Pembaca

26 Oktober 2021

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape I)


Rabu, malam Kamis, 13 Oktober 2021


Baru sampai Tambung, pertigaan masuk kota/Pademawu, Colt ini sudah mogok. Mana pas di lampu merah lagi! Mesinnya mati. Ketika di-start, terdengar bunyi seperti anak kecil mewek, mau nangis.

“Mesinnya ngambek, nih, tidak mau nyala,” kata saya pada penumpang, berusaha menenangkan.

Ketika lampu berubah hijau, ketakutan yang paling saya khawatirkan terjadi beneran: bunyi klakson bertubi-tubi di belakang. Ingin emosi, tapi untuk apa. Ingin bilang sama orang-orang itu supaya sabar dan segera ambil sisi kanan, tapi apakah mungkin?


Saya merutuk dalam hati. “Sialan bener mereka! Apakah manfaat cerewet dengan membunyikan klakson seperti itu? Apa susahnya, sih, ambil kanan dan menyalip mobil kami? Siapa pula yang kerasan di lampu merah? Emang kami ini mau menginap di sini?”

Rutukan-rutukan ini akan terdengar ceracau orang gila andai saja diucapkan melalui megaphone. Untungnya, semua kata-kata itu mendengung, karena tidak berani keluar dari mulut, hanya menggelembung, hendak meletup, tapi di dalam pikiran. Untunglah saya masih sadar.
“Sabar, sabar, sabar,” kata saya sama para penumpang.

Dua orang pemuda yang berdiri di sisi barat jalan (mungkin sedang menunggu bis melintas) langsung paham terhadap bahasa tubuh saya. Ketika saya memandanginya, mereka langsung datang ke mobil saya untuk mendorongnya. Spontan, saya arahkan mobil belok kiri, ke jalan lingkar sebab jalannya sedikit menurun sehingga bobotnya akan lebih terasa ringan bagi mereka yang mendorongnya. Tapi, celakanya, ternyata mereka hanya membuat mobil bergerak sedikit, sudah pergi sebelum mesin mobil menyala. Untunglah saya tidak panik sehingga mobil saya biarkan terus menggelinding hingga beberapa meter. Setelah dirasa cukup lajunya, saya masukkan gigi ke versneling ke gigi ketiga, lepas kopling, dan....greng...greng... greng...nyala!

Hore...

Langsung putar balik, belok kiri lagi, dengan kencang saya bawa ia berlari ke arah kota. Tujuan kami selanjutnya adalah ke Sumber Anyar, Larangan Tokol, sebuah desa di pesisir selatan Pamekasan. Saya mau menjemput ipar di sana karena mau ikut saya ke Jawa.

Pada perjalanan malam itu, sedikit saya cemas mengingat semua penumpang adalah perempuan. Hanya ada empat laki-laki di dalam mobil, itu pun cuma saya dan tiga anak lelaki saya yang kecil-kecil. Akan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia jika mereka dipaksa untuk mendorong mobil yang mogok.

Salim, anak kedua, masih berusia 9 tahun. Dia yang duduk di depan, menemani saya. Di kursi tengah ada ipar perempuan dan anak perempuannya, juga anak perempuan saya, Fatimah. Di jok belakang, ada dua orang peremuan lagi, Yen dan Nila, serta dua lelaki anak saya yang lain yang kedua-duanya masih berumur 7 dan 4,5 tahun. Saya berdoa, semoga mereka, juga kami, tidak direpotkan oleh mobil tua ini.

Tapi, saat baru saja mau berangkat dari Sumber Anyar, mobil tidak bisa di-start lagi. Waduh, apa-apaan ini? Baru 40 kilometer dari rumah sudah dua kali bikin masalah, padahal Jember itu 360 kilometer, belum lagi ke Situbondo dan seterusnya. Andai saja mobil bisa berpikir, pasti dia tidak mogok karena sayalah satu-satunya lelaki dewasa di dalamnya.

Tanpa pengecekan terlebih dahulu dan langsung dipancal, itu saya kira problemnya. Tapi, saya juga terlalu percaya diri, sih. Mungkin karena kondisi mobil yang dianggap siap karena baru saja melalap duaribu kilometer aspal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, seminggu yang lalu.

Pukul 22.00 kurang beberapa menit, ada Kak Fauzan dan Le’ Hasyim. Mereka datang untuk memberikan bantuan. Ada juga beberapa orang lain, tapi saya tidak kenal. Dan dengan kekuatan mereka, sekali sorong, mesin langsung brum-brum-brum. Setelah babibu dan dadadada, saya ucap salam kepada mereka, berangkat.

Menurut kalkulasi saya, ada ‘kerugian’ waktu 30 menitan gara-gara acara dua kali dorong, tadi, di Tambung dan di Sumber Anyar. Untuk menutupi ‘kerugian’ tersebut, saya melajukan mobil lebih cepat dari tadi. Tetapi, baru sampai di Blega, mata sudah panas, mengantuk. Waduh, cilaka! Tak pelak, segera saya mampir di Mushalla Al-Khalili. Letaknya kira-kira 500 meter di timur SPBU Blega. Saya harus memutus konsentrasi sejenak, turun dari mobil, pipis, lalu ambil wudu.

Mushalla ini agaknya mushalla umum. Ada warungnya juga. Ini mushalla sepertinya juga ‘tak-bertuan’, hanya mushalla kecil yang diperuntukkan untuk pelintas dan/atau musafir yang singgah. Dari dulu, saya perhatikan, mushalla ini tidak menyediakan “kotak amal”, mungkin karena alasan tadi itu: tak bertuan, eh, bertakmir, padahal masjid yang kini sangat makmur dan kaya, seperti Masjid Raudatul Muttaqin di Sumbersari, Bayeman, harta masjidnya nyaris sepenuhnya diperoleh dari kotak amal orang yang singgah. Tapi, bisa jadi, si pemilik atau pengelola mushalla umum ini memang orang kaya yang ingin menanggung semua pembiayaan mushalla seorang diri saja.

Start lagi, nyala. Hamdalah, ternyata tidak ada masalah. Tapi, saya masih ragu karena belum dapat kepastian dari pertanyaan: Tadi itu mogoknya gara-gara dinamo ampere atau dinamo starter? Karena keraguan itu pulalah akhirnya saya ambil keputusan untuk lewat tol saja, menggagalkan rencana semula, lewat arteri sampai Probolinggo.

Sejak masuk Kedungcowek hingga lampu merah terakhir menjelang pintu tol Dupak, saya benar-benar menyetir mobil dalam keadaan tidak sesantai biasanya karena sembari mengatur kecepatan agar tidak sampai berhenti saat menunggu lampu merah. Jika lampu lalin di depan sedang hijau, saya memburunya supaya mampu melewatinya, namun jika sedang merah, saya bikin laju mobil melambat sejak jauh. Soalnya, saya khawatir, meskipun mesin sudah diperkirakan normal sejak rehat di Blega, tapi saya tidak mau berjudi dengan cara berhenti di lampu merah. Apa jadinya jika mesin mendadak mati di tengah kota Surabaya, tengah malam pula, sementara seluruh penumpang saya anak-anak dan para wanita?

Tak pelak lagi, mobil saya arahkan ke pintu tol Dupak. Untungnya, sisa saldo e-toll masih banyak karena seminggu yang lalu, sisa dari perjalanan jauh ke Banten. Saya cek, ia masih tersisa 200 ribuan sementara tarif tol dari Surabaya sampai Probolinggo itu tidak sampai 100.000 (mungkin 81.000).

Turun di gerbang tol terakhir, Leces, jam menunjukkan pukul 02.00 persis, empat jam perjalanan dari Pamekasan. Harus diakui, adanya tol Trans-Jawa, termasuk relasi Gempol-Probolinggo Timur yang baru-baru ini dibangun (Perak-Gempol adalah jalan tol panjang pertama di Indonesia, kayaknya lebih dulu dari jalan tol Jakarta-Cikampek), dapat menghemat waktu sekitar satu jam, atau lebih. Tapi, jelas, jika kita lihat dampak sosialnya, korban dan dampaknya juga banyak. Tentu saja, saya tidak akan membahas hal itu dalam tulisan ini karena saya tidak ahli di bidang itu.

“Enggak ada yang mau ke toilet?” tanya saya kepada penumpang saat kami melintas di Ranuyoso.
“Tidak ada,” jawab seseorang.
“Ini masih malam. Subuh masih lama. Kita lanjut saja. Gimana kalau kita subuhan di Tanggul saja? Sekalian ziarah ke makam Habib Soleh?”
“Oh, baik. Saya setuju itu,” kata ipar saya.
“Kita bisa mandi-mandi dan ganti pakaian di sana.”

Perjalanan berlanjut. Tapi, laju mobil ndut-ndut sekarang, menjadi antitesis dari momen sebelumnya. Bagaimana tidak, ruas jalan Ranuyoso dan Klakah memang terkenal padat dan menanjak. Mobil-mobil besar dan bermuatan berat jelas sangat lemot di jalur ini. Menyalip tidak seleluasa di tempat lain karena di samping menanjak, di ruas ini, sering pula banyak karnaval kendaraan yang tersendat di belakang truk-truk besar yang berjalan sangat pelan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...