Siangnya, saat
kami mau pergi, tiba-tiba datanglah Adi, adiknya Mas Moko. Keberangkatan pun
ditunda sejenak, sejenak untuk berbasa-basi. Kami ngobrol sebentar dan setelah
itu pamitan.
“Jangan pergi
dulu, Mas. Jalan masih ramai. Summarecon sangat macet.”
“Masa?”
“Iya, barusan
saya lewat di sana.”
Tapi, karena dorongan
rasa khawatir datang terlambat di Balaraja—tujuan transit kami berikutnya—maka dengan
berat hati kami tetap bergerak juga. Dan benar, “penyesalan” selalu ada di
belakang (karena yang ada di depan itu—kata orang—adalah “pendaftaran”). Macet
luar biasa terjadi di hadapan. Duh, kok baru berangkat sudah macet begini,
padahal hari ini adalah hari libur. Anak-anak tidak sekolah dan bapak-bapak
tidak ke kantor. Pada mau ke mana orang-orang ini? Mbok kalau mau pergi-pergi
itu tidak bersamaan.
Perjalanan melewati
kota Jakarta dengan mobil tua bikin saya dag-dig-dug, soalnya ini adalah
pengalaman pertama kalinya naik Colt T120. Dulu, kami pernah muterin Jakarta naik
Toyota Hiace. Tapi, peristiwa itu terjadi tahun 1989 dan Toyoya Hiace-nya
lungsuran tahun 1982. Jadi, ia terkesan mobil jadul kalau terbaca sekarang tapi
tidak pada saat peristiwa itu terjadi. Hal ini berbeda sekali dengan naik Colt buatan
1981 pada tahun 2021.
Benar ternyata,
saat-saat menghadapi macet, saya mengalami ketegangan luar biasa: khawatir mogoklah,
apa nya macetlah, takut kampasnya gosong lah, dan sejenis-sejenis itu. Memasang
AC pada Colt ini, tapi tidak dilengkapi dengan kipas tambahan di depan
radiator—karena radiator yang saya gunakan sudah mengadopsi 3 lapis dan sejauh
ini masih aman di kota-kota kecil di Madura—menjadi tidak berguna saat menghadapi
kemacetan kota Jakarta. Menyalakan AC saat macet, temperatur langsung naik dan
ogah sesera turun meskipun sudah jalan kembali. Lah, mau turun bagaimana wong
jalannya pelan saja. Bahkan, panasnya aspal jalan serasa menembus lantai kabin.
Menempuh jarak
kurang lebih 80 km butuh 4 jam untuk mencapai pintu tol Balaraja Timur. Kami tiba
di sana pada menjelang mahrib, sekitar pukul 17.00. Hari sudah sore dan kami
langsung menuju Bengkel Pak Tuo-nya Pak Bambang untuk istirahat dan makan. Tidak
lama di sana, setelah duduk santai, mandi-mandi, kami berangkat kembali ke
Cikupa, kediaman Pak Broto.
Di markas Colt Mania
Station yang terletak di Perum Citra Raya, mobil-mobil milik tuan rumah, Mas
Rezam Haji Uing, Mas Bayu, dan Buya Enjat, sudah terparkir rapi. Pak Iwah
datang belakang, membawa mobil Plat M, mobil yang dulunya berwarna tosca dan
sempat saya taksir saat masih ada di Kwanyar, Bangkalan, Madura, yang entah
bagaimana ceritanya bisa ada di Banten.
Kami ngobrol dan
makan di sana. Persahabatan dan persaudaran terpancar. Sungguh sebentar rasanya
kami bertemu karena pada pukul 22.00, satu per satu, orang-orang pada pergi.
Saya pun begitu, kembali ke Balaraja demi menghemat tenaga yang akan digunakan
untuk perjalanan selanjutnya.
Tapi, saya
bingung, mau nginap atau lanjut. Kalau mau terus ke Bogor untuk menjumpai Eko
dan Sohib, berarti saya tidak bisa ke Cipanas karena pada hari Ahad pagi, jalan
akses ke Puncak sudah ditutup. Kalau lewat Sukabumi, berarti ada kemungkinan bisa
jumpa dengan kawan saya, Pras di Cikeas, Sohib di IPB, dan Eko di Bogor, bahkan
juga dengan Kang Hendy di Sukabumi, tapi kami harus melupakan Cipanas dan
keindahan trek menuju Puncak yang dibayangkan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Akhirnya, palu
diketuk: keputusna diambil. Kami lewat Puncak saja, dan harus melintas sebelum
subuh supaya tidak terperangkap dalam sistem buka-tutup jalan aksesnya. Alasan
lewat Puncak lebih diprioritaskan karena banyak hal: 1 rute lebih menantang, 2
tujuan Cipanas memang sudah lama diagendakan, 3 lebih dekat ke Bandung (sebagai
tujuan lanjutan). Sementara target ke Cikeas dan ke IPB kita lupakan dulu
karena; ke Cikeas sudah pernah sampai; ke IPB biarlah di lain waktu.
Anam dan Qudsi
langsung istirahat begitu sampai di Balaraja. Saya duduk-duduk saja, menemani
Pak Bambang, bercakap-cakap tentang banyak hal. Saya melek karena khawatir kalau sekali tidur hanya dalam
durasi satu jam tidak akan mampu dibangunkan oleh alarm ponsel sementara keadaan
tubuh sangatlah capek. Maka, pukul 01.30, saya bangunkan mereka dan saya pamit
pulang.
Jarak dari
Balaraja ke Bogor kurang lebih 100 km, lebih jauh dari Tambun Utara ke Balajara
yang kami tempuh di siang harinya. Akan tetapi,
karena menempuh Tol Dalam Kota, lanjut Kebun Jeruk dan Cawang, kami bisa
menghemat waktu. Kami terus berjalan hingga jumpa percabangan jalan:
lurus ke Cikampek;
kiri Priok, dan satunya ke Jagorawi. Kita pilih yang ini.
Dalam perjalanan tersebut,
saya tidur di jok tengah. Sementara Anam dan Qudsi mengemudi.
“Sudah sampai ini, mau ke mana?” Tiba-tiba terdengar suara yang membangunkan
saya. Saya pun melihat alam sekitar dan bertanya, tempat apa ini.
“Loh, kok Istana
Bogor?” tanya saya.
“Lah, katanya Istana
Presiden.”
“Bukan, bukan
Istana Bogor, tapi Istana Kepresidenan yang di Cipanas. Kita kan mau ke Cipanas.”
“Oh, beda, ya?”
“Ayo, lanjut,
pancal lagi mumpung belum Subuh.”
Kami putar arah,
balik lagi, meneruskan perjalanan menuju Cipanas, naik ke Puncak. Dalam pada itu, waktu menunjukkan pukul 04
lewat sekian. Azan subuh berkumandang di tengah berjalanan. Kami menyusuri ruas
jalan kelak-kelok yang terus menanjak dan tak ada habisnya. Jarum temperatur
seperti mati, padahal jalan menanjak. Dingin luar biasa.
Akan tetapi, yang
aneh, di malam minggu itu, padahal hari menjelang Subuh, arus lalu-lintas masih
sangat ramai. Saya tidak tahu, mereka mau liburan atau pulang dari menginap
atau sekadar melintas. Yang pasti, di jam-jam menjelang subuh, suasana tetap
sangat ramai, lebih ramai dari malam Minggu sehabis isya, di kota saya.
Menjelang Masjid At-Taawun, masjid keren yang ada di Puncak, tujuan kami rehat
dan melaksanakan shalat Subuh, tak satu pun petak parkir yang kami temukan. Semua
parkiran terisi, dari yang parkir serong maupun yang paralel di bahu jalan. Kami
kecewa, akhirnya lanjut saja.
“Orang-orang ini
pada ngapain, ya?” tanya saya, iseng.
“Mereka mungkin
mau subuhan berjamaah semua di masjid At-Taawun,” kata Qudsi, ngomong
seceplos-ceplosnya, se ndul-ndulnya.
Bahkan untuk
parkir sejenak untuk sesi foto di tebing “Puncak Pass” saja kami gak bisa. Akhirnya,
kami terus turun hingga akhirnya menjumpai Masjid Al-Ihsan, Ciloto. Cipanas tak
jauh lagi.
Sehabis subuh,
kami duduk-duduk dulu, menikmati pemandangan alam yang sungguh indah. Dalam
hati saya bertanya, mengapa suasana dingin itu dicurahkan semua di sini, kok
tidak sebagiannya dibagi-bagi dengan tanah kami di Madura? Ya Allah, saya tidak
tahu jawabannya. Berilah kami kebahagian dalam menerima.
Semmbari mengabari Amin, tuan rumah kami berikutnya, saya pun bergerak menuju
Cipnas. Jalan terus menurun akhirnya kami tiba di rumah Amin yang mengelola
lembaga pendidikan, berdampingan dengan Balithi (Balai Latihan Tanaman Hias),
Ciloto. Saya senang, tapi sedih karena teringat almarhumah istri saya yang
sangat menyukai tanaman hias.
“Andai saya tahu
kalau rumah kamu itu dekat dengan tempat pertanian tanaman hias ini, Min,
mungkin saya ajak istri saya main ke sini, sejak dulu.”
“Iya, sayang
sekali...” balas Amin.
“Duh, saya jadi
terharu, nih. Semoga beliau senang di sana, di taman yang lebih indah dari
taman yang ada di dunia,” Saya membatin di dalam hati, mendoakannya.
Kami segera
menggeletakkan di diri di ruang pembelajaran yang tampaknya digunakan untuk
anak PAUD. Suhu udara membuat kami sangat nyaman. Indah sekali tempat ini, kata
saya tak henti-henti. Urat syaraf yang nyaris semalam suntuk dibuat memelototi lampu-lampu
dan hitamnya aspal jalan raya saatnya diregangkan. Begitu pula sebaliknya, mata
ini, mata yang digunakan untuk menyaksikan cahaya hidayah pada muka orang-orang
yang bershalat jamaah dan juga gelap hati mereka yang tidur seranjang bersama orang
yang bukan pasangannya entah di villa mana, sebaiknya segera direspon agar menghidupkan
akal pikiran.
Puji syukur Alhamdullilah akhirnya eatape single touring BBC berjalan lancar dengah penuh tantangan sampai oe gubuk ota atik pak tuo,sensasi mengaspal dgn 0 sampai 5 km/jam selama 4 jam temtu membawa nyali tersendiri,matursuwun dan trimakasih banyak kpd pak kyai beserta mas anam dan pa qudsi...kami selalu menanti touring sesi ke 2 nya.salam sehat selalu
BalasHapusSejauh ini, saya pakai AC dalam kondisi macet masih normal selagi itu di Madura, macet sekitar 3 sampai 5 menit, tapi di Bekasi, ha, ha, ha, ampun deh, sak lantai-lantainya ikutan panas
Hapus