugas melepas pelatuk nosel dan berhentilah semburan bensin kuning tersebut ke dalam tangki. Di layar tertera: Rp237.000 lebih sekian, tepatnya saya lupa.
Saya masih tetap mengemudi hingga kami mampir di Masjid Baiturrahman, Dumajah. Di situ, saya tukar posisi, sudah ngantuk dan tidak tahan lagi. Dik Sakdi yang kini mengemudi sementara saya duduk di jok sisi kiri. Saat itu, jam menunjukkan angka pukul 02.00, dua jam setengah perjalanan dari rumah. Saya perkirakan, kami akan subuhan di Leces jika lewat tol atau di sekitar Nguling jika lewat arteri. Tapi, lewat tol penuh sepertinya menjadi keputusan terbaik karena saya punya target tiba sepagi mungkin di Klakah. Demi apa? Saya berencana ngajak anak-anak dan istri merasakan naik keretaapi Probowangi dari Klakah menuju Jember.
KAMIS, 22 OKTOBER
Ternyata, kami shalat subuh di Ranuyoso. Tujuan ini tercapai, salah satunya, sebab kami menempuh seluruh ruas jalan di atas tol, dari Perak sampai Clarak alias Probolinggo Timur, ujung akhir tol yang ada saat ini. Entah berapa dana yang tersedot dari kartu e-toll, mungkin 70-an ribu atau berapa. Saya lupa tidak mencatatnya. Tanpa target waktu tertentu, saya tidak akan lewat jalan tol karena sensasi perjalanan dengan sendirinya akan berkurang.
Di Klakah, saya menuju rumah Aak Abdullah dan bertemu dengan Adnan. Akhirnya, kamimalah ndak jadi naik kereta api karena—kata Adnan, si kawan saya yang ngurus pembelian tiket—ribet dan harus ngurus ini itu.
“Ini syaratnya!” kata dia sambil menunjukkan foto pengumuman yang tertera di pintu stasiun yang kala itu masih tutupan. (Namun, ternyata, belakangan diketahui kalau aturan tidak seketat itu. Syaratnya penumpang cukup pakai masker, tidak perlu rapid test; barangkali papan pengumuman sisa lama dan belum dicabut juga sehingga wajar jika ada calon penumpang yang menganggapnya masih berlaku).
Untunglah, Aak ngajak kami naik boat atau perahu mesin di Ranu Klakah. Ini cukup menghibur dan melipur kekecewaan anak-anak saya yang gagal naik kereta api.
Kami baru bergerak lagi, meninggalkan Klakah, melewati Randu Agung, jalur tengah, saat jarum jam menunjuk angka 10. Namun, saat kami sudah tiba di Mangli, ketika hendak sein kanan ke Jatisari, Jenggawah, ternyata Kiai Maltuf, guru kami yang hendak disambangi, berkabar kalau hendak pergi ke kota dan saya diminta datang sore saja. Maka, sein kanan pun diubah ke kiri, ke Dukuhmencek. Sementara, saya geletakkan dulu tubuh di rumah Alwalid, sepupu saya, sembari menunggu. Enaknya punya banyak tempat singgah. Hamdalah.
Menjelang asar, kami menuju Jatisari. Dan setelah muter-muter dan nanya beberapa kali, akhirnya ketemu juga itu pondok, Pondok Pesantren Jalaluddin ar-Rumi. Kami bertamu dan sowan ke Kiai. Ini adalah kunjungan saya yang pertama setelah sejak 2017 gagal melulu, tertunda tepatnya. Kiai menyuguhi kami makanan dan cemilan. Lalu, setelah mahritb, Kiai meminta saya agar berbagi cerita tentang pengalaman saya selama menjadi santri dan penulis.
Saya pun bercerita kepada adik-adik santri. Sungguh, ini adalah salah satu pengalaman paling membahagikan, pengalaman seorang santri yang diminta kiai untuk menuturkan pengalaman belajarnya selama dulu menjadi santri kepada santrinya saat ini. Rasanya, tak ada yang lebih bahagia daripada saya, kala itu.
“Pada awalnya, nama Jalaluddin ar-Rumi ini adalah nama daerah di Gang A, di Pondok Pesantren Nurul Jadid sana. Sebelum diberi nama ini, tempat kita mondok dulu, sempat terbersit usul agar nama yang terpilih adalah komplek Abu Nuwas...”
Para santri tertawa...
“Mungkin karena kami ini kan lucu-lucu,” sambung saya. Saya sampaikan kepada mereka bahwa Kiai Maltuf akhirnya memilih nama yang dipakai hingga saat ini: Jalaluddin ar-Rumi yang oleh masyarakat sekitar sekarang dikenal dengan sebutan “Ar-Rumi” saja. Saya jelaskan juga siapa itu Ar-Rumi, singkat saja, karena saya yakin mereka juga pasti sudah tahu.
Begitu gayeng obrolan kami sehingga tak terasa azan isya berkumandang. Rasanya singkat sekali. Ingin saya nyerocos terus tapi rasanya tidak pantas. Santri putri di sisi kanan dan santri putra di sisi kiri akhirnya bubaran. Shalat isya berjamaah dilaksanakan dan saya pamit pulang. Pak Kiai bahkan menawari kami bermalam di Jatisari, tapi saya matur kalau kami sudah terlanjur berjanji sama bibi untuk menginap di kediamannya saja, di Dukuhmencek.
Sebelum bermalam di Dukuhmencek, Mangli, saya masih sempat kopdar ke Kancakona. Di sana, saya bertemu dengan Qomar, seorang perancang meubelair rumah tangga dan saya dihadiadinya kotak rak mobil. Ada juga Manamo, Ivan, Adil, dan banyak yang lain. Kami di situ sampai malam, ngobrol segala macam, sampai pukul 23.00. sebelum dikandangkan, mobil saya isi pertalite 150.000. Di Jember tak ada premium.
JUMAT, 23 OKTOBER
Pagi hari Jumat, saya menyempatkan takziyah ke rumah Mas Fadol, tak jauh dari rumah Walid, tempat saya bermalam, sekaligus nyambangi Kak Faisol, tapi beliaunya konser ke Banyuwangi.
“Faisol itu kondangan terus kalau Maulid,” kata seseorang yang ada di situ. “Tadi malam kondangan konser di Kencong, eh, pagi ini sudah berangkat lagi ke Banyuwangi.”
Sekitar pukul 10.00, kami berangkat ke rumah Hanafi, sepupu dari istri. Rumahnya berada di kaki Argopuro, kampung terakhir sebelum perkebunan. Ia bersebelahan dengan tujuan wisata baru yang lagi naik daun, Kampung Durian, berlokasi di Pakis Atas, Kecatamatan Panti. Sungguh sangat sejuk dan asri alamnya. Ada empat sungai di sekitar rumahnya, bahkan salah satunya mengalir di bawah emperan rumahnya.
“Kalau kamu masih mau ngambil batu-batu dari sungai dan bunga-bunga, aku pergi duluan,” kata saya sama istri yang masih kerasukan ngambil batu-batu dari sungai dan bunga-bunga liar yang elok-elok. Dia mau angkut itu ke rumah, ke Madura. Perasaan saya mulai was-was. Muatkah mobil yang sudah berisi delapan kepala dan barang bejibun ini jika ditambah batu dan bunga?
Karena saya mau menghadiri pertemuan IAA di
PP Lembah Arafah, diputuskan, saya berangkat sendirian ke Kedungjajang dan menghadiri maulid di rumah
Hj. Fatimah, Tegalrandu, pada malamnya. Sementara istri saya dan anggota yang lain bermalam di rumah Hanafi itu.
Jam 14 saya diantar ke Pecoro, nyegat Ladju ke Kedungjajang. Tapi, acara IAA yang dilaksanakan di rumah Kak Fauzan sudah bubar setelah saya baru tiba. Tidak apa-apa, pikir saya. Saya pun ikut Kak Fauzan ke Klakah, kerumah patobin atau rumah kesepuhan yang saat ini ditempattinggali oleh saudaranya, Shima. Di rumah itu, rumah yang berlokasi di depan Pasar Mlawang, saya bernostalgia, mengingat masa-masa mondok dulu, masa di mana saya sering main ke situ ketika hendak pulang ke Madura atau ada liburan pendek.
Sehabis maghrib, barulah kami geser ke Tegalrandu. Ikut acara maulidan di rumah bibi Kak Fauzan, Hj. Fatimah. Dan di tempat itu pula saya bertemu Ibu yang berangkat terpisah dari Madura. Acara Maulidan di yang terletak dekat Ranu Klakah tersebut dimeriahkan oleh shalawat Banjari, entah dari pondok mana. Ceramah diisi oleh Gus Sef alias Ayyub Syaiful Rijal, dari Jember. Sementara saya berugas mendaraskan terjemah puisi Burdah di acara itu, juga membacakan puisi karya saya sendiri. Sungguh asyik. Tampaknya, atau sepanjang saya ingat, ini adalah pengalaman pertama saya: dapat tugas baca puisi di acara maulid Nabi.
Setelah di bertemu dengan Agung Widagdo, kawan lama yang rumahnya persis dekat satsiun kereta, eh, sebelum tidur, saya bertemu lagi dengan kawan satunya, Marsudi Utomo, kawan lama yang dulu memperkenalkan lagu-lagu Obiatuary dan Bulldozer kepada saya. Saya akhirnya tidur menjelang tengah malam di rumah Aak Abdullah.
SABTU, 24 OKTOBER
Pagi, saya sarapan nasi pecel, bertemu Adnan di pasar, lalu diajak main ke rumah Adenun. Dua orang ini adalah sahabat saya di pondok. Dari rumah Adenun, dia yang ngantar saya ke Kedungjajang, rumahnya Kak Fauzan: yaitu orang yang pertama mengundang saya untuk acara maulid, acara yang secara rentetan sama persis dengan tadi malam, acara Maulid Nabi. Tugas saya pun persis seperti tadi malam, penceramahnya juga persis yang tadi malam. Di sini pula saya akhirnya bertemu dengan Kak Fakhri, saudara kandung dari Kak Fauzan Adhima.
Dari Kedungjajang, kami pulang pukul 14.00. Saya masih janjian dengan Aak dan Ibu, mampir di toko rumah H. Ahmad. Di tempat itu, kami tukar-tukaran barang yang mau diangkut agar tidak penuh di satu mobil dan kosong di mobil yang lain. Aak juga ngasih bekal masker dan disenfektan. Haji Ahmad ngasih cemilan dan minuman yang diambilkan langsung dari rak tokonya yang berada persis di utara perempatan Jalan Gunung Ringgit dan Linduboyo itu.
Setelah melewati Ranuyoso, saya merasakan ada yang asing pada ban. Ternyata, ban rada kempos. Kayaknya ada bocor halus. Maklum, ban yang biasa diisi 32-33 psi itu harus dicekoki tekanan jhingga 50 psi karena begitu banyaknya barang yang saya bawa, termasuk batu-batu sungai dari Argopuro itu. Ternyata, begitu saya sentuh, velg panas.
Wah, ini pasti ada masalah dengan rem atau handrem.
Dari bengkel tembel ban, saya maju sedikit, dekat perlintasan kereta api, di Malasan, Leces, masuk bengkel yang untungnya buka. Kami cek, master rem ternyata macet. Saya menduga ia kepanasan saat tadi dibawa ngerem panjang dari Pakis Atas sampai Pecoro sejauh 11 kilometer dan dari Klakah hingga Ranuyoso. Itu dugaan saja.
Singkat cerita, hampir mahrib, acara servis selesai. Kami melanjutkan perjalanan. Per beberapa kilo, saya berhenti untuk ngecek velg, aman, tidak panas lagi. Akhirnya, mobil dilajukan lebih cepat lagi dan kami berhenti di masjid Sabilul Muttaqin, Banjarsari, masjid andalah buat persinggahan.Dan eh, tak sengaja dapat rezeki. Saya bertemu dengan putra guru saya, Gus Fayyadl yang juga baru datang dari perjalanan.
“Mari, saya foto dulu,” kata beliau, “Mau laporan ke abah saya.”
Tentu saja saya sangat senang diajak foto bareng, apalagi mau dilaporkan kepada ayah beliau, yakni guru saya sendiri, yakni Kiai Maltuf Siraj.
Dari situ, kami pulang dan kami bergantian mengemudi dengan Dik Sakdi. Kami masuk Gempol, masuk jalan tol. Sakdi masih seperti sebelumnya, suka turun di pintu tol terakhir, Perak, di Kilometer Nol, bukan di Pasar Turi seperti biasanya saya lakukan. Entah mengapa beliaunya sudak masuk Sidotopo dulu untuk masuk ke akses jalan Kenjeran dan Suramadu. Saya juga tak paham.
Kami tukaran nyetir lagi di Dumajah setelah makan. Lalu kami lanjutkan perjalanan pulang ke arah timur, ke rumah setelah makan. Kami sampai dalam keadaan selamat. Perjalanan menempuh 806 kilometer berarkhir di halaman rumah, pukul 1 30 dini hari.