Pagi sekali, tapi bagi saya rada terlambat, kami
meninggalkan Lembang. Hari ini
adalah hari Senin (4 Oktober 2021), ramainya jalan sudah pasti. Orang-orang
mulai masuk kantor.
Kami pulang melewati jalan tikus. Ini kerjaan peta digital yang seoalah sengaja memandu kami ke jalan yang tersesat, jalan yang tidak layak dilalui mobil tua. Jalannya sempit nan terjal, bahkan di satu titik kami nyaris melorot, padahal dalam kondisi percepatan di gigi kesatu, itu saking terjalnya. Pasalnya, kami salah mengambil langkah, tidak ambil ancang-ancang mengingat tanjakannya berbentuk “v”, menekuk, dan patah.
Kala itu, Mizan Asrori ikut bersama kami. Awalnya, saya kira dia naik sepeda motor, ternyata tidak. Dia ngojek dan tadi malam turut mengingap di rumah Pak Hendro. Dia turun dari mobil kami di tempat sebelum mobil masuk tol, entah jalan apa namanya.
Selanjutnya, kami mengarah ke Tol Pasteur dan isi bahan bakar di salah satu SPBU-nya. Tujuan kami adalah ujung kilometer Tol Bandung – Cileunyi yang tak seberapa jauhnya.
Lepas dari pintu tol, kami kembali berhadapan dengan jalan arteri, jalan sesungguhnya bagi perjalanan kami di area selatan Jawa. Ini sangat menyenangkan. Semuanya serbabaru: alamnya, hawanya, auranya, jalannya, semuanya. Apakah semua yang baru itu selalu menarik hati? Banyak dijumpai alis dan hidung di tempat ini, tapi barangkali tak satu pun yang berjodoh dengan hati.
“Saya sangat senang kalau melewati medan-medan jalan seperti ini,” kata
Qudsi menanggapi pemandangan jalan
yang berkelak-kelok dan naik-turun, “Benar-benar berasa perjalanan sungguhan,” susulnya disertai tawa.
“Ya, senang saja kalau tidak sambil nyopir,” Anam menanggapi, sedikit nada bergurau dalam intonasi.
Melalui pesan, saya bertanya kepada Ali—orang yang akan saya sambangi pada etape ke-V kali ini—untuk memastikan kondisi dan
posisi rumahnya. Dan begitu kami masuk area Nagreg, setelah melewati
Cicalengka, Qudsi berkomentar lagi.
“Nah, ini jalan yang ngetop
banget,” katanya, “ngetop dalam hal macetnya di musim mudik.”
“Ya, pantas saja, wong jalannya menanjak panjang seperti ini. Truk berat akan megap-megap.”
Setelah Malangbong, mobil kami
sempat mengalami kendala. Sering ada
kemacetan di tanjakan, jalan tersendat, beberapa kali menahan kopling dengan posisi gigi masuk; adalah beberapa faktor yang diduga
menjadi penyebabab lemasnya per kopling. Hal ini membuat percepatan susah untuk
masuk gigi 1, harus langsung masuk gigi 2, padahal itu sangat berat jika posisi
bukan di jalan datar dan menurun. Mungkin ada onderdil yang harus diganti atau
karena yang terpasang bukan yang asli, entahlah. Yang jelas, saya segera
menghubungi Kang Akbar Rizal agar dihubungkan dengan bala bantuan di Ciawi atau
Ciamis nanti untuk melakukan pengecekan. Terbayanglah ketertundaan perjalanan. Duh!
Sebetulnya, mobil masih bisa dibuat jalan asal diistirahatkan dulu, didinginkan, tapi masak iya mau begitu melulu jika ternyata dalam perjalanan pulang nanti akan kami temukan banyak kemacetan di jalan? Kita kan gak tahu. Maka, diperbaiki adalah cara yang lebih aman daripada menyiksa diri, eh, menyiksa mesin, kalau harus selalu start dari gigi-2 di tanjakan.
Selagi saya bertamu sama Ali yang
tinggal di rumah istrinya yang tak jauh dari Puskesmas Ciawi,
tiba-tiba bala bantuan datang. Mas Akbar rupanya mengordiansi bantuan dengan Kang Nana.
Walhasil, masalahnya sepele, ternyata
hanya stelan kopling saja
kurang stud, padahal saya sudah setel
sendiri, tadi, sebelum
berangkat. Rupanya, masih ada stelan lagi yang harus dikencangkan. Posisinya berada di bawah dek, stelan kabel
kopling. Ini pengetahuan baru bagi
saya.
Puncaknya, sama kejadian dengana hari kedua saat saya menghadapi Mas Sikut (Kuhdiyanto), tim bengkel Mas Nana tidak mau dikasih imbalan apa pun, sama sekali. Waduh, Colt mania kok gitu, sih. Jadi ewuh pekewuh saya ini. Kapan saya bisa membalasnya? Ayo, tandanglah ke Madura! Kata saya.
Setelah makan siang dengan lalapan dan beberapa jenis ikan air tawar, kami shalat duhur bersama. Saya diminta menjadi imam, padahal penduduk lokal adalah yang utama. Akan tetapi, Uwak Empon—paman mertua Bang Ali ini—tetap ngotot, mendaulat saya untuk mengekskusi posisi pimpinan sembahyang. Habis itu, bahkan beliau juga meminta saya memimpin tahlil untuk mendiang istri tercintanya, almahumah Romlah, yang wafat 8 hari yang lalu. Saya lantas teringat istri saya yang wafat 55 hari yang lalu.
Bang Ali lalu memandu kami menuju ke utara, ke Suryalaya. Tiba di sana,
kami langsung menuju patapan Suryalaya, berdoa di komplek pemakaman Abah Sepuh
dan Abah Anom. Hingga asar berkumandang dan kami shalat lalu mengikuti rutinan
khataman hari Senin. Bersyukur pula, kami sempat bertemu dengan Ajengan Baban,
putra Abah Anom, di halaman masjid.
Jika di saat berangkat kami melewati Sukaresik dan Pasar Panumbangan menuju ke Pondok Pesantren Suryalaya, pulangnya kami belok kiri di Pasar Panumbangan, lewat jalan pintas menuju Cihaurbeti, lalu belok kiri lagi menuju Ciamis. Jalan ini, konon, lebih menghemat jarak tempuh ke tujuan kami berikutnya: rumah Kang Godi Suwarna.
Sore itu, kami berhasil mengunjungi rumahnya yang berada persis di sebelah stasiun kereta api Ciamis. Tapi, karena mobil tidak bisa masuk di halaman rumah yang diapit oleh sawah dan kolam, kami memarkirnya di depan SMA 1 Negeri Ciamis. Dipandu oleh Toni Lesmana, ipar Kang Godi yang tadi menjemput saya di Alun-Alun Ciamis, kami naik sepeda motor ke dalam, melewati gang kecil.
Wajar beliau bilang begitu mengingat kampungnya, Lembur Balong, merupakan daerah yang subur, banyak kolam, banyak air, dan persawahan. Di sana, ia membangun studio tari untuk sang istri. Namanya studio Titik Dua.
Tapi, apa daya, sehabis shalat maghrib berjamaah di musholla dekat rumahnya, kami
harus pamit. Oh, ya, mushalla itu, kata Kang Godi, dulu jadi mushalla-nya orang-orang
stasiun. Tapi, sejak adanya kebijakan penutupan stasiun, ia menjadi terpisah
karena staisun membangun tembok yang kini tidak bisa dilintasi.
Malam itu kami ditahan untuk mengingap oleh Kang Godi, tapi saya ngotot tetap pergi. Sebetulnya, saya mau jadi tahanan semalam, ditahan di Ciamis. Ini pasti asyik jika dibuatkan lagu “Malam Manis di Ciamis” (sebagai tandingan daripada lagu “Semalam di Cianjur”), kata saya dalam hati. Tapi, apa daya, jika keinginan tersebut dituruti, pastilah jadwal kedatangan saya di Madura akan lebih terlambat lagi. Kami akhirnya berangkat setelah lebih dulu menghabiskan sajian menu masakan khas Ciamis yang luar biasa: nasinya, sambelnya, guraminya, pepesnya, dan entah jenis sajian apa lagi namanya.
Dalam perjalanan ke arah timur laut dari Ciamis, menuju Purwokerto, sebetulnya saya punya banyak rencana pilihan tempat untuk mengingap. Tapi, pilihan jatuh pada rumah Bibi Naqiyah, bibi yang satu kali pun tidak pernah saya jumpai. Bibi ini adalah sepupu dua kali dari jalur ibu, cuman beliau memang tinggal di Purwokerto bersama suami dan putra-putrinya, meninggalkan Madura sejak lepas sekolah ibtidaiyah.
Sambil berkordinasi dengan sepupu dua kali saya, Husnan, yang merupakan kemenakan dari Bibi Naqiyah, akhirnya saya terhubung dengan beliau lewat sambungan telepon. Beliau menyatakan senang jika kami bermalam di sana. Menurut Husnan, beliau ini mempunyai beberapa kamar kososng di belakang rumahnya. Itu artinya bikin kami lebih tenang dan bisa tidur tanpa mengganggu tuan rumah. “Silakan datang kapan saja, saya tunggu!” kata beliau lewat pesan pendek.
Saat kami mencapi Lumbir, Google Maps mengarakan kami belok kiri. Tapi, begitu seratus meteran kami masuk, saya tidak yakin lalu memutar haluan, putar balik.
“Nam, saya tidak yakin,” kata saya yang sedang berada di belakang kemudi kepada Anam yang duduk di samping kiri. “Kita balik saja, lewat jalan utama. Lebih jauh tidak apa-apa daripada dekat tapi malah ketemu yang aneh-aneh.”
Dalam perjalanan, kami—saya tepatnya—memang nyaris tidak pernah menggunakan peta digital. Kami hanya pakai Google Maps hanya kalau sedang dengan orang yang sedang menggunakannya. Sementara saya hanya mengandalkan ATLAS cetak andalan yang saya beli di tahun 2011 dengan harga sepuluh ribu rupiah. Atlas ini sngat membantu karena tetap bisa dipakai tanpa harus ada paket data dan butuh suntikan baterai.
Menurut kalkulasi peta, lewat jalan kecil itu dapat menghemat jarak lebih dari 10 kilometer, tapi saya tetap tidak tergoda, tetap pilih jalan umum, jalan utama. Akhirnya, kami lanjut perjalanan ke arah timur itu namun dengan sedikit membuang arah sedikit ke timur daya, melewati Wangon, Jatilawang, Rawalo, dan baru ke utara dari Patikraja.
Kami tiba di Purwokerto, di kediaman Bibi, kira-kira pukul 23.00, atau
lewat lima menit. Pintu depan sudah ditutup, tapi ternyata beliau belum
istirahat. Bukan cuman disambut, tapi kami masih dibuatkan teh dan hidangan
pengganjal perut, semacam martabak tapi bukan martabak. Mungkin makanan khas
Purwokerto, atau sebetulnya itu makanan populer yang menjadi asing karena kami semua
belum pernah mencicipinya sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar