Kami meninggalkan Beringin, Kecamatan Ngaliyan, itungannya masih relatif pagi. Peta digital Google Maps mengarahkan kami ke pintu tol Krapyak, tapi kami tolak. Kami pilih jalan arteri saja, yaitu Jalan Pantura, jalan yang penuh kenangan. Kami melintasi ruas jalan raya Mangkang.
Perjalanan sejauh 75 km ke kota Pekalongan ditempuh kurang lebih satu jam lebih sedikit melalui jalan tol. Kami sudah tiba di sana sebelum pukul 9 pagi. Dalam perjalanan, saya sempat menjalin komunikasi dengan Bapak Bambang, menyampaikan kekhawatiran kampas kopling, kuat-tidaknya untuk bertahan dipakai sampai kembali pulang ke Madura. Pasalnya, perasaan cemas menggelayut sejak tadi malam, sejak kami melahap tanjakan panjang Ungaran ke arah Semarang.
“Buka saja di sini, nanti kalau sudah sampai Banten.”
“Ah, jangan begitu, Pak. Kami ini mau bertamu ke Banten, bukan untuk memperbaiki mobil.”
“Enggak apa-apa. Itu pekerjaan paling sebentar saja dikerjakan. Atau, saya hubungi Pak Sikut saja, ya?”
“Siapa beliau?”
“Kawan kita, sekitar Batang rumahnya.”
“Nah, itu lebih masuk akal. Senyampang beliau ngecek kopling mobil, sementara saya sowan ke Ndalem Habib Lutfi, ide yang cemerlang.”
Seperti permainan bola tika-tiki, oper-operan pendek nan singkat tapi cepat diekskusi, kami tiba di area sekitar Kanzus Sholawat, Kota Pekalongan, berbarengan dengan kedatangan Pak Sikut. Setelah salaman dan sesi foto, mobil kami langsung dibawanya dan kami berempat berjalan kami ke kediaman Habib Lutfi bin Yahya.
* * *
Saya sama sekali tidak menyangka bahwa pada hari itu ada acara Jumat Kliwonan. Apa itu Jumat Kliwonan, saya juga bahkan tidak tahu. Orang-orang tumpek blek, banyak sekali, ribuan atau bahkan mungkin puluhan ribu, mungkin 10 atau bahkan 20 ribu. Entahlah, pokoknya ramai sekali. Hati langsung kecut, perasaan menciut. Bagaimana mungkin kami bisa sowan Habib—wabil khusus saya sendiri yang ingin—menyampaikan kepentingan khusus jika begitu banyaknya orang yang semuanya pasti ingin bersalaman juga?
Menurut informasi yang saya terima dari Anam, Habib tidak ada ada di rumah. Sementara Habib Bidin (Ali Zainal Abidin, menantu Habib Lutfi yang merupakan pimpinan kelompok Shalawat Azzahir yang notabene putra mutrib [penyanyi & pemain oud] nan masyhur Habib Seggaf As-Seggaf) malah tidak muncul sedari pagi. Informasi ini diperoleh Anam dari khadam Habib yang memang tinggal di situ. Pagi yang cerah rasanya sedikit murung. Perasaan mulai gundah.
“Yang penting niat kita sudah sampai di sini, perkara nanti tidak bisa sowan, harus kita terima. Perjalanan kita lanjutkan saja sampai Sunan Gunung Jati Cirebon, setelah itu kita ‘putar kepala’, pulang kembali ke Madura.” Demikian usul saya kepada rombongan. Tidak ada respon, agaknya semua anggota juga rada kecewa.
Hamdalah, rombongan kami ternyata masih bisa sowan Habib Lutfi di Kanzus Sholawat setelah acara Kliwonan usai. Saya bisa salaman, dapat jatah dua atau entah tiga detik saja karena keburu didorong oleh orang yang ada di belakang saya yang jelas juga mau salaman.
Di situ, saya dapat kejutan, bertemu dengan orang yang bernama Mahfud dan Andri Wikono yang konon tahu keberadaan saya di sana karena sebelumnya melihat penampakan Colt T120: mobilnya lebih ngetop daripada orangnya, kata saya dalam hati. Kejutan berikutnya, ternyata saya punya kesempatan ‘moy-tamoyan’ (bertamu dengan santai dengan Habib Soleh dan Habib Bidin (keduanya menantu Habib Lutfi) di rumah beliau masing-masing. Kejutan ketiganya, Habib Bidin menyarankan agar saya sowan kembali kepada Habib untuk menyampaikan maksud khusus tersebut, yakni minta ijazah Dalailul Khairat. Benarlah, habis Jumatan, kami dapat sowan lagi, dan kali ini lebih eksklusif karena peristiwanya berlangsung di kamar beliau sendiri. Kami datang bersama rombongan tamu yang lain.
Sudah, ah, jangan terlalu detil tentang yang ini. Kita pindah tema, ke mobil, ke perjalanan...
Habis sowan, saya duduk-duduk santai sembari menanyakan kondisi kampas kopling Colt melalui pesan pendek. Kata Pak Sikut, “Sudah selesai dikontrol: kampas tebal, kuku macan yang tipis, dan sekarang sudah beres.”
Bahagia sekali mendengarnya, akhirnya kami merapat tempat Mas Amin (kurang jelas, di mana alamatnya, nanti saya cari tahu dulu), rumah yang digunakan Mas Sikut untuk memperbaiki mobil saya karena rumah Mas Sikut (nama aslinya Kuhdiyono), konon, jauh dari tempat itu. Kami bertamu di situ, santai-santai, ngeteh dan ngopi sampai maghrib. Dan yang paling tidak masuk akal, sungguh bikin malu dan pekewuh, Mas Sikut sama sekali menolak semua pemberian saya, baik untuk ongkos maupun untuk membayar suku cadang. Beliau hanya menerima buat tangan saya, berupa gula merah dan sejumput tembakau rajangan yang saya bawa.
Wah, kejutan macam apa pula ini?
Habis Maghriban berjamaah di mushalla kampung, kami pamit, berangkat meneruskan perjalanan. Kali ini, tujuan berikutnya adalah Sunan Gunung Jati di Cirebon. Habib—lengkapnya Habiburrahman—salah satu anggota kami, sudah pulang duluan ke Madura, naik bis. Sepertinya, dia sudah puas karena sudah bertemu Habib Lutfi dan tidak perlu ikut kami ke tempat-tempat berikutnya (“Habib” yang pertama adalah nama orang, “Habib” yang kedua adalah gelar: jangan salah paham, ya! He-he-he).
Dalam perjalanan ke Cirebon, lagi-lagi kami masuk tol. Maka, rencana mampir ke rumah Shafei Pahlevi di Tegal, juga Peppi, gagal sudah, padahal rencana ini saya rencakan jauh hari sebelum berangkat. Pertama, gagal mampir karena kami tidak lewat Pantura; yang kedua gagal karena kami terlalu lama di Pekalongan, di luar perkiraan. Sepertinya, kedua orang ini harus disambangi di lain waktu, Desember tahun ini siapa tahu.
Dalam perjalanan itu, melalui media sosial Facebook, saya minta tolong agar bisa bertemu kawan atau orang yang sudi mengantar saya ke makam Syekh Tolhah di Cirebon (karena kalau Sunan Gunung Jati kan sudah masyhur). Hamdalah, gayung bersambut. Tiba di parkiran komplek Makam Sunan Gunung Jati, jam menunjukkan pukul 21.30. Sambil menunggu Mas Jamal, Mas Baequni, dan Habib Bagir (yang datang bersama Fathan), saya makan nasi goreng di dekat parkiran. Ini adalah makan di warung untuk kedua kalinya (yang pertama tadi, di Pekalongan) sekaligus menjadi makan yang terakhir di warung dalam perjalanan satu minggu ini. Setelah makan di warung itu, kami tak pernah makan di warung lagi, melainkan dari suguhan-suguhan teman juga bekal yang kami bawa, dlsb.
Setelah nyekar ke makam Syarif Hidayatullah, kami pindah ke Syekh Tolhah. Jaraknya tidak jauh, hanya berada di seberang jalan, di bukit sebelah. Dari situ, barulah kami pindah tempat, ngopi cantik di Kedai Perjuangan atau apalah namanya. Sepertinya, kedai ini digunakan aktivis atau orang-orang yang ngopinya adalah sampingan dan diskusinya lebih banyak menyita waktu, sepertinya, sih. Saya, Qudsi, Anam, juga Mas Jamal, Mas Baequni, Mas Fathan, serta Habib Bagir dan tuan rumah atau pemilik kedainya terlibat dalam percakapan aneka rupa, dari soal gitar, sastra, dan entah apa lagi.
Rencana semula untuk menginap di Cirebon (meskipun saya belum tahu entah di mana tempatnya) pun gagal. Kami akhirnya mancal, lanjut ke barat, masuk tol lagi. Saya yang pegang kemudi sampai di KM 101 Cipali. Karena mata sudah sepat banget, ngantuk luar biasa, saya turun dan meregangkan otot dan syaraf. Kami ngopi di situ dan sebentar kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Mas Moko di Tambun Utara, tepatnya di perumahan Griya Kota Bekasi II.
Tiba di rumah Mas Moko, azan subuh baru berkumandang. Kami shalat, lalu duduk-duduk, ngopi-ngopi. Mau ketawa-ketawa tidak plong rasanya karena meskipun saya sudah mandi air hangat, kantuknya tak tuntas juga. Akhirnya, saya tidur dulu, merehatkan tubuh di atas kasur berpegas, bawah hembusan sejuk pendingin ruangan. Sungguh ini Sabtu sempurna dari hari sebelumnya yang memang sudah sempurna.
Teman-teman, kalian semua, semuanya, sungguh luar biasa!
Kalimat terakhir Ariel Noah bingit. 😀
BalasHapustak apangrasa dan saya kira itu ungkapan yang sangat populer dan sangat biasa
Hapus