Ahad, 24 Oktober 2021
Sebetulnya, saya sudah dilanda rasa malas sejak berangkat untuk menuliskan kisah perjalanan ke Jogja ini. Pasalnya, pergi ke tujuan itu sudah saya lakukan berkali-kali. Maret tahun ini saja, saya sudah ke sana, bahkan itu menjadi kenangan terakhir perjalanan jauh bareng almarhumah istri sebelum beliau dipanggil Tuhan pada 10 Agustus yang lalu. Jogja menjadi salah satu kota tujuan yang paling sering saya kunjungi.
Akan tetapi, kisah perjalanan naik Colt ini tetap harus ditulis sekadar untuk merekonstruksi (merawat) ingatan. Menulis adalah kegiatan meremajakan akal-pikir, mengolah memori dan menata cara berpikir, sesederhana apa pun itu wujudnya. Lebih-lebih dalam perjalanan kali ini, ia menjadi istimewa karena saya tidak bisa menuliskannya secara langsung sebab menjadi pengemudi tunggal, beda dengan kisah perjalanan sebelum-sebelumnya yang biasanya kami nyopir keroyokan.
Oh, ya. Nyopir sendirian ke Jogja, 500 kilometer sekali jalan, semua penumpang cowok tapi tak satu pun bisa mengemudi, rasanya diri ini sudah kayak sopir pikap yang muat beras. Itulah bayangan yang melintas dalam pikiran saya sesaat sebelum berangkat: belum-belum sudah capek duluan. Makin capek karena masih diwanti-wanti oleh ibu saya agar ngajak sopir, tapi saya kasih alasan yang masuk a-colt kepada beliau bahwa saya akan mencari sopir sampai ketemu. Kalaupun tidak nemu, kata saya, saya akan nyopir sendiri dan pasti saya tahu diri, kapan harus nyetir, kapan harus berhenti.
“Tenang, Bu. Abdi(na) sudah gede. Kalau ngantuk, saya akan istirahat, tidak akan ngotot, sebab saya bukan sopir ajaran, sudah sejak kelas 6 MI (madrasah ibtidaiyah, sekolah dasar) mulai belajar ngontrol oli, ngecek radiator, dan menghidupkan mesin. Jadi, Ibu harus percaya kepada saya bahwa saya bukan anak kecil atau anak tua yang kekanak-kanakan yang terkadang nekat enggaya menguat-nguatkan diri padahal sudah ngantuk berat. Saya pasti berhenti, kok...”
Rupanya, saya berhasil meyakinkan ibu dan beliau memberikan izin. Alhamdulillah saya panjatkan. Mulailah saya menjalankan mesin, keluar dari pekarangan, beberapa saat setelah shalat isya dan berkemas-kemas, Ahad malam Senin, 24 Oktober 2021.
Tapi...
Baru jalan 8 kilometer, saat baru tiba di Prenduan untuk jemput Zubairi dan janjian dengan Pak Yasin, ambil oleh-oleh yang akan saya bawa, eh, mobilnya sudah mogok. Starter tidak jalan, daya baterenya habis. Waduh, saya baru ingat sekarang, bahwa dinamo mobil ini bermasalah. Sebetulnya, sejak seminggu sebelumnya, ketika saya membawanya ke Jember dan Situbondo dan juga nyopir sendirian, tanda-tanda kemogokan itu sudah tampak. ‘Mengapa saya lupa?’ tanya saya, merutuk sendiri, merutuk yang bukan waktunya. Ini tidak penting dijawab, juga tidak penting diperbaiki. Ini saat yang pas dan tepat untuk pergi.
Tak ada alasan lain kecuali.... dorong!
Hamdalah, mobil langsung hidup, langsung berjalan sampai Tanjung untuk menjemput penumpang satu lagi, Bung Acing, dan tentu saja tanpa mematikan mesin. Kami lanjut sampai Belgia, pipis, berhenti untuk meregangkan otot, memecah konsentrasi, dan itu semua sudah cukup syarat untuk disebut istirahat. Hanya tiga menit, gas lagi.
Mobil harus dorong lagi setelah isi bensin di Jalan Perak Timur, sebelum masuk tol.
Sebetulnya, perjalanan di malam hari, lebih-lebih lewat tol, akan sangat sulit untuk diceritakan dan karenanya saya tidak menemukan variasi gaya menulis yang lain, kecuali hanya memasukkan unsur eksternal yang tidak begitu penting dalam inti cerita. Misalnya, bumbu kisah tentang sudah berkali-kalinya saya naik Colt ini ke Jogja, dan ternyata, ya, begitu-begitu saja. Tentu saja kisahnya beda banget dengan pengalaman pertama, ketika saya melakukannya di tahun 2018, ketika jalan tol dari arah timur masih terputus di Kertosono dan dari arah barat entah sampai mana.
Malam itu, saya mengendalikan Colt secara single sampai di tempat istirahat Sragen (mungkin), sekitar 20-an kilometer sebelum pintu tol Colomadu, Kartasura. Saya berhenti karena mau shalat subuh dan juga karena tidak tahan, segera tidur setelah shalat, tergeletak sampai pukul 06.30. Sama seperti dua kejadian tadi malam, pagi itu diawali dengan senam: dorong mobil lagi.
Bisa dikatakan, ini adalah turing galau (meskipun pada dasarnya saya sendiri rada sungkan menggunakan istilah turing. Sebab, turing (pengindonesiaan daripada touring) cenderung dimaknai sebagai jalan-jalan tanpa tujuan, atau dengan tujuan tapi tidak begitu penting. Makanya, nyaris saya tidak pernah menggunakan kata turing karena itu sama dengan memberi niat perjalanan. Agar perjalanan kita dapat dua hal; tujuan dan pahala, maka niatnya harus benar sebelum berjalan. Beruntung, adanya undangan untuk hadir di acara Maulid Nabi di kafe Basabasi di Jogjakarta menjadi penyelamat niat perjalanan galau saya ini.
Senin, 25 Oktober 2021
Pagi itu, di Jogja, sungguh merupakan pagi yang paling menyenangkan dalam sepekan ini. Bagaimana tidak, saya duduk-duduk sambil menikmati minuman dan cemilan, sementara si empunya Kafe Mainmain dan Lehaleha belum datang (dia yang ngundang saya hadir ke siti untuk acara maulid Nabi, menemani Habib Husin Jafar al-Hadar), sambil lalu pula saya berkirim pesan ke Pak Benta tentang masalah dalam perjalanan semalam, tentang mogok dan bla-bla-bla-nya.
Eh, tak lama kemudian, datanglah Pak Benta, Mas Hertanto (Ha Heng), dan Mas Nur Susena, serta tiga kawan lainnya. Mobil saya dibawanya untuk dicek dinamonya. Benar-benar berasa sultan sekali. Ongkang-ongkang kaki di kafe Main-Main, mobilnya jalan-jalan. Besoknya tinggal ambil di Gamping dalam keadaan sudah beres. Alangkah betapanya itu! Oh, iya, catatan tambahannya: tidak ada biaya sama sekali. Gile lu, Ndro!
Acara saya di Jogja kali ini adalah untuk menghadiri undangan Pak Edi Mulyono dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Acaranya diselenggarakan dua kali, di Kafe Basabasi Nologaten dan Kafe Basabasi Tamantirto, dekat UMY. Pada kedua acara itu, saya didapuk untuk membacakan shalawat Nabi sesi pembuka (julus, dibaca duduk). Sungguh, pergi ke Jogja kali ini sangat enak bukan cuman sekali, tapi berkali-kali. Sehabis acara di Kafe Basabasi dekat UMY itu, barulah saya ambil mobil di Pak Benta untuk dibawa pulang besoknya.
Rabu, 27 Oktober 2021
Saya tidak bisa pulang pagi karena dua anggota lain entah masih ada di mana. Saya menunggu mereka di tempat andalan, Kafe Leha-Leha dan Kafe Main-Main (yang letaknya memang bersisian) setelah semalamnya saya tidur nyenyak di kontrakannya Imam Rofi’ie. Menunggu dengan cara seperti ini tidak begitu membosankan.
Zubair dan Mat Khotib datang dan barulah kami berangkat setelah sebelumnya mampir dulu ke Hanafi. Waduh, makin molor waktunya. Juga mampir di toko mainan, di Klaten, buat anak-anak di rumah. Akhirnya, siang kami baru sampai di Kartasura. Sembari berjalan dan kami menjalin kontak dengan Om Dharmo di Colomadu untuk menanyakan teknis berkunjung ke Studio Rekaman Lokananta yang kini jadi museum itu, eh, malah dia maksa-maksa saya untuk mampir.
“Pokoknya mampir dulu sebentar ke rumah. Nanti saya antar langsung ke Lokananta!” kata dia.
“Baik, cuman mampir, jemput, dan lanjut, ya! Ndak usah pakai duduk-duduk segala. Kami kejar waktu agar tidak molor sampai di Madura,” kata saya sebelum tiba.
“Gampang itu!”
Setelah jemput Om Dharmo dan ternyata tetap harus duduk sebentar dan makan cemilan, akhirnya kami lanjut ke Lokananta yang terletak di Kerten.
Kami masuk ke museum, bayar tiket 20 ribu kalau tidak salah. Dan kami pun melihat rak-rak penuh kaset dan piringan hitam, juga mixer 32 saluran dengan sistem analog, juga studio yang sangat lebar dan sepertinya dipersiapkan agar muat untuk orkestra. “Masih berstatus sebagai studio paling luas di Indonesia,” kata Mas Pemandu kami yang saya lupa namanya.
Saya dan anggota rombongan, termasuk Mas Dharmo, bersama Mas Rudi Hantoro dan Siti Muslifah serta Gunawan Tri Atmodjo dan seorang perempaun yang entah siapa seseorang, di dekatnya, berjalan-jalan keliling museum yang luas itu. Habis itu, kami makan di kantinnya. Pertemuan mendadak dan menyenangkan, begitulah kesan saya.
Sebetulnya, magnet terbesar yang menarik saya datang ke sana adalah rekaman qiraah Syaikh Mahmud Khalil al-Husari. Ini rekaman yang melegenda karena tarhim, adzan, dan qiraahnya sangat eksklusif, tidak ada versi serupanya di belahan manapun di dunia ini kecuali di Indonesia. Begitulah yang saya tahu. Alasannya adalah karena langgam Al-Husari versi rekaman 30 juz Alquran-nya ternyata berbeda dengan yang versi Lokananta. Yang saya tahu, rekaman itu dilakukan di Solo, pada tahun 60-an. Tapi, kata petugas, ternyata bukan demikiannya kejadian sejatinya. “Masteringnya di Mesir, penggandaan di Solo,” jelas mas petugas di depan kaset qiraah yang sengaja saya bawa dari Madura itu. Intinya, apa pun kisahnya, rekaman ini sangat populer karena sudah pernah saya dengar ia diputar di Sumatera Utara hingga Maluku, di Jawa maupun di Madura. Saya membuatnya menjadi mp3 pada tahun 2005.
Setelah sore dan hujan tinggal gerimis, pulanglah kami. Targetnya adalah segera sampai di rumah, malam itu atau sepagi mungkin, karena besok Kamis-nya saya harus hadir di acara Maulid Nabi yang lain. Saya tidak khawatir, hanya takut kecapekan di tengah jalan dan harus tidur sebab dua penumpang tersisa sama-sama tiada bisa memegang kendali supaya enak jalannya. Tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuuut.
Rupanya, dalam perjalanan itu, mata saya sudah tidak kuat akibat akumulasi dua malam yang tidur kurang rehat dan seharian tadi keliling-keliling dulu sebelum nyopir. Saya masuk dari Gerbang Tol Gondangrejo, tak jauh dari Kerten.
“Kita harus mampir di Sidqi,” kata saya kepada Muhammad, sepupu saya yang ikut saat pergi dan pulangnya, dan juga Zubairi yang saya kira juga kenal dengan petugas KUA Beringin Ngawi ini (sedangkan Om Washil netap sejenak di Jogja).
“Di mana rumahnya?”
“Aku ndak tahu persis karena dulu hanya ketemuan di jalan. Biar aku hubungi. Kalau ada orangnya kita mampir sejenak buat rehat, kalau tidak, kita lanjut dan cari tempat yang lain.”
Gayung bersambut. Sidqi bisa dihubungi. Hamdalah, dapatlah saya tempat untuk rehat barang sejenak melepas penat. Sore itu, sekitar jelang pukul 17.00, hujan masih turun dari langit manakala kami merapat ke rumahnya yang lokasinya tak jauh dari jalan raya. Saya tidur-tidur ayam, tak bisa tidur beneran. Biarlah, yang penting ada tempat buat melepas konsentrasi dan mengendurkan otot dan punggung, kata saya dalam hati.
Setelah shalat maghrib-isya, pamitlah kami pulang. Dan kami memilih lewat arteri, via Kandangjati, menuju Caruban. Tujuannya adalah mengunjungi Sutris. Saya dapat kabar, si Sutris ini sekarang merintis usaha kedai makanan ringan tapi kopinya kopi beneran, bukan kopi sasetan. Maklum, Sutris ini seorang barista senior yang pengalaman kerjanya 10 tahunan di Kafe Jungkir Balik, Sidoarjo. Saya kenal dia di sana. Rupanya, dia memanfaatkan halaman parkir sebuah kios cuci mobil yang tutup di kala malam. Posisinya berdekatan dengan Kantor Pos Caruban.
Jalur Kandangjati ini umumnya dilalui bis-bis patas atau Mila atau AKAS ASRI atau bis-bis malam dari arah Bali tujuan Jogja. Sedangkan bis reguler lainnya lewat Madiun dan Maospati (Magetan). Dengan lewat jalan ini, jarak bisa dihemat hingga 20 kilometer. Tapi, bis-bis reguler dari Surabaya tujuan Jogja tidak lewat di sini karena para penumpang kebanyakan hendak ke Madiun atau Magetan.
Perjalanan dari kota Ngawi ke Caruban via Kandangjati memanglah cuman 40 kilometeran. Tapi, saya sangat tersiksa karena ini pengalaman pertama kali menggunakan lampu LED dan celakanya tidak fokus ditambah hujan pula. Tepian jalan hitam beraspal nyaris hanya bisa diperkirakan. Mata saya jadi sangat lelah.
Mau taubat rasanya untuk memakai lampu LED lagi.
Setelah ngopi-ngopi bareng Sutris di Caruban, perjalanan dilanjutkan lewat arteri. Mau balik ke pintu tol Caruban kok buang jarak, mau masuk di pintu tol Nganjuk itu terlalu jauh aksesnya. Diambillah keputusan: ngetol dari Kertosono. Tak apa-apa rada jauh dari Caruban, itu saya kira itulah rute yang paling masuk a-colt.
Begitu masuk tol Kertosono, mobil saya bawa lari konstan kira-kira kecepatan 95 km / jam hingga pintu tol Warugunung, di Waru, Sidoarjo. Tak sampai satu jam ternyata. Masih ada sisa tenaga untuk terus melanjutkan perjalanan hingga menyeberangi selat Madura, melewati Suramadu. Rupanya, energi saya sudah bakal habis setiba kami di Patemon. Maka, tanpa ba-bi-bu, ketika belok kanan di Tangkel, saya bilang ke Mat Khotib:
“Tolong ke sinikan bantal, dan nanti tutup semua pintu mobil. Setibanya di masjid, aku bakal langsung tidur, sudah gak tahan.”
Mobil masuk parkiran, saya ambil bantal, bahkan tanpa perlu menutup pintu, saya langsung telentang, tergelepar, dan lalu tidur. Dua orang penumpang lainnya-lah yang bertugas menutup dan mengunci pintu. Mereka tampaknya juga tiduran. Tentu saja, kami tak boleh lama-lama di situ. Pokoknya, sebelum subuh, saya sudah harus tiba di rumah karena nanti pukul 7 pagi harus berangkat lagi ke Pamekasan untuk menghadiri acara Maulud Nabi Muhammad saw di IAIN Madura.
Inilah pengalaman pertama ke Jogja nyopir Colt, sendirian. Hamdalah, menyenangkan.
_______________________
Foto-foto di Lokananta:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar