Pembaca

30 Desember 2021

Ngerem di Klaten, Berhentinya di Jogja


Berat sekali bepergian ke suatu tempat untuk menghadiri suatu acara yang tidak begitu ada acaranya, padahal di rumah sendiri akan berlangsung suatu acara. Itulah yang saya alami. Saya diundang hadir main ke rumah Pak Bambang di Klaten, sementara di rumah, saudara sepupu dua kali hendak menikah.



Karena saya tidak bisa membagi diri menjadi dua, maka saya harus memilih salah satunya. Saya hadir ke Klaten karena undangan datang sudah lebih tiga bulan lamanya, terus, yang di rumah, saudara-saudara yang lain diperkirakan akan hadir semua. Dengan begitu, unsur keterwakilan saya kira sudah tepat. Itu keputusan saya. Cus.

Perjalanan malam itu, saya berangkat tengah malam lewat Pantura Madura mengingat kemacetan di Blega belum juga dapat diprediksi dengan benar. Saya bersama Khatir dan Makmun. Khatir nyopir sampai dekat Suramadu karena dia sudah tangar sebab sudah tidur lebih dulu, sedangkan saya tidur di mobil.

“Kita lewat tengah kota saja, ya.”
“Iya,” kata Khatir, ketika saya masuk duluan dan duduk di belakang kemudi, menggantikannya. “Sebetulnya, lewat di Jalan Soekarno-Hatta pun juga gak apa-apa.”
“Sudah, lewat tengah saja, lewat Jalan Raya Dharmo, A. Yani, tembus Sidoarjo.”

Kepadatan lalu lintas baru mulai terasa saat kami melintasi Sidoarjo, sementara di Surabaya tadi, jalan masih relatif sepi, tidak seperti di Jakarta yang tengah malam pun tetap ramai sekali (sebagaimana kami lintas dua bulan sebelum ini).

Ketika saya baru saja parkir di bahu jalan, di bawah pohon sono, kira-kira 150 meter di selatan pertigaan Kejapanan untuk nunggu Agus yang kabarnya mau ikut dan saat itu—menurut laporannya—dia sedang sedang naik angkutan umum dan sudah dekat dengan lokasi, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil-manggil saya.

(rekaman video diambil oleh Puger Nurengga Midya dari seberang jalan)


“Mbaaaah….”

Di seberang jalan, ada mobil towing ke arah selatan, ke arah Pandaan. Eh, Mas Puger rupanya. Saya nyeberang, nyalami ayahnya dan dia.

“Kenapa di situ?”
“Saya mau ke Klaten, tapi mau ke Kepung dulu, Kediri.”
“Oh, iya. Mau ke rumah Pak Bambang, ya?”
“Iya.”
“Saya kira mogok, he, he…”
“Enggak, kok, cuman lagi nunggu penumpang yang mau ikut.”
“Baik, saya lanjut saja, ya!”
“Iya.”

Kami pun berpisah. Agus datang, dan mobil distarter, dan mogok beneran. Waduh, cilaka benar. Towing tadi rupanya merupakan isyarat yang datang duluan, sejenis kaweruh sak duruning winarah.

“Kenapa?” tanya Khatir.
“Saya tidak tahu.”
“Terus bagaimana?”
“Terus, ya, didorong, dong… masak mau diperbaiki di sini, buang waktu saja.”

Didorong dan jrebb...bret...bret…. Jreeeeng, mesin menyala dan langsung menyusuri jalan Mojosari, ke Mojokerto, ke Mojoagung, lalu belok kiri, nembus jalan kolektor sejauh 30-an kilometer hingga akhirnya saya tiba di pasar Kepung, pare, Kediri. Di sana, saya mau nyambangi kawan Shoim.



“Secara kalkulasi ekonomi, perjalanan 30 kilometer limpas dari jalur utama itu adalah kerugian jika hanya akan ditukar dengan secarangkir kopi. Tapi, jika tujuannya adalah demi membahagikan teman yang mengharapkan suatu kunjungan, maka harganya tidak bisa lagi dapat di-kurs dengan rupiah, jauh melebihinya...” kata saya dan disusul dengan tawa kecil para penumpang.

Saya ingat, jika melintasi Mojoagung, biasanya saya menghubungi Koh Hari atau Haris. Tapi, hari itu, Koh Hari bepergian dan Haris sudah pergi selamanya. Betapa berharganya seorang teman. Hanya itu yang saya batinkan.

Tiba di Kepung, saya disuguhi kopi arabica oleh Shoim. Belum habis secangkir, disuguhinya lagi: robusta, entah dari Kediri atau dari Wonosalam, Jombang, saya tidak ngurus. Dia hanya bilang, “Ini kopi lokal.” Akan tetapi, di tengah obrolan, saat saya sudah pamit mau pergi, tiba-tiba datang seorang lelaki yang diperkenalkan Shoim dengan nama Kiai Nuhin. Ladalah, ternyata iparnya Kang Ahmad Jauhari alias Heri dari Panceng Gresik. 


Oleh beliau, diajaklah saya ke kediamannya, saya tolak tapi beliau menunjukkan ekspresi luar biasa mengharap. Saya tak berdaya, meluangkan waktu kira-kira 40 menit untuk bicara di depan santri-santri lembaga pendidikan Al-Hikmah, Kepung, Pare, Kediri. Seperti biasanya, tak lebih dari materi belajar dan semangat belajar sampai mati. Sepertinya, hanya itu yang saya tahu dan hanya itu yang penting disampaikan di saat itu.



Meninggalkan Pare, saya lewat Purwoasri, tidak balik ke Jombang meskipun tadi ada panggilan dari Pak Sularso dan Pak Wahib. Waktu terbatas adalah alasannya. Dalam pada itu, ada dua tempat yang sangat ingin saya singgahi tapi ternyata tidak berjodoh: yang pertama adalah ndalem Kiai Baidlowi di Pare dan ndalem Gus Furqon di Purwoasri. Keduanya harus—sementara—dilupakan karena saya harus segera tiba di Klaten secepatnya.

Braan – Caruban ditempuh lewat arteri. Jalanan tidak begitu ramai. Selap-selip kendaraan lewat kiri dimainkan di ruas Kertosono – Nganjuk karena jalannya lebar dan lurus. Hutan Saradan pun menyajikan pemandangan seperti dulu, teduh. Beberapa warung makan besar sudah tutup. “Ini pasti dampak Tol TransJawa,” kata saya. “Nasibnya sama dengan beberapa warung makan besar di area Kanci hingga Brebes, mungkin juga di daerah lainnya.”


Saat masuk tol, kemudi diganti Makmun sampai Solo. Saya tidur, lalu menggantikan dia dari Kartasura, menuju masjid Al-Aqsha, Klaten, untuk shalat. Tapi, lagi-lagi tergoda Jogja, dari masjid itu bukannya ke rumah Pak Bambang sebagai tujuan utama perjalanan, saya malah belokkan mobil ke kanan, ke Jogja karena ternyata Pak Bambangnya juga belum tiba di rumah dan masih di Gamping.

Kami bertemu dengan Pak Bambang dan Mas Reza (sementara rombongan yang lain di luar saja) malah di kafe Main-Main, saat kami dijamu Imam Rofiie dan Pak Edi sembari ambil cetakan buku yang sudah dipesan beberapa waktu yang lalu. Barulah, setelah hampir 21.30, kami meninggalkan Jogja menuju Klaten, tapi sebelumnya masih tersandera oleh Hanafi di kedai kopinya, Mato, di Seturan, sehingga waktu tiba di rumah Pak Bambang adalah pukul 00.30 karena pakai acara tersesat segala di tengah jalan di semak-semak karena sinyal GPS hilang mendadak.

AHAD PAGI: ACARA TANPA ACARA
 

Paginya, Ahad, 26 Desember 2021, kami kumpul-kumpul di rumah Pak Bambang, bersama teman-teman dari Tangerang dan Serang dan Bogor. Satu demi satu, kawan-kawan dari Klaten dan Solo dan Jogja berdatangan. Saya tidak tahu, ini acara apa. Sepertinya, ia merupakan acara tanpa susunan acara. Saya datang ke sana hanya karena undangan Pak Bambang sebagai tuan rumah. Datang untuk apa? Entah, datang untuk, ya, sekadar datang saja.



Acaranya berlangsung di bawah pohon sawo dan druian yang rindang. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal sambil makan cemilan khas desa, mulai dari gorng pisan, kacang rebus, ketela rebus, hinga jadah. Minuman ada the dan kopi. Acara guyub rukun dengan suasana Jawa tempoe doeloe.



Mbah Cepuk, Mas Wiro, Mas Rosyad, ada juga Mas Hertanto, Mas Benta, Pak Joko, dan banyak yang lain, sudah pulang duluan, satu per satu. Uniknya, setiap mobil yang hendak pulang, dicegat dulu, diajak foto bersama, baru boleh dilepas pergi. Begitulah, ‘perpisahan’ itu jadi menyenangkan sekali. Selain teman-teman tuan rumah yang datang dari Serang dan Banten, tampaknya kamilah yang jadi rombongan yang pulang terakhir kali, pada pukul 15.30.

Perjalanan pulang dengan cara masuk dari pintu tol Boyolali (bukan dari Colomadu atau masuk kota Solo lebih dulu dan baru masuk Tol Karanganyar) dipilih karena pertimbangan menghindari kepadatan arus lalin yang diperkirakan mengular di sepanjang Klaten sampai Kartasura, tapi ternyata perkiraan kami keliru. Justru arah Jatinom ke Boyolali-lah yang sangat padat sehingga mobil berjalan tersendat. Ada banyak truk pasir dan mobil-mobil kecil yang merayap, main serobot pula. Yang suka nyalip satu mobil lalu ngerem mendadak juga banyak. Waduh, enggak di Madura, enggak di mana-mana, kelakukan manusia macam ini kalau memang sudah begitu bawaannya, ya, tetap begitu saja tak pilih tempat, tak pilih waktu.

Sepanjang jalan tol, dari Boyolali sampai Mantingan, hujan rinai turun membuat suasana semakin syahdu. Saya menyalakan lagu pelan saja, dipadukan dengan semburan AC yang dingin, membuat Colt ini jadi terasa sangat mewah. Tentu saja, jarum penunjuk bensin berasa lebih cepat melorotnya. Saya dan Makmun di depan, tidak tidur, sebab saya yang nyopir dan Makmun menemani, sedangkan Khatir dan Agus sudah begaya macam pejabat saja, tidur berleha-leha di kursi tengah. Mereka bahkan baru bangun setelah menjelang Walikukan, beberapa menit sebelum kami tiba di Widodaren, Ngawi, rumahnya Mas Fadli dan Mas Alwi.

Tujuan saya ke sana adalah ambil meja lipat yang saya pesan beberapa waktu yang lalu. Kok pesan meja sampai Ngawi, sih? Apa di Madura tidak ada meubel? Pesan meubelair di Widodaren adalah salah satu cara agar saya dapat dua kali:

ada alasan main ke sana. Dan ini adalah kunjungan saya yang ketiga kalinya. Pertemuan dipungkasi dengan sate dan gulai yang sangat lezat, yang kalau dijelaskan di sini khawatir pembaca akan ngeces dan pengen juga menikmatinya.

“Gantian, tinggal kamu yang belum nyetir,” kata saya kepada Agus,
“Siap!”
“Iya, siap, tapi ndak boleh sambil nyopir, sambil mainan handphone, lho!”
“Ha, ha, ha…”

Kami shalat maghrib isya di Masjid At-Takwa, Walikukun, lalu masuk arteri, melewati hutan pohon jati sampai Ngawi, barulah saya ijab-kabul kemudi dengan Agus. Gilian dia yang berugas dan Khatir menemani. Saya ngantuk dan mau tidur, di kursi tengah. Maka, dengan demikian, semua orang yang ada di mobil ini adalah penumpang sekaligus sopir semua, beda kasus dengan bulan Oktober lalu saat saya ke Jogja, mengajak tiga orang yang ketiga-ketiganya memasrahkan stir hanya only khususon kepada saya. Waduh!

Sekitar pukul 00.15, kami sudah tiba di kafe-nya Agus, AKUI, yang berlokasi di sebelah selatan pos saptam perumahan Taman Dayu, Pandaan, padahal tadi pukul 21.00 kurang dikit, kami masih shalat isya di Walikukun dan baru masuk tol hampir satu jam sesudahnya (karena jalan gerimis) melalui Gerbang Tol Ngawi. Mengingat ini, kita harus bersyukur akan adanya jalan tol. Tidak mungkin jarak sejauh 260-an kilometer bisa ditempuh sesingkat itu, apalagi dengan ‘motuba’ seperti Colt T120 ini. Tetapi, jika dipikir lebih jauh, tidak senyaman dan seenak itulah kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Tumbalnya juga banyak: Kita telah kehilangan sensasi emosional di jalan; warung-warung yang tutup di ruas arteri, perubahan psikologi sosial, alienasi, dan masih banyak sekali dampak perubahannya.

Anda jual, kami beli. Semua punya konsekuensi.

Mestinya, kami sudah masuk Surabaya, tapi ini malah mau ngopi di Pandaan. Tengah malam, tentu saja kafe tutup, tapi pelayan masih ada karena si empunya yang datang. Maka, kami pun ngopi tidak jelas, tidak jelas apa maunya: ngopi menjelang pukul 1 pagi, di bawah langit, dengan pemandangan alam yang pastinya indah sekali andai itu terjadi di pagi atau sore hari, sebab lokasi kafe ini yang bersehadapan dengan ada Gunung Penanggungan ke barat dan hamparan sawah jika kita melihat ke timur. Tapi, ini gelap? Sama saja dengan melihat wallpaper di laptop yang mati.

“Kita harus ulangi pada waktu yang berbeda,” kata saya pada mereka.

Akhirnya, kami pulang pukul setengah dua setelah ditahan-tahan lebih dulu sama si Agus. Saya ambil kendali kemudia dan memutuskan lewat jalur arteri saja, Jalan Nasional 21 Madura. Jika waktu berangkat lewat pesisir utara karena takut kena macet, kali ini nekat, lewat jalur selatan, lewat pusat kemacetan karena pengecoran jalan: Blega. Dasarnya bukan ngawur, tapi firasat dan terawangan yang kuat bahwa arus lalu lintas bakal lancar. Maka, ketika mobil sudah masuk Kedungcowek, persiapan melintasi Suramadu, kami berdoa, berkirim Alfatihah untuk nenek moyang, untuk semua orang yang pernah membuat dan merintis jalan di Madura, dengan harapan perjalanan jadi lancar tanpa gangguan dan kemogokan, eh, kemacetan juga ding.

Benar dan alhamdulilah. Kejadiannya mirip film-film laga khas Hollywood. Di Blega, saat kami baru tiba di ujung antrian panjang, iring-iringan mobil-mobil dari lawan arah (dari timur) sudah selesai melintas dan kini giliran kami yang lewat. Walhasil, mobil saya pun katut, bahkan menjadi mobil terakhir yang boleh melintas sebab setelah itu akses dari arah barat/Surabaya ditutup kembali. Hamdalahaaah. Benar-benar seperti film laga jadinya.

Melihat kelakuan orang-orang, saya tah habis pikir. Antrian segitu saja, menyerobotnya masih gila-gilaan, padahal kan sudah jelas dapat jatah jalan, toh. Heran benar sama manusia macam ini. Apakah jenis spesies yang punya otak tapi tidak berpikir? Semacam ada prosesor tapi tidak ada operating system-nya? Atau sejenis PC Under-DOS yang ada di antara Intel Core? Entah, tak paham. Yakin, mereka bukan tidak tahu akan bahaya. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu atau tidak tahu diri.

Di antara adegan-adegan berbahaya itu, antara lain, nyalip satu truk dan langsung ngerem mendadak di depannya, membuat truk yang bermuatan berat tersebut harus ngerem mendadak pula, yang tentunya jelas tidak mungkin akan menghentikan laju mendadak pula, dan itu sangat berbahaya. Kecelakaan-kecelakaan penyerudukan banyak terjadi dan bermula dari aksi model nyalip seperti ini. Semua diukur pakai ukuran sendiri, tidak tahu tonase, tidak paham jarak aman, tidak ngeri, eh, tidak ngerti.  


Pak sopir truk bermuatan berat itu pasti emosi, tapi mereka tak berdaya. Makanya, saya yakin, sopir-sopir truk berat pastilah manusia terpilih yang ada pada ranking atas di bidang kesabaran dan ketabahan. Saya membayangkan, seakan-akan truk-truk dan mobil-mobil besar tapi lugu itu turut berdoa: Ya Allah, kami memohon keadilan-Mu. Semoga mereka yang memperoleh kesempatan lebih cepat sampai daripada kami ke tujuannya, tapi dengan cara menyerobot itu segera diberi hidayah dan kami mendapat gantinya, seperti kebahagiaan yang mestinya jatah mereka, berilah kepada kami yang telah dianiyaya; rezeki yang hendak mereka dapat, pindahkanlah ke tangan kami
yang telah terzalimi.

Tapi, itu cuman imajinasi, entah seperti apa  yang bakal dan sesungguhnya terjadi. Dan apakah doa seperti ini layak? Tidak pantas bagi manusia mendoakan buruk bagi sesamanya. Tapi, yang saya bayangkan ini truk dan muatannya yang berdoa, bukan manusianya; mobilnya, bukan sopir dan penumpangnya. Apakah imajinasi ini rasional dan masuk a-colt? Entahlah.

Setelah subuhan di Jrengik, saya tetap menuntaskan tugas persopiran sampai kota Pamekasan lalu memasrahkan stir kepada Makmun karena jam sudah menunjukan pukul 06.00, yaktu waktunya saya mengajar secara daring, menggunakan ponsel, disambungkan dengan audio di rumah. Begitulah, bepergian sebisa mungkin tidak sampai menghapus tugas untuk mengajar. Tempat boleh terpisah, tapi ilmu harus tetap dipersatukan. Jarak dan tempat bukanlah masalah.


31 Oktober 2021

Coltober

Selama bulan Oktober, perjalanan yang saya tempuh naik Colt T120 ini mencapai 4.386 kilometer. Jarak ini saya catat untuk tiga rute terjauh. Masih ada beberapa puluh kilometer tambahan di akhir bulan. Cuman itu tidak saya hitung karena hanya rute lokal saja. Atau begini, anggap saja total jarak tempuhnya adalah 4.400 kilometer. Dan ini adalah jarak terjauh dalam satu bulan selama saya punya Colt ini sejak 2008.

Adapun ketiga rute terjauh itu adalah;

pertama, perjalanan dari rumah (Guluk-Guluk, Sumenep) ke Balaraja di ujung barat (tinggal 60 kilometer lagi ke Pelabuhan Merak), lalu berputar ke selatan, ke Bandung, Ciawi, masuk ke tengah, ke Purwokerto, Wonosobo, dan kembali pulang lewat arteri Pantura. Dalam perjalanan ini, saya tidak menghitung biaya bahan bakar karena sudah pasti banyak. Anggap saja satu liter banding 10 atau 11, pasti banyak, kan? Tolnya saja habis 725.000 sampai Balaraja untuk perjalanan ke barat. Pulangnya tidak banyak karena hanya terpotong waktu masuk tol Cikupa ke Bogor, terus dari Bandung ke Ciawi, dan dari Gresik ke Pasar Turi. Jadi, tak sampai satu jutalah. Selama perjalanan satu minggu ini kami bertiga (berempat sampai Pekalongan, satu penumpang balik ke Madura karena sudah merasa puas setelah sowan Habib Lutfi). Kami bawa termos buat nasi dan lauk pauk kering, seperti serundeng, kacang, abon, dll. Air satu galon tidak habis. Rute ini kami nyopir bertiga: Anam, Qudsi, dan saya. Data rute ini: berangkat Kamis 30 September, sampai rumah hari Kamis 7 Oktober 2021.

kedua, dari rumah ke Umbulsari di Tanggul, Jember, di bagian selatan, lalu nyeberang ke pantura Jawa Timur, ke Asembagus, dan pulang ke  Guluk-Guluk via Ujung Perak dan menyeberang naik kapal fery ke Kamal, Bangkalan, lalu lanjut ke timur, pulang, kembali ke Guluk-Guluk. Rute ini saya nyopir sendirian. Berangkat Rabu (malam Kamis) 13 Oktober, sampai rumah Sabtu 16 Oktober 2021, dan yang terakhir;

ketiga; perjalanan ke Jogja dan pulang lagi ke Madura. Perjalanan berangkat lewat tol sampai Kartosuro, pulangnya lewat tol dari Solo ke Ngawi, lalu lewat arteri via Caruban dan baru masuk tol di Kertosono. Rute ini saya nyopir sendirian. Datanya: berangkat Ahad 24 Oktober, sampai rumah lagi Kamis sebelum subuh, 28 Oktober 2021.

Semua rute ini saya jalani bulan Oktober dengan total jarak sebagaimana disebut di atas, 4.386 kilomter. Dari jarak tersebut, saya membuat simulasi jarak andaikan jarak tersebut diterapkan ke jalur Sumatera. Maka, jarak tersebut setara atau mirip dengan jarak dari rumah saya ke Banda Aceh (lewat Lintas Timur Sumatera) lalu kembali lewat jalur pesisir barat dan berakhir di Penyabungan, Maidailing Natal. Barangkali, andai saya gabungkan dengan beberapa puluh kilometer jarak tambahan di akhir bulan Oktober untuk area lokal, jaraknya bisa lebih jauh lagi, bisa-bisa sampai ke Bukittinggi.

Anda bisa membaca semua catatan perjalanan di atas secara rinci melalui label; #coltober,


 
Dari perkiraan ini, maka tiba-tiba muncul ide untuk menjajal turing sekali jalan ke Banda Aceh. Siapa mau dan siapa mendukung? 

30 Oktober 2021

Nggelundung Sampai Jogja


Ahad, 24 Oktober 2021


Sebetulnya, saya sudah dilanda rasa malas sejak berangkat untuk menuliskan kisah perjalanan ke Jogja ini. Pasalnya, pergi ke tujuan itu sudah saya lakukan berkali-kali. Maret tahun ini saja, saya sudah ke sana, bahkan itu menjadi kenangan terakhir perjalanan jauh bareng almarhumah istri sebelum beliau dipanggil Tuhan pada 10 Agustus yang lalu. Jogja menjadi salah satu kota tujuan yang paling sering saya kunjungi.


Akan tetapi, kisah perjalanan naik Colt ini tetap harus ditulis sekadar untuk merekonstruksi (merawat) ingatan. Menulis adalah kegiatan meremajakan akal-pikir, mengolah memori dan menata cara berpikir, sesederhana apa pun itu wujudnya. Lebih-lebih dalam perjalanan kali ini, ia menjadi istimewa karena saya tidak bisa menuliskannya secara langsung sebab menjadi pengemudi tunggal, beda dengan kisah perjalanan sebelum-sebelumnya yang biasanya kami nyopir keroyokan.

Oh, ya. Nyopir sendirian ke Jogja, 500 kilometer sekali jalan, semua penumpang cowok tapi tak satu pun bisa mengemudi, rasanya diri ini sudah kayak sopir pikap yang muat beras. Itulah bayangan yang melintas dalam pikiran saya sesaat sebelum berangkat: belum-belum sudah capek duluan. Makin capek karena masih diwanti-wanti oleh ibu saya agar ngajak sopir, tapi saya kasih alasan yang masuk a-colt kepada beliau bahwa saya akan mencari sopir sampai ketemu. Kalaupun tidak nemu, kata saya, saya akan nyopir sendiri dan pasti saya tahu diri, kapan harus nyetir, kapan harus berhenti.

“Tenang, Bu. Abdi(na) sudah gede. Kalau ngantuk, saya akan istirahat, tidak akan ngotot, sebab saya bukan sopir ajaran, sudah sejak kelas 6 MI (madrasah ibtidaiyah, sekolah dasar) mulai belajar ngontrol oli, ngecek radiator, dan menghidupkan mesin. Jadi, Ibu harus percaya kepada saya bahwa saya bukan anak kecil atau anak tua yang kekanak-kanakan yang terkadang nekat enggaya menguat-nguatkan diri padahal sudah ngantuk berat. Saya pasti berhenti, kok...”

Rupanya, saya berhasil meyakinkan ibu dan beliau memberikan izin. Alhamdulillah saya panjatkan. Mulailah saya menjalankan mesin, keluar dari pekarangan, beberapa saat setelah shalat isya dan berkemas-kemas, Ahad malam Senin, 24 Oktober 2021.

Tapi...

Baru jalan 8 kilometer, saat baru tiba di Prenduan untuk jemput Zubairi dan janjian dengan Pak Yasin, ambil oleh-oleh yang akan saya bawa, eh, mobilnya sudah mogok. Starter tidak jalan, daya baterenya habis. Waduh, saya baru ingat sekarang, bahwa dinamo mobil ini bermasalah. Sebetulnya, sejak seminggu sebelumnya, ketika saya membawanya ke Jember dan Situbondo dan juga nyopir sendirian, tanda-tanda kemogokan itu sudah tampak. ‘Mengapa saya lupa?’ tanya saya, merutuk sendiri, merutuk yang bukan waktunya. Ini tidak penting dijawab, juga tidak penting diperbaiki. Ini saat yang pas dan tepat untuk pergi.

Tak ada alasan lain kecuali.... dorong!

Hamdalah, mobil langsung hidup, langsung berjalan sampai Tanjung untuk menjemput penumpang satu lagi, Bung Acing, dan tentu saja tanpa mematikan mesin. Kami lanjut sampai Belgia, pipis, berhenti untuk meregangkan otot, memecah konsentrasi, dan itu semua sudah cukup syarat untuk disebut istirahat. Hanya tiga menit, gas lagi.

Mobil harus dorong lagi setelah isi bensin di Jalan Perak Timur, sebelum masuk tol.

Sebetulnya, perjalanan di malam hari, lebih-lebih lewat tol, akan sangat sulit untuk diceritakan dan karenanya saya tidak menemukan variasi gaya menulis yang lain, kecuali hanya memasukkan unsur eksternal yang tidak begitu penting dalam inti cerita. Misalnya, bumbu kisah tentang sudah berkali-kalinya saya naik Colt ini ke Jogja, dan ternyata, ya, begitu-begitu saja. Tentu saja kisahnya beda banget dengan pengalaman pertama, ketika saya melakukannya di tahun 2018, ketika jalan tol dari arah timur masih terputus di Kertosono dan dari arah barat entah sampai mana.

Malam itu, saya mengendalikan Colt secara single sampai di tempat istirahat Sragen (mungkin), sekitar 20-an kilometer sebelum pintu tol Colomadu, Kartasura. Saya berhenti karena mau shalat subuh dan juga karena tidak tahan, segera tidur setelah shalat, tergeletak sampai pukul 06.30. Sama seperti dua kejadian tadi malam, pagi itu diawali dengan senam: dorong mobil lagi. 



Bisa dikatakan, ini adalah turing galau (meskipun pada dasarnya saya sendiri rada sungkan menggunakan istilah turing. Sebab, turing (pengindonesiaan daripada touring) cenderung dimaknai sebagai jalan-jalan tanpa tujuan, atau dengan tujuan tapi tidak begitu penting. Makanya, nyaris saya tidak pernah menggunakan kata turing karena itu sama dengan memberi niat perjalanan. Agar perjalanan kita dapat dua hal; tujuan dan pahala, maka niatnya harus benar sebelum berjalan. Beruntung, adanya undangan untuk hadir di acara Maulid Nabi di kafe Basabasi di Jogjakarta menjadi penyelamat niat perjalanan galau saya ini.


Senin, 25 Oktober 2021

Pagi itu, di Jogja, sungguh merupakan pagi yang paling menyenangkan dalam sepekan ini. Bagaimana tidak, saya duduk-duduk sambil menikmati minuman dan cemilan, sementara si empunya Kafe Mainmain dan Lehaleha belum datang (dia yang ngundang saya hadir ke siti untuk acara maulid Nabi, menemani Habib Husin Jafar al-Hadar), sambil lalu pula saya berkirim pesan ke Pak Benta tentang masalah dalam perjalanan semalam, tentang mogok dan bla-bla-bla-nya.

Eh, tak lama kemudian, datanglah Pak Benta, Mas Hertanto (Ha Heng), dan Mas Nur Susena, serta tiga kawan lainnya. Mobil saya dibawanya untuk dicek dinamonya. Benar-benar berasa sultan sekali. Ongkang-ongkang kaki di kafe Main-Main, mobilnya jalan-jalan. Besoknya tinggal ambil di Gamping dalam keadaan sudah beres. Alangkah betapanya itu! Oh, iya, catatan tambahannya: tidak ada biaya sama sekali. Gile lu, Ndro!

(video ini milik Koh Ha Heng alias Hertanto Wibowo waktu bawa mobil saya)

Acara saya di Jogja kali ini adalah untuk menghadiri undangan Pak Edi Mulyono dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Acaranya diselenggarakan dua kali, di Kafe Basabasi Nologaten dan Kafe Basabasi Tamantirto, dekat UMY. Pada kedua acara itu, saya didapuk untuk membacakan shalawat Nabi sesi pembuka (julus, dibaca duduk). Sungguh, pergi ke Jogja kali ini sangat enak bukan cuman sekali, tapi berkali-kali. Sehabis acara di Kafe Basabasi dekat UMY itu, barulah saya ambil mobil di Pak Benta untuk dibawa pulang besoknya.


Rabu, 27 Oktober 2021

Saya tidak bisa pulang pagi karena dua anggota lain entah masih ada di mana. Saya menunggu mereka di tempat andalan, Kafe Leha-Leha dan Kafe Main-Main (yang letaknya memang bersisian) setelah semalamnya saya tidur nyenyak di kontrakannya Imam Rofi’ie. Menunggu dengan cara seperti ini tidak begitu membosankan.



Zubair dan Mat Khotib datang dan barulah kami berangkat setelah sebelumnya mampir dulu ke Hanafi. Waduh, makin molor waktunya. Juga mampir di toko mainan, di Klaten, buat anak-anak di rumah. Akhirnya, siang kami baru sampai di Kartasura. Sembari berjalan dan kami menjalin kontak dengan Om Dharmo di Colomadu untuk menanyakan teknis berkunjung ke Studio Rekaman Lokananta yang kini jadi museum itu, eh, malah dia maksa-maksa saya untuk mampir.

“Pokoknya mampir dulu sebentar ke rumah. Nanti saya antar langsung ke Lokananta!” kata dia.
“Baik, cuman mampir, jemput, dan lanjut, ya! Ndak usah pakai duduk-duduk segala. Kami kejar waktu agar tidak molor sampai di Madura,” kata saya sebelum tiba.
“Gampang itu!”

Setelah jemput Om Dharmo dan ternyata tetap harus duduk sebentar dan makan cemilan, akhirnya kami lanjut ke Lokananta yang terletak di Kerten.


Kami masuk ke museum, bayar tiket 20 ribu kalau tidak salah. Dan kami pun melihat rak-rak penuh kaset dan piringan hitam, juga mixer 32 saluran dengan sistem analog, juga studio yang sangat lebar dan sepertinya dipersiapkan agar muat untuk orkestra. “Masih berstatus sebagai studio paling luas di Indonesia,” kata Mas Pemandu kami yang saya lupa namanya.

Saya dan anggota rombongan, termasuk Mas Dharmo, bersama Mas Rudi Hantoro dan Siti Muslifah serta Gunawan Tri Atmodjo dan seorang perempaun yang entah siapa seseorang, di dekatnya, berjalan-jalan keliling museum yang luas itu. Habis itu, kami makan di kantinnya. Pertemuan mendadak dan menyenangkan, begitulah kesan saya.

Sebetulnya, magnet terbesar yang menarik saya datang ke sana adalah rekaman qiraah Syaikh Mahmud Khalil al-Husari. Ini rekaman yang melegenda karena tarhim, adzan, dan qiraahnya sangat eksklusif, tidak ada versi serupanya di belahan manapun di dunia ini kecuali di Indonesia. Begitulah yang saya tahu. Alasannya adalah karena langgam Al-Husari versi rekaman 30 juz Alquran-nya ternyata berbeda dengan yang versi Lokananta. Yang saya tahu, rekaman itu dilakukan di Solo, pada tahun 60-an. Tapi, kata petugas, ternyata bukan demikiannya kejadian sejatinya. “Masteringnya di Mesir, penggandaan di Solo,” jelas mas petugas di depan kaset qiraah yang sengaja saya bawa dari Madura itu. Intinya, apa pun kisahnya, rekaman ini sangat populer karena sudah pernah saya dengar ia diputar di Sumatera Utara hingga Maluku, di Jawa maupun di Madura. Saya membuatnya menjadi mp3 pada tahun 2005.

Setelah sore dan hujan tinggal gerimis, pulanglah kami. Targetnya adalah segera sampai di rumah, malam itu atau sepagi mungkin, karena besok Kamis-nya saya harus hadir di acara Maulid Nabi yang lain. Saya tidak khawatir, hanya takut kecapekan di tengah jalan dan harus tidur sebab dua penumpang tersisa sama-sama tiada bisa memegang kendali supaya enak jalannya. Tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuuut.

Rupanya, dalam perjalanan itu, mata saya sudah tidak kuat akibat akumulasi dua malam yang tidur kurang rehat dan seharian tadi keliling-keliling dulu sebelum nyopir. Saya masuk dari Gerbang Tol Gondangrejo, tak jauh dari Kerten.

“Kita harus mampir di Sidqi,” kata saya kepada Muhammad, sepupu saya yang ikut saat pergi dan pulangnya, dan juga Zubairi yang saya kira juga kenal dengan petugas KUA Beringin Ngawi ini (sedangkan Om Washil netap sejenak di Jogja).
“Di mana rumahnya?”
“Aku ndak tahu persis karena dulu hanya ketemuan di jalan. Biar aku hubungi. Kalau ada orangnya kita mampir sejenak buat rehat, kalau tidak, kita lanjut dan cari tempat yang lain.”

Gayung bersambut. Sidqi bisa dihubungi. Hamdalah, dapatlah saya tempat untuk rehat barang sejenak melepas penat. Sore itu, sekitar jelang pukul 17.00, hujan masih turun dari langit manakala kami merapat ke rumahnya yang lokasinya tak jauh dari jalan raya. Saya tidur-tidur ayam, tak bisa tidur beneran.  Biarlah, yang penting ada tempat buat melepas konsentrasi dan mengendurkan otot dan punggung, kata saya dalam hati.

Setelah shalat maghrib-isya, pamitlah kami pulang. Dan kami memilih lewat arteri, via Kandangjati, menuju Caruban. Tujuannya adalah mengunjungi Sutris. Saya dapat kabar, si Sutris ini sekarang merintis usaha kedai makanan ringan tapi kopinya kopi beneran, bukan kopi sasetan. Maklum, Sutris ini seorang barista senior yang pengalaman kerjanya 10 tahunan di Kafe Jungkir Balik, Sidoarjo. Saya kenal dia di sana. Rupanya, dia memanfaatkan halaman parkir sebuah kios cuci mobil yang tutup di kala malam. Posisinya berdekatan dengan Kantor Pos Caruban.

Jalur Kandangjati ini umumnya dilalui bis-bis patas atau Mila atau AKAS ASRI atau bis-bis malam dari arah Bali tujuan Jogja. Sedangkan bis reguler lainnya lewat Madiun dan Maospati (Magetan). Dengan lewat jalan ini, jarak bisa dihemat hingga 20 kilometer. Tapi, bis-bis reguler dari Surabaya tujuan Jogja tidak lewat di sini karena para penumpang kebanyakan hendak ke Madiun atau Magetan.

Perjalanan dari kota Ngawi ke Caruban via Kandangjati memanglah cuman 40 kilometeran. Tapi, saya sangat tersiksa karena ini pengalaman pertama kali menggunakan lampu LED dan celakanya tidak fokus ditambah hujan pula. Tepian jalan hitam beraspal nyaris hanya bisa diperkirakan. Mata saya jadi sangat lelah.
Mau taubat rasanya untuk memakai lampu LED lagi.

Setelah ngopi-ngopi bareng Sutris di Caruban, perjalanan dilanjutkan lewat arteri. Mau balik ke pintu tol Caruban kok buang jarak, mau masuk di pintu tol Nganjuk itu terlalu jauh aksesnya. Diambillah keputusan: ngetol dari Kertosono. Tak apa-apa rada jauh dari Caruban, itu saya kira itulah rute yang paling masuk a-colt.

Begitu masuk tol Kertosono, mobil saya bawa lari konstan kira-kira kecepatan 95 km / jam hingga pintu tol Warugunung, di Waru, Sidoarjo. Tak sampai satu jam ternyata. Masih ada sisa tenaga untuk terus melanjutkan perjalanan hingga menyeberangi selat Madura, melewati Suramadu. Rupanya, energi saya sudah bakal habis setiba kami di Patemon. Maka, tanpa ba-bi-bu, ketika belok kanan di Tangkel, saya bilang ke Mat Khotib:

“Tolong ke sinikan bantal, dan nanti tutup semua pintu mobil. Setibanya di masjid, aku bakal langsung tidur, sudah gak tahan.”

Mobil masuk parkiran, saya ambil bantal, bahkan tanpa perlu menutup pintu, saya langsung telentang, tergelepar, dan lalu tidur. Dua orang penumpang lainnya-lah yang bertugas menutup dan mengunci pintu. Mereka tampaknya juga tiduran. Tentu saja, kami tak boleh lama-lama di situ. Pokoknya, sebelum subuh, saya sudah harus tiba di rumah karena nanti pukul 7 pagi harus berangkat lagi ke Pamekasan untuk menghadiri acara Maulud Nabi Muhammad saw di IAIN Madura.

Inilah pengalaman pertama ke Jogja nyopir Colt, sendirian. Hamdalah, menyenangkan. 

_______________________

Foto-foto di Lokananta:














26 Oktober 2021

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape IV)


SABTU
, 16 OKTOBER 2021

Di Kraksaan, kami mengingap di rumah kayu, sebuah rumah persinggahan yang memang dipersiapkan oleh tuan rumah (Kiai Mustofa) untuk para pelintas dan tamu, terutama kenalan dan familinya. Begitu dawuhnya. Jika Nyai Hamidah Wafi merupakan sepupu dari ibu mertua saya, maka Kiai Mustofa ini merupakan kemenakannya (tepatnya, kemenakan sepupu alias putra dari sepupunya). Jadi, hubungan kefamilian kedua orang yang baru disebut di atas itu sangat dekat sekali.


Setelah istirahat cukup pada malam hari dan membuka Sabtu pagi dengan sarapan, barulah kami dapat izin untuk pulang. Dalam hati, saya bersyukur telah diberikan banyak famili dan kerabat yang baik hati, yang membuka pintu untuk disinggahi atau diinapi. Bayangkan jika tidak, berapa banyak dana yang harus dirogoh untuk penginapan?


Ruas jalan Kraksan-Probolinggo jaraknya 25 kilometer, tapi berasa sangat jauh karena di ruas jalan itu sangat padat lalu lintasnya, dari dulu. Sekarang rada mending karena ada pelebaran jalan mulai dari Gending. Baik dari arah timur atau sebaliknya, saya selalu dihantui rasa cemas setiap kali akan melintasinya.


Kondisi jalan mulai normal setelah sampai di Bayeman, lepas kota Probolinggo. Lalu saya putuskan untuk masuk tol dari Gerbang Tol Tongas. Alasannya adalah karena jalan aksesnya paling dekat dengan Jalan Nasional, berkebalikan dengan Mojokerto Timur dan Beji yang sangat jaaaaauh. Saat keluar dari pintu tol Waru, saldo tersisa 50.000-an, aman. Tapi, tiba-tiba, anak ketiga ngajak saya naik kapal.


Ba, dulu Abah pernah bilang, katanya kita mau naik kapal?”

Sekarang, tah?”

Ayo, ayo, ayo...”



Biasanya turun di Dupak lanjut Pasar Turi, haluan diubah, lurus terus ke utara, nembus Jalan Jakarta, ke Kilometer Nol, terus ke Jalan Barunawati dan putar balik di Jalan Perak Barat ke Perak Timur untuk mengakses Jalan Prapat Kurung Utara dan terus ke Jalan Kalimas Baru, menuju Pelabuhan.


Kami antri agak lama dari biasanya. Permasalahan terletak pada saldo yang tak cukup untuk penumpang dan hanya cukup untuk kendaraan. Akhirnya, transaksi dilakukan terpisah, antara penumpang dan kendaraan (rupanya ini salah satu perbedaan “penyeberangan” dengan “tol laut” [seperti di Ketapang-Gilimanuk] yang tidak menghitung penumpang, tapi sekali masuk bayar 160.000, kayak masuk pintu tol). Penumpang bayar Rp5000 per kepala; mobil bayar 46.000 kalau tak salah ingat.


Kalau apa-apa itu dihitung berdasarkan uang, maka jelas jalan dan cara yang saya pilih ini merugikan sebab Jembatan Suramadu dan bisa dilewati kapan saja secara cuma-cuma. Tapi, melihat kebahagiaan diri sendiri—eh, anak-anak, padahal angin laut bertiup kencang dan panas, bubar deh semua hitung-hitungan ekonomis di atas.


hanya menghitung Kalau kami bayar sendiri-sendiri untuk penumpang, Rp5000 per orang. Mobilnya 46.000 kalau tak salah. Semua penumpang sangat senang meskipun siang itu angin laut berhembus dengan panasnya.


Suasana tempo dulu kembali hadir, masuk dalam kabin mobil tua ini, pas sekali, chemistry. Penjual asongan pun merapat ke jendela mobil bahkan sebelum kami turun, sama persis dengan situasi 25-30 tahun yang lalu. Mereka menawarkan minuman, cemilan, rokok, permen, dan teh dingin. Saya ingat, terakhir lewat di penyeberangan situ adalah 12 tahun yang lalu, dan itu pula waktu terakhir saya melintasi selat ini untuk yang terkahir kali naik Colt.


Sementara anak-anak naik ke dek atas, saya melihat pemandangan laut di dek bawah. Hanya ada tiga mobil di geladak. Sisanya sepeda motor dan penumpang. Saya sangat bahagia siang itu, bahagia karena bisa membahagiakan anak-anak, juga karena bisa membahagiakan diri sendiri dengan nostalgia.


Setelah sandar, ada yang berbeda. Kini, mobil tidak keluar secara rebutan dan serabutan, tidak kayak dulu. Saya berpikir, apakah saat ini orang-orang lebih paham etiket atau karena memang tidak ada yang mau direbut, diserobot, dan diributkan?


Dari Kamal, kami terus ke utara, ke kota Bangkalan, melewati ruas Jalan Nasional Telang yang kini sepi namun pemandangan alamnya masih sama seperti puluhan tahun yang lalu. Jalannya sudah bagus, tapi tanpa pelebaran.


Kami singgah di rumah saudara saya, Iffah, yang mengelola lembaga pendidikan (SD Assalam) di Perumahan Nilam, depan Bangplas (Bangkalan Palza). Di sana, kami shalat dan makan lalu tak menunggu lama lagi untuk meneruskan perjalanan ke timur, pulang.


Demikianlah laporan kisah perjalanan ini, perjalanan yang sangat mengesankan di satu sisi dan juga penuh kesedihan di sisi lainnya: perjalanan pertama bersama semua anak namun tanpa seorang ibu.

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape III)


JUMAT, 15 OKTOBER 2021


Jumat pagi, kami pamit pulang, tapi bibi tidak mengizinkan seperti biasanya. Akhirnya, kami pakai teknik: pamit sementara untuk takziyah ke Kiai Afifuddin Muhajir (Kiai Afifuddin terkadang disebut orang dengan nama “Kiai Khofi”, entah kenapa kok bisa begitu) di Sukorejo dengan perjanjian setelah takziyah kami kembali. “Baru boleh pergi jika begitu,” kata Bibi.


Diantar oleh Maulidi, saya sowan kepada Kiai Afifuddin. Istri beliau, Nyai Fatimah, wafat tiga hari yang lalu. Nyai Fatimah ini putra Kiai Idris Munawwar, sepupu pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah, Kiai Ahmad Azaim Ibrahimi. Satu tambahan informasi, Nyai Fatimah lahir di dusun Sabajarin, Guluk-Guluk, tempat kelahiran saya (karena Kiai Idris sempat tinggal di dusun tersebut, mungkin saya belum lahir atau masih kecil di kala itu).



Dari Sukorejo, kami menunaikan janji, balik lagi ke Asembagus. Sekitar satu setengah jam kemudian, itu pun dengan setengah ngotot, barulah kami diizinkan pulang. Bibi memang suka begitu, tidak menerima alasan logis seperti apa pun kalau itu berupa singgah sebentar. Sekali mampir, harus lama, kalau bisa harus menginap. Masalahnya, di hari jumat tersebut, kami harus pergi karena satu dan lain hal.


Maka, kami pun bergerak menuju Desa Lamongan, di Arjasa (Lamongan bukan nama Kabupaten, dan Arjasa yang ini bukan Jember) untuk menjumpai bibi yang lain, Bi Nur Azizah.


Bibi saya menggoda anak saya yang nomor dua, Muhammad Muhibbuddin Assalim (Salim), supaya tinggal bersamanya. Eh, tak dinyana, Salim langsung mengangguk, mengiyakan. Saya juga rada terkejut, kok semudah itu ia mau. Bibi berjanji akan mulang dia ngaji, belajar agama dan lainnya karena di sana juga ada madrasah diniyahnya. Di samping itu, di rumah Bi Azizah ada Bi Khotim (iparnya) yang kebetulan belum dikarunia putra sehingga pasti lebih fokus dalam mendidik. Akhirnya, dengan keluasan hati, saya pasrahkan Salim untuk tinggal di sana.


Surat pindah sekolah akan disusulkan, ya!” kata saya.


Di saat itu dan di tempat itu pula saya merasakan betapa beratnya melepas anak untuk berpisah pada saat selama 9 tahun tinggal serumah. Tapi, liburan puasa dia pulang dan kami berjumpa. Kata saya menghibur. Beda ceritanya jika berpisah dengan seseorang yang tak mungkin bertemu lagi selama-lamanya.


***

Masih seperti kemarin-kemarin, saya mengemudi seorang diri. Doanya masih sama: semoga tidak mogok, tak ada dorong-mendorong lagi. Sebetulnya, kalau ingat mogoknya, ketar-ketir juga bawa mobil tua. Makanya, saya lupakan itu kalau mau pergi ke mana-mana. Untunglah, karena dalam perjalanan ini kami sering mampir dan singgah, maka tubuh berasa tak begitu payah, termasuk dalam perjalanan pulang ini saya masih sempat rebahan di rumahnya Nyai Ummah, di Klathakan. Ummah ini adalah adiknya Hasyim, anggota penumpang kami yang juga ipar saya.


Persinggahan kami berikutnya adalah Kraksaan, PP Badrid Duja, tapi sebelum itu ada titik persinggahan di PP Nurul Jadid. Jadinya, kami mampir dulu di pondok saya masa dulu itu, PP Nurul Jadid daerah Jalaluddin Ar-Rumi, asuhan Kiai Malthuf Siraj dan Nyai Hamidah Wafi.


Berkat bantuan Firman, santri Ar-Rumi senior yang saya kenal, dengan mudah saya bisa memasuk portal pondok tanpa pemerikasaan KTP. Dan dengan cara itu pula, dengan mudah saya berziarah ke makam pendiri, KH Zaini Munim, dan juga ke komplek makam yang lain, yaitu makam Kiai Hasan Abdul Wafi, menantu Kiai Zaini sekaligus ipar Kiai Zuhri (pengasuh PPNJ saat ini) yang letaknya di sebelah barat ndalem beliau, di selatan.


Sebetulnya, saya ada rencana sowan Kiai Zuhri sekaligus takziyah ke Kiai Hefni, menantunya, yang baru saja kehilangan istri tercinta, Nyai Hanunah Nafiiyah, yang juga merupakan putri kesayangan Kiai Zuhri Zaini. Tapi, karena kondisi Covid belum sepenuhnya mereda dan PPNJ menerapkan pengawasan yang ketat, saya tahu diri. Bahkan Kiai Zuhri dan Nyai serta Kiai Hefni sudah lebih dulu takziyah istri saya, di Madura, beberapa waktu yang lalu


Dan saat balik dari maqbarah untuk melanjutkan perjalanan ke Kraksaan, ternyata kami bertemu dengan Nyai Hamidah. Beliau meminta kami untuk bermalam. Saya minta maaf karena terlanjur janjian. Semoga lain waktu saya—atau kami—bisa kembali ke sini untuk tujuan yang lain, di antara adalah untuk memondokkan anak putri saya yang dulu memang pernah diinginkan oleh almahumah istri saya dan pernah pula disampaikan kepada Bu Nyai.





Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape II)

KAMIS, 14 OKTOBER 2021


Tiba di Tanggul, azan subuh baru berkumandang. Kami pun mandi di komplek makam yang airnya melimpah ruah itu. Saya shalat berjamaah di sana, bersama penduduk setempat dan para penziarah. Seterusnya, kami nyekar ke makam Habib Soleh.


Sambil menunggu ponsel tersambung dengan paman Naqib yang konon sedang pulang ke rumah mertuanya di Mundurejo, saya menunggu penumpang lain di areal parkir. Sesudah semua berkumpul dan Paman sudah menelepon, kami pergi. Saya diarahkan ke selatan, ke arah PG Semboro. Kami mau ke sana, mau istirahat, mau rehat, tiduran sebentar untuk melepas penat. Tujuan kami berikutnya adalah rumah istri paman, Nyai Fadilah Hunaini, putri almarhum Kiai Mukhtar, di dusun Umbulan, Mundurejo, Umbul Sari. Menurut si paman, tujuan kami sudah dekat, tapi ternyata menurut putaran roda mobil Colt ini lumayan jauh. Saya masih harus berperang melawan kantuk dan rasa jenuh setelah semalam suntuk mengemudi sendirian dari Madura.


DusunUmbulan ini cukup unik. Ia terdiri dari beberapa kelompok: Madura-Islam, Jawa-Islam, dan Jawa-Kristen. “Mereka semua hidup berdampingan,” kata Nyai Fadilah, istri paman, tuan rumah yang kami sedang kunjungi itu. Hamdalah, di tempat itu, saya dan anggota rombongan bisa tidur, mandi, bahkan lengkap dengan makannya. Wow, enak sekali.


Kira-kira pukul 9.30, kami pulang untuk melanjutkan perjalanan menuju Jember. Tapi, rute kali ini berbeda dengan rute yang tadi. Peta digital yang memandu, memerintah kami kesana-kemari, ke utara dulu, baru ke timur, lalu serong lagi sedikit ke arah timur laut. Begitu saja kami manut, seperti kerbau dicocok hidungnya. Alangkah pintarnya aplikasi dan betapa culunnya kami. Pernah Anda bayangkan, enggak, keculunan Anda pada saat Anda dipandu aplikasi peta semacam ini dan Anda manut begitu saja dan ternyata salah? Masuk ke gang atau ke jalan yang buruk?


Ya, kami menuju Jember via Gambirono. Kami ikuti saja perintahnya meskipun awalnya ragu. Yeah, mau gimana lagi? Nasib pengekor emang seperti itu.


Tema besar perjalanan kali ini sebetulnya adalah “takziyah yang tertunda”. Ada yang wafat baru lalu, ada yang wafat sudah lama. Semua ketertundaan itu disebabkan oleh dua hal: pertama, tujuan-tujuan kami ini terbilang jauh (dari Sumenep, kira-kira 400-an kilometer dan ternyata 1000 kilomter lebih pergi-pulang); kedua, sepanjang waktu 7 bulan terakhir, saya memang tidak pergi ke mana-mana karena selama 4 bulan menjaga istri yang sakit dan 3 bulan berikutnya menunggu orang yang datang silih-berganti untuk takziyah ke tempat kami setelah akhirnya beliau wafat.


Tujuan takziyah yang pertama, ke Jember, juga berikutnya (Bondowoso), dan Asembagus, terbilang kategori ‘takziyah original’ alias langsung karena keduanya masih wafat dalam sepekan dengan kunjungan kami itu.


Saat tiba di Jember untuk takziyah ke Nyai Muflihah Bahar, secara tak sengaja, saya bertemu dengan Qomar, teman kuliah dulu, yang sedang menggarap furnitur untuk rumah milik sepupu saya, Walid, justru di tempat kami menuju. Lokasi rumah si sepupu ini berada tepat di seberang jalan rumah duka. Kejutan berikutnya adalah; di rumah si sepupu itu pula saya bertemu dengan Mas Fadal, saudara kandung daripada almarhum Kak Muniri, yang memang akan kami layati berikutnya. Ia berjanji akan menyertai kami ke Bondowoso, mengantar kami sampai ke halaman rumah Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU Bondowoso tersebut.


Nyai Muflihah adalah putra Kiai Bahar. Beliau itu ipar bibi saya, ibunya Walid. Dengan Walid, saya sepupu karena ibu Walid itu sesaudara dengan ibu saya, tapi dengan Nyai Muflihah, saya kurang tahu jalur nasabnya, tapi pasti masih ada hubungan famili, mungkin famili jauh. Nyai Muflihah wafat justru sepulang beliau dari Madura, yang salah satu tujuannya adalah takziyah. Oh, kematian memang benar-benar tidak dapat ditawar dan tidak dapat diduga.


Adapun Kiai Muniri merupakan adalah saudara kami yang lain, tiga kali sepupu (dalam istilah Madura adalah tello (tiga) popo (sepupu). Umumnya, atau setengahnya, orang Madura sangat peduli terhadap urusan silsilah begini. Tello popo itu artinya sepupu tiga kali atau tiga kali sepupu. Artinya. Buyut saya dan buyut almahum Muniri sesaudara. Kakek kami berdua hubungan nasabnya sama-sama sepupu. Lalu, orang tua kami sepupu dua kali. Maka, saya dan Kak Muniri adalah sepupu tiga kali.


Sayangnya, tak pernah satu kali pun saya ke bertandang rumahnya selain datang kali ini dan itu untuk takziyah. Sering saya bilang, kalau sempat, pergilah silaturahmi di saat bukan untuk takziyah, sehingga silaturahmi itu benar-benar silaturahmi (cek wordpress). Meskipun sama-sama niat sambil lalu silaturahmi, tapi akan beda suasananya jika silataruhmi berbumbu takziyah, apalagi jika dibumbui mau pinjam uang. Sebab itulah, silaturahmi menjadi mahal (bagi sebagian orang) karena ia merupakan kegiatan mengorbankan waktu tanpa kita dapat mengantongi kuntungan finansial secara langsung.


Karena perjalanan malam itu terlanjur diplot berakhir di Asembagus, maka kami harus lanjutkan perjalanan, tak boleh bermalam di Dadapan. Kami pun mengingap di rumah paman—yang notabene suami daripada bibi langsung dari almarhumah istri saya. Beliau wafat kira-kira 3 bulan yang lalu. Ke rumah paman ini, kami sudah sering sekali bertandang, bisa tiap tahun bahkan yang terakhir adalah tanggal 14 Februari tahun ini. Ketika itu, saya masih datang bersama istri dan pada kunujungan saya kali ini, kedua-duanya sudah sama-sama tiada.



Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape I)


Rabu, malam Kamis, 13 Oktober 2021


Baru sampai Tambung, pertigaan masuk kota/Pademawu, Colt ini sudah mogok. Mana pas di lampu merah lagi! Mesinnya mati. Ketika di-start, terdengar bunyi seperti anak kecil mewek, mau nangis.

“Mesinnya ngambek, nih, tidak mau nyala,” kata saya pada penumpang, berusaha menenangkan.

Ketika lampu berubah hijau, ketakutan yang paling saya khawatirkan terjadi beneran: bunyi klakson bertubi-tubi di belakang. Ingin emosi, tapi untuk apa. Ingin bilang sama orang-orang itu supaya sabar dan segera ambil sisi kanan, tapi apakah mungkin?


Saya merutuk dalam hati. “Sialan bener mereka! Apakah manfaat cerewet dengan membunyikan klakson seperti itu? Apa susahnya, sih, ambil kanan dan menyalip mobil kami? Siapa pula yang kerasan di lampu merah? Emang kami ini mau menginap di sini?”

Rutukan-rutukan ini akan terdengar ceracau orang gila andai saja diucapkan melalui megaphone. Untungnya, semua kata-kata itu mendengung, karena tidak berani keluar dari mulut, hanya menggelembung, hendak meletup, tapi di dalam pikiran. Untunglah saya masih sadar.
“Sabar, sabar, sabar,” kata saya sama para penumpang.

Dua orang pemuda yang berdiri di sisi barat jalan (mungkin sedang menunggu bis melintas) langsung paham terhadap bahasa tubuh saya. Ketika saya memandanginya, mereka langsung datang ke mobil saya untuk mendorongnya. Spontan, saya arahkan mobil belok kiri, ke jalan lingkar sebab jalannya sedikit menurun sehingga bobotnya akan lebih terasa ringan bagi mereka yang mendorongnya. Tapi, celakanya, ternyata mereka hanya membuat mobil bergerak sedikit, sudah pergi sebelum mesin mobil menyala. Untunglah saya tidak panik sehingga mobil saya biarkan terus menggelinding hingga beberapa meter. Setelah dirasa cukup lajunya, saya masukkan gigi ke versneling ke gigi ketiga, lepas kopling, dan....greng...greng... greng...nyala!

Hore...

Langsung putar balik, belok kiri lagi, dengan kencang saya bawa ia berlari ke arah kota. Tujuan kami selanjutnya adalah ke Sumber Anyar, Larangan Tokol, sebuah desa di pesisir selatan Pamekasan. Saya mau menjemput ipar di sana karena mau ikut saya ke Jawa.

Pada perjalanan malam itu, sedikit saya cemas mengingat semua penumpang adalah perempuan. Hanya ada empat laki-laki di dalam mobil, itu pun cuma saya dan tiga anak lelaki saya yang kecil-kecil. Akan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia jika mereka dipaksa untuk mendorong mobil yang mogok.

Salim, anak kedua, masih berusia 9 tahun. Dia yang duduk di depan, menemani saya. Di kursi tengah ada ipar perempuan dan anak perempuannya, juga anak perempuan saya, Fatimah. Di jok belakang, ada dua orang peremuan lagi, Yen dan Nila, serta dua lelaki anak saya yang lain yang kedua-duanya masih berumur 7 dan 4,5 tahun. Saya berdoa, semoga mereka, juga kami, tidak direpotkan oleh mobil tua ini.

Tapi, saat baru saja mau berangkat dari Sumber Anyar, mobil tidak bisa di-start lagi. Waduh, apa-apaan ini? Baru 40 kilometer dari rumah sudah dua kali bikin masalah, padahal Jember itu 360 kilometer, belum lagi ke Situbondo dan seterusnya. Andai saja mobil bisa berpikir, pasti dia tidak mogok karena sayalah satu-satunya lelaki dewasa di dalamnya.

Tanpa pengecekan terlebih dahulu dan langsung dipancal, itu saya kira problemnya. Tapi, saya juga terlalu percaya diri, sih. Mungkin karena kondisi mobil yang dianggap siap karena baru saja melalap duaribu kilometer aspal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, seminggu yang lalu.

Pukul 22.00 kurang beberapa menit, ada Kak Fauzan dan Le’ Hasyim. Mereka datang untuk memberikan bantuan. Ada juga beberapa orang lain, tapi saya tidak kenal. Dan dengan kekuatan mereka, sekali sorong, mesin langsung brum-brum-brum. Setelah babibu dan dadadada, saya ucap salam kepada mereka, berangkat.

Menurut kalkulasi saya, ada ‘kerugian’ waktu 30 menitan gara-gara acara dua kali dorong, tadi, di Tambung dan di Sumber Anyar. Untuk menutupi ‘kerugian’ tersebut, saya melajukan mobil lebih cepat dari tadi. Tetapi, baru sampai di Blega, mata sudah panas, mengantuk. Waduh, cilaka! Tak pelak, segera saya mampir di Mushalla Al-Khalili. Letaknya kira-kira 500 meter di timur SPBU Blega. Saya harus memutus konsentrasi sejenak, turun dari mobil, pipis, lalu ambil wudu.

Mushalla ini agaknya mushalla umum. Ada warungnya juga. Ini mushalla sepertinya juga ‘tak-bertuan’, hanya mushalla kecil yang diperuntukkan untuk pelintas dan/atau musafir yang singgah. Dari dulu, saya perhatikan, mushalla ini tidak menyediakan “kotak amal”, mungkin karena alasan tadi itu: tak bertuan, eh, bertakmir, padahal masjid yang kini sangat makmur dan kaya, seperti Masjid Raudatul Muttaqin di Sumbersari, Bayeman, harta masjidnya nyaris sepenuhnya diperoleh dari kotak amal orang yang singgah. Tapi, bisa jadi, si pemilik atau pengelola mushalla umum ini memang orang kaya yang ingin menanggung semua pembiayaan mushalla seorang diri saja.

Start lagi, nyala. Hamdalah, ternyata tidak ada masalah. Tapi, saya masih ragu karena belum dapat kepastian dari pertanyaan: Tadi itu mogoknya gara-gara dinamo ampere atau dinamo starter? Karena keraguan itu pulalah akhirnya saya ambil keputusan untuk lewat tol saja, menggagalkan rencana semula, lewat arteri sampai Probolinggo.

Sejak masuk Kedungcowek hingga lampu merah terakhir menjelang pintu tol Dupak, saya benar-benar menyetir mobil dalam keadaan tidak sesantai biasanya karena sembari mengatur kecepatan agar tidak sampai berhenti saat menunggu lampu merah. Jika lampu lalin di depan sedang hijau, saya memburunya supaya mampu melewatinya, namun jika sedang merah, saya bikin laju mobil melambat sejak jauh. Soalnya, saya khawatir, meskipun mesin sudah diperkirakan normal sejak rehat di Blega, tapi saya tidak mau berjudi dengan cara berhenti di lampu merah. Apa jadinya jika mesin mendadak mati di tengah kota Surabaya, tengah malam pula, sementara seluruh penumpang saya anak-anak dan para wanita?

Tak pelak lagi, mobil saya arahkan ke pintu tol Dupak. Untungnya, sisa saldo e-toll masih banyak karena seminggu yang lalu, sisa dari perjalanan jauh ke Banten. Saya cek, ia masih tersisa 200 ribuan sementara tarif tol dari Surabaya sampai Probolinggo itu tidak sampai 100.000 (mungkin 81.000).

Turun di gerbang tol terakhir, Leces, jam menunjukkan pukul 02.00 persis, empat jam perjalanan dari Pamekasan. Harus diakui, adanya tol Trans-Jawa, termasuk relasi Gempol-Probolinggo Timur yang baru-baru ini dibangun (Perak-Gempol adalah jalan tol panjang pertama di Indonesia, kayaknya lebih dulu dari jalan tol Jakarta-Cikampek), dapat menghemat waktu sekitar satu jam, atau lebih. Tapi, jelas, jika kita lihat dampak sosialnya, korban dan dampaknya juga banyak. Tentu saja, saya tidak akan membahas hal itu dalam tulisan ini karena saya tidak ahli di bidang itu.

“Enggak ada yang mau ke toilet?” tanya saya kepada penumpang saat kami melintas di Ranuyoso.
“Tidak ada,” jawab seseorang.
“Ini masih malam. Subuh masih lama. Kita lanjut saja. Gimana kalau kita subuhan di Tanggul saja? Sekalian ziarah ke makam Habib Soleh?”
“Oh, baik. Saya setuju itu,” kata ipar saya.
“Kita bisa mandi-mandi dan ganti pakaian di sana.”

Perjalanan berlanjut. Tapi, laju mobil ndut-ndut sekarang, menjadi antitesis dari momen sebelumnya. Bagaimana tidak, ruas jalan Ranuyoso dan Klakah memang terkenal padat dan menanjak. Mobil-mobil besar dan bermuatan berat jelas sangat lemot di jalur ini. Menyalip tidak seleluasa di tempat lain karena di samping menanjak, di ruas ini, sering pula banyak karnaval kendaraan yang tersendat di belakang truk-truk besar yang berjalan sangat pelan.



Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...