Pembaca

26 Oktober 2021

Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape III)


JUMAT, 15 OKTOBER 2021


Jumat pagi, kami pamit pulang, tapi bibi tidak mengizinkan seperti biasanya. Akhirnya, kami pakai teknik: pamit sementara untuk takziyah ke Kiai Afifuddin Muhajir (Kiai Afifuddin terkadang disebut orang dengan nama “Kiai Khofi”, entah kenapa kok bisa begitu) di Sukorejo dengan perjanjian setelah takziyah kami kembali. “Baru boleh pergi jika begitu,” kata Bibi.


Diantar oleh Maulidi, saya sowan kepada Kiai Afifuddin. Istri beliau, Nyai Fatimah, wafat tiga hari yang lalu. Nyai Fatimah ini putra Kiai Idris Munawwar, sepupu pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah, Kiai Ahmad Azaim Ibrahimi. Satu tambahan informasi, Nyai Fatimah lahir di dusun Sabajarin, Guluk-Guluk, tempat kelahiran saya (karena Kiai Idris sempat tinggal di dusun tersebut, mungkin saya belum lahir atau masih kecil di kala itu).



Dari Sukorejo, kami menunaikan janji, balik lagi ke Asembagus. Sekitar satu setengah jam kemudian, itu pun dengan setengah ngotot, barulah kami diizinkan pulang. Bibi memang suka begitu, tidak menerima alasan logis seperti apa pun kalau itu berupa singgah sebentar. Sekali mampir, harus lama, kalau bisa harus menginap. Masalahnya, di hari jumat tersebut, kami harus pergi karena satu dan lain hal.


Maka, kami pun bergerak menuju Desa Lamongan, di Arjasa (Lamongan bukan nama Kabupaten, dan Arjasa yang ini bukan Jember) untuk menjumpai bibi yang lain, Bi Nur Azizah.


Bibi saya menggoda anak saya yang nomor dua, Muhammad Muhibbuddin Assalim (Salim), supaya tinggal bersamanya. Eh, tak dinyana, Salim langsung mengangguk, mengiyakan. Saya juga rada terkejut, kok semudah itu ia mau. Bibi berjanji akan mulang dia ngaji, belajar agama dan lainnya karena di sana juga ada madrasah diniyahnya. Di samping itu, di rumah Bi Azizah ada Bi Khotim (iparnya) yang kebetulan belum dikarunia putra sehingga pasti lebih fokus dalam mendidik. Akhirnya, dengan keluasan hati, saya pasrahkan Salim untuk tinggal di sana.


Surat pindah sekolah akan disusulkan, ya!” kata saya.


Di saat itu dan di tempat itu pula saya merasakan betapa beratnya melepas anak untuk berpisah pada saat selama 9 tahun tinggal serumah. Tapi, liburan puasa dia pulang dan kami berjumpa. Kata saya menghibur. Beda ceritanya jika berpisah dengan seseorang yang tak mungkin bertemu lagi selama-lamanya.


***

Masih seperti kemarin-kemarin, saya mengemudi seorang diri. Doanya masih sama: semoga tidak mogok, tak ada dorong-mendorong lagi. Sebetulnya, kalau ingat mogoknya, ketar-ketir juga bawa mobil tua. Makanya, saya lupakan itu kalau mau pergi ke mana-mana. Untunglah, karena dalam perjalanan ini kami sering mampir dan singgah, maka tubuh berasa tak begitu payah, termasuk dalam perjalanan pulang ini saya masih sempat rebahan di rumahnya Nyai Ummah, di Klathakan. Ummah ini adalah adiknya Hasyim, anggota penumpang kami yang juga ipar saya.


Persinggahan kami berikutnya adalah Kraksaan, PP Badrid Duja, tapi sebelum itu ada titik persinggahan di PP Nurul Jadid. Jadinya, kami mampir dulu di pondok saya masa dulu itu, PP Nurul Jadid daerah Jalaluddin Ar-Rumi, asuhan Kiai Malthuf Siraj dan Nyai Hamidah Wafi.


Berkat bantuan Firman, santri Ar-Rumi senior yang saya kenal, dengan mudah saya bisa memasuk portal pondok tanpa pemerikasaan KTP. Dan dengan cara itu pula, dengan mudah saya berziarah ke makam pendiri, KH Zaini Munim, dan juga ke komplek makam yang lain, yaitu makam Kiai Hasan Abdul Wafi, menantu Kiai Zaini sekaligus ipar Kiai Zuhri (pengasuh PPNJ saat ini) yang letaknya di sebelah barat ndalem beliau, di selatan.


Sebetulnya, saya ada rencana sowan Kiai Zuhri sekaligus takziyah ke Kiai Hefni, menantunya, yang baru saja kehilangan istri tercinta, Nyai Hanunah Nafiiyah, yang juga merupakan putri kesayangan Kiai Zuhri Zaini. Tapi, karena kondisi Covid belum sepenuhnya mereda dan PPNJ menerapkan pengawasan yang ketat, saya tahu diri. Bahkan Kiai Zuhri dan Nyai serta Kiai Hefni sudah lebih dulu takziyah istri saya, di Madura, beberapa waktu yang lalu


Dan saat balik dari maqbarah untuk melanjutkan perjalanan ke Kraksaan, ternyata kami bertemu dengan Nyai Hamidah. Beliau meminta kami untuk bermalam. Saya minta maaf karena terlanjur janjian. Semoga lain waktu saya—atau kami—bisa kembali ke sini untuk tujuan yang lain, di antara adalah untuk memondokkan anak putri saya yang dulu memang pernah diinginkan oleh almahumah istri saya dan pernah pula disampaikan kepada Bu Nyai.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...