Pembaca

26 Oktober 2021

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape II)

KAMIS, 14 OKTOBER 2021


Tiba di Tanggul, azan subuh baru berkumandang. Kami pun mandi di komplek makam yang airnya melimpah ruah itu. Saya shalat berjamaah di sana, bersama penduduk setempat dan para penziarah. Seterusnya, kami nyekar ke makam Habib Soleh.


Sambil menunggu ponsel tersambung dengan paman Naqib yang konon sedang pulang ke rumah mertuanya di Mundurejo, saya menunggu penumpang lain di areal parkir. Sesudah semua berkumpul dan Paman sudah menelepon, kami pergi. Saya diarahkan ke selatan, ke arah PG Semboro. Kami mau ke sana, mau istirahat, mau rehat, tiduran sebentar untuk melepas penat. Tujuan kami berikutnya adalah rumah istri paman, Nyai Fadilah Hunaini, putri almarhum Kiai Mukhtar, di dusun Umbulan, Mundurejo, Umbul Sari. Menurut si paman, tujuan kami sudah dekat, tapi ternyata menurut putaran roda mobil Colt ini lumayan jauh. Saya masih harus berperang melawan kantuk dan rasa jenuh setelah semalam suntuk mengemudi sendirian dari Madura.


DusunUmbulan ini cukup unik. Ia terdiri dari beberapa kelompok: Madura-Islam, Jawa-Islam, dan Jawa-Kristen. “Mereka semua hidup berdampingan,” kata Nyai Fadilah, istri paman, tuan rumah yang kami sedang kunjungi itu. Hamdalah, di tempat itu, saya dan anggota rombongan bisa tidur, mandi, bahkan lengkap dengan makannya. Wow, enak sekali.


Kira-kira pukul 9.30, kami pulang untuk melanjutkan perjalanan menuju Jember. Tapi, rute kali ini berbeda dengan rute yang tadi. Peta digital yang memandu, memerintah kami kesana-kemari, ke utara dulu, baru ke timur, lalu serong lagi sedikit ke arah timur laut. Begitu saja kami manut, seperti kerbau dicocok hidungnya. Alangkah pintarnya aplikasi dan betapa culunnya kami. Pernah Anda bayangkan, enggak, keculunan Anda pada saat Anda dipandu aplikasi peta semacam ini dan Anda manut begitu saja dan ternyata salah? Masuk ke gang atau ke jalan yang buruk?


Ya, kami menuju Jember via Gambirono. Kami ikuti saja perintahnya meskipun awalnya ragu. Yeah, mau gimana lagi? Nasib pengekor emang seperti itu.


Tema besar perjalanan kali ini sebetulnya adalah “takziyah yang tertunda”. Ada yang wafat baru lalu, ada yang wafat sudah lama. Semua ketertundaan itu disebabkan oleh dua hal: pertama, tujuan-tujuan kami ini terbilang jauh (dari Sumenep, kira-kira 400-an kilometer dan ternyata 1000 kilomter lebih pergi-pulang); kedua, sepanjang waktu 7 bulan terakhir, saya memang tidak pergi ke mana-mana karena selama 4 bulan menjaga istri yang sakit dan 3 bulan berikutnya menunggu orang yang datang silih-berganti untuk takziyah ke tempat kami setelah akhirnya beliau wafat.


Tujuan takziyah yang pertama, ke Jember, juga berikutnya (Bondowoso), dan Asembagus, terbilang kategori ‘takziyah original’ alias langsung karena keduanya masih wafat dalam sepekan dengan kunjungan kami itu.


Saat tiba di Jember untuk takziyah ke Nyai Muflihah Bahar, secara tak sengaja, saya bertemu dengan Qomar, teman kuliah dulu, yang sedang menggarap furnitur untuk rumah milik sepupu saya, Walid, justru di tempat kami menuju. Lokasi rumah si sepupu ini berada tepat di seberang jalan rumah duka. Kejutan berikutnya adalah; di rumah si sepupu itu pula saya bertemu dengan Mas Fadal, saudara kandung daripada almarhum Kak Muniri, yang memang akan kami layati berikutnya. Ia berjanji akan menyertai kami ke Bondowoso, mengantar kami sampai ke halaman rumah Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU Bondowoso tersebut.


Nyai Muflihah adalah putra Kiai Bahar. Beliau itu ipar bibi saya, ibunya Walid. Dengan Walid, saya sepupu karena ibu Walid itu sesaudara dengan ibu saya, tapi dengan Nyai Muflihah, saya kurang tahu jalur nasabnya, tapi pasti masih ada hubungan famili, mungkin famili jauh. Nyai Muflihah wafat justru sepulang beliau dari Madura, yang salah satu tujuannya adalah takziyah. Oh, kematian memang benar-benar tidak dapat ditawar dan tidak dapat diduga.


Adapun Kiai Muniri merupakan adalah saudara kami yang lain, tiga kali sepupu (dalam istilah Madura adalah tello (tiga) popo (sepupu). Umumnya, atau setengahnya, orang Madura sangat peduli terhadap urusan silsilah begini. Tello popo itu artinya sepupu tiga kali atau tiga kali sepupu. Artinya. Buyut saya dan buyut almahum Muniri sesaudara. Kakek kami berdua hubungan nasabnya sama-sama sepupu. Lalu, orang tua kami sepupu dua kali. Maka, saya dan Kak Muniri adalah sepupu tiga kali.


Sayangnya, tak pernah satu kali pun saya ke bertandang rumahnya selain datang kali ini dan itu untuk takziyah. Sering saya bilang, kalau sempat, pergilah silaturahmi di saat bukan untuk takziyah, sehingga silaturahmi itu benar-benar silaturahmi (cek wordpress). Meskipun sama-sama niat sambil lalu silaturahmi, tapi akan beda suasananya jika silataruhmi berbumbu takziyah, apalagi jika dibumbui mau pinjam uang. Sebab itulah, silaturahmi menjadi mahal (bagi sebagian orang) karena ia merupakan kegiatan mengorbankan waktu tanpa kita dapat mengantongi kuntungan finansial secara langsung.


Karena perjalanan malam itu terlanjur diplot berakhir di Asembagus, maka kami harus lanjutkan perjalanan, tak boleh bermalam di Dadapan. Kami pun mengingap di rumah paman—yang notabene suami daripada bibi langsung dari almarhumah istri saya. Beliau wafat kira-kira 3 bulan yang lalu. Ke rumah paman ini, kami sudah sering sekali bertandang, bisa tiap tahun bahkan yang terakhir adalah tanggal 14 Februari tahun ini. Ketika itu, saya masih datang bersama istri dan pada kunujungan saya kali ini, kedua-duanya sudah sama-sama tiada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...