Pembaca

26 Oktober 2021

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape IV)


SABTU
, 16 OKTOBER 2021

Di Kraksaan, kami mengingap di rumah kayu, sebuah rumah persinggahan yang memang dipersiapkan oleh tuan rumah (Kiai Mustofa) untuk para pelintas dan tamu, terutama kenalan dan familinya. Begitu dawuhnya. Jika Nyai Hamidah Wafi merupakan sepupu dari ibu mertua saya, maka Kiai Mustofa ini merupakan kemenakannya (tepatnya, kemenakan sepupu alias putra dari sepupunya). Jadi, hubungan kefamilian kedua orang yang baru disebut di atas itu sangat dekat sekali.


Setelah istirahat cukup pada malam hari dan membuka Sabtu pagi dengan sarapan, barulah kami dapat izin untuk pulang. Dalam hati, saya bersyukur telah diberikan banyak famili dan kerabat yang baik hati, yang membuka pintu untuk disinggahi atau diinapi. Bayangkan jika tidak, berapa banyak dana yang harus dirogoh untuk penginapan?


Ruas jalan Kraksan-Probolinggo jaraknya 25 kilometer, tapi berasa sangat jauh karena di ruas jalan itu sangat padat lalu lintasnya, dari dulu. Sekarang rada mending karena ada pelebaran jalan mulai dari Gending. Baik dari arah timur atau sebaliknya, saya selalu dihantui rasa cemas setiap kali akan melintasinya.


Kondisi jalan mulai normal setelah sampai di Bayeman, lepas kota Probolinggo. Lalu saya putuskan untuk masuk tol dari Gerbang Tol Tongas. Alasannya adalah karena jalan aksesnya paling dekat dengan Jalan Nasional, berkebalikan dengan Mojokerto Timur dan Beji yang sangat jaaaaauh. Saat keluar dari pintu tol Waru, saldo tersisa 50.000-an, aman. Tapi, tiba-tiba, anak ketiga ngajak saya naik kapal.


Ba, dulu Abah pernah bilang, katanya kita mau naik kapal?”

Sekarang, tah?”

Ayo, ayo, ayo...”



Biasanya turun di Dupak lanjut Pasar Turi, haluan diubah, lurus terus ke utara, nembus Jalan Jakarta, ke Kilometer Nol, terus ke Jalan Barunawati dan putar balik di Jalan Perak Barat ke Perak Timur untuk mengakses Jalan Prapat Kurung Utara dan terus ke Jalan Kalimas Baru, menuju Pelabuhan.


Kami antri agak lama dari biasanya. Permasalahan terletak pada saldo yang tak cukup untuk penumpang dan hanya cukup untuk kendaraan. Akhirnya, transaksi dilakukan terpisah, antara penumpang dan kendaraan (rupanya ini salah satu perbedaan “penyeberangan” dengan “tol laut” [seperti di Ketapang-Gilimanuk] yang tidak menghitung penumpang, tapi sekali masuk bayar 160.000, kayak masuk pintu tol). Penumpang bayar Rp5000 per kepala; mobil bayar 46.000 kalau tak salah ingat.


Kalau apa-apa itu dihitung berdasarkan uang, maka jelas jalan dan cara yang saya pilih ini merugikan sebab Jembatan Suramadu dan bisa dilewati kapan saja secara cuma-cuma. Tapi, melihat kebahagiaan diri sendiri—eh, anak-anak, padahal angin laut bertiup kencang dan panas, bubar deh semua hitung-hitungan ekonomis di atas.


hanya menghitung Kalau kami bayar sendiri-sendiri untuk penumpang, Rp5000 per orang. Mobilnya 46.000 kalau tak salah. Semua penumpang sangat senang meskipun siang itu angin laut berhembus dengan panasnya.


Suasana tempo dulu kembali hadir, masuk dalam kabin mobil tua ini, pas sekali, chemistry. Penjual asongan pun merapat ke jendela mobil bahkan sebelum kami turun, sama persis dengan situasi 25-30 tahun yang lalu. Mereka menawarkan minuman, cemilan, rokok, permen, dan teh dingin. Saya ingat, terakhir lewat di penyeberangan situ adalah 12 tahun yang lalu, dan itu pula waktu terakhir saya melintasi selat ini untuk yang terkahir kali naik Colt.


Sementara anak-anak naik ke dek atas, saya melihat pemandangan laut di dek bawah. Hanya ada tiga mobil di geladak. Sisanya sepeda motor dan penumpang. Saya sangat bahagia siang itu, bahagia karena bisa membahagiakan anak-anak, juga karena bisa membahagiakan diri sendiri dengan nostalgia.


Setelah sandar, ada yang berbeda. Kini, mobil tidak keluar secara rebutan dan serabutan, tidak kayak dulu. Saya berpikir, apakah saat ini orang-orang lebih paham etiket atau karena memang tidak ada yang mau direbut, diserobot, dan diributkan?


Dari Kamal, kami terus ke utara, ke kota Bangkalan, melewati ruas Jalan Nasional Telang yang kini sepi namun pemandangan alamnya masih sama seperti puluhan tahun yang lalu. Jalannya sudah bagus, tapi tanpa pelebaran.


Kami singgah di rumah saudara saya, Iffah, yang mengelola lembaga pendidikan (SD Assalam) di Perumahan Nilam, depan Bangplas (Bangkalan Palza). Di sana, kami shalat dan makan lalu tak menunggu lama lagi untuk meneruskan perjalanan ke timur, pulang.


Demikianlah laporan kisah perjalanan ini, perjalanan yang sangat mengesankan di satu sisi dan juga penuh kesedihan di sisi lainnya: perjalanan pertama bersama semua anak namun tanpa seorang ibu.

1 komentar:

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...