Pembaca
01 November 2010
Mobil yang Bisa Bicara
Jika pernah, barangkali Anda memerlukan seperangkat pengeras suara seperti ini. Speaker TOA (juga dilengkapi amplifier semerek; TOA) saya pasang sebagai bagian dari aksesoris, atau bahkan senjata, bagi Colt T-120 milikku. Pengalaman seperti di atas sering saya alami. Karena itu, saya membutuhkannya, baik untuk sekadar say hello dengan “Assalamualaikum” atau dalam bahasa Madura “pangapora” (permisi).
Suatu saat, saat saya pulang dari rumah seseorang di Pamekasan. Ketika tiba di bibir gang, saya melihat ada abang becak membiarkan becaknya menjorok ke tengah, sehingga jalan saya terhalang. Saya tidak membunyikan tuter (klakson), tetapi membiarkan colt-T 120 ini berbicara, “Permisi, Pak. Mohon mundur sebentar, saya gak bisa lewat nih.” Si Abang becak tersenyum. Ia memundurkan becaknya. Saya pun lewat. Mungkin, ekspresi seperti itu tidak akan terlihat andaikan saya membunykan tuter, apa lagi dengan mengklaksonnya sampai berkali-kali.
Tidak hanya itu, speaker ini terkadang saya gunakan juga untuk kepentingan yang lain, misalnya memanggil tukang bakso di kejauhan di saat parkir menunggu “penumpang” pulang dari pasar, atau pula menegur, dan ini seringkali, pengendara sepeda motor/mobil yang ada depan kendaraanku, yang membiarkan lampu belakangnya mati sementara mereka berjalan di malam hari, “Weleh, gimana ini kok pada gak pakai lampu whoi…”
Begitulah.
12 Oktober 2010
Colt milik Kiai Khazin Sanusi
11 Oktober 2010
Tips & Trik Colt T 120 (Bersama Paman Farhan)
Hampir semua ruas jalan di tempatku diaspal, dan mungkin lebih 80% di antaranya sudah menggunakan aspal hotmix. Mengutip perihal kemajuan infrastruktur ini, orang kampungku memiliki ungkapannya sendiri: “jalan aspal sudah masuk hingga ke depan beranda dapur kami”.
Jumat sore itu gerimis turun. Saya, bersama bibi, anak, dan dua orang sepupuku, pergi ke rumah Pamanda Farhan di Patapan. Sayangnya, jalan ke rumah Paman tersebut, meskipun dekat, masih masuk ke dalam kategori jalan yang diperkecualikan dari pernyataan di atas, yakni belum semuanya diaspal. Ada beberapa puluh meter jalan yang berlumpur jika hujan turun.
Sore itu, Pamanda menyuguhkan kopi yang panas. Dugaanku, kopi ini dibikin dari bubuk hasil ditumbuk di loyang besi, bukan dihaluskan oleh penggilis elektrik. Dugaan ini saya dasarkan pada aromanya yang benar-benar menggoda selera.
Sore itu, perbincangan dengan Pamanda telah melambungkan ingatanku pada sebuah nostalgia. Ya, pamanda ini merupakan salah seorang yang telah berhasil mempengaruhi untuk memiliki dan lalu mencitai Colt T-120. Nah, kesempatan itu juga kugunakan untuk mengorek pengalamannya seputar mobil ini. Maka, diapun bertutur panjang dengan suka-dukanya. Dari kisah itu, aku menemukan beberapa tips mengatasi persoalan di jalan raya, saat Anda jauh dari rumah dan jauh dari bengkel. Ini di antaranya:
- suatu kali ia kehabisan minyak rem. Dia bilang, saat itu, saya beli segelas teh manis. Saya minum seteguk. Sisanya saya masukkan ke galon minyak rem yang terletak di sisi kiri batang kemudi. Hasilnya? Rem mobil kembali pakem dan bisa ia gunakan pulang ke rumah sejauh 300-an kilometer (Ada kisah yang mengatakan agar memakai minyak goreng)
- jika lampu depan (headlamp) mati mendadak di tengah malam sementara Anda tak ingin bermalam di jalan, bukalah cover lampu sein itu. Cahanya cukup membantu menerangi jalan di depan.
- pernah suatu saat dia mengalami putus kabel gas di malam hari saat toko sukucadang tetah tutup. Pesannya, “Jika seperti itu yang Anda alami, buatlah jalan pintas dari karburator lewat belakang jok depan, lalu copot kulit kabel di ujung, lalu ikatkan ia ke kaki. Aman!” Jadi, saat kita menginjak pedal gas, itu hanyalah langkah simulasi. Karena sejatinya, yang menarik kabel gas tersebut adalah kaki kita, bukan pedal gasnya
- jika mobil pick-up Anda selip di tanah licin atau karena muatan kosong, kemposkanalah sedikit ban belakangnya dengan tekanan udara seminimal mungkin. Tujuannya, agar semua permukaan ban menyentuh tanah sehingga gerigi ban dapat berfungi dengan maksimal
04 Oktober 2010
Ampere Meter
Apakah ada ampere meter (AM) di Colt T-120 Anda? Jika AM itu merupakan rekayasa sendiri dengan memotong arus (dari) dinamo ampere ke batere/aki, dan bukan AM dengan kabel min-plus, saya sarankan untuk dicopot saja!
Awalnya, di Colt T- saya juga ada. Namun, sejak 19 September yang lalu, sepulang perjalanan ziarah ke makam Syaikhona Kholil Bangkalan, AM itu telah hangus terbakar karena korsleting di sekitar jembatan Burneh, Bangkalan. Percikan api terlihat dengan jelas. Setelah itu, asap mengepul, semua penumpang panik karena mencium bau angus di dalam kabin. Mereka melompat keluar, menjauh dari mobil.
Kepanikan juga membuat saya bodoh. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mematikan kunci kontak, lalu menarik paksa kabel arus ampere itu, lalu memereteli semua sekring, tetapi api terus memercik. Untunglah, dengan sigap saya turunkan jok sopir, dan secepat kilat pula saya buka kabel aki. Baru beres, aman!
Sejak saat itu, ampere meter dilepas dari mobil berikut lilitan kabelnya yang telah gosong. Dan sejak saat itu pula, cahaya lampu jadi lebih cerah, stater pun lebih bertenaga. Alasannya mungkin karena kabel AM itu cukup mengganggu arus suplai kelistrikan. Sebab, AM menjadi “terminal bayangan”. Arus dari dinamo ampere yang seharusnya langsung menyuntikkan strum ke batere (aki), masih mampir terlebih dahulu di ampere meter. Sekarang, status pengisian batere saya percayakan sepenuhnya pada kontrol “CHG” (charge) yang berwarna merah ketika dikontak dan terpampang di panel mobil itu.
20 Agustus 2010
Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)
Ini adalah catatan perjalanan kami ke Paiton, Kraksaan (Probolinggo), Besuki (St.Bondo), Kaliasat, Mangli, Rambipuji, Bangsalsari (Jember), Krikilan, Galean, Bajul Mati (Banyuwangi), Panji Kidul, Panarukan (Situbondo) pada tanggal 10 - 13 April 2010 yang lalu. Adapun tujuan perjalanannya adalah walimah, takziah, dan silaturrhmi. Kendaran yang digunakan adalah Mitsubishi Colt T-120, kendaraan sepanjang zaman yang memang sangat cocok untuk acara walimah, takziah, dan silaturrhmi dan terkenal “sedjak dahoele” kala.
Kisah ini penuh suka duka dan suka cita. Beberapa kali kami mengalami mogok, namun juga mendapat kehangatan dan kejutan yang diberikan tuan rumah, serta pengalaman perjalanan yang tidak dijual di tempat mana pun. Agar tidak terlalu panjang, kisah perjalanan ini dibagi ke dalam empat etape perjalanan: berikut yang pertama:
Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)
“Alhamdulillah, selamat!” batinku begitu hujan mengguyur deras ketika aku telah tiba di rumah. Ya, pagi itu, dengan mengendarai sepeda motor, aku pergi ke pantai Bato Kerbuy di Pasean, pantai utara di Kabupaten Pamekasan. Jaraknya kira-kira 40 kilometer dari rumahku. Hujan masih turun saat jam sudah menunjuk angka 1 siang. Karena khawatir bakal terlalu malam tiba di Paiton, Probolinggo (tujuan utama etape pertama), maka pada pukul 13:30 menit, kami putuskan untuk berangkat.
Bersama di dalam kabin colt T-120 ini adalah, depan; Lutfi si pengemudi dan Kholis; sepupu dua kali; Tengah, ibuku dan tanteku (duakali sepupu ibuku); belakang, aku sendirian bersama tumbukan barang bawaan, oleh-oleh yang hendak kami bawa; bantal, petis, kelapa, dan sebagainya. Sepintas, station wagon ini lebih mirip angkutan barang yang beratap. Sementara istri dan anakku tidaklah bersama kami. Mereka berangkat lebih awal bersama saudaranya dari Pamekasan, dua hari yang lalu. Namun, kami telah mengatur jadwal pertemuan di walimah, esoknya.
Sebelum berangkat, odometer kucatat: 4969. Dan bersama bacaan basmalah, mobil bergerak. Acara “mampir sana” dan “mampir sini” untuk membeli oleh-oleh dan bekal di perjalanan ternyata menyita banyak waktu. Tak terasa, matahari telah condong ke ufuk barat saat mobil masuk SPBU Tlanakan, Pamekasan. Setelah 37,5 liter masuk ke tangki bensin, uang 169.000 ribu dari dompet berpindah tangan ke kasir.
Titos du Polo membawa kami ke arah barat, mengejar matahari, memburu cahaya siang sebelum gelap dengan kecepatan rata-rata 70 KM/jam. Hujan telah reda. Kuperhatikan, jalan masih basah. Berarti, hujan tidak saja turun di desaku, melainkan nyaris di sepanjang jalan di patai selatan Madura. Lutfi, si pengemudi, selalu menurunkan pedal gas ketika buzzer di balik speedometer berbunyi: pertanda kendaraan telah melaju dalam kecepatan di atas 80km/jam, entah karena terganggu oleh bunyi alarm atau karena khawatir kondisi jalan yang licin. Menjelang maghrib, kami baru turun dari Jembatan Suramadu. Seratus empatpuluh enam kilometer telah berlalu.
Begitu memasuki jalan Kedung Cowek, persis setelah lampu merah menuju Jalan Kenjeran, gerimis kembali menebal: hujan. Lampu sore dinyalakan. Colt pun berseliwer dengan kendaran-kendaraan berbagai jenis, memasuki kota Surabaya yang ramai; Kapasan, Gembong Bungukan, Stasiun Kota, dan kami dihentikan oleh lampu lalin di Jalan Pahlawan. Di sinilah kesalahan terjadi. Sopirku melanggar marka jalan (sebagaimana dituduhkan).
Sebetulnya, sebelum memasuki Jembatan Suramadu, ibuku berpesan agar aku mengambil kemudi, menggantikannya hingga lepas Porong, mengingat si Lutfi ini tidak terbiasa masuk kota Surabaya. Aku mengajukan alasan, “Biarlah, Bu. Biar dia belajar mengemudi di dalam kota. Kalau saya yang mengemudi, maka mungkin dia tidak akan pernah berani menyetir di dalam Kota Surabaya!”. Dan tiupan peluit pak polisi membuatku langsung menyesal tidak menuruti anjurannya.
Beberapa menit habis untuk negoisasi “pelanggaran” atas kesalahan “ambil jalan terlalu ke kanan ketika hendak belok menuju jalan Tembaan”. Ya, selian di tempat ini, perempatan Siola juga menjadi tempat yang, konon, rawan bunyi peluit sejenis ini terdengar. Jika tadi uang di dompet berpindah tangan ke kasir SPBU, kini jatah camilan selama perjalanan untuk pengemudi kembali berpindah tempat ke tangan ke pak polisi. Aduh!
Mobil kembali bergerak, menyusuri Jalan Dupak. Gairah telah turun begitu banyaknya. Bagaimana pun, uang 30-50 ribu tetaplah angka yang besar bagi kami. Rasa-rasanya, soal pelanggaran lalu lintas itu, sekarang bukan zamannya “gaya teguran pertama.” Karena teguran pertama adalah pelanggaran. Kami telah berhati-hati dalam berkendara, tetapi salah mematuhi rambu lalu litans, tidak fatal sekali pun, tilang adalah akibatnya.
Saat masuk tol, gerimis tinggal sedikit. Hanya sisa-sisanya yang jatuh di kaca. Namun, suasana Maghrib yang turun bersamaan membuat warna aspal hot mix semakin hitam memekat.
“Nyalakan lampu, Lut,” perintahku.
“Ini sudah pakai lampu jauh ini.” Lutfi tersenyum.
Jalan yang terlampau gelap atau lampu utama yang terlalu suram?
Seperti malam gelap dan baru bermula, rupanya kesedihan itu belum berakhir. Masih terbayang-bayang dalam ingatan uang yang tadi melayang entah ke mana rimbanya, kini, saat menyusuri jalan buruk di tepian semburan lumpur Lapindo, tiba-tiba nyala mesin tersendat-sendat, pincang, lalu… Astaga! Di saat bersamaan, klakson-klakson mobil, bis, dan truk yang nyaring dari arah belakang memberondong tanpa ampun, menciptakan kakofoni. Makin teganglah seluruh penduduk colt T 120 ini. Kini, mesin benar-benar mati dan starter tidak berfungsi. Apa boleh buat, mobil pun didorong menepi.
* * *
Entah berapa lama kami terdiam di situ, tak tahu harus berbuat apa. Kami mengutak-atik kunci kontak, karena di situlah pusat kecurigaanku, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba, seperti novel Wiro Sableng, setelah sekira 30 menit kemudian, seorang lelaki bersepeda motor dan membawa tas besar menghampiri kami. Tanpa ba-bi-bu, dia menyapa, “Mogok, ya?
“Tadi pincang, lalu mati. Terus, kalau distarter, mesin menyala sebentar, dan langsung mati lagi, tidak bisa stationer..” Aku memberikan penjelasan.
“Hemm…,” ia bergumam.
Dengan cekatan, sang penolong yang belakangan diketahui bernama Pak Budi, membuka jok depan (Ini Colt T-120, bukan Fortuner. Jadi, letak mesin ada di bawah jok depan). Dengan gerakan cepat seolah-olah tidak butuh bantuan kami, kecuali memohan untuk pegang lampu senternnya, Pak Budi mengecek pengapian; karburator, dan tabung filter bensin. Beberapa saat lamanya, mesin menyala, dan tentu saja memutar kipas radiator dan menggerakkan dinamo ampere yang seolah-olah menyalakan lampu pijar di wajah kami. Ya, wajah kami mendadak binar: sebuah pertanada baik kalau kami tidak perlu bermalam di jalan. “Terima kasih, Pak Penolong.” Kekhawatiranku akan ditarip berlipat-lipat harga tidak terjadi. Tarip tetap bersahabat, yakni 50.000 untuk reparasi darurat.
Namun, suka cita itu tidak berumur lama. Baru saja berjalan beberapa puluh meter, mesin mobil kembali tersendat. Masih untung, saat tadi memperbaiki mesin, aku sempat mengantongi nomor ponselnya untuk jaga-jaga mana tahu, di lain waktu, aku membutuhkan bantuannya. Segera kupencet sederet angka pada keypad HP Nokia lawas 6310i-ku, memanggil kembali Pak Budi. Di seberang, dia berjanji akan segera datang ke TKP. Sambil menunggu, semua penumpang mencari mushalla untuk jama’ ta’khir Maghrib-Isya. Aku istirahat saja di mobil karena capek tak tanggung-tanggung. “Biarlah nanti shalat di Probolinggo saja,” pikirku.
Semangkuk bakso rasanya tak cukup mengganjal perut dan telah dilapar-sangat-kan oleh mogok. Pak Budi datang,.dalam hitungan menit, mobil beres. Ternyata, penyebab semua ini bukanlah karburator yang tersumbat, bukan platina yang aus, bukan tabung filter bensin yang kotor, bukan pula semua yang telah dicek oleh Pak Budi itu, melainkan kunci kontak yang rusak! Astaghfirullah. Kebetulan sekali, aku membawa kunci kontak serep. Namun, karena kekhawatiran yang berlebihan, akhirnya kubeli kontak milik Pak Budi yang ternyata ia bawa di dalam tas ajaibnya, Rp40.000.
Sejak kunci kontak itu diganti, mobil berjalan normal tanpa masalah lagi. Bangil-Pasuruan dilewati. Karena capek yang sangat, akhirnya kami istirahat sejenak di Tongas. Tak kulihat jam, barangkali saat itu jam 11 malam. Setelah isi bensin 100.000, kami melanjutkan perjalanan menyelesaikan etape pertama; Paiton Probolinggo.
Lewat jam 12 malam, kami tiba di pertigaan Tanjung, sekitar 1 kilometer sebelum tempat tujuan akhir. Kholis turun untuk berpindah angkutan. Ia naik bis menuju rumahnya di Bajul Mati, Banyuwangi. Sementara itu, rombongan langsung menuju PP Nurul Jadid.
Semua tahu, tidak lumrah bertamu tengah malam. Namun, jika kami tidak memanggil salam, entah apa yang akan terjadi. Ya, akhirnya, tuan rumah membukakan pintu untuk kami. Setelah shalat, aku menjatuhkan tubuh yang penat di atas kasur dan selimut yang tebal; nikmat.
Etape II: Paiton – Jember via alas Arak-Arak (Ahad, 11 April 2010)
Pagi itu, kami bangun. Sementara ibuku cabis (sowan) ke ibu-ibu nyai pengasuh Pondok Nurul Jadid (karena tempat ini merupakan pondokku, dulu), aku pergi ke maqbarah, cabis ke para guru-ku yang telah tiada. Baru pukul 8.30, aku berangkat ke kota kecil Kraksaan untuk menghadiri walimatul ursy di PP Al-Mashdiuqiyah. Colt diparkir. Sopir istirahat. Sementara diriku berangkat ke undangan bersama bapak kiai. Terasa mendapat kehormatan diajak duduk sekabin dengan beliau. Barangakali bapak kiai tahu, kasihan kalau aku membawa colt dan nanti mogok di lokasi pesta.
Di acara itu, aku bertemu dengan banyak saudara, baik yang datang dari Madura, maupun yang tinggal di sektiar Probolinggo dan Situbondo. Acara selesai menjelang azan Duhur. Kami pulang. Nah, di Kraksaan inilah aku bertemu kembali dengan istri dan anakku. Kami pun kembali ke Paiton.
Setelah berkemas-kemas, sekitar pukul 13.30, rombongan meninggalkan Paiton. Kini, aku, ibu, istri dan anakku telah duduk bersama di dalam kabin Titos du Polo. Sementara bibiku menetap di Paiton karena beliau akan pulang ke Madura lebih awal, bersama putrinya. Tujuan berikutnya adalah Besuki, ke rumah Helliyah, tetangga desa yang telah bertahun-tahun menetap di Jawa. Dari rumah Helliyah, ibuku mengajakku cabis (sowan) ke dalem Nyai Rum yang terletak tak jauh dari sana. Serentang masa layaknya bertamu, kami pulang. Tuan rumah menahan, tapi ibuku meminta izin sambil menjelaskan bahwa perjalanan kami masih panjang.
Menyusuri jalan pantura ke arah timur, akhirnya kami tiba di pertigaan Suboh, lalu belok kanan. Tujuan selanjutnya adalah Jember. Terus terang, gangguan kelistrikan semalam di Pasar Porong terus mengintai. Bagaimana pun, bayangan itu tetap menghantui pikiran ketika colt ini makin lamban menanjak, bersiap-siap memasuki alas Arak-Arak.
Kala itu, hari sudah sore. Mesin colt tua ini menderum, bertarung melawan tanjakan dan tikungan tanpa ampun. Sejatinya, aku tidak meragukan kapasitasnya melahap tanjakan, namun akselerasi mobil bermesin 1300-an cc kelihatannya mulai kecapekan. Alhamdulillah. Selamat. Hingga masuk kota Bondowoso pukul 4 sore lewat sekian, tak ada masalah apa-apa. Saat itu, muncul keinginan bertandang ke Jambianom, namun karena setelah tanya sana tanya sini tak ada yang tahu alamat rumah yang hendak kami tuju, perjalanan diteruskan ke Kalisat (Jember).
Menjumpai saudara Itqon setelah sebelumnya tak kesampaian, petang itu terwujud: pertemuan yang singkat tapi hangat. Selepas Isya, dari rumah Itqon kami menuju Mangli, rumah sepupuku, Alwalid. Ya, kami menuju ke sana, tempat bermalam yang telah terencana. Baru sadar; ternyata aku lupa tidak memperhatikan angka dalam odometer itu. Aku baru mencatatanya lagi setelah mobil diparkir di depan rumah sepupuku itu; 5417, sudah 448 kilometer jarak perjalanan.
Etape III: Jember – Banyuwangi – Situbondo via Alas Gumitir dan Alas Baluran (Senin, 12 April 2010)
Kantuk yang berat tidak bisa dilawan dengan segelas kopi. Jejak begadang semalam tetap menguasai seluruh sudut mataku. Kehidupan seolah baru bermula ketika ada panggilan makan menjelang pukul 9. Di luar dugaan, jadwal kunjungan silaturrahmi harus ditulis ulang; ke rumah Nyai Muflihah (seberang rumah Alwalid); ke dalem Nyai Rahema di Pecoro (Bangsalsari) juga ke Kiai Najmuddin (Rambipuji). Rencana ke Banyuwangi berngkat pagi pun berpindah jam ke habis Duhur. Tak apa-apa. Silaturrahmi harus tetap dijaga. “Jika bukan sekarang, tampaknya, sulit lagi berkunjung ke sanak saudara dalam waktu yang dekat ini,: batinku. Hampir 30-an kilometer jarak yang kami tempuh di sekitar Jember untuk silaturrahmi ini. Kami berangkat menuju Krikilan (Banyuwangi) pada odo di angka 5447.
Seusai mengisi bensin 100.000 di Sempolan (mungkin inilah SPBU terakhir di ujung timur Kabupeten Jember), colt pun kembali menerima tugas berat; melahap tanjakan-tanjakan seperti ular dengan lebih seratus kelokan; kelok kiri, kelok kanan. Menembus hutan Mrawan, siang itu, terasa indah. Ya, hampir 10 tahun aku tak lewat di jalan ini. Pohon-pohon besar, barangkali berusia puluhan atau ratusan tahun, tumbuh terawat di sini. Suasana dalam hutan selalu basah. Di setiap kelokan, anak-anak kecil dan ibu-ibu membantu kami para pelalu lintas memberikan aba-aba. Kami melemparkan koin 500 perak hingga lembar seribuan rupiah sebagai sedekah atas jerih payah mereka.
Keindahan pemandangan di hutan Gumitir-Mrawan ini telah membuatku lupa semua kenangan pahit di Pasar Porong. Kami menikmati pemandangan dengan hati lapang. Sensasi bertambah saat kami mencapai kelokan Wato Gudang; di mana tanjakan dan jalan menurun bertemu di sebuah puncak dengan tebing yang curam, mungkin ratusan meter kedalamannya. Di sekitar situ, kini banyak warung dan kedai kopi. Kuperhatikan ada beberapa kafe.
“Berhenti, ya?” ajakku sambil menoleh ke belakang.
“Jangan, nanti kemaleman. Katanya kamu keburu,” kata ibuku.
Ya, itu ajakan iseng saja. Tentu kami tidak bisa menyempatkan diri untuk singgah. Hitungannya, waktu terbatas karena target hari ini adalah takziyah ke Krikilan, mampir sejenak di Bajul Mati, kemudian melanjutkan perjalanan ke Situbondo untuk mengikuti pengajian Lailiyah.
Setelah turun di Kalibaru, jam menunjukkan pukul 15.30. Tak jauh dari sana, colt-ku sampai juga di Krikilan. Angka menunjukkan 5519; sejauh 72 kilometer kami telah meninggalkan Jember. Di sana, kami takziyah ta’khir untuk Ning Eny Halimiyyah, putri dari guru kami Kiai Abdul Wahid Zaini yang wafat beberapa waktu yang telah lewat.
Sungguh, Krikilan sangat menakjubkan. Panorama sore yang tak pernah berubah, selalu basah. Berkali-kalai aku datang ke daerah ini, selalu saja kabut dan udara dingin menjadi bagian dari suasananya. Secangkir kopi yang khas, kental dan panas, membuatku tak akan pernah melupakan sensasinya. Maka, setelah membacakan tahlil di maqbarah, kami menyudahi acara takziyah di sore itu, melanjutkan perjalanan ke arah Banyuwangi, menuju Galean di Bajul Mati. Malam mulai turun perlahan-lahan. Tak terasa, angka 5604 akhirnya tercapai pada pukul 18:32. Kami telah melahap 85 kilometer untuk tiba di tujuan.
Bertemu kembali dengan Kholis, bertemu kembali dengan seluruh keluarga di sana, merupakan keakraban lama tidak kami dapati. Ibuku, yang sejak sepeninggal ayahku belum pernah tiba lagi di sana, malam itu menemukannya kembali. Tapi, istirahat hanya sejenak karena perjalanan harus dilanjutkan. Kami tidak bisa bermalam karena rencana semula adalah mengikuti pengajian bersama Kiai Sufyan di Panji Kidul, Situbondo. Acara ini biasanya dimulai sekitar pukul 9 malam. Daripada terlambat, kami harus berangkat secepatnya.
Namun, saat hendak berangkat, kulihat handrem mengalami masalah. Saat kupaksakan berjalan, laju mobil terasa berat. Wah, masalah baru!
“Kita tidak bisa memaksakannya. Ada masalah dengan kampas rem,” kataku pada Lutfi.
“Bagaimana kalau kita paksa, jalankan saja, dicoba,” usulnya.
“Kita akan melewati Alas Baluran. Di sana, sepanjang 23 kilometer kita tidak akan bertemu dengan tempat pemberhentian. Apa berani?”
Tantangnku tidak diladeni
“Baiklah. Ngireng diperbaiki,” kata Lutfi menyetujui.
Di antara rasa kantuk dan capek, dibantu Moefti Nadhier (keponakan Kholis) dan seorang rekannya, kami bekerja sama memperbaiki roda kanan belakang. Beberapa saat lamanya ditemukanlah kesimpulan: karet master rem pecah dan harus ganti. Di mana ada toko onderdil buka malam-malam? Tapi, alhamdulillah, dalam kotak ajaibku, suku cadang itu ada, walaupun juga sudah nyaris tidak layak pakai. Sementara itu, ibu, istri serta anakku diistirahatkan di rumah saudara Kholis sambil menunggu perbaikan.
Selesai!
Kulihat mata Lutfi sangat merah. Ia pasti capek. Maka, tanpa menawarkan diri lebih dulu, langsung kuambli alih kemudi, membawanya melintasi Alas Baluran dengan pasti. Sedikit diburu waktu membuatku harus menambah kecepatan. Malam yang hitam, colt T 120 menderu di tengah hutan yang gelap. Keinginan untuk bisa mengikuti pengajian memberiku semangat lain agar terus bertahan dan membuang jauh-jauh bayangan kampas rem macet di tengah hutan.
Tanpa terasa, kami tiba di Panji Kidul pada angka 5669 ketika jam mendekati 11 malam. Acara Lailiyah baru saja selesai. “Badan datang terlambat tetapi niat sampai duluan.” Tak apalah. Akhirnya, kuhabiskan malam itu dengan berbincang-bincang bersama beberapa sanak famili yang juga mengikuti pengajian hingga menjelang pagi. Kantuk membuatku terlelap, tak lama, karena aku terbangun oleh azan subuh. Beruntung, aku bangun dan bisa shalat berjamaah bersama kiai.
Etape IV: Situbondo – Paiton – Guluk-Guluk (Selasa, 13 April 2010)
Pagi yang cerah, hari itu adalah hari terakhir perjalanan kami. Suasana di Panji Kidul, di pagi hari, selalu sepi. “Di mana kudapatkan kopi, ya?” batinku. Tak lama, sebelum aku berkemas-kemas, seorang santri datang menghampirku yang duduk sendiri, membawa secangkir kopi. “Berada di tempat ini bukan seperti di surga, hanya seolah-oleh berapa langkah kaki saja ke sana.” Apa yang terbayang dalam pikiranku, langsung tersedia saat itu pula. Subhanallah.
Sambil bermalas-malasan di emperan, aku menunggu ibuku dan istri yang juga menunggu hantaran buah tangan dari Arjasa. Setelah siap, barulah kami berangkat. Odometer menunjukkan 5703.
Di Panarukan, colt T parkir lagi. Kami tiba menjelang siang. Di sini kami hanya singgah sebentar, menikmati jamuan sebagai tamu, istirahat dan mandi untuk membersihkan tubuh. Sekitar jam satu siang lewat sekian, aku mengemudi lagi agar sopir utama dapat istirahat lebih lama. Kami meninggalkan halaman rumah Kiai Arif Zubairi dengan catatan angka 5716.
Gigi demi gigi dinaikkan. Di perseneling terakhir, pedal gas kuinjak rata agar putaran mesin stabil pada kecepatan 80-90 KM/jam. Mobil melaju melintasi Pasir Putih, Mlandingan, dan baru masuk pompa bensin di Besuki. Fulltank kudapat setelah menukarnya dengan 7 lembar uang kertas duapuluh ribuan. Perjalanan berlanjut ke Nurul Jadid untuk mengambil perlengkapan anakku yang tertinggal hari Ahad lalu. Ambil barang, putar balik, pulang.
Kami meninggalkan Nurul Jadid pada angka odo tertera 5777 (Panarukan–Nurul Jadid=61) saat kemudi dipegang kembali oleh Lutfi. Setelah itu, tak ada cerita lagi karena perjalanan monoton seperti biasa.
Berjalan ke arah barat di waktu sore membuat kami kesilauan karena berhadapan langsung dengan sinar matahari. Dalam etape terakhir ini, alhamdulilah cerita biasa saja: tak ada kejutan, tak ada mogok. Jalan pun juga lancar tanpa macet. Mesin bekerja secara normal.
Sambil mengenang peristiwa mogok Sabtu malam ketika berangkat, kami istirahat dan shalat sejenak di sebuah masjid yang gelap di dekat Pasar Porong. Jamaah shalat Isya’ mungkin sudah pulang. Masjid itu telah sepi.
Lutfi masih terus mengemudi hingga mobil masuk Pasar Turi. Aku memandu arah jalan, mendampingi di sisi kiri. Namun, persis di lampu lalulintas perempatan Kedung Cowek, kejutan kembali terjadi. Ketika membuntuti sebuah truk kosong, belok kiri dari arah Jalan Kenjeran ke akses Suramadu, serombongan polantas menghentikan mobilku. Saat itu, yang kuperhatikan justru seluruh isi kabin, para penumpang: ibu, istri, dan anakku yang tertidur pulas karena capek; oleh-oleh yang bertumpuk, wajah sopir yang kuyu, semua telah menggurat penglihatanku sebelum petugas itu mengucapkan “selamat malam” dan meminta STNKB ditunjukkan.
Lutfi, masih dengan gaya biasanya, diam saja. Ia begitu culun, hanya memandangku seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Dia tersenyum. Aku berimprovisasi, bersikap dingin untuk melihat bagaimana reaksi dia menghadapi sandiwara ini. Mengapa sandiwara? Ya, sebab dengan mata kepala sendiri aku melihat secara nyata bahwa saat menjalankan kendaraan, Lutfi benar-benar tidak melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Ia tidak menerobos lampu merah dan tidak pula menggunting marka jalan tanpa-putus. Kami berada persis di belakang truk dari arah 200-an meter sebelum traffic light. Tetapi, mengapa polantas itu mencegat colt T-120 dan tidak mencegat si Fuso? Spontan, saat itu pula, dalam benakku muncul praduga, “Ini pasti karena efek kontur wajahmu, duhai Colt T-120-ku!”
Seorang petugas mendekat, bersandar ke pintu kanan. Ia menyeru kami agar mematikan lampu utama tanpa perlu mematikan mesin. Untuk apa? Kami ikuti saja sambil menduga-duga untuk apa perintah tidak jelas juntrungnya ini. Samar, kutemukan jawabnya, tapi kusimpan dalam hati dan tidak perlu ditulis di sini.
Setelah “selamat malam” (dan seterusnya); “dari mana?” (dan seterusnya); “mau ke mana?” (dan seterusnya); “Anda melanggar marka jalan” (dan seterusnya); bapak petugas menutup hidangan malam itu dengan “tilang sebagai tawaran” dan bukan “satu-satunya pilihan”. Kok? Tidak tilang berarti tidak apa-apa, kan?
“Saya tidak melanggar, Pak!”
Aneh, baru sekarang kudengar Lutfi buka mulut. Tumben. Biasanya, lapar pun dia tidak ngomong. Berarti, tilang lebih menakutkan dairpada kelaparan.
“Anda memotong garis panjang..”
“Saya mengikuti truk itu, kok, Pak..”
“Truk yang mana?”
“Truk Fuso itu!”
“Tapi Anda melanggar dan harus ditilang.” Suara kali ini lebih tegas. “Sidangnya tanggal 26 April...” intonasinya terkesan mengancam.
“Mari, ikut!” Nah, kalau ini perintah, bukan tawaran.
Lutfi mengikuti polisi itu dan kembali dengan pilihan; “tilang atau….’
Sungguh memuncak emosiku kala itu. Capek dan ngatuk jadi satu. Kopi sudah dingin. Air minum tinggal setengah botol. Jarak rumahku masih 150 kilometer lagi. Aku berkata dengan nada meninggi, “Sudah, Lut. Minta tilang saja! Sudah. Tilang! Tilang saja! Kasih itu STNK-nya, Lut. Kita pulang! Soal sidang dan ambil STNK itu gampang. Ayo!”
Lutfi kembali ke belakang mobil, ke tempat para petuigas itu berkumpul. Sementara aku masih duduk di atas jok depan sambil menyandarkan bahu yang mulai terasa linu. Mata merah tanda kantuk yang sangat. Namun, tak lama, tiba-tiba Lutfi membuka pintu, masuk, memasukkan gigi satu, dan menjalankan mobil.
“Kena berapa?” tanyaku.
“Tidak kena.”
“Kok?”
“Tidak usah kata pak petugasnya..”.
Aku tesenyum, meskipun malam terasa kopi tubruk tanpa gula. Kami menyusuri Jembatan suramadu dengan hati gundah tak menentu. Dari jendela, angin malam menyeruak, masuk, mendinginkan pikiran, membawaku ke halaman rumah: kami pulang…
Sebelum tengah malam, sekitar pukul 23.30, kami tiba dengan selamat pada angka 6089 di odometer. Alhamdulillah. Semoga Colt T-120 ini (yang kali ini menempuh jumlah jarak perjalanan mirip namanya, “1.120”) tetap sehat agar bisa menjangkau tempat-tempat sanak kerabat yang belum dikunjungi. Tunggu kami datang kembali…
17 Juli 2010
Pertamax
Saya berada di belakang kemudi Mitsubishi Colt T-120, datang dari arah Arjasa menuju kota Situbondo, mengekor Espass 1,6. Si Espass masuk ke SPBU, saya mengekornya. Ia parkir di sisi mesin pompa ke-3, dan saya pun memarkir Titos du Polo ini di mesin pompa ke-4 yang menyediakan Pertamax.
Petugas SPBU: “Bensin kosong, Pak. Ke sini saja!” (menunjuk ke pompa mesin ke-3)
Saya: “Pertamax!”
Petugas SPBU: “O, kalau pertamax-nya ada. Berapa?”
Saya: “Limapuluh ribu.”
Baru saja selesai diisi, switch dinamo stater tidak merespon kunci kontak, mati. Yah, apa daya. Baru isi pertamax, langsung dorong deh
26 Juni 2010
Kipas Radiator dan Panas Mesin
Karena alasan ingin kondisi mesin colt T 120 lebih dingin, saya mengganti kipas radiator yang standar (5 daun), dengan kipas modifikasi 7 daun. Maksudnya, dengan kipas berdaun 7, meskipun kerja mesin lebih sedikit berat, sirkulasi air dalam sarang tawon (radiator) akan lebih baik. Belakangan saya tahu, bahwa mesin sehat itu tidak identik dengan kondisi mesin akan selalu dingin. Sebab, panas mesin telah disesuaikan dengan fungsi pembakaran bensin.
Setelah kipas berdaun 7 itu saya pasang, ternyata hanya sedikit sekali pengaruhanya. Penunjuk temperatur mesin tetap panas. Jika menempuh jalanan menanjak selama 3 kilometer, temperatur menunjuk ke angka 80-90o celcius. Apakah karena switch temperatur yang rusak, radiator mampet, selang/ hose radiator yang kotor, water pump yang karatan, dan filter udara yang dekil? Saya terus mencari tahu. Belakangan ditemukan jawabannya. Yang menjadikan kondisi mesin kembali stabil adalah keseimbangan karburator dan setelan platinanya.
Namun, karena kipas imitasi yang saya beli seharga Rp15.000 dan berbahan
03 Juni 2010
Ulasan Pangapora
inilah review/ulasan Pangapora atas
Mitsubishi Colt T-120 1980 karoseri International
GRADE: ****** (6 dari 5 bintang)
Plus: sensasi aristokrasi Rolls Royce Phantom dalam 7 penumpang
Minus: spare part hanya mudah didapat di Magelang.
"Harga sekelas Honda MegaPro, suspensinya bagaikan Alphard"
18 Mei 2010
Di Pondok Pesantren Nurul Jadid
Saya tidak pernah membayangkan akan memarkir kendaraan ini di depan dalem (kediaman) guru saya, kiai saya, di depan patobin pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton. Hal ini terjadi karena tuntutan skenario: di dalam mobil colt ini, ikut bersama saya, Nyai Al-Batul, besan dari pengasuh. Karena itu, saya mengantar beliau ke tempat tersebut, dan terjadi pulalah pemotretan itu, malam Ahad, 10 April, 2010.
Cangkolang, mohon maaf jika lancang.
21 April 2010
Lampu Jauh
Belum terlalu gelap, tapi karena langit mendung dan gerimis mulai menebal, jalan tol Perak-Gempol menjadi sangat gelap-pekat. Saya segera memberikan aba-aba kepada Lutfi yang saat itu kebetulan berada di belakang kemudi,
"Lut, ayo nyalakan lampunya, sudah malam!" dengan intonasi setengah memaksa. Tapi, apa jawabannya?
"Sudah, sudah dinyalakan. Malah ini sedang pakai lampu (lampu jauh)."
Saya tertawa dalam hati. Betapa redupnya lampu colt ini.
31 Maret 2010
Kondangan
Siang tadi, kami menghadiri akad nikah sepupu istriku, di pelosok Desa Bilapora yang tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Medan ke arah walimah itu lumayan sulit, terutama untuk kendaraan berbedan lebar. Titos du Polo-ku juga tampil, menjadi sesepuh di antara mobil-mobil rombongan temanten yang rata-rata relatif baru.
Setelah tiba di tempat dan semua kendaraan telah diparkir, para penumpang turun membawa perangkat lamaran. Terjadilah peristiwa berikut, antara Ning Musfiroh dengan istriku.
Ning Musfiroh: “Kok gak bawa Innova hitammu?”
Istriku hanya tersenyum, karena mengerti yang dimaksudkannya adalah Suzuki Carry.
“Tapi, ya, ini acara temanten, wajar lah kalau engkau bawa Alphard,” imbuhnya sambil melirik Titos du Polo ini.
30 Maret 2010
Arogan di Jalan
Tadi malam, habis Isya’…
Membuntuti dua pengendara sepeda motor: setelah melewati satu pengendara sepeda motor, kini giliran pengendara-berboncengan berikutnya. Namun, saat hendak kusalip, tanjakan di depan. Kuurungkan niat karena pandangan tidak bebas. “Setelah tanjakan, baru kudahului,” begitu pikirku.
Saat itu, persneling ada pada gigi terakhir. Laju Titos du Polo lumayan cepat. Dan setelah tanjakan, tiba di jalan datar, barulah aku mendahului pengendara sepeda motor dengan boncengan seorang ibu menggendong bayi dalam dekapannya. Sekilas kulihat begitu. Persis, ketika sedang menyalip, tiba-tiba, dari arah depan tampak bayangan: sebuah sepeda motor tanpa lampu. Betapa kaget diriku. Meneruskan menyalip tidak mungkin karena gugup. Kalau aku nekat, aku menjamin, dalam kecepatan segitu, pengendara motor tidak berlampu itu akan terpental beberapa meter dari jalan raya.
Kuinjak pedal rem, mantap dan dalam. Tiba-tiba, terjadilah keanehan itu: menjelang beberapa depa lagi sepeda motor dan kendaraanku nyaris adu-kambing, tiba-tba si pengendara motor—yang kutahu belakangan Suzuki Satria Merah 2 Tak—menyalakan lampu depananya. Maysa Allah. Ternyata sepeda motor ini ada lampunya. Kok ya belagu-belagu-nya mematikan lampu utama? Cari celaka! Dan hebatnya, saat kami berpapasan, si pengendara sepeda motor malah menarik gagang gasnya dalam-dalam, blayer sebanyak dua-tiga kali, menunjukkan sikap arogannya.
Tiba di rumah:
“Apa yang Anda pikirkan?” Kata Facebook.
“Selama 30-an menit, aku nyaris tetap tidak mempercayai kejadian yang telah aku alami itu. Betul, semkain banyak keanehan di sekelilingku.” Demikian, ingin kutuliskan hal itu, tapi tak jadi karena doa dalam hatiku berbunyi begini: “Semoga, orang-orang arogan seperti itu segera diberi kesadaran, atau penyadaran, oleh Allah Sang Pemilik Bumi dan Seisinya dan Juga Pemilik Jalan Raya dan Lalu Lintasnya, lewat apa pun bentuknya.
24 Maret 2010
Anting Pir
Satu masalah yang lama mengganggu pikikanku adalah tongkrongan colt Titos du Polo-ku ini yang sedikit mendongak (tinggi depan). Saya bingung, bagaimana menyiasatinya. Beberapa rekan berkomentar, kondisi semacam ini disebabkan oleh pir daun colt-ku yang cuma 3 lembar saja. “Seharusnya ada 4 lembar,” kata sebagian mereka . Namun, setelah saya bertanya kepada tiga orang pemilik colt station wagon dari tangan pertama, disimpulkan bahwa pir daun bawaan colt (station) itu memang ada 3 lembar.
Maka, agar kendaraan tampak rata (tidak tinggi depan), ada beberapa usulan:
1. melepas ganjal karet spiral (depan)
2. menempa pir (belakang) jadi lebih melengkung
3. memodifikasi anting pir, jadi lebih panjang
Dari tiga pilihan ini, saya memilih alternatif ketiga. Cara ini ternyata membuat suspensi colt jadi lebih lembut, meskipun saya tidak tahu apakah ini termasuk pelanggaran hukum konstruksi yang akan menyebabkan kendaraan menjadi kurang stabil dalam kecepatan tertentu. Entahlah, masih akan saya coba beberapa waktu ke depan.
Demikian sekadar berbagi pengalaman.
23 Februari 2010
Naik Mobil Kehujanan
Aku berangkat dari dari Guluk-Guluk, rumahku, sendirian menuju Sumber Anyar (Pamekasan) untuk menjemput penumpang, istri dan anakku juga.
Setelah shalat Isya dan usai berkemas, akhirnya rombongan berangkat, tepat pukul 20.27 (malam Jumat, tanggal 18 Pebruari 2010). Gas dibejek, jos ke barat, menuju Surabaya. Kami tidak perlu mikir unutk isi bensin lagi karena sebelumnya tanki telah di-full tank di SPBU Larangan Tokol dengan suplemen oktan booster pemberian saudara Mumung.
Sampai di pintu Jembatan Suramadu, kulihat jam menunjukkan pukul 22.05: rekor yang tidak terlalu buruk: satu jam setengah lebih dikit untuk jarak 145-an kilometer! Maklum, jalanan sepi dan kecepatan stabil dengan kisaran 80-90 km/jam. Di ruas jalan Patemon, Titos sempat memperdayai DAMRI. Aku tekan klakson angin—karena klakson angin Kitahara ini merupakan senjata andalanku—sebagai tanda “salam persahabatan”. Tapi, DAMRI tidak membalas sapaku. Apa tersinggung, ya, karena didahului mobil tua? Entahlah, dalam hati aku membatin, “Wong sama-sama mesin tua, kok…”
Masuk kota Surabaya yang sepi: Kenjeran – Kapasan – Pahlawan, Pasar Turi dan tol menuju Gempol. Kecepatan mobil masih stabil.
Tiba-tiba, sekitar jam 11 lewat, terdengar letusan kecil yang mengernyitkan kening: Dosss! Klepek-klepek… Ban kiri belakang jebol di depan Pasar Porong. Lunglailah diriku. Para penumpang turun dengan lesu. Dengan cekatan, kami bekerja mengganti ban. Baru saja ngengkol roda, hujan mengguyur begitu derasnya. Aku kehujanan. Apa lacur, kepalang basah, sanmisan hujan-hujanan. Baru saja mau pasang ban cadangan, tiba-tiba lampu padam. Gelaplah sekitar, lengkaplah sudah “penderitaan” ini.
Beberapa puluh menit kemudian, pekerjaan selesai!
Kami kembali ke dalam mobil, siap berangkat. Ya, basah kuyup di dalam mobil. Itulah kisah naik mobil kehujanan. Kami baru ganti pakaian di sebuah masjid dekat kota Pasuruan. Setelah itu, rombongan berhenti sejenak di Grati untuk menambal ban serep .
Sepanjang perjalanan dari Porong ke Panarukan, hujan mengguyur tak henti-henti. Dua kali aku sempat limbung sampai turun dari aspal. Maklum, ketika ada genangan air, marka jalan betul-betul tidak kelihatan. Malam yang begitu gelap atau sinar lampu colt T120-ku yang tidak terang? Kubayangkan para pendahulu negeri ini menerima siksaan rodi di era kolonial, membangun jalanan Anyer-Panarukan sepanjang seribuan kilometer. Masya Allah. Tapi, tetap “Alhamdulillah”, masuk Subuh kami telah tiba di Panarukan.
Esoknya, Sabtu 20 Pebruari 2010
Setelah semalam menghadiri acara walimah di PP. Sumber Bunga Sletreng, kami pulang kembali ke Madura. Perjalanan pulang ini juga tidak menyisakan banyak kisah, kecuali rasa kantuk berat menjelang berangkat setelah seharian berputar-putar untuk silaturrahmi (Asembagus, Arjasa, Jati Sari [jalan pintas ke Cerme/Bondowoso], Poka’an, Panji Kidul). Setelah itu, kami bergerak ke Panarukan (lagi) untuk menjemput rombongan yang sebelumnya telah lebih dulu ke sana.
Beruntung, di Panarukan, ada kesempatan buat tidur. Eh, bukan tidur, tapi tertidur (kira-kira setengah jam). Maka, diputuskan, jam 22.30, kami pulang. Perjalanan ini terbilang lancar, karena meskipun waktu itu malam Minggu, namun jalanan tidak begitu ramai. Tiba di Probolinggo, kami berhenti untuk membeli buah tangan, lalu istirahat 45 menitan sejenak di Masjid Sabilul Muttaqin, Tongas: sekalian istirahat, sekalian shalat sunnat.
Dari
Hampir Subuh keluar dari tol Suramadu: Titos du Polo sempat mendahului Mazda Vantrend pada kecepatan standar. Tapi, entah mengapa si pemilik VanTrend tampak emosi dan ditunjukkan dengan mendahuluiku dengan kecepatan lebih tinggi. Apakah dia tersinggung karena ternyata mobilnya disalip mobil si tua bungkuk? Ah, "alasan kekanak-kanakan yang ditunjukkan oleh bukan anak-anak”. Apa daya, aku terima saja.
Di jalur ke timur Burneh yang notabene jalannya relatif bergelombang, si VanTrend harus mengalah. Jalannya kuambil alih. Sopirnya mungkin merasa keras dengan tumpakannya, sementara suspensi Titos du Polo ini belum berpengaruh pada kenikmatan penumpang, tetap terlelap di bangku belakang dalam kecepatan 90 km/ jam (senyum-senyum dulu :-).
Hampir pukul 5 pagi kami tiba di Blega (kadang kami terpleset menyebutnya “Belgia” dan Burneh jadi “Brunei”). Setelah Subuh-an dan beli buah di pasar, perjalanan dilanjutkan ke timur, pulang. Kami mampir di Sumber Anyar untuk menurunkan ppenumpang, terus ke Guluk-Guluk dan tiba dalam keadaan selamat di rumah sekitar jam 9-nan. Kulihat, speedometer menunjukan jarak tempuh: 884 kilometer.
Titos du Polo: biar tua tetap setia..
03 Februari 2010
Ban
01 Februari 2010
Bersama Tamu
Mereka yang di bawah ini (dari kiri ke kanan) adalah Andy Fuller, Binhad Nurrohmat, Edu Badrus Saleh
kalau yang ini Binhad Nurrohmat. Lokasi di tebing Congapan, sejenis Grand Canyon-nya Guluk-Guluk
dan ini adalah Afrizal Malna yang saya antar pulang sehabis bertandang ke rumah.
30 Januari 2010
Undangan
Saya mendapat undangan walimah yang untuk pertama kalinya penulisan namaku terasa aneh. Bagaimana tidak, nama saya diikuti oleh nama jenis kendaraanku ("Titosdupolo" = T-120). Umumnya, nama yang mengikuti nama kita adalah nama orang tua atau nama marga. Nah, ini malah nama jenis kendaraan. he..he...
Saya berpikir, hal ini terjadi karena namaku identik dengan jenis kendaraan ini. Atau, jangan-jangan, saya diundang dan agar sekaligus datang dengan kendaraan kepresidenanku ini? Baiklah, saya persiapkan, ya.. Ganti ban, stel rem, dan semuanya. Sebab, lokasi undangan tersebut berada kurang lebih 350-an kilometer dari rumahku.
25 Januari 2010
Tertib Lalu Lintas Masuk Kurikulum
Salah satu tujuanku memasang speaker di mobil bukan saja sekadar untuk menyapa teman yang kebetulan berpapasan, melainkan juga untuk menegur para pengguna jalan yang bertingkah-polah sembarangan. Cara ini rupanya lebih sopan dan “menyentuh hati” daripada boros tekan klakson bertubi-tubi.
Akan tetapi, pengalaman berulang kali melakukan perjalanan ulang-alik Guluk-Guluk-Pamekasan dengan Titos membuat aku berkesimpulan begini:
“Saatnya tertib berlalu lintas masuk kurikulum pendidikan atau perketat prosedur pengambilan SIM dengan betul-betul menguji kecakapan (serta wawasan) calon pengendara kendaraan bermotor.”
Masyarakat harus disadarkan bahwa akhlaqul karimah itu tidak saja sekadar menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, bukan pula sekadar menahan diri dari—meminjam istilah Gus Mus—membuang sampah di telinga orang lain, bukan pula sekadar menyingkirkan batu/aral yang melintang di tengah jalan, melainkan juga tidak belok mendadak, tidak menerobos lampu merah, dan juga tidak parkir seenaknya seolah-olah dunia ini milik dirinya sendiri dan yang lain cuma ngontrak.
Saya membayangkan ada lembaga atau institusi yang mau melakukan penelitian tingkat kecerdasan seseorang (baik kecerdasan spiritual ataupun kecerdasan emosional, dll.) dengan perilaku berkendara dan etiketnya di jalan raya sebagai tolok ukurnya. Betulkah masyarakat sudah tahu bahwa lampu sein itu BUKAN lampu disko dan spion itu BUKAN cermin untuk berdandan?
24 Januari 2010
Mengangkut Banyak Penumpang
17 Januari 2010
Berburu Suku Cadang (Lampu Sein)
“Kejutan!” Demikian saya menyebutnya.
Berawal dari posting rekan Angga Toocool di milis Coltmania tentang “harta karun” Colt T-120 yang bertebaran di sepanjang Jalan Mataram,
Rekan Angga menulis:
Beberapa Harta Karun Yang Saya Temukan Antara lain :
- Nemu Harta karun Sein (Reting) set atas Orisinil Delica (Colt T120) IMASEN Japan...
- Nemu Mika Sein (Reting) Bawah Orisinil Delica (Colt T120) IMASEN Japan...
- Nemu Karet Kaca Depan Orisinil Mitsubishi Japan...
- Nemu Lampu Kabin (plafon) Depan Lokal Jaman Dulu (plastik lebih kuning n tebel)...
- Nemu Spion Kiri Kanan EMGI Taiwan...
- Nemu Karpet lantai depan Lokal lawas, karetnya tebel n apik...
- Totok Depan Orisinil...
- Lantai (Dek) Orisinil...
- Pancalan Kaki Depan Orisinil...
- Pintu Kumplit Orisinil...
- Kulit Pintu Luar Orisinil...
- Kulit Pintu Dalam Orisinil...
- Kaca Depan Orisinil Asahimas...
- Kaca Supir dan penumpang depan Orisinil...
- Handle Kombinasi (Sein, Lampu2, dll) Orisinil...
- CDI Set (Delco Kumplit) Bikinan Taiwan...
- Mika (Alas) Speedometer Set yang Indiglow (Dasar Putih, Tulisan Biru / Merah)...
Nah, kebetulan, beberapa item colt yang saya cari, seperti cover lampu sein mika asli bikin Imasen juga ada di
Kontak pun terjalinlah di malam itu (Jumat, 8-01-2010), beberapa menit setelah Mas Angga ini posting di milis. Lalu, ajib, esoknya, Mas Angga membelikan barang yang saya maksud serta memaketkannya ke alamat rumahku. Baik benar ini orang, he...
Dan pada hari Kamis sore, 14 januari 2010, seperangkat lampu sein Imasen plus lampu kabin depan sudah saya terima, dan langusng dipasangkan ke Titosku. Tambah cantiklah dia..
Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah
Malam Sabtu, 6 Desember 2024 Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...
-
Keluhan yang kerap dirasakan oleh pemilik colt T 120 adalah soal konsumsi bahan bakar. Mereka mengeluhkan ini karena soal boros. Mengapa? J...
-
Setelah beberapa kali membersihkan karburator sendiri dengan bantuan teman, akhirnya saya berhasil membersihkan karburator dengan tangan ...
-
Hampir semua ruas jalan di tempatku diaspal, dan mungkin lebih 80% di antaranya sudah menggunakan aspal hotmix. Mengutip perihal kemajuan in...